Hakekat Kebangkrutan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ، فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ - رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, 'Tahukah kalian siapakah orang yang muflis (bangkrut) itu? Para sahabat menjawab, 'Orang yang muflis (bangkrut) diantara kami adalah orang yang tidak punya dirham dan tidak punya harta.' Rasulullah SAW bersabda, 'Orang yang muflis (bankrut) dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) melaksanakan shalat, menjalankan puasa dan menunaikan zakat, namun ia juga datang (membawa dosa) dengan mencela si ini, menuduh si ini, memakan harta ini dan menumpahkan darah si ini serta memukul si ini. Maka akan diberinya orang-orang tersebut dari kebaikan-kebaikannya. Dan jika kebaikannya telah habis sebelum ia menunaikan kewajibannya, diambillah keburukan dosa-dosa mereka, lalu dicampakkan padanya dan ia dilemparkan ke dalam neraka. (HR. Muslim, Turmudzi & Ahmad)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini :
1. Pentingnya beramal shaleh berupa ibadah kepada Allah SWT seperti shalat, puasa, zakat maupun amaliyah ubudiyah lainnya. Karena hal tersebut merupakan amaliyah yang mendapatkan prioritas untuk dihisab pada yaumul akhir. Hadits di atas menggambarkan penyebutan shalat, puasa dan zakat lebih awal, daripada bentuk amaliyah dengan sesama manusia. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ بِصَلاَتِهِ فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ - رواه النسائي
Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Jika baik shalatnya, maka sungguh ia beruntung dan sukses. Namun jika shalatnya fasad, maka ia akan menyesal dan merugi. (HR. Nasa'I, Ibnu Majah & Ahmad)

2. Gambaran dan pembelarajaran Rasulullah SAW yang 'visioner' mengenai definisi ( المفلس ) atau bangkrut terhadap para sahabatnya. Secara visi jangka pendek, kebangkrutan adalah orang yang tidak memiliki dinar, dirham maupun harta benda dalam kehidupannya. Dan hal inilah yang disampaikan para sahabat kepada Rasulullah SAW ketika beliau bertanya kepada mereka mengenai kebangkrutan. Namun Rasulullah SAW memberikan pandangan yang jauh ke depan mengenai hakekat dari kebangkrutan, yaitu pandangan kebangkrutan yang hakiki di akhirat kelak. Hal ini sekaligus menunjukkan, bahwa seorang mu'min harus memiliki visi ukhrawi dalam melihat dan menjalankan kehidupan di dunia, seperti visi dalam bekerja, berumah tangga, berinvestasi, dsb, yang selalu mendatangkan manfaat bukan hanya di dunia, namun juga di akhirat.
وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ اْلآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashas : 77)

3. Hakekat ( المفلس ) kebangkrutan yang digambarkan oleh Rasulullah SAW. Bahwa secara bahasa, muflis berasal dari kata ( إفلاس ) yang artinya bangkrut, ketidak mampuan membayar dan kegagalan. Dalam hadits ini, kebangkrutan itu bukan karena seseorang tidak memiliki sesuatupun di dunia ini, namun orang yang bangkrut adalah orang kelak pada hari kiamat datang menghadap Allah SWT dengan pahala shalatnya, puasanya, zakatnya maupun pahala amal ibadahnya yang lain, namun di sisi lain ia juga membawa dosa karena suka mencela orang lain, menuduh, memakan harta manusia, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Dan karena perbuatan dosanya kepada orang lain itulah, ia dimintai pertanggung jawaban dengan cara seluruh khazanah kebaikannya diambil untuk menutupi perbuatannya terhadap orang-orang yang pernah dizaliminya. Bahkan seluruh khazanah kebaikannya telah ludes habis, namun belum dapat memenuhi seluruh kedzalimannya yang dilakukan terhadap orang lain, maka Allah SWT mengambil dosa-dosa orang yang didzaliminya tersebut lalu dicampakkan pada dirinya. Sehingga jadilah ia orang yang muflis (bangkrut), karena kebaikannya tidak dapat menutupi keburukannya, sehingga ia dilemparkan ke dalam api neraka, na'udzubillah min dzalik. Padahal ia adalah ahli shalat, ahli puasa, ahli zakat maupun ahli ibadah lainnya.

