Ketika Hadiah Berbuah Fitnah

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً مِنْ اْلأَزْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ اْلأُتْبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلاَّ جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلاَّنِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلاَ جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا وَاللَّهِ لاَ يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلاَّ لَقِيَ اللَّهَ تَعَالَى يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصُرَ عَيْنِي وَسَمِعَ أُذُنِي - متفق عليه
Dari Abu Humaid As-Sa'idy ra, berkata, bahwa Rasulullah SAW mengangkat seseorang dari Al-Azdi sebagai petugas zakat untuk Bani Sulaim, ia dipanggil ibnu Utaibiyah. Ketika dia datang, dia berkata, 'Ini unuk kalian (harta zakat), sedangkan yang ini dalah hadiah untukku. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Apakah tidak engkau duduk di rumah bapak atau ibumu, hingga hadiah itu datang kepadamu jika kamu benar?' Kemudian Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar, beliau mengucapkan hamdalah lalu berkata, 'Amma ba'du, aku telah mengangkat seorang laki-laki di antara kalian untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadaku, kemudian dia mendatangi orang-orang kaya lalu berkata, “ini untuk kalian dan yang ini hadiah untukku.” Jika dia berkata benar, mengapa tidak duduk di rumah ayah atu ibunya, sehingga hadiah datang kepadanya. Demi Allah, seorang diantara kalian yang mengambil seseuatu dengan cara yang tidak benar, maka kelak di hari kiamat akan bertemu Allah dengan mebawa barang tersebut. Jangan sampai aku mengetahui seseorang diantara kalian berjumpa Allah dengan memikul unta yang melenguh, sapi yang melenguh atau kambing yangmegembik.' Setelah itu, Nabi saw mengangkat kedua tangannya, hingga putih kedua ketiaknya terlihat. Beliau mengucapkan, 'Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan? Mataku melihat dan telingaku mendengar (apa yang disabdakan Rasulullah SAW)” (Muttafaqun Alaih)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Diantara kewajiban pemimpin adalah tanggung jawab untuk mengumpulkan zakat, untuk kemudian membagikannya kepada para mstahiq. Abu Bakar As-Shiddiq ra ketika menjadi khalifah pernah mengumpulkan satu pasukan, yang secara khusus dikirim untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Karena orang yang mengingkari zakat sebagai satu kewajiban dihukumi kafir menurut para ulama, karena berarti mengingkari satu dari lima rukun Islam. Allah SWT berfirman, “Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menyekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Fushilat/ 41 ; 6 - 7)

2. Hadiah yang diberikan kepada perjabat, pekerja atau petugas tertentu yang terkait dengan pekerjaannya adalah termasuk risywah yang diharamkan. Terlebih-lebih manakala pemberian hadiah tersebut memberikan pengaruh terhadap keputusan yang akan diambil oleh pekerja/ pejabat atau petugas tertentu. Mengenai masalah ini Rasulullah SAW bersabda,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ - رواه الترمذي وأبو داود وأحمد
Dari Abdullah bin Amru ra bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memberi risywah dan orang yang menerima risywah. (HR. Turmudzi)

3. Hadiah adalah pemberian harta kepada orang lain dengan tujuan untuk menghormati (ikram), memuliakan (ta’zhim), mengasihi (tawaddud) dan mencintainya (tahabbub). Dalam hal ini bisa saja hadiah itu diperuntukkan untuk tujaun hal-hal yang dilarang syariah (haram), inilah yang kemudian disebut risywah. Untuk itulah, kita perlu berhati-hati ketika memberikan hadiah atau ketika menerima hadiah. Apabila hadiah tersebut memiliki keterkaitan secara langsung dengan pekerjaaan, maka pemberian tersebut memiliki indikasi mengandung unsur risywah. Memberikan hadiah kepada seseorang diperbolehkan jika dia masih memiliki ikatan keluarga atau teman dekat yang sebelumnya sudah saling memberi hadiah. Dengan catatan, saat memberikan hadiah si pemberi tidak memiliki masalah dengan orang tersebut, atau mengharapkan sesuatu untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Namun jika terkandung motivasi untuk melancarkan suatu urusan, atau memenangkan suatu urusan tertentu, maka tidak diperbolehkan.

