Rehad (Renungan Hadits) 143
Dan Setiap Sumpah Dalam Muamalah Ternyata Tidak Mendatangkan Berkah

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَلِفِ فِي الْبَيْع،ِ فَإِنَّهُ يُنَفِّقُ ثُمَّ يَمْحَقُ (رواه مسلم)
Dari Abu Qatadah Al Anshari ra, bahwa beliau mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam jual beli, karena ia dapat melariskan (dagangan) dan kemudian akan menghilangkan (keberkahan)." (HR. Muslim, hadita no. 3015)

Hikmah Hadits ;
1. Bahwa jual beli merupakan salah satu bentuk usaha yang halal dan bahkan kehalalannya telah ditetapkan dalam Al-Qur'an, yaitu dalam QS. Al-Baqarah : 275, "....dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.." Namun bukan berarti ketika hukumnya halal, seseorang boleh melakukan proses apa saja guna melariskan dagagannya. Karena disana ada adab dan etika yang harus diindahkan oleh setiap muslim. Dan diantara adab dan etika tersebut adalah "tidak banyak bersumpah" dalam jual beli. Dalam riwayat lain hanya disebutkan "bersumpah" saja tanpa menyebutkan kata "banyak" (katsrah).
2. Sumpah dalam jual beli memang dapat melariskan dagangan, karena bisa jadi akan semakin menimbulkan kepercayaan pembeli terhadap pedagang atau terhadap pelaku bisnis lainnya. Namun di sisi lainnya ia juga akan menghilangkan keberkahan dalam jual belinya tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Muslim di atas. Karena walaupun hukum asal bersumpah itu adalah boleh, namun rasanya "tidak pantas" bagi seorang muslim bersumpah menggunakan nama Allah Swt hanya untuk mendapatkan keuntungan duniawi dalam berdagang, atau sekedar mengharapkan kepercayaan orang lain, guna melariskan bisnisnya. Jumhur ulama mengatakan bahwa sumpah dalam jual beli hukumnya makruh bagi pedagang yang jujur, namun haram bagi pedagang yang tidak jujur.
3. Sumpah hendaknya digunakan dalam perkara2 yang besar, menyangkut kepentingan yang besar dan untuk hal2 yang besar pula, seperti dalam proses peradilan, dsb. Dan dalam riwayat lainnya, Allah bahkan memberikan ancaman terhadap pedagang atau pelaku bisnis yg banyak bersumpah dengan ancaman yang berat, "Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan mengajak mereka bicara pada hari kiamat, tidak melihat mereka, tidak mensucikan dosanya dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih." Abu Dzar berkata, "Rasulullah Saw membacanya tiga kali. Abu Dzar berkata, "Mereka gagal dan rugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang yang melakukan isbal (memanjangkan pakaian), orang yang suka memberi dengan menyebut-nyebutkannya (karena riya'), dan orang yang membuat laku barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR. Bukhari)

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M.Ag

Rehad (Renungan Hadits)  142
Dan Berbagai Kemuliaan Itupun Bertebaran Di Bulan Muharram

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra ia berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadlan adalah puasa pada bulan Allah Al-Muharram. Dan sebaik-baik shalat setelah shalat Fardlu, adalah shalat malam." (HR. Muslim, hadits no. 1982)

Hikmah Hadits :
1. Bahwa bulan Muharram memiliki beberapa keistimewaan dan kemuliaan, diantaranya adalah sebagai berikut ;
#1) Bulan Muharram merupakan satu diantara bulan-bulan yang haram yaitu bulan2 yang dimuliakan dan disucikan. Karena di bulan2 tersebut berbagai bentuk perbuatan yang terlarang semakin ditekankan pelarangannya, seperti berperang, mengambil hak orang lain, mencederai kehormatan orang lain dsb. Dalam riwayat disebutkan, bahwa Nabi Saw bersabda, Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satubulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Akhir dan Sya’ban.” (HR. Muslim)
#2). Bulan Muharram merupakan bulan yang secara penamaannya dinisbatkan kepada Allah Swt sebagaimana digambarkan dalam hadits di atas, Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadlan adalah puasa pada bulan Allah Al-Muharram..."(HR. Muslim)
#3). Bulan Muharram, khususnya pada 10 Muharram, merupakan hari dimana Allah Swt menyelamatkan dari Bani Israil dari musuhnya, sehingga Nabi Musa as berpuasa pada hari tersebut. Dalam riwayat disebutkan, 'Ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka Beliau bertanya : “Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Maka Rasulullah Saw bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan datang.' (HR. Muslim)
#4). Bulan Muharram merupakan bulan dimana kaum muslimin melaksnakan puasa sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, sebagaimana disebutkan dalam riwayat, Dari Abdullah bin Umar ra bahwa kaum Jahiliyah dulu berpuasa Asyuro dan Rasulullah Saw serta kaum muslimin juga berpuasa sebelum diwajibkan puasa Ramadhan..' (HR. Muslim).
2. Maka pada bulan Muharram ini anjuran untuk melakukan amal shaleh sangat ditekankan dan sebaliknya perbuatan terlarang sangat ditekankan untuk dianjurkan. Karena pahala amal shaleh akan dilipatgandakan, sementara dosa dari perbuatan nista juga akan menjadi berlipatganda pula.