4.Pentingnya berbuat ihsan terhadap sesama insan dalam bermualah sehari-hari, bahkan terhadap hewan sekalipun. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ - رواه مسلم
Sesungguhnya Allah SWT menwajibkan untuk berbuat baik dalam segala hal. Maka apabila kamu membunuh, bunuhlah dengan baik. Dan jika kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan baik. Dan hendaklah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan mengistirahatkan hewan sembelihannya. (HR. Muslim)

Jika terhadap hewan saja, kita diperintahkan untuk berbuat ihsan semaksimal mungkin, apatah lagi ihsan terhadap sesama manusia. Al-Qur'an dan sunnah banyak sekali menggambarkan tentang pentingnya berbuat ihsan dalam muamalah sesama manusia, oleh karenanya kita lihat diantaranya diharamkan menggunjing (baca; ghibah), bahkan disamakan dengan seseorang memakan bangkai saudaranya yang telah meninggal dunia, dsb. Tidak baiknya seseorang dalam bermuamalah terhadap sesama manusia akan mengakibatkan kehancuran dirinya dan menjerumuskannya ke dalam api neraka, kendatipun ia seorang ahli ibadah.

5. Pentingnya mengikhlaskan atau mengembalikan segala sesuatu kepada Allah SWT dalam apapun juga. Karena hal yang demikian ini, akan dapat menambah khazanah kebaikan kita di akhirat kelak. Contoh dari hal tersebut adalah 'sabar' menghadapi celaan dan cercaan maupun tingkah negatif orang lain. Jika kita bersabar dan mengembalikannya kepada Allah, insya Allah akan menambah khazanah amal kebaikan kita di akhirat.

6. Memungkinkannya ditambahkan atau dikuranginya pahala dan dosa seseorang di hari akhir kelak, dari hasil perbuatan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Hadits di atas dengan jelas menggambarkan hal tersebut (فيعطى هذا من حسناته وهذا من حسناته ) 'maka diberikanlah kebaikan-kebaikannya pada orang (yang didzaliminya tersebut).' Oleh karena itulah, dalam kondisi apapun, kita tetap harus dapat melakukan perbuatan baik (baca ; sunnah hasanah). Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ - رواه مسلم
Barang siapa yang dalam Islam melakukan suatu sunnah (perbuatan) yang baik kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka ia mendapatkan kebaikannya dan kebaikan (pahala) dari orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang dalam Islam melakukan satu sunnah (perbuatan) yang buruk, kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurani dosa mereka sedikitpun. (HR. Muslim)

7. Indahnya metode Rasulullah SAW dalam mentaujih (baca ; memberikan nasehat) para sahabatnya, yaitu dengan metode interaktif. Beliau memancing konsentrasi para sahabatnya dengan tanya jawab, lalu beliau memberikan penjelasan yang tuntas dari permasalahan yang dilemparkan ke para sahabatnya.

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

Siapa Memudahkan Akan Dimudahkan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ - رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, 'Barangsiapa menghilangkan kesulitan seorang mu'min di dunia, maka Allah akan melepaskan keslutannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan orang yang tengah dilanda kesulitan, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya. Dan barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, membaca kitab Allah dan mempelajarinya bersama-sama, kecuali ketentraman akan turun kepada mereka, rahmat akan memenuhi mereka, malaikat menaungi mereka, dan Allah memuji mereka di hadapan makhkluk yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang terlambat amalnya, maka nasabnya tidak akan mempercepat (nasibnya)” (HR. Muslim)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa Allah SWT telah menetapkan sunnatullah dalam hubungan sosial (baca ; hablumminannas) yaitu bahwasanya siapa yang berbuat baik, maka kebaikannya itu akan kembali kepada dirinya sendiri. Sebaliknya siapa berbuat jahat (tidak baik), maka kejahatannya itu akan kembali kepada dirinya sendiri pula. Oleh karenanya hendaknya setiap kita senantiasa berusaha untuk berbuat baik terhadap siapapun. Dan diantara bentuknya adalah memudahkan uruasan dan kesulitan orang lain, khususnya yang sedang mendapatkan kesulitan. Allah SWT berfirman :
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا...
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri...” (QS. Al-Isra'/ 17 : 7)