4. Secara bahasa, risywah (رشوةِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِ) berasal dari kata rasya (رشا) yang berarti al-ja’lu (menyuap). Ibn al-Atsir mengatakan risywah adalah sesuatu yang menyampaikan pada keperluan dengan jalan menyogok (الوُصْلَةُ إِلـى الـحاجة بالـمُصانعة). Orang yang memberikan risywah secara batil disebut ar-Rasyi, sedangkan orang yang mengambil risywah disebut al-murtasyi. Sementara ar-ra`isy adalah orang yang bekerja sebagai perantara risywah yang minta tambah atau minta kurang. Ibnu Abidin mendefiniskan risywah dengan Sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau kepada yang lainnya agar orang tersebut memutuskan perkara berpihak kepadanya atau membawa kepada yang diinginkannya.

5. Riswyah memiliki beragam jenis dan macamnya. Sebagian ulama membagi risywah menjadi empat macam :
  • a.Memberikan sesuatu untuk mendapatkan pangkat, jabatan atau proyek dan bisnis tertentu. Ini merupakan risywah dan hukumnya adalah haram, baik bagi si pemberi maupun bagi si penerima.
  • b.Memberikan sesuatu kepada hakim agar bisa memenangkan perkara. Ini juga hukumnya haram bagi penyuap dan yang disuap, walaupun keputusan tersebut benar, karena hal itu sudah menjadi tugas dan kewajibannya.
  • c.Memberikan sesuatu agar mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan penguasa dengan tujuan mencegah kemudharatan dan meraih kemaslahatan (dalam konteks penguasa berbuat dzalim), hukumnya adalah haram bagi yang disuap saja. Al-Hasan mengomentari sabda Nabi yang berbunyi :”Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap”, dengan berkata:”jika ditujukan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Adapun jika untuk melindungi hartamu, tidak apa-apa” yunus juga meriwayatkan bahwa al-Hasan berkata :”tidak apa-apa seseorang memberikan hartanya selama untuk melindungi kehormatannya”.
  • d.Memberikan sesuatu kepada seseorang yang tidak bertugas di instansi tertentu agar bisa menolongnya dalam mendapatkan haknya di pengadilan atau di instansi tersebut, maka hukumnya halal bagi keduanya (pemberi dan penerima) sebagai upah atas tenaga dan potensi yang dikeluarkannya. Seperti jasa pengacara, dsb. Tapi Ibnu Mas’ud dan Masruq lebih cenderung bahwa pemberian tersebut juga termasuk suap yang dilarang, karena orang tersebut memang harus membantunya agar tidak terdzalimi.
6. Pada prinsipnya memberikan sesuatu yang terkait dengan kepentingan tertentu, dan bukan sebagai hadiah (sebagaimana definisi hadiah di atas), dan juga yang bukan sebagai shadaqah dan yang sejenisnya, adalah tidak diperbolehkan. Oleh karenanya, hendaknya kita berhati-hati terhadap hal tersebut, agar jangan sampai hadiah berubah menjadi fitnah. Allah SWT berfirman :
وَلاَ تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ
dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (QS. Al-Mudtasir/ 74 : 6)

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag
Sekretaris Dewan Pengawas Syariah Takaful Indonesia

Seputar Keutamaan Bulan Rajab

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ نُفَيْعِ بْنِ اْلحَارِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ - متفق عليه
Dari Dari Abu Bakrah Nufai' bin Harits ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya pada saat Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah dua belas bulan. Diantaranya terdapat empat bulan suci. Tiga bulan berurutan, (yaitu) dzulqa'dah, dzulhijjah dan muharram. Sedangkan satu lagi adalah Rajab mudhar, yang terletak antara jmuadil akhir dengan sya'ban.” (Muttafaqun Alaih)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bahwa bulan rajab merupakan salah satu bulan-bulan haram/ muharram, yaitu bulan-bulan yang dimuliakan Allah SWT atau sebagai bulan-bulan yang suci. Hadits di atas menggambarkan bahwa terdapat empat bulan-bulan haram, dimana tiga bulan diantaranya adalah bulan-bulan yang berurutan (yaitu dzulqa'dah, dzulhijjah dan muharram), serta ada satu bulan yang terpisah, yaitu bulan Rajab. Hadits di atas sekaligus menguatkan makna firman Allah SWT berikut :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ*
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS. At-Taubah : 36)