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M.Ag

Rehad (Renungan Hadits) 141
Haramnya Ihtikar (Menimbun dan Memonopoli Suatu Barang)

عن سَعِيد بْن الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ (رواه مسلم)
Dari Sa'id bin Musayyab ra menceritakan bahwa Ma'mar berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa melakukan ihtikar (menimbun barang), maka dia berdosa.' (HR. Muslim, hadits no. 3012)

Hikmah Hadits ;
1. Bahwa pada dasarnya setiap orang diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari hasil jual beli secara maksimal selama proses jual belinya dilakukan dengan baik, normal, tanpa rekayasa harga dan tanpa membuat kemudharatan bagi orang lain.
2. Bahwa ihtikar sebagaimana yang dilarang Nabi Saw dalam hadits di atas adalah salah satu bentuk rekayasa dalam jual beli demi meraup keuntungan pribadi yang besar tanpa memperdulikan kepentingan orang lain. Karena ihtikar secara bahasa bermakna membeli dan memborong. Sedangkan secara istilah, ihtikar adalah membeli atau memborong suatu barang tertentu di pasaran atau dari tempat produksinya, untuk kemudian disimpan dan ditimbun dalam suatu tempat dengan tujuan agar barang tersebut langka di pasaran, dan kemudian menjualnya kembali pada saat harganya telah tinggi, untuk mengambil keuntungan secara bathil.
3. Ihtikar dilarang karena dapat menimbulkan dharar (kemudharatan) bagi orang banyak, yaitu menyulitkan masyarakat dalam mencari barang kebutuhannya di pasar, dan bahkan mengakibatkan mereka harus mengeluarkan dana yang lebih besar dari yang seharusnya mereka keluarkan untuk membeli suatu barang tertentu. Disamping juga bahwa ihtikar menimbulkan iklim bisnis muamalah yang tidak sehat, yang berakibat pada saling menikam antara sesama pelaku bisnis atau terhadap para konsumennya serta mengandung unsur rekayasa yg tidak sahat dalam muamalah.
4. Maka ulama sepakat akan haramnya ihtikar, bahkan sebagian ulama memasukkannya ke dalam kategori dosa besar. Dalam riwayat lainnya dijelaskan bahwa pelaku ihtikar akan diancam dengan 3 ancaman, yaitu ;
#1). "Dicap" sebagai orang yang "khati', yaitu orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan dosa.(HR. Muslim)
#2). Di Akhirat kelak Allah akan mempersiapkan baginya tempat duduk yg besar yang terbuat dari bara api neraka. (HR. Ahmad)
#3). Allah Swt juga akan memberikan penyakit dan kerugian baginya di dunia. (HR. Ibnu Majah). Na'udzubillahi min dzalik, dan semoga kita semua terhindarkan dari keburukan rizki.

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M.Ag.

Rehad 140. Jual Beli Dengan Sistem Salam (Indent)

Rehad (Renungan Hadits) 140
Jual Beli Dengan Sistem Salam (Indent)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ يُسْلِفُونَ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَسْلَفَ فَلَا يُسْلِفْ إِلَّا فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ (رواه مسلم)
Dari Ibnu Abbas ra berkata, "Ketika Rasulullah Saw tiba di Madinah, beliau melihat penduduk Madinah terbiasa melakukan jual beli dengan sistem salam (pembayaran dimuka). Maka beliau bersabda, "Barangsiapa yang membeli barang (dengan cara salam), maka janganlah ia membelinya kecuali dengan takaran yang jelas dan dengan timbangan yang jelas." (HR. Muslim, hadits no. 3011)

Hikmah Hadits ;
1. Bahwa jual beli salam adalah praktik jual beli dimana seluruh pembayaran dilakukan di muka, yaitu di saat terjadinya akad jual beli, namun barangnya diserahkan kemudian, yaitu di waktu yang akan datang. Praktek jual beli seperti ini umum dilakukan oleh penduduk Madinah pada zaman Nabi Saw. Dan Nabi Saw pun memperbolehkan praktek jual beli seperti ini, namun dengan syarat-syarat tertentu.
2. Jual beli salam terkadang disebut juga dengan jual beli salaf. Salaf dan salam bermakna sama, yaitu sebagaimana disebutkan di atas. Dan berdasarkan hadits di atas, ulama sepakat bolehnya (mubah) praktek jual beli salam, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
#1). Pembayaran dilakukan di awal secara cash (kontan) dan keseluruhan pada saat terjadinya akad, tanpa ada pembayaran yang tertunda atau terhutang.
#2). Waktu penyerahan barang harus ditentukan dengan jelas di awal, saat terjadinya akad dan disepakati bersama.
#3). Kriteria barang yang dipesan juga harus ditentukan dengan jelas di awal akad, baik jenisnya, bentuknya, kualitasnya, warnanya, takarannya, timbangannya, dsb.
3. Apabila memenuhi kriteria tersebut, maka jual beli salam, atau (indent), boleh dan sah untuk dilakukan.
4. Umumnya jual beli salam digunakan untuk pemesanan barang2 hasil pertanian yang memiliki kriteria dan kualitas yang relatif tetap dan atau dapat diperkirakan, seperti beras, gandum, kurma, dsb. Adapun utk jenis yg tidak bisa ditetapkan kriteria, jenis dan kualitasnya maka tidak dapat dilakukan, karena berpotensi gharar yang dapat merusak atau membatalkan akad jual beli (tidak sah).

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M Ag

Rehad (Renungan Hadits) 139
Ketika Berhutang Harus Disertai Dengan Barang Jaminan (Gadai)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ فَأَعْطَاهُ دِرْعًا لَهُ رَهْنًا (رواه مسلم)
Dari 'Aisyah ra berkata, "Bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara pembayaran yang ditangguhkan. Dan beliau menggadaikan baju besinya sebagai jaminan." (HR. Muslim, hadits no. 3007)

