عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ شَجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ رِيَاءً فَأَيُّ ذَلِكَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةَ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ - رواه البخاري
Dari Abu Musa ra bahwasanya seorang pemuda datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, seseorang berperang karena kekesatriaannya, seseorang berperang berperang karena keberaniannya, dan seseorang berperang karena ingin mendapatkan pujian (riya’)? Rasulullah SAW menjawab, “Barang siapa yang berperang karena ingin menegakkan kalimatullah, maka dia fi sabilillah”. (HR. Bukhari)
Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :
Keikhlasan bukanlah sesuatu yang sekedar diucapkan atau diniatkan, namun lebih dari itu ia merupakan “energi” untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Apabila niatannya baik, maka ini merupakan pintu gerbang untuk mendapatkan kebaikan dalam amal dan aktivitasnya. Sehingga seseorang perlu untuk menempatkan keikhlasan dalam setiap aktivitasnya termasuk ketika melakukan pekerjaan sehari-hari. Dengan niatan yang baik mengharap ridha Allah SWT, segala pekerjaan akan bernilai ibadah dan menjadi timbangan amal shaleh di akhirat kelak. Sementara apabila niatannya buruk (baca ; tidak ikhlas), maka pada hakekatnya amal dan aktiviasnya tersebut akan sia-sia, karena tidak memiliki nilai apapun di sisi Allah SWT kendatipun ia mendapatkan benefit duniawi, sama seperti benefit duniawi yang juga didapatkan oleh mereka yang ikhlas. Namun ia tidak mendapatkan keridhaan dan pahala dari Allah, sebagaimana yang didapatkan oleh mereka-mereka yang berharap ridha dari Allah SWT.
- Keikhlasan akan diuji dengan aktivitas atau amalan tertentu. Sebagai contoh digambarkan dalam hadits di atas bahwa seorang pemuda bertanya kepada Rasulullah SAW tentang seseorang yang berperang karena kekesatriaannya (membela bangsanya, sukunya, organisasinya ataupun institusinya), juga seseorang yang berperang karena keberaniaannya (kepatriotismeannya), atau juga seseorang yang berperang karena ia ingin mendapatkan pujian? Hal ini menunjukkan bahwa dalam berjihad (baca ; berperang), yang notabene merupakan bentuk jihad yang paling baik, sangat mungkin seseorang berjihad hanya untuk mendapatkan pujian, atau supaya posisinya dilihat oleh orang lain lalu mendapatkan reward atas hal tersebut, atau juga karena kekesatriaannya lantaran ia merupakan sesepuh, tokoh, atau pahlawan di institusi tertentu? Tanpa menyalahkan salah satunya, Rasulullah SAW meluruskan persepsi pemuda tersebut dengan jawaban beliau “Barang siapa yang berperang karena ingin menegakkan kalimatullah, maka ia fi sabilillah”. Ini menunjukkan bahwa di medan pertempuran niatan akan diuji. Di medan pertempuran, banyak stimulus-stimulus yang menyebabkan keikhlasan menjadi luntur, seperti munculnya emosi ketika melihat tingkah polah musuh yang profokatif misalnya, atau adanya ghanimah (harta rampasan perang) yang sangat menggiurkan, dsb. Namun ternyata hanya orang-orang yang tetap istiqamah untuk menegakkan kalimatullah lah, yang dikategorikan sebagai oarng yang fi sabilillah dan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
- Indikator utama dari ketidak ikhlasan adalah adanya tujuan duniawi yang dicari, selain dari keridhaan Allah SWT. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ غَزَا لاَ يَبْغِيَ إِلاَّ عِقَالاً فَلَهُ مَا نَوَى - رواه النسائي
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang berperang hanya untuk mendapatkan tali kekang unta, maka ia hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Nasa’i)
Artinya adalah bahwa seseorang yang berjuang, berhijrah, beramal atau juga bekerja semata-mata untuk mendapatkan keuntungan duniawi semata, maka ia tidak akan mendapatkan apapun selain dari apa yang telah diniatkannya. Kendatipun pekerjaannya sangat kental dengan nuansa Islami, yang bahkan cenderung “kaya” dengan atribut-atribut keIslaman. Hadits di atas mencontohkannya dengan jihad, yang barang siapa berjihad hanya mengharap untuk mendapatkan ghanimah (tali kekang unta), maka ia tidak akan mendapatkan apapun, selain dari apa yang telah diniatkannya.