2. Bahwa riwayat tidak dijelaskan secara lebih mendalam mengenai makna dari kekhususan bulan-bulan haram tersebut. Hanya terdapat keterangan yang menggambarkan bahwa dahulu orang-orang jahiliyah mengabaikan bulan-bulan haram ini, dengan melakukan peperangan padahal seharusnya mereka tidak boleh melakukannya di bulan-bulan tersebut. Lalu mereka menjadikan bulan-bulan berikutnya menjadi bulan-bulan haram, sebagai pengganti bulan haram yang mereka berperang di dalamnya. Dalam kitab Nuzhatul Muttaqin dijelaskan, “Pada masa jahiliyah, jika mereka ingin perang di bulan suci, mereka tetap saja berperang di bulan itu, lalu menjadikan bulan sesudahnya sebagai bulan suci. Misal, mereka ingin perang dibulan Rajab, maka mereka melaukan perang di bulan itu tanpa mengindahkan kesucian bulan Rajab, lalu menggantinya dengan bulan Sya'ban. Islam tidak membenarkan tindakan semacam ini, sekaligus menegaskan bahwa ada empat bulan suci.” (Nuzhatul Muttaqin, Juz 1 hal 186)

3. Dalam bulan-bulan haram (yang dimuliakan) ini, tersirat adanya anjuran untuk memperbanyak amal shaleh: Diantara isyarat tersebut, datang dari riwayat Mujibah Al-Bahiliyah, menceritakan dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada ayahnya (Al-Bahily), “Puasalah di bulan yang penuh dengan kesabaran (ramadhan) dan satu hari setiap bulan.” Ia berkata, “Tambahkanlah buat saya, karena saya benar-benar kuat.” Beliau bersabda, “Puasalah dua hari setiap bulan”. Ia berkata, “Tambahkanlah buat saya, karena saya benar-benar kuat.” Beliau bersabda, “Puasalah tiga hari setiap bulan.” Ia berkata, “Tambahkanlah buat saya.” Beliau bersabda, “Puasalah di bulan-bulan yang disucikan (bulan-bulan haram) : tiga hari puasa (sambil merapatkan tiga jari beliau) dan tiga hari berbuka (sambil melepaskan tiga jari yang dirapatkan). Puasalah di bulan-bulan yang disucikan : tiga hari puasa (sambil merapatkan tiga jari beliau) dan tiga hari berbuka (sambil melepaskan tiga jari yang dirapatkan). Puasalah di bulan-bulan yang disucikan : tiga hari puasa (sambil merapatkan tiga jari beliau) dan tiga hari berbuka (sambil melepaskan tiga jari yang dirapatkan)” (HR. Abu Daud)

4. Hadits ini (Al-Bahily, poin 3) menggambarkan tentang adanya anjuran melaksanakan puasa sunnah secara umum dan tidak menunjukkan adanya anjuran untuk melaksanakan puasa sunnah secara khusus di bulan Rajab, (menurut sebagian ulama). Karena dilihat dari teks haditsnya, gambaran yang Rasulullah SAW berikan kepada Al-Bahily adalah anjuran untuk melaksanakan puasa secara umum dan tidak ada pengkhususan berpuasa di bulan Rajab. Namun sebagian ulama lainnya menganggap bahwa ungkapan Rasulullah SAW dalam hadits di atas merupakan satu anjuran untuk melaksanakan puasa sunnah secara khusus di bulan-bulan haram, termasuk di bulan Rajab. Dalam riwaya lainnya disebutkan :
عَنْ عُثْمَانِ بْنِ حَكِيمٍ اْلأَنْصَارِيُّ قَالَ سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ فَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ - رواه مسلم
Dari Utsman bin Hakim ra, aku bertanya kepada Sa'id bin Jubair tentang puasa Rajab, sedangkan kami ketika itu berada di bulan Rajab. Beliau (Sa'id bin Jubair ra) berkata, aku mendengar Ibnu Abbas ra berkata, bahwa Rasulullah SAW itu berpuasa sehingga seolah-oleh beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau selalu senantiasa berbuka sehingga seolah-olah tidak berpuasa.” (HR. Muslim)