Hikmah Hadits :
1. Bolehnya melakukan transaksi hutang piutang atau jual beli dgn tidak tunai, disertai dengan menggadaikan barang tertentu sebagai jaminannya (rahn). Nabi Saw pun pernah melakukan transaksi tersebut dengan seorang Yahudi, dimana Nabi Saw menggadaikan (menjaminkan) baju besi beliau sebagai jaminannya.
2. Bahwa dalam transaksi gadai (rahn), secara subtsansi sebenarnya terjadi multi akad (uqud murakkabah) yaitu antara akad qardh (hutang) dengan rahn (jaminan/gadai). Ditambah lagi, dalam kasus hadits di atas bahwa qardh (hutang) dan rahn (gadai/jaminan) adalah terjadi akibat adanya akad bai' (jual beli). Sehingga pada dasarnya multi akad termasuk dalam transaksi yg boleh untuk dilakukan.
3. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa rahn (gadai) sangat berpotensi menjadi riba, apabila tidak berhati2 dalam menjalankannya. Gadai bisa menjadi riba apabila terjadi hal2 berikut ;
1). Hutang dengan jaminan (gadai), yang hutangnya disertai dengan bunga. Misalnya berhutang Rp 1 juta dengan jaminan emas, namun pengembaliannya disyaratkan ada bunganya 10%, sehingga menjadi Rp 1.100.000,-. Tambahan Rp 100 ribu dalam hutang tersebut adalah riba, termasuk riba qardh atau riba nasi'ah.
2). Barang yang dijaminkan atas dasar hutang yang diberikan, dipergunakan atau dimanfaatkan atau diambil manfaatnya oleh si pemberi hutang, utk kepentingannya sendiri. Sebagai contoh seaeorang berhutang Rp 5 juta dengan jaminan sepeda motor. Lalu sepeda motor tsb dimanfaatkan oleh pemberi hutang, dgn digunakan setiap hari utk pulang pergi kerja, jalan2 dsb. Maka meskipun pinjamanannya tanpa bunga, namuntetap terdapat unsur ribanya. Karena pemanfaatan barang yg digadaikan adalah termasuk riba. Dalam hal ini juga masuk dalam riba nasi'ah.
3. Barang jaminan langsung menjadi milik si pemberi pinjaman ketika peminjam tdk mampu membayar hutangnya dengan tanpa memperhitungkan harga barang jaminan dengan jumlah hutangnya. Seperti kasus di atas dimana sepeda motor dijadikan jaminan atas hutang Rp 5 juta, yang ketika ia tdk mampu bayar, lalu sepeda motor tsb menjadi milik si pemberi pinjaman. Padahal sepeda motor tsb nilainya adalah Rp 8 juta. Ada selisih nilai antara hutang dengan barang jaminannya. Maka seharusnya selisih tersebut dikembalikan kepada orang yg berhutang agar tidak ada unsur saling mendzalimi satu dengan yg lainnya dan terhindar dari riba.

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M.Ag

Rehad (Renungan Hadits) 138
Ketika Hutang Dibayar Dengan Yang Lebih Baik

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَق،ٌّ فَأَغْلَظَ لَه،ُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا، فَقَالَ لَهُمْ اشْتَرُوا لَهُ سِنًّا فَأَعْطُوهُ إِيَّاه،ُ فَقَالُوا إِنَّا لَا نَجِدُ إِلَّا سِنًّا هُوَ خَيْرٌ مِنْ سِنِّهِ، قَالَ فَاشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاه،ُ فَإِنَّ مِنْ خَيْرِكُمْ أَوْ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra berkata, "Seorang laki-laki pernah menagih hutang kepada Rasulullah Saw dengan cara kasar, sehingga menjadikan para sahabat tidak senang. Maka Nabi Saw bersabda: "Sesungguhnya orang yang berpiutang berhak untuk menagih hutang." Kemudian beliau bersabda, 'Belikanlah dia seekor unta muda, kemudian berikan (bayarkanlah) kepadanya." Sahabat berkata "Sesungguhnya kami tidak mendapatkan unta yang muda, yang ada adalah unta dewasa dan lebih bagus daripada unta yg seharusnya." Maka Rasulullah Saw bersabda: "Belilah, lalu berikanlah kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam melunasi hutangnya." (HR. Muslim, hadits no. 3003)

Hikmah Hadits :
1. Bahwa Nabi Saw adalah juga merupakan seorang manusia biasa yang melakukan muamalah sebagaimana umumnya manusia lainnya bermuamalah. Beliau juga melakukan transaksi jual beli untuk membeli barang kebutuhannya dan juga bahkan beliau juga melakukan transaksi hutang piutang.
2. Bahwa pada dasarnya hutang piutang itu hukumnya adalah mubah (boleh) untuk dilakukan. Namun apabila telah berhutang, maka hukum menunaikan atau membayarnya adalah wajib, bahkan menunda pembayaran hutang padahal ia sanggup untuk membayarnya adalah sebuah kedzaliman sebagaimana disabdakan Nabi Saw dalam hadits lainnya.
3. Bahwa transaksi hutang piutang bisa dilakukan dengan meminjam uang yaitu meminjam uang dengan jumlah tertentu, atau bisa juga dilakukan dalam bentuk meminjam barang seperti barang kebutuhan rumah tangga, barang yg memiliki nilai yang tinggi, hewan ternak dan sebagainya.
4. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa hutang harus dibayar atau ditunaikan sama persis dengan jumlah uang yg dipinjamnya, atau sama dengan barang yang dipinjamnya. Apabila meminta untuk dilebihkan, baik meminta secara lisan dengan jelas, ataupun meminta denga  isyarat, maka semua kelebihan tersebut adalah termasuk riba. Karena segaka tambahan dalam hutang piutang adalah termasuk riba.
5. Adapun melebihkan pembayaran hutang tanpa adanya persyaratan atau permintaan dari si pemberi hutang, namun murni atas dasar inisiatif dari orang yang berhutang adalah boleh bahkan termasuk kebaikan, sebagaimana disabdakan Nabi Saw dalam hadits di atas, ketika Nabi Saw berhutang unta namun ketika akan mengembalikannya beliau tdk mendapatkan unta yang sama namun adanya unta yang lebih baik. Dan beliau pun menunaikannya dan bersabda bahwa orang yang terbaik adalah orang yang terbaik dalam menunaikan hutangnya. Namun yg perlu di catat dalam hal ini adalah dengan syarat bahwa tambahan tersebut bukan disyaratkan atau diisyaratkan oleh si pemberi hutang namun murni inisiatif dari orang yang berhutang saja.