2. Bahwa benefit memudahkan orang lain yang sedang kesuiltan adalah bahwa ia akan dimudahkan oleh Allah SWT, atas segala kesulitannya baik terkait urusan dunia maupun urusan akhirat. Teks hadits di atas sangat jelas menggambarkan hal tersebut ( ومن يسر على معسر يسره الله عليه في الدينا والآخرة ) “...dan barangsiapa memudahkan orang yang tengah dilanda kesulitan, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat” Dan alangkah beruntungnya seseorang yang kesehariannya senantiasa berusaha untuk memudahkan urusan orang-orang yang sedang kesulitan. Karena benefit yang akan diperolehnya adalah ia akan mendapatkan kemudahan dari Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat. Dan jika kita renungkan, pekerjaan kita sehari-hari adalah dalam rangka memudahkan urusan orang yang terkena risiko (baca ; tertimpa musibah). Jika kita meniatkan dengan ikhlas insya Allah kita akan dimudahkan Allah SWT dalam segala kesulitan kita.

3. Anjuran untuk menutupi aib (baca ; keburukan) antara sesama saudara seiman. Karena pada hakekatnya setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Dan sesama saudara, hendaknya saling menutupi aib dan tidak mengumbar dan menyebarluaskan aib sesama muslim kepada orang-orang yang tidak memiliki kepentingan. Kecuali dengan maksud memperbaiki dan atau agar keburukannya tidak menyebar luas. Dalam sebuah hadits digambarkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ - رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Setiap muslim adalah haram bagi muslim lainnya. (yaitu) darahnya, hartanya dan kehormatannya.” (HR. Muslim)

4. Bahwa ternyata salah satu “penyebab” datangnya pertolongan dari Allah SWT adalah karena kita menolong orang lain yang sedang kesulitan. Hadits di atas dengan jelas menggambarkan hal tersebut ( والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه ) “Dan Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.” Oleh karenanya kita dianjurkan untuk senantiasa memberikan pertolongan kepada orang-orang yang memang sedang kesulitan dan memerlukan bantuan dan pertolongan dari kita. Dalam koteks kekitaan diantaranya adalah para nasabah kita. Karena dengan demikian, Allah akan selalu memberikan pertolongan-Nya kepada kita (baca ; nashrullah).

5. Bahwa orang yang belajar menuntut ilmu, pada hakekatnya ia sedang menapaki jalan menuju surga Allah SWT. Dan alangkah indahnya apabila hari-hari kita dilalui dengan motivasi dasar untuk menuntut ilmu. Karena menuntut ilmu tidak harus berada di sebuah tempat pendidikan formal. Menuntut ilmu bisa dimana saja, termasuk di dalamnya dalam majlis ta'lim. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun merupakan tempat yang baik untuk menuntut ilmu. Ia bernama Universitas Kehidupan. Dimana kita sebagai mahasiswanya, sementara orang diluar kita adalah para dosennya. Banyak hikmah yang dapat kita petik dari orang lain, bahkan dari seorang tukang becak, pedagang asongan, atau penjaja makanan. Oleh karenanya penting bagi kita semua untuk senantiasa tiada henti mencari ilmu, dimanapun dan kapanpun. Dan ilmu yang terbaik adalah ilmu yang dapat mengantarkan kita kepada keridhaan Allah SWT.

6. Majlis-majlis ilmu adalah majlis yang di dalamnya dibacakan ayat-ayat Allah SWT, dipahami makna-maknanya, serta saling memberikan nasehat untuk menambah keimanan dan ketakwaan sebagaimana yang senantiasa kita lakukan secara rutin ini. Dan majlis seperti ini memiliki benefit yang mulia, yaitu :
  • Mendapatkan ketenangan dan ketentraman (sakinah). Insya Allah orang-orang yang senantiasa mendatangi majelis-majelis seperti ini akan mendapatkan ketenangan dan ketentraman dalam hatinya.
  • Mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Rahmat Allah dapat berupa rizki yang bertambah, keluarga yang sakinah, atau mendapatkan cinta dan penghormatan dari orang-orang di sekelilingnya.
  • Dikelilingi para Malaikat, yang selalu mendoakan kepada Allah SWT untuk kebaikannya, selama majelis tersebut berlangsung.
  • Dipuji Allah dihadapan makhluk yang berada di sisi Allah SWT, yaitu para malaikat yang mulia, yang berada di sekitar Allah SWT.
7. Kebahagiaan hakiki tidak dicapai dengan kedudukan dan keturunan, tetapi dengan amal yang baik. Sehingga kendatipun seseorang merupakan keturunan para ulama, atau memiliki link ke para penguasa, namun itu semua tidak akan pernah mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki, jika ia tidak berusaha untuk beramal shaleh. Sebaliknya, bahwa siapa saja yang berusaha mengerjakan amal shaleh dengan sebaik-baiknya, insya Allah akan mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki di dunia dan di akhirat. Allah SWT berfirman :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl/ 16 : 97)