5. Memang terdapat beberapa riwayat yang menggambarkan adanya anjuran untuk melakukan puasa sunnah di hari-hari tertentu di bulan Rajab, dengan penggambaran memiiki fadhilah yang sangat besar, namun umumnya riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat yang sangat dha'if, atau bahkan maudhu' (palsu). Sehingga apabila kita hendak melaksanakan puasa sunnah di bulan Rajab, maka berpuasalah sebagaimana puasa di bulan-bulan lainnya, seperti pada hari senin & kamis, atau pada ayyamul baid (tanggal 13, 14 & 15 Rajab). Karena bagaimanapun juga, berpuasa sunnah memiliki keutamaan tersendiri, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah SAW dalam hadtis Al-Bahily (poin 3) yang bahkan adanya anjuran melaksanakan puasa sunnah di bulan-bulan haram.

6. Terdapat doa yang umumnya dilafalkan ketika memasuki bulan Rajab, seperti doa berikut :
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
Ya Allah, berikanlah kami keberkahan di bulan Rajab dan Sya'ban serta sampaikanlah (usia kami), hingga bulan ramadhan.

Dilihat secara riwayat, hadits ini merupakan hadits dha'if yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar. Karena diantara perawinya terdapat Za'idah bin Abi Ar-Riqad. Sedangkan ia dikatakan oleh Imam Bukhari sebagai perawi yang munkar. Jamaah ahli hadits juga menjahalkannya, artinya bahwa, Zaidah bin Abi Ar-Riqad ini majhul (tidak diketahui), demikian dikatakan oleh Imam Al-Haitsami dalam kitab Majma' Zawa'id. Oleh karena itulah sebagian kalangan tidak mau mengamalkan hadits ini, dikarenakan haditsnya dha'if. Namun sebagian lainnya masih mengamalkan, dengan alasan bahwa riwayat tersebut hanya doa, dan doa (khususnya yang tidak terkait langsung dengan ibadah) merupakan hal yang dianjurkan, terlebih-lebih manakala isi dari doa tersebut hanya meminta kebaikan dan keberkahan di bulan Rajab dan sya'ban, serta agar disampaikan usia kita ke bulan Ramadhan. Penulis melihat bahwa apabila doa ini dilafalkan hanya untuk meminta kebaikan bulan Rajab dan Sya'ban, serta agar usia kita disampaikan hingga ke bulan ramadhan, maka itu boleh saja. Karena kandungan doa tersebut adalah baik. Yang tidak boleh adalah, adanya keyakinan bahwa membaca doa ini sebagai satu keharusan untuk dibaca pada bulan Rajab.

Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag.

Menghindari Sikap Sombong

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ - رواه مسلم
Dari Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji dzurrah berupa kesombongan.” Seorang sahabat bertanya, (wahai Rasulullah SAW) bagaimana jika seseorang menginginkan pakaiannya bagus dan alas kakinya bagus?. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Adapun kesombongan adalah menentang kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kesombongan merupakan sikap yang sangat tidak terpuji, yang dapat berakibat pada “diharamkannya” seseorang masuk ke dalam surga, sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas. Bahkan cukuplah seseorang yang memiliki sifat sombong ini sedikit saja, atau diibaratkan dalam hadtis di atas dengan memiliki sifat sombong seberat biji dzarrah, untuk menjadikannya menjadi penghuni neraka kelak. Dalam riwayat lainnya digambarkan tentang ciri calon penghuni neraka :
عَنْ حَارِثَةَ بْنِ وَهْبٍ الْخُزَاعِيَّ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ - رواه مسلم
Dari Haritsah bin Wahb ra, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kalian aku beri tahu tentang penghuni neraka? Yaitu setiap orang yang berlaku kejam, rakus dan sombong.” (HR. Muslim)