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M.Ag

Rehad (Renungan Hadits) 137
Dan Para Pelaku Transaksi Riba, Semuanya Dilaknat Oleh Allah Swt

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (رواه مسلم)
Dari Jabir ra dia berkata, 'bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, orang yang memberi riba, orang yang mencatat transaksi riba, dan orang yang menjadi saksi transaksi riba." Kemudian beliau berkata, "Mereka semua (dosanya) adalah sama." (HR. Muslim, hadits no. 2995)

Hikmah Hadits :
1. Bahwa Riba merupakan sesuatu yang sangat terlarang dalam Islam dan pelakunya akan mendapatkan dosa besar yang juga akan mendapatkan laknat (kemurkaan besar) dari Allah Swt di Yaumil Akhir kelak. Dan Ulama sepakat bahwa riba merupakan salah satu dosa2 besar yang harus dijauhi dan ditinggalkan oleh setiap muslim.
2. Secara bahasa riba adalah tambahan, yaitu segala bentuk tambahan dalam segala transaksi secara bathil. Sedangkan secara istilah riba adalah, segala bentuk transaksi yang di dalamnya disyaratkan atau diisyaratkan adanya tambahan tertentu yang tidak sesuai dengan hukum syar'i. Dan secara umum, riba terbagi menjadi dua bagian ;
#1. Riba Nasi'ah, yaitu tambahan yang terjadi akibat adanya hutang piutang, yang disebabkan karena penangguhan pembayaran. Atau dgn bahasa lain, setiap pinjaman yang di dalamnya disyaratkan adanya tambahan tertentu. Berasal dari kata nasa' yang artinya menunda, yaitu menunda pembayaran dengan konsekwensi adanya tambahan. Seperti pinjaman uang dengan bunga.
#2. Riba Fadhl, yaitu segala bentuk tambahan yang terjadi karena akibat adanya transaksi tukar menukar barang sejenis. Seperti menukar uang baru sejumlah Rp 1.000.000,- (@Rp10.000 sebanyak 100 lembar) dengan uang biasa Rp 1.100.000,-.
3. Bahwa semua pihak yang terkait dengan terjadinya transaksi riba adalah dimurkai dan dilaknat oleh Allah Swt, baik yang meminjam, yang memberikan pinjaman, yang mencatatkan transaksi pinjam meminjamnya dan juga bahkan yang menjadi saksi transaksi tersebut, sebagaimana digambarkan oleh Nabi Saw dalam hadits di atas. Semoga kita semua dihindarkan Allah Swt dari segala bentuk transaksi yang mengandung riba serta diberikan keberkahan dalan setiap rizki yang kita dapatkan. Amiin Ya Rabbal Alamiin..

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M.Ag

Rehad (Renungan Hadits) 136
Dilaknat Allah Lantaran Berupaya Mengambil Hasil Penjualan Barang Yang Haram

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ حُرِّمَ عَلَيْهِمْ الشَّحْمُ فَبَاعُوهُ وَأَكَلُوا ثَمَنَهُ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra berkata, 'bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Allah memerangi (mengutuk) orang-orang Yahudi, sebab ketika diharamkan kepada mereka lemak bangkai, namun mereka  menjual dan memakan hasil penjualannya." (HR. Muslim, hadits no. 2963)

Hikmah Hadits ;
1. Bahwa segala yang halal sesungguhnya telah jelas dan segala yang haram pun juga sesunguhnya sudah jelas, semua termaktub dalam Al-Qur'an dan Sunnah serta ijma Ulama. Dan kita diperintahkan untuk mengambil segala sesuatu yang halal karena di dalamnya terdapat unsur kebaikan dan keberkahan, dan di sisi lain kita juga diperintahkan untuk meninggalkan yang haram, akan akan mendatangkan keburukan dan menghilangkan keberkahan.
2. Oleh karenanya Nabi Saw memperingatkan secara tersirat dalam hadits di atas agar kita jangan sekali-sekali berusaha menghalalkan sesuatu yang sudah jelas terlarang dan haram. Beliau mencontohkan bahwa dahulu Allah Swt ketika mengharamkan lemak bangkai kepada orang2 Yahudi, namun yang terjadi adalah bahwa betul mereka menjualnya dan memakan hasil keuntungan dari jual beli lemak bangkai tersebut. Karena sesungguhnya segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah Swt (untuk dimakan, diminum dan dimanfaatkan) maka haram pula hasil jual beli dan keuntungan yang didapatkannya.
3. Bahwa orang yang berupaya mencari2 jalan terhadap sesuatu yang sudah jelas diharamkan Allah Swt, maka ia akan mendapatkan murka dari Allah Swt, sebagaimana murka-Nya terhadap orang2 Yahudi, lantaran mereka berupaya mencari2 jalan terhadap sesuatu yang haram, na'udzubillahi min dzalik. Maka mari kita berupaya untuk mencari rizki dengan jalan yang halal, thayib dan berkah, karena segala yang halal, baik dan berkah insya Allah akan mendatangkan kebaikan dan kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat. Ya Allah berikanlah kami semua rizki dan karunia-Mu yang baik, halal, berkah dan banyak... Amiiin Ya Rabbal Alamiin.

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M.Ag

Rehad (Renungan Hadits) 135
Keutamaan dan Kemuliaan Besar Yang Terdapat di Hari Arafah

عَنْْ عَائِشَة إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنْ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمْ الْمَلَائِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ (رواه مسلم)
Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, 'Tidak ada satu hari pun yang di hari itu Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari api neraka daripada hari 'Arafah. Karena pada hari tersebut Allah turun kemudian membangga-banggakan mereka di depan para malaikat seraya berfirman: 'Apa yang mereka inginkan? (Pasti akan Aku kabulkan)." (HR. Muslim, hadits no. 2402).