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا رواه مسلم والترمذي والنسائي وأحمد
Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Dua rakaat shalat sunnah fajar, lebih baik daripada dunia dan segala isinya.” (HR. Muslim, Turmudzi, Nasa'i & Ahmad)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa seorang muslim seyogianya adalah seseorang yang memiliki visi jangka panjang, yaitu visi ukhrawi (baca ; visi untuk kehidupan akhiratnya kelak). Sehingga dari visi seperti ini, ia akan memiliki orientasi bahwa kebaikan dalam pandangannya adalah kebaikan yang berdimensi pada kebaikan akhirat, bukan hanya kebaikan yang berdimensi untuk benefit duniawi semata. Karena orang yang memiliki orientasi kehidupan dunia, ia hanya akan mendapatkan dunia saja dan ia tidak akan mendapatkan apapun di akhirat kelak. Sebaliknya, seseorang yang memiliki visi akhirat yang mencari keridhaan Allah SWT, maka ia akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman :
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَكَانَ اللهُ سَمِيْعًا بَصِيْرًا
"Barang siapa yang menghendaki pahala di dunia saja, (maka ia merugi), karena di sisi Allah lah pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Melihat lagi Maha Mendengar.” (QS. An-Nisa' : 134)

2. Kendatipun dunia memiliki keindahan yang mempesona, yang terkadang membuat banyak orang terperdaya, namun ternyata ada hal yang jauh lebih baik di bandingkan dengan keindahan dunia yang mempesona dengan segala isinya. Namun justru seringkali kebaikan yang lebih baik daripada dunia ini diabaikan oleh banyak orang. Karena memang kebaikan ini adalah kebaikan yang tidak tampak oleh kasat mata dan tidak teraba oleh indra manusia di dunia. Ia hanya diyakini oleh mereka-mereka yang memiliki keimanan yang kokoh kepada Allah SWT. Dalam riwayat lainnya Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ مُسْتَوْرِدِ بن شَدَّادٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ - رواه مسلم
Dari Mustaurid bin Syadad, ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah dunia ini dibandingkan dengan akhirat kecuali seperti jari yang dicelupkan salah seorang diantara kalian ke dalam air laut, lalu ditarik kembali jari tersebut. Lihatlah, betapa sedikit air yang menempel di jari itu” (HR Muslim)

3. Bahwa kebaikan yang lebih mulia dibandingkan dengan dunia dengan segala isinya, ternyata adalah sesuatu yang ringan untuk dilakukan, yaitu shalat sunnah dua rakaat sebelum fajar, atau sering disebut dengan sunnatul fajr. Shalat sunnah ini merupakan shalat sunnah ringan dikerjakan, karena bacaan yang digunakan dalam shalat sunnah ini adalah bacaan ringan, jumlah rakaatnya pun juga ringan, hanya dua rakaat yang dilakukan sebelum shalat subuh (qabliyah subuh).

4. Meskipun ringan untuk dikerjakan, ternyata bobot kebaikan sunnah fajar melebihi kebaikan dunia dengan segala isinya. Dan demikian tingginya nilai shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh ini, hingga Rasulullah SAW sangat komitmen untuk melaksanakannya dan tidak pernah meninggalkannya sepanjang hidup beliau. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مُعَاهَدَةً مِنْهُ عَلَى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ - رواه مسلم
Dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah SAW tidak pernah mengerjakan shalat-shalat sunnah, serajin ketika beliau mengerjakan shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh.” (HR. Muslim)

5. Demikian ringannya shalat sunnah fajar ini, hingga Rasulullah SAW mengerjakannya dengan cepat dan surat yang dibacapun adalah surat-surat yang ringan. Shalat inipun disunnahkan untuk dikerjakan di rumah. Dikatakan oleh Hafsah ra dalam sebuah riwayat, 'Bahwa Rasulullah SAW mengerjakan shalat dua rakaat fajar sebelum subuh di rumahku dan beliau melaksanakannya dengan cepat sekali.' Nafi' berkata, 'Abdullah bin Umar ra juga melakukannya dengan cepat.' (HR. Bukhari, Muslim & Ahmad). Jumlah rakaatnya hanya dua rakaat, dan disunnahkan untuk membaca Surat Al-Kafirun (setelah al-Fathihah) pada rakaat pertama, dan surat Al-Ikhlas (setelah al-Fatihah) pada rakaat kedua :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِيْ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ بِقُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَكَانَ يُسِرُّ بِهَا - رواه أحمد
Dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah SAW membaca dalam dua rakaat sunnah fajar surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlas. Beliau membacanya dengan sir (suara dipelankan). (HR. Ahmad)