2. Sombong menjadi sifat dan karakter Iblis, yang oleh karenanya Iblis dilaknat oleh Allah SWT, serta diturunkan martabatnya menjadi makhluk yang sangat hina dina, bahkan dilaknat Allah SWT serta dijanjikan masuk neraka jahanam. Dan Keseombongan Iblis yang menjadikannya dilaknat Allah SWT serta diancam masuk neraka jahanam adalah Hal tersebut terjadi, adalah hanya karena Iblis mengatakan “Ana Khairun Minhu, Khalaqtani Min Naarin, Wa Khalatahu Min Thiin..” (aku lebih baik dari pada manusia. Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan manusia dari tanah). (QS. Al-A'raf : 12) Sejak saat itu, jadilah Iblis dengan kesombongannya, dilaknat oleh Allah SWT hingga yaumil akhir :
قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ* وَإِنَّ عَلَيْكَ اللَّعْنَةَ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ* قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ* قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ* إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ
Allah berfirman: "Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk, dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat". Berkata iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan". Allah berfirman: "(Kalau begitu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh,sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan" (QS. Al-Hijr : 34 - 38)

3. Hakekat kesombongan adalah seseorang yang tidak mau menerima kebenaran (baca ; melecehkan syariah) dan bersikap merendahkan orang lain. Artinya orang yang sombong adalah orang yang mengingkarinya dan menolak (baca ; mencemooh) kebenaran, khususnya kebenaran yang bersumberkan pada hukum syariah dan ajaran Islam. Walaupun kebenaran tersebut, telah jelas di depan matanya. Namun karena “egonya”, ia menolak kebenaran tersebut. Seperti seseorang yang menentang Al-Qur'an, menentang ajaran Islam, menganggap bahwa syariah sebagai penghambat kemajuan, dsb. Dan pada saat bersamaan ia menganggap bahwa ajaran-ajaran maupun konsep-konsep lainnya adalah lebih baik, lebih profesional dan lebih berdampak pada kemajuan dibandingkan dengan syariah. Inilah bentuk keseombongan yang hakik, yang akan mengantarkan pelakunya masuk ke dalam neraka, na'udzubillah min dzalik.

4. Masuk juga dalam kategori kesombongan adalah seseorang yang senantiasa merendahkan martabat dan derajat orang lain, serta merasa bahwa dirinya lebih baik, lebih pintar, lebih shaleh, lebih berprestasi dibandingkan dengan orang lain. Biasanya sifat sombong tercermin antara lain, dengan mudahnya si pelaku ini menghina, merendahkan, atau mempermalukan orang lain. Bahkan terkadang tidak segan-segan mencemoohnya. Inilah yang dilakukan oleh Iblis, sehingga ia menjadi makhluk terlaknat. Dan Iblis pun menginginkan manusia memiliki sifat yang sama dengannya. Allah SWT berfirman :
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ* ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ* قَالَ اخْرُجْ مِنْهَا مَذْءُومًا مَدْحُورًا لَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنْكُمْ أَجْمَعِينَ*
Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at). Allah berfirman: "Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya". (QS. Al-A'raf : 16 - 18)

5. Memakai pakaian yang bagus dan alas kaki yang bagus bukanlah merupakan suatu bentuk kesombongan, selama tidak didasari dengan rasa keangkuhan. Rasulullah SAW dengan jelas mengatakan dalam hadits di atas bahwa Allah itu Maha Indah dan sangat menyukai keindahan. Jadi kesombongan bukan terletak pada pakaian atau alas kaki seseorang, namun kesombongan adalah rasa besar diri yang muncul dari hati, yang tercerminkan secara dzahir berupa penentangan terhadap Al-Haq dan sikap merendahkan orang lain yang berarti dia merasa bahwa dirinya lebih baik dari orang lain.

6. Hakekat ini juga memberikan arti bagi kita bahwa seseorang diperbolehkan memiliki kekayaan, yang salah satu bentuknya adalah memiliki pakaian dan alas kaki yang indah dan nyaman dikenakan. Sifat seperti ini tidak termasuk dalam kesombongan selagi ia tidak mengingkari kebenaran dan merendahkan orang lain. Namun sebaliknya jika seseorang yang bahkan tidak memiliki pakaian dan alas kaki yang bagus, namun ia mengingkari kebenaran dan senantiasa merendahkan orang lain, maka bisa jadi merupakan bentuk kesombongan.
7.Kesombongan tidak ada nilainya sama sekali bagi manusia. Karena orang yang sombong akan dibenci oleh semua orang di dunia, sementara di akhirat ia akan dimasukkan ke dalam api neraka, (na’udzu billah min dzalik) :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ - رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ada tiga golongan yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka, tidak mensucikan mereka, tidak melihat pada mereka dan mereka akan mendapatkan azab yang pedih; orang tua yang berzina, raja yang pendusta dan orang miskin yang sombong. (HR. Muslim)


Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag.