Hikmah Hadits :
1. Bahwa hari Arafah memiliki keutamaan yang sangat besar, diantaranya adalah ;
#1. Puncak pelaksanaan ibadah haji adalah pada hari Arafah, yaitu saat seluruh jamaah haji  melaksanakan wuquf di Padang Arafah. Pada saat tersebut diibaratkan pintu langit terbuka demikian lebarnya, hingga tak satupun permohonan seorang hamba melainkan akan dikabulkan oleh Allah Swt.
#2. Bahwa pada hari Arafah, Allah Swt akan membebaskan hamba-hamba-Nya dari dahsyatnya adzab neraka. Hal ini sebagaimana hasits di atas, Tidak ada satu hari pun yang di hari itu Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari api neraka daripada hari 'Arafah." (HR. Muslim)
#3. Hari Arafah merupakan hari diturunkannya firman Allah Swt, "...pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.." (QS. Al-Maidah : 4).
#4. Hari Arafah merupakan hari yang diperjanjikan, sebagaimana sabda Nabi Saw, dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hari yang dijanjikan" adalah Hari Kiamat, dan hari yang dipersaksikan adalah Hari Arafah.." (HR. Tirmidzi)
#5. Hari Arafah adalah hari besar umat Islam, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, "Dari Uqbah bin Amir ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya hari Arafah, hari nahr dan hari-hari tasyrik merupakan hari raya kami kaum muslimin." (HR. Tirmidzi)
#6. Hari Arafah adalah hari dimana doa menjadi doa yang terbaik. "Dari Thalhah binu Ubaidillah bin Kariz ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik doa adalah doa (yang diucapkan) pada hari Arafah." (HR. Imam Malik)
#7. Hari Arafah adalah hari keputus asaan bagi Iblis dan Syaitan. Dari Thalhah bin Ubaidillah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah syaitan diperlihatkan (oleh Allah SWT) pada suatu hari dimana dirinya lebih kecil, lebih putus asa dan lebih hina serta lebih kecewa dibandingkan dengan hari Arafah. Hal itu adalah karena ia melihat turunnya rahmat Allah, serta Allah berikan ampunan terhadap dosa-dosa besar.." (HR. Imam Malik)
#8. Di hari ini Allah Swt akan memberikan ampunan dosa, setahun yang lalu dan setahun yang akan datang bagi yang melaksanakan shaum Arafa. Dari Abu Qatadah ra, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab, 'Akan menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu dan yang akan datang.' (HR. Muslim)
2. Maka di hari yang penuh kemuliaan ini hendaknya digunakan untuk memperbanyak amal shaleh seperti puasa sunnah, dzikir, doa, membaca Al-Qur'an, infak shadaqah, shalat dhuha, dsb. Mudah2an kita semua diberikan kemuliaan hari Arafah ini, Amiiiin Ya Rabbal Alamiiin.

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M.Ag

Rehad 134. Hukum Memperjualbelikan Air

(Rehad) Renungan Hadits 134
Hukum Memperjualbelikan Air

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ فَضْلِ الْمَاءِ (رواه مسلم)
Dari Jabir bin Abdullah ra berkata, "bahwa Rasulullah Saw melarang menjual kelebihan air." (HR. Muslim, hadits no. 2925)

Hikmah Hadits ;
1. Bahwa air merupakan anugrah dan nikmat dari Allah Swt kepada seluruh umat manusia, yang oleh karenanya setiap orang berhak untuk mendapatkannya dimanapun mereka berada. Maka oleh karena itulah, syariah menjaga kemaslahatan hajat hidup manusia dengan menegaskan larangan memperjualbelikan air sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
2. Namun bagaimanakah bentuk jual beli air yang dilarang? Apakah semua bentuk jual beli air dilarang? Terlebih dewasa ini jual beli air sudah menjadi hajat dan kebutuhan bagi orang banyak serta sudah marak dilakukan di berbagai tempat. Terkait dengan hal ini, ulama memberikan penjelasan diantaranya adalah penjelasan Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar, "bahwa Ulama sepakat haramnya memperjual belikan air yang (masih) terdapat di sumbernya, seperti air yang masih berada di dalam sungai, telaga, danau bahkan yang terdapat di dalam sumur, kendatipun (sumur tersebut) berada di bawah penguasaan pemiliknya. Karena pada dasarnya air tersebut boleh dimanfaatkan oleh orang banyak tanpa kompensasi seperti dalam jual beli (iwadh). Dan jika pemiliknya menjual air tersebut kepada orang yang mengambilnya, maka hukumnya haram dan pelakunya berdosa." (Lihat Nailul Authar, Imam As-Syaukani).
3. Adapun air yang sudah ada “usaha” dari pemiliknya, seperti air yang sudah dikemas dalam botol, atau sudah diisikan ke dalam galon, atau diangkut dengan menggunakan gerobak lalu diantar ke rumah-rumah, maka hukumnya adalah boleh untuk diperjualbelikan.
Karena sudah ada “usaha” dari pemiliknya dalam memprosesnya dan atau mengantarkannya ke rumah-rumah orang yang membutuhkannya. Adapaun jika ia menjual air yang masih berada di dalam sumur, di sungai atau di danau, maka hukumnya adalah haram. Dan sebagai catatan bahwa menjual air ada syaratnya, yaitu bahwa pemilik sumber mata air tersebut tidak boleh melarang orang-orang mengambil dari sumber mata air tersebut apabila akan digunakan untuk keperluan sehari-hari.
4. Berdasarkan hadits di atas dan dalam skala yg lebih luas, tidak seharusnya perusahaan air bersih yg mendistribusikan air kepada masyarakat dikomersialkan atau bahkan dimonopolikan kepada pihak tertentu, yang berakibat menjadi "mahalnya" harga air bersih yang dapat memberatkan masyarakat. Seharusnya ia dikelola oleh pemerintah atau lembaga non laba lainnya dengan tujuan terpenuhinya hajat dan kebutuhan masyarakat secara baik, adil dan merata. Sungguh dalam sunnah terdapat nilai2 mulia untuk pengelolaan pemerintahan, khususnya terkait pengelolaan kebutuhan dan hajat masyarakat.