6. Pada dasarnya setelah melaksanakan shalat sunnah fajar, tidak ada doa khusus yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Namun dalam kitab fiqh sunnah dijelaskan bahwa Ibnus Sunni dari Abul Malih (Amir bin Usamah) dari ayahnya bahwa ia mengerjakan shalat sunnah fajar berdekatan dengan Rasulullah SAW. Ia mendengar Rasulullah SAW membaca bacaan sambli duduk setelah selesai mengerajakan sunnah fajar dengan doa :
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَمُحَمَّدِ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوْذُبِكَ مِنَ النَّارِ
Ya Allah, Tuhan Jiebril, Israfil, Mikail dan Muhammad SAW, aku mohon perlindungan-Mu dari siksa api neraka” (tiga kali).

7. Shalat sunnah fajar boleh diqadha'nya pelaksanaanya ke waktu ba'da subuh. Sunnah Fajar dapat dilaksanakan setelah shalat subuh, atau bahkan setelah matahari terbit. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Dari Qais bin Umar ra, bahwa ia keliuar untuk melaksanakan shalat subuh dan di Masjid ia mendapatkan Rasulullah SAW sedang melaksanakan shalat subuh, sedang ia sendiri belum mengerjakan dua rakaat suunah fajar. Ia pun langsung mengerjakan shalat subuh bersama Rasulullah SAW. Kemudian setelah selesai, ia berdiri lagi dan mengerjakan shalat sunnah fajar dua rakaat. Rasulullah SAW pun berjalan mendekatinya dan bertanya, 'Shalat apakah yang dilakukannya tadi?' Ia menjawab, 'Mengqadha' shalat sunnah fajar.' Rasulullah SAW diam saja dan tidak memberikan teguran sesuatu pun.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah & Ibnu Hibban). Namun hendaknya untuk mengqadha'nya perlu memperhatikan kondisi masjid atau masyarakat setempat, agar tidak menimbulkan fitnah. Mengerjakannya di rumah setelah shalat subuh berjamaah di Masjid, merupakan alternatif yang cukup bijak.

8. Hendaknya setiap muslim berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah di masjid, yang didahului sebelumnya dengan melaksanakan sunnah fajar. Karena dalam shalat sunnah yang ringan ini ternyata memiliki kebaikan yang jauh lebih bernilai dari dunia dan segala isinya. Ditambah lagi bahwa waktu subuh merupakan waktu yang sangat krusial dalam kehipuan insan. Dan akan sangat merugilah mereka-mereka yang terlalaikan dengan waktu subuh ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ، ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ - رواه البخاري
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Bergantian kepada kalian malaikat di malam hari dengan malaikat di siang hari. Mereka bertemu pada waktu shalat subuh dan shalat ashar, kemudian mereka naik kepada Allah SWT. Lalu Allah SWT bertanya kepada mereka, sedang Ia lebih mengetahui kondisi hamba-hamba-Nya, 'Bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku? Malaikat menjawab, 'Kami tinggalkan mereka dalam kondisi sedang shalat dan kami datangi mereka juga dalam kondisi sedang shalat.”