- Pada hakekatnya pekerjaan yang kita kerjakan sehari-hari merupakan bagian dari jihad fi sabilillah. Karena pekerjaan kita bertujuan untuk menyelamatkan umat Islam dari bahaya RIBA yang sudah menjadi fenomena dimana-mana serta untuk menda’wahkan ekonomi syariah di bumi Indonesia. Pahit, getir, susah, gundah yang lahir dari perjuangan ini (baik yang terjadi di lapangan ketika bergesekan dengan pihak lain, maupun di dalam kantor), demi Allah akan diganti oleh Allah SWT dengan pahala yang jauh lebih mulia dengan segala kesenangan dunia. Mengapa? Karena kita semua sedang berjihad menegakkan kalimatullah. Dan dalam hadits di atas dijelaskan Rasulullah SAW bahwa barang siapa yang berjuang untuk menegakkan kalimatullah, maka ia fi sabilillah...
- Untuk itulah, penting bagi kita semua untuk saling mengingatkan agar niat yang ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT akan selalu menjadi obsesi utama kita dalam bekerja dalam rangka menda’wahkan ekonomi syariah di tanah air. Jangan sampai pekerjaan yang sarat dengan nuansa pernjuangan Islam ini, menjadi sirna sia-sia lantaran obsesi dan orientasi kita yang semata-mata ingin mendapatkan benefit duniawi semata (baca ; tali kekang unta). Memang dengan niatan tidak ikhlas pun, kita mendapatkan benefit seperti gaji, remunerasi, bonus, kontes, bantuan uang transport dsb. Namun kita kehilangan sesuatu yang sangat berharga dan sangat subsatansial dalam perjuangan Islam, yaitu pahala dan keridhaan Allah SWT.
Perlu digarisbawahi pula, bahwa keikhlasan tidak identik dengan pekerjaan yang dilakukan secara serampangan, tidak terkoordinasi, tidak tepat sasaran, semaunya, yang kemudian menghasilkan hasil yang jauh dari harapan. Justru keikhlasan menuntut adanya sikap keprofesionalitasan dalam beribadah dan juga dalam bekerja. Tidakkah kita melihat sosok Umar bin Abdul Azis, yang sangat ikhlas ketika bekerja di pucuk tertinggi di Kekhilafahan Umat Islam (Khilafah Umawiyah). Semua gaji dan bahkan harta kekayaannya dia infakkan fi sabilillah. Dia hidup secukupnya, namun sangat profesional dalam memimpin Umat Islam. Hingga hanya 2,5 tahun saja beliau menjadi Amirul Mu’minin (th 99 – 101 H), dan hasilnya pada waktu itu tidak didapati seorang miskin pun berada di negeri kaum muslimin. Semua orang menjadi makmur dan tentram hidupnya, berkat keprofesionalitasan sang Amirul Mu’minin, Umar bin Abdul Aziz.
Lawan dari keikhlasan adalah riya’. Riya’ adalah mengerjakan sesuatu mengharapkan sesuatu selain dari keridhaan Allah SWT. Apakah mengharapkan pujian, kedudukan yang lebih tinggi, reward yang lebih besar, dikatakan sebagai pahlawan, pemberani, atau tujuan-tujuan lainnya yang bukan kerena mengharap keridhaan Allah SWT. Riya’ akan dapat meluluhlantahkan segala amal dan usaha serta perjuangan yang kita lakukan. Oleh karenanya, hendaknya kita menciptakan suasana bahwa segala pekerjaan dan aktivitas yang kita lakukan adalah semata-mata mengharap kerdihaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya yang paling Aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil.’ Apa itu syirik kecil.’ Sahabat bertanya, ‘Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah? Beliau menjawab, ‘Riya’. Allah SWT berfirman pada hari kiamat terhadap mereka-mereka yang riya’, “Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu di dunia kalian riya’ terhadapnya, apakah kalian mendapatkan pahala dari mereka?” (HR. Ahmad)
Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag
Label: Tadabur Hadits