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M.Ag

Rehad 133. Ketika Pembayaran Hutang Sengaja Ditunda

Rehad (Renungan Hadits) 133
Ketika Pembayaran Hutang Sengaja Ditunda

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَع (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Menunda-nunda pembayaran hutang bagi yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan apabila piutang salah seorang dari kalian dialihkan kepada orang yang kaya, maka terimalah." (HR. Muslim, hadits no. 2924)

Hikmah Hadits ;
1. Bahwa hutang memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrawi secara sekaligus; harus diselesaikan ketika masih hidup di dunia, atau kelak dapat berpotensi menanggung resiko berupa tidak akan mendapat ampunan dosa di akhirat jika sampai akhir hayatnya dia tidak menunaikam hutang-hutangnya. Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa orang yang mati syahid sekalipun, ia akan diampuni segala dosanya kecuali hutang. (HR. Muslim).
2. Bahkan dalam hadits lain riwayat Imam Bukhari, disebutkan bahwa Nabi Saw tidak mau menshalatkan jenazah seorang sahabat yg meninggal dunia dan belum melunasi hutangnya; dari Salamah bin Al Akwa' ra berkata, "Kami pernah duduk bersama dengan Nabi Saw ketika dihadirkan satu jenazah, kemudian orang-orang berkata, "Mari menshalatkan jenazah ini". Maka Beliau bertanya, 'Apakah dia punya hutang?' Mereka berkata, 'Tidak'. Kemudian Beliau bertanya kembali, 'Apakah dia meninggalkan sesuatu?" Mereka menjawab: "Tidak". Akhirnya Beliau menshalatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah yang lainnya kepada Beliau, lalu orang-orang berkata: "Wahai Rasulullah, engkau berkenan menshalatkan jenazah ini?". Maka Beliau bertanya: "Apakah orang ini punya hutang?" Dijawab: "Ya". Kemudian Beliau bertanya kembali: "Apakah dia meninggalkan sesuatu?" Mereka menjawab: "Ada, sebanyak tiga dinar". Maka Beliau bersabda: "Shalatilah saudaramu ini (sementara beliau sendiri tidak)". Maka Abu Qatadah berkata, "Wahai Rasulullah, aku yang menanggung hutang2nya". Maka Beliaupun kemudian menshalatkan jenazah itu. (HR. Bukhari no 2127).
3. Bahwa orang yang mampu membayar hutang, namun menunda-nunda pembayarannya adalah termasuk dalam perbuatan dzalim. Sehari ia menunda pembayaran hutang, maka berarti sehari ia berbuat dzalim. Jika menunda seminggu maka berarti ia dzalim dalam seminggu dan jika ia menunda setahun maka ia dzalim dalam setahun tersebut. Na'udzubillahi min dzalik. Semoga kita semua dihindarkan dari terlilit hutang dan semoga kita semua diberikan kemudahan rizki yang halal dan berkah. Amiiin ya Rabbal Alamiin.

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M.Ag

Rehad (Renungan Hadits) 132
Mendapatkan Kemudahan Karena Memberikan Kelonggaran Pembayaran Hutang

 عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَلَقَّتْ الْمَلَائِكَةُ رُوحَ رَجُلٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُم،ْ فَقَالُوا أَعَمِلْتَ مِنْ الْخَيْرِ شَيْئًا؟ قَالَ لَا، قَالُوا تَذَكَّر،ْ قَالَ كُنْتُ أُدَايِنُ النَّاس،َ فَآمُرُ فِتْيَانِي أَنْ يُنْظِرُوا الْمُعْسِرَ وَيَتَجَوَّزُوا عَنْ الْمُوسِرِ، قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ تَجَوَّزُوا عَنْهُ (رواه مسلم)
Dari Hudzaifah telah menceritakan kepada mereka, dia berkata, "Rasulullah Saw bersabda, "Ada Malaikat yang bertemu dengan ruh seseorang sebelum kalian, lalu mereka bertanya, 'Apakah kamu pernah berbuat baik? ' Dia menjawab, 'Tidak.' Mereka berkata, 'Cobalah kamu ingat-ingat! ' dia menjawab, 'Memang dulunya saya pernah memberikan piutang kepada orang-orang, lantas saya perintahkan kepada pelayan-pelayan saya agar memberikan tangguh kepada orang yang kesusahan, serta memberikan kelonggaran kepada berkecukupan'. Beliau melanjutkan: "Maka Allah Azza wa jalla berfirman: 'Berilah kelapangan kepadanya. (HR. Muslim, hadits no. 2917)

Hikmah Hadits ;
1. Keutamaan orang yang bermurah hati dalam bermuamalah, khususnya bermurah hati dengan memberikan tangguhan waktu pembayaran hutang terhadap orang2 yang berhutang yang sedang dalam kesulitan. Sikap muamalah seperti itu ternyata memiliki nilai mulia di sisi Allah Swt dan kelak akan mendapatkan balasan mulia dari Allah Swt, yaitu mendapatkan kelapangan di Yaumil Akhir kelak.
2. Dalam hadits tentang muamalah lainnya, Nabi Saw bersabda bahwa Allah Swt juga akan memberikan rahmat kepada seseorang yang memudahkan orang lain ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih hutang. (HR. Muslim). Hal ini menunjukkan bahwa aspek muamalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama Islam yang memiliki nilai ibadah yg mulia di sisi Allah Swt. Maka oleh karenanya, hendaknya kita senantiasa berusaha berhati2 dalam muamalah dengan berlaku jujur, tidak mengambil hak orang lain, selalu menunaikan hutang, memberikan kelonggaran pembayaran bagi yang sedang kesulitan, menyempurnakan takaran dan timbangan serta memberikan kemudahan dalam transaksi muamalah, dsb.
3. Namun yang juga perlu di garis bawahi juga  adalah bahwa hutang wajib dibayarkan dan ditunaikan, yang apabila terlalaikan dapat berakibat menjadi penghalang bagi dirinya kelak di yaumil akhir. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Akan diampuni segala dosa-dosa orang yang mati syahid, kecuali hutang2nya." (HR. Muslim, hadits no. 3498). Sungguh demikian mulia ajaran agama Islam khususnya terkait dgn aspek muamalah, karena di satu sisi memberikan penghargaan yg mulia terhadap orang yang memberikan kelonggaran terhadap orang yg berhutang namun di sisi lainnya menganjurkan agar selalu menunaikan hutang. Dan ketika keduanya berjalan dengan baik, maka tentu akan mewujudkam iklim bisnis yang harmoni dan suasana muamalah yang Islami.