Wallahu A’lam Bis Shawab

By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

Sekretaris Dewan Pengawas Syariah
Takaful Indonesia

Dimensi Syukur Dalam Kehidupan

عَنْ أَبِيْ يَحْيىَ صُهَيْبٍ بْنِ سِنَانٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنهما قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ - متفق عليه
Dari Abi Yahya, Shuhaib bin Sinan ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh mempesona urusan orang yang beriman. Karena semua urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman. Jika dia mendapatkan kebaikan, dia akan bersyukur, (karena) hal itu adalah yang terbaik baginya. Jika ia mendapatkan kesulitan, maka dia bersabar, (karena) dia tahu bahwa hal itu adalah yang terbaik baginya.” (HR. Muslim)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa orang yang beriman memiiliki cara pandang yang “positif thinking”. Karena apapun kondisi yang menimpanya, ia akan selalu menanggapinya dengan postif (baca ; khair). Ketika mendapatkan kebahagiaan, ia akan bersyukur (baca ; mengembalikan kebahagiaannya tersebut kepada Allah). Karena ia tahu, hal itu merupakan hal terbaik yang Allah berikan kepadanya. Sementara apabila ia mendapatkan musibah, atau suatu kondisi yang tidak menyenang, maka ia pun bersabar. Karena ia tahu, pasti ada hikmah mendalam yang ingin Allah berikan kepadanya, di balik musibah yang menimpa dirinya. Dan sifat seperti inilah, yang menjadikan manusia mendapatkan kemuliaan, atau dalam bahasa hadis diatas diistilahkan dengan “ajaban” (sungguh mempesona).

2. Syukur merupakan cerminan dari sebuah sikap berterimakasih atas segala kenikmatan yang telah dianugerahkan oleh Sang Khaliq. Rasa terimakasih tersebut diimplementasikan dalam bentuk beribadah kepada Allah SWT. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُومُ مِنْ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا ... - متفق عليه
Dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah SAW melakukan qiyamul lail hingga kedua telapak kaki beliau bengkak. Aisyah ra berkata kepada belaiu, 'Mengapa engkau melakukannya hingga seperti ini? Padahal, Allah telah mengampuni dosa engkau yang telah lalu dan yang akan datang?” Rasulullah SAW menjawab, 'Apakah aku tidak pantas menjadi hamba yang bersyukur?” (Muttafaqun Alaih)

Karena, dilihat dari segi bahasa, syukur berarti ( الزيادة ) bertambah. Sedangkan dari segi istilah, syukur adalah ( القيام بطاعة المنعم ) “sebuah upaya untuk mentaati Sang Pemberi ni'mat (Allah SWT).” Sehingga implementasi syukur dalam kehidupan adalah dengan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT. Dan dengan syukur akan menambah ni'mat.

3. Syukur merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh setiap muslim. Dan demikian pentingnya syukur, hingga Allah SWT menyebutkan kata syukur sebanyak 75 kali dalam Al-Qur'an. Syukur juga merupakan jalan yang akan ditempuh oleh orang-orang yang beriman. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah SWT berfirman :
إِنَّا هَدَيْنَا السَّبِيْلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُوْرًا
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS. Al-Insan/ 76 : 3)

4. Syukur dilakukan dengan tiga hal, pertama syukur dengan hati, yaitu dengan 'meyakini' bahwa segala kenikmatan merupakan anugerah dari Allah SWT. Kedua syukur dengan lisan, yaitu mengungkapkannya dengan maksud memuji Allah SWT, minimal dengan mengucapkan alhamdulillah, dan ketiga syukur dengan anggota badan, yaitu dengan menfungsikan seluruh anggota badan untuk mentaati Sang Pemberi Kenikmatan, yaitu Allah SWT (dengan beribadah kepada-Nya).

5. Syukur memiliki banyak sekali keutamaan, diantara keutamaan bersyukur adalah sebagai berikut:
a.Bersyukur berarti melaksanakan perintah Allah SWT. Allah berfirman :
فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلاَ تَكْفُرُوْنَ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.” (QS. Al-Baqarah/ 2 : 152)

b. Bahwa suatu kaum yang bersyukur, akan selamat dari azab Allah SWT. Allah berfirman:
مَا يَفْعَلُ اللهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللهُ شَاكِرًا عَلِيْمًا
"Allah tidak akan akan mengazab kalian, jika kalian bersyukur dan beriman. Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa' : 4/ 147)

c. Allah akan menambah kenikmatan-Nya terhadap orang-orang yang bersyukur:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
"Dan ingatlah juga tatkala Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingakari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahmi/ 14 : 7)

d.Syukur merupakan salah satu bentuk ujian dari Allah SWT.
فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni`mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia". (QS An-Naml/ 27 : 40)

e.Bahwa dampak positif dari bersyukur akan kembali kepada dirinya sendiri, yaitu berupa kebaikan yang banyak :
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ ِللهِ، وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَر فَإِنَّ اللهَ غني حَمِيْدٌ
"Dan sesungguhnya Kami telah berikan hikmat kepada Luqman (yaitu), 'Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendriri. Dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman/ 31 : 12)