Keutamaan Ahli Shadaqah

عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًامِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِاْلأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ، قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ، وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرًا - رواه مسلم
Dari Abu Dzar ra berkata, bahwa sekelompok sahabat berkata kepada Rasulullah, Ya Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, merekapun dapat bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Rasulullah SAW bersabda, 'Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang dapat dishadaqahkan? Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, amar ma'ruf nahi munkar adalah shadaqah, bahkan dalam hubungan intim (dengan istri kalian) adalah shadaqah.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah seseorang yang memenuhi syahwatnya mendapatkan pahala?' Beliau menjawab, 'Bukankah jika ia menyalurkannya pada yang haram (bukan istrinya), ia berdosa? Demikian pula jika ia menyalurkannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Rimbunnya nuansa “fastibiqul khairat” (baca ; berlomba-lomba dalam kebaikan) di kalangan para sahabat. Dimana para sahabat terlihat saling berlomba-lomba untuk mendapatkan keutamaan dan keridhaan Allah SWT. Seperti yang digambarkan dalam riwayat di atas, bahwa sekelompok sahabat merasa “sedih” karena kehilangan satu kesempatan dalam melakukan kebaikan, yang disebabkan karena “ketidakmampuan” mereka dalam berinfak shadaqah, sebagaimana yang dilakukan para sahabat lainnya yang memiliki kemampuan finansial yang lebih. Dan ternyata hal ini membuat mereka bersedih, lalu mengadu ke Rasulullah SAW.

2. Obesesi para sahabat untuk memiliki harta adalah atas dasar obsesi dan orientasi ukhrawi, bukan obsesi dan orientasi duniawi. Kendatipun mereka memiliki keinginan mendalam untuk memiliki harta, namun keinginan tersebut semata-mata adalah karena mereka ingin berinfak shadaqah, dan bukan untuk bermegah-megah atau bermewah-mewahan. Bahkan terkadang terdapat sahabat yang sangat sedih, ketika mendapatkan rizki yang melimpah, sebagaimana yang pernah terjadi pada seorang sahabat yang bernama Thalhah bin Ubaidillah ra. :
“Suatu hari Thalhah bin Ubaidillah ra pulang ke rumah dengan membawa uang 100.000,- dirham (1 dirham = + Rp 30.000,-) (30.000 X 100.000 = 3.000.000.000,-/ + Rp 3 M). Anehnya, istrinya mendapati raut wajah Thalhah begitu bersedih. Istrinya bertanya, 'Apa yang terjadi padamu wahai suamiku?' Thalhah menjawab, 'Harta yang banyak ini, aku takut jika menghadap Allah kelak, lalu aku ditanya tentang dirham ini satu persatu.' Istrinya berkata, 'Ini masalah yang mudah. Mari kita bagi-bagikan harta ini. Bawalah uang ini dan bagikan kepada fakir miskin kota Madinah.' Thalhah pun bersama istrinya meletakkan harta itu di sebuah wadah, lalu mereka membagi-bagikan kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan. Setelah itu mereka kembali ke rumah dan berkata, 'Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diriku bertemu dengan-Nya sedangkan aku dalam keadaan bersih dan suci.”

3. Luasnya makna dan kesempatan untuk melakukan shadaqah. Karena shadaqah lebih luas dari pada infak; infak adalah mengeluarkan harta dengan mengharap keridhaan Allah SWT. Dan infak ada yang wajib, sunnah dan mubah. Contoh infak wajib adalah zakat, infak kepada keluarga, dsb. Infak yang sunnah seperti membantu fakir miskin, orang yang kesusahan, kegiatan keislaman, dsb. Infak yang mubah seperti memberikan hadiah, mengajak makan teman, saudara atau sahabat. Sedangkan shadaqah adalah mengeluarkan sesuatu (baik materi maupun non materi) untuk mengharap ridha Allah SWT. Oleh karenanya dalam banyak riwayat disebutkan, senyuman merupakan shadaqah, menyingkirkan duri dari jalanan adalah shadaqah, mendamaikan dua orang yang sedang berselisih adalah shadaqah, dsb. Bahkan dalam hadits di atas, secara spesifik disebutkan bentuk-bentuk shadaqah :