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M.Ag

Rehad (Renungan Hadits) 131
Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ (رواه الجماعة إلا مسلم والنسائي)
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada hari-hari di mana amal saleh itu lebih disukai oleh Allah SWT daripada hari-hari ini (yakni hari pertama hingga kesepuluh Dzulhijjah)”. Para sahabat bertanya, 'Ya Rasulullah, meskipun dibandingkan dengan berjihad fi sabilillah?' Beliau menjawab, “Ya, meskipun dibadingkan dengan berjihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang pergi (berjihad) membawa nyawa dan hartanya, kemudian tidak satupun diantara keduanya itu yang kembali (mati syahid)” (HR. Jamaah, kecuali Imam Muslim dan Nasa'i)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bahwa bulan dzulhijjah merupakan salah satu bulan-bulan haram (bulan yang dimuliakan Allah SWT), yang memiliki banyak keutamaan, dimana kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan amal shaleh. Diantara keutamaan bulan Dzulhijjah ini adalah sebagai berikut :
a. QS. Al-Fajr : 1-2 :
َوالْفَجْرِ* وَلَيَالٍ عَشْرٍ*
Demi fajar dan demi malam yang sepuluh.
Ibnu Katsir berkata, yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah.
b. QS. Al-Hajj : 28
وَيَذْكُرُوْا اسْمَ اللهِ فِيْ أَيَّامٍ مَعْلُوْمَاتٍ...*
Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan...
Ibnu Abbas ra berkata, yang dimaksud adalah hari-hari sepuluh bulan dzulhijjah.

c. HR. Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ماَ مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَلاَ أَحَبُّ إِلَى اللهِ الْعَمَلُ فِيْهِنَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوْا فِيْهِنَّ مِنَ التَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ (رواه الطبراني)
Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada hari-hari yang dianggap lebih agung oleh Allah SWT dan lebih disukai untuk digunakan sebagai tempat beramal, sebagaimana sepuluh hari pertama di bulan dzulhijjah ini. Karenanya, perbanyaklah pada hari-hari itu bacaan tahlil, takbir dan tahmid”. (HR. Thabrani)

d. Pandangan Ulama
Ibnu Hajar mengemukakan (dalam Fath al-Bari), 'Tampaknya sebab mengapa sepuluh hari dzulhijjah diistimewakan adalah karena pada hari tersebut merupakan waktu berkumpulnya ibadah-ibadah utama, seperti shalat, shaum, shadaqah dan haji dan tidak ada selainnya waktu seperti itu.” Sebagian Ulama lainnya juga mengemukakan bahwa “Sepuluh hari dzulhijjah adalah hari-hari yang paling utama, sedangkan malam-malam terakhir bulan ramadhan adalah malam-malam yang paling utama.”