  • Dzikir (tasbih, takbir, tahmid dan tahlil) merupakan shadaqah, yang memiliki nilai pahala pada tiap tasbihnya, takbirnya, tahmidnya atau juga tahlilnya.
  • Da'wah (amar ma'ruf & nahi mungkar) juga merupakan shadaqah.
  • Bahkan dalam melakukan hubungan intim antara suami istri pun ( وَفِيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ) juga merupakan shadaqah, yang memiliki nilai pahala di sisi Allah SWT (catatan : walaupun jangan dikhususkan untuk menjadikan aspek ini sebagai shadaqah utama, lalu menomer duakan aspek yang lainnya).
  • Dalam hadits lainnya disebutkan juga banyak hal yang masuk dalam kategori sahadaqah, diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ سُلاَمَى مِنْ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ يَعْدِلُ بَيْنَ اْلاثْنَيْنِ صَدَقَةٌ وَيُعِينُ الرَّجُلَ عَلَى دَابَّتِهِ فَيَحْمِلُ عَلَيْهَا أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ وَكُلُّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ وَيُمِيطُ اْلأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ - متفق عليه
"Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Setiap persendian manusia harus dikeluarkan shadaqahnya, setiap hari selama matahari terbit, mendamaikan dua orang yang berselisih adalah shadaqah, menolong seseorang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkatkan barang bawaannya adalah shadaqah, kata-kata yang baik adalah shadaqah, setiap langkah kaki yang kamu ayunkan untuk shalat adalah shadaqah, dan menyingkirkan duri dari jalan adalah shadaqah.” (Muttafaqun Alaih).

4. Keutamaan orang yang berpunya dan menjadi ahli shadaqah. Karena bagaimanapun bershadaqah dengan harta tetap memiliki keutamaan tersendiri. Hadits di atas menggambarkan hal tersebut, yaitu ibaratnya para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW bahwa jika kami shalat, mereka pun (orang-orang kaya) juga shalat, jika kami puasa, mereka pun puasa. Bahkan seolah-olah ditanyakan oleh para sahabat, jika mereka berdzikir, dan melakukan segala kebaikan, merekapun juga melakukan hal yang sama. Namun mereka (ahli shadaqah), selalu bershadaqah dengan kelebihan harta mereka yang tidak dapat kami lakukan?' Sehingga secara tersirat, hadits ini memotivasi para sahabat dan kita semua selaku umat Nabi Muhammad SAW untuk menjadi orang-orang yang memiliki kemampuan finansial yang kuat, sehingga bisa maksimal dalam melakukan infak shadaqah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ - رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Harta tidak akan berkurang karena shadaqah. Allah pasti akan menambah kemuliaan seseorang yang suka memaafkan. Dan, seseorang yang merendahkan diri karena Allah, niscaya Allah yang Mahamulia lagi Maha Agung akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)

5. Pentingnya meniatkan segala kebaikan dengan ikhlas karena Allah SWT. Karena sesungguhnya apapun yang kita lakukan dan dilandasi dengan niatan mulia mengharapkan ridha-Nya, insya Allah akan dicatat sebagai shadaqah. Maka melayani nasabah yang membutuhkan penjelasan, mempersilakan tamu untuk duduk di kursi dan menanyakan keperluannya, membersihkan ruangan agar suasana kerja menjadi nyaman, memberikan senyuman orang yang membutuhkan bantuan, meminjamkan alat tulis, memberikan informasi kepada siapapun yang memerlukan bantuan informasi dari kita, mengangkat telepon dengan ramah, mengambilkan air minum, menghormati atasan, menyayangi bawahan, mengucapkan terimakasih, menghadiri rapat dan undangan tepat waktu, bertutur kata yang baik dalam pekerjaan, tidak banyak mengeluh, mendoakan orang lain, dsb insya Allah semua itu akan menjadi shaqah, apabila kita meniatkannya untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Jadi, bershadaqah lah...

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

;;