2. Oleh karenanya, pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah kita dianjurkan untuk melakukan amal ibadah serta amal shaleh lainnya. Diantara amalan yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
a. Melaksanakan ibadah haji dan umrah, karena memang secara khusus bulan dzulhijjah merupakan bulan untuk pelaksanaan ibadah haji. Dan pahala melaksanakan ibadah haji dan umrah juga sangat besar, yaitu akan dihapuskan segala dosa serta mendapatkan surga :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Umrah yang satu ke umrah yang lainnya adalah penghapus dosa-dosa antara keduanya. Dan haji yang mabrur tiada pahala yang pantas baginya melainkan surga.” (HR. Bukhari)
b. Melaksanakan shalat fardhu berjamaah di masjid serta memperbanyak shalat2 sunnah lainnya.
c. Memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid. Bahkan dalam hadits secara khusus hal ini disebutkan oleh Rasulullah SAW (lihat hadits No 1, poin c). Artinya bahwa pada bulan ini kita sangat dianjurkan untuk memperbanyak dzikir, khususnya di luar dzikir ba'da shalat. Membaca dzikir pagi dan petang (seperti al-ma'tsurat), juga dapat menjadi salah satu pilihan dzikir yang baik untuk diamalkan di bulan ini. Atau dapat juga dengan dzikir-dzikir lainnya, yang memiliki keutamaan yang besar, seperti mengucapkan subanallah wabihamdihi subanallahil adzim, dsb.
d. Puasa sunnah, khususnya pada tanggal 9 dzulhijjah (hari Arafah). Dalam sebuah riwayat disebutkan :
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ (رواه مسلم)
Dari Abu Qatadah ra, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab, 'Akan menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu dan yang akan datang.' (HR. Muslim)
e. Mengenai puasa di awal bulan dzulhijjah ini, sebagian ulama menganjurkan untuk melakukan puasa sejak tanggal 1 hingga 9 dzulhijjah. Diantara yang menganjurkannya adalah Imam Nawawi. Walaupun memang tidak ada riwayat khusus yang secara khusus menganjurkan seperti itu. Sekiranya pun ada, riwayat tersebut tidak secara tersurat menganjurkan untuk berpuasa sembilan hari di bulan dzulhijjah. Riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيهَا مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ يَعْدِلُ صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ وَقِيَامُ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (رواه الترمذي)
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada hari-hari yang lebih disukai Allah SWT untuk digunakan beribadah sebagaimana halnya hari-hari sepuluh dzulhijjah. Berpuasa pada siang harinya sama dengan berpuasa selama satu tahun dan shalat pada malam harinya sama nilainya dengan mgernajakan shalat pada malam lailatul qadar.” (HR. Turmudzi)
Kendatipun demikian, sekiranya terdapat sebagian kaum muslimin yang mengamalkan puasa tanggal 1 – 9 dzulhijjah maka harus kita hargai, demikian pula apabila terdapat sebagian lainnya yang hanya berpuasa pada tanggal 9 dzulhijjah saja, juga perlu kita hargai. Dan hendaknya kita tidak saling menyalahkan, selama amalan yang kita lakukan masih memiliki dasar dan dalil yang mendukungnya.
f. Berkurban pada hari Idul Adha atau pada hari-hari tasyrik. Karena berkurban merupakan amalan yang paling penting dan paling utama pada hari raya Idul Adha. Demikian pentingnya, hingga penamaan hari rayanya pun, dinamakan dengan berkurban (Adha), yaitu hari raya qurban. Dan berkurban memiliki satu keistimewaan serta hikmah tersendiri yang sangat mendalam. Namun cukuplah bagi kita tentang keutamaan berkurban, dengan sebuah riwayat sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ (رواه الترمذي وابن ماجه)
Dari Aiyah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, 'Tidaklah seorang anak cucu Adam melakukan satu amalan pada hari nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai Allah SWT dibandingkan dengan menyembelih hewan qurban. Dan sesungguhnya hewan qurban itu akan datang pada hari qiyamat dengan tanduknya, bulunya dan kukunya. Dan darah hewan qurban itu akan sampai di sisi Allah sebelum sampai ke bumi.” (HR. Tirmdzi & Ibnu Majah)
g. Dianjurkan pula bagi yang ingin berkurban dan telah masuk di bulan dzulhijjah, untuk tidak mencabut rabut atau kuku dari dirinya, hingga dia menyembelih binatang kurbannya. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Jika telah masuk hari sepuluh bulan dzulhijjah, dan salah seorang diantara kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia tidak mencabut rambutnya dan memotong kukunya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Jumhur ulama (ulama dari kalangan Syafii, Maliki, Hanafi dan sebagian ulama Hambali) berpendapat bahwa hukum larangannya adalah makruh. Namun sebagian ulama Hambali lainnya berpendapat bahwa hukum memotongnya adalah haram.
h. Bertakbir pada hari raya Idul Adha dan pada hari-hari tasyrik. Bahkan takbir sudah dianjurkan sejak subuh pada hari Arafah pada tanggal 9 dzulhijjah, hingga petang di akhir hari tasyrik (13 Dzulhijjah). Bahkan para ulama mengatakan, disunnahkan mengeraskan suaranya bagi orang laki-laki di masjid-masjid, pasar dan rumah-rumah setelah melaksanakan shalat, sebagai pernyataan atas pengagungan kepada Allah serta perwujudan dari rasa syukur kita kepada-Nya.
i. Melaksanakan shalat Idul Adha, pada hari raya Idul Adha dan mendengarkan khutbahnya. Demikian pentingnya shalat ini, Allah SWT memerintahkan dalam Al-Qur'an :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Rab-mu dan berkurbanlah (QS. Al-Kautsar : 2)
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa hukum shalat Idul Adha adalah sunnah mu'akkadah, dan dianjurkan untuk dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin, laki-laki, perempuan, tua, muda bahkan hambasahaya pun dianjurkan untuk melaksanakannya. Sedikit catatan bahwa dalam pelaksanaan shalat Idul Adha, disunnahkan pula untuk : mandi, memakai wewangian, mengenakan pakaian terbaik, menempuh jalan yang berbeda antara berangkat dan pulang, mendengarkan khutbah, dan juga memperbanyak takbir, dsb.

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M.Ag.

Rehad 130. Ketika Suatu Usaha Mengalami Kerugian

Rehad (Renungan Hadits) 130
Ketika Suatu Usaha Mengalami Kerugian

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَفْلَسَ الرَّجُلُ فَوَجَدَ الرَّجُلُ عِنْدَهُ سِلْعَتَهُ بِعَيْنِهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, Jika seorang (pedagang) bangkrut, kemudian orang lain (pemilik modal) mendapati barangnya masih ada pada dia, maka dirinya (pemilik modal) lebih berhak atas barang tersebut." (HR. Muslim, hadits no. 2916)

Hikmah Hadits :
1. Bahwa sisi muamalah merupakan bagian terbesar dalam kehidupan manusia. Oleh karena itulah, Islam memberikan perhatian yang besar pada sisi muamalah, dengan memberikan batasan dan aturan sehingga terwujud keharmonian dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan tidak saling mengambil hak orang lain secara bathil. Dan salah satu aturan dalam muamalah adalah terkait dengan status kepemilikan modal ketika terjadi kerugian dalam sebuah usaha.
2. Yaitu bahwa shahibul maal (pemilik modal) adalah pihak  yang harus didahulukan untuk diselesaikan (dibayarkan hak2nya), apabila suatu usaha mengalami kerugian. Maka pihak yang mengelola usaha (mudharib) tidak boleh mendahulukan kepentingan dirinya (mengambil hak2nya), sebelum menunaikan kewajibannya terhadap pemilik modal. Dengam syarat bahwa modal tersebut masih ada atau masih tersisa. Dan apabila kewajiban terhadap pemilik modal telah tertunaikan, barulah ia dapat mengambil hak2nya.
3. Ketentuan seperti ini berlaku untuk semua jenis usaha, termasuk di dalamnya perdagangan, properti, jasa, dsb. Karena pada dasarnya konsep dalam usaha seperti mudharabah adalah usaha kerjasama dimana pemilik modal (shahibul maal) berkontribusi dengan menginvestasikan dananya dalam suatu usaha, sementara pengusaha (mudharib) berkontribusi dengan mengerahkan keahliannya (waktu, usaha, tenaga & fikirannya) dalam usaha tersebut. Keuntungan yang didapatkan, dibagi berdasarkan nisbah (prosentase dari hasil, bukan dari modal) yang disepakati (misal 50% : 50%), sementara apabila terjadi kerugian, maka akan ditanggung berdasarkan porsinya masing2.

Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc, M.Ag

;;