6. Diantara bentuk bersyukur adalah dengan berzakat dan bersedakah, apabila sesuatu yang disyukuri adalah rizki yang bertambah. Maka, jangan pernah lupa untuk mengeluarkan zakat 2.5%, atau juga infak shadaqah lainnya. Karena indikator syukur pada rizki adalah pada zakat, infak dan shadaqah :
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (QS. An-Nahl/ 16 : 14)

Wallahu A’lam Bis Shawab

By. Rikza Maulan Lc., M.Ag
Sekretaris Dewan Pengawas Syariah
Takaful Indonesia

Adab Bertutur Kata Yang Baik

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ - متفق عليه
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia tidak menyakiti tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia bertakat-kata yang baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari & Muslim)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Islam merupakan agama fitrah yang menjunjung tinggi nilai dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Dan demikian pentingnya etika dalam Islam, hingga Rasulullah SAW mengkategorikan etika (baca ; akhlak) sebagai “faktor” yang paling banyak untuk dapat mengantarkan orang ke dalam surga :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ - رواه الترمذي
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW ditanya tentang yang paling banyak masuk surga, beliau menjawab, ‘Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.’ Kemudian beliau ditanya tentang yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka, beliau menjawab, ‘Lisan dan kemaluan.’ (HR. Turmudzi)

2. Diantara etika atau akhlak yang baik adalah etika dalam bertutur kata atau berbicara. Allah SWT bahkan menjadikannya sebagai “perintah” yang wajib untuk dilakukan oleh setiap hamba-Nya, dimanapun dan kapanpun, bahkan terhadap siapapun. Apakah di rumah terhadap keluarganya, di kantor terhadap rekan kerja, atasan atau bawahannya, di masyarakat terhadap tetangganya, dsb. Artinya bahwa bertutur kata yang baik, seharusnya menjadi jati diri bagi setiap muslim. Apabila diibaratkan dengan sebuah pohon, maka bertutur kata yang baik adalah seperti buahnya, yang memberikan manfaat kepada siapapun. Allah SWT berfirman (QS. Al-Ahzab : 70 – 71):
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا* يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta`ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.

3. Bertutur kata yang baik bukan hanya sebagai satu kewajiban, namun lebih dari itu, ia memiilki dampak positif bagi setiap muslim, (sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Ahzab : 70 – 71) di atas. Diantaranya adalah sebagai berikut :
  • a. Allah SWT akan menjadikan orang yang berutur kata dengan baik, bahwa amalnya akan diperbaiki oleh Allah SWT. Menurut Ibnu Katsir firman Allah ( يصلح لكم أعمالكم ) maknanya adalah ( يوفقهم للأعمال الصالحة ) Allah akan menunjukkan mereka pada amal-amal shaleh. Atau memudahkan mereka untuk melakukan amal shaleh.
  • b. Akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT.
  • c. Mendapatkan kemenangan yang besar (surga). Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah diselamatkan dari Azab Allah SWT serta dihantarkan ke dalam keni'matan yang langgeng (surga).
4. Bahwa dasar untuk bertutur kata yang baik adalah bukan untuk mendapatkan pujian, atau agar dikatakan sebagai orang yang shaleh, dsb. Namun hendaknya dalam bertutur kata yang baik, semata-mata didasari untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT. Sehingga kendatipun ada seseorang yang mengatakan sesuatu yang tidak baik terhadap kita, maka kita tetap harus bertutur kata yang baik terhadapnya. Karena tujuan kita dalam bertutur kata yang baik adalah mengharapkan keridhaan Allah, bukan supaya orang lain juga berkata-kata yang baik kepada kita. Karena sesungguhnya untuk mengetahui “rahasia” seseorang, dapat kita lihat dari tutur katanya. Aa' Gym pernah mengatakan, bahwa “Manusia ibarat teko; apa yang keluar (dari lisannya) mencerminkan apa yang ada di dalamnya”. Ada juga ungkapan yang mengatakan, “You are what yo say”. Jadi, mulailah untuk senantiasa bertutur kata yang baik, yang menentramkan hati setiap orang yang mendengarkannya.

5. Kebalikan dari berturur kata yang baik adalah berkata-kata yang kasar dan atau kotor. Indikasi dari suatu perkataan itu baik atau tidak adalah bahwa perkataan kita tidak menjadikan orang lain sakit hati, tersinggung, marah dan kecewa. Maka jika diperhatikan dalam hadits di atas : ‘Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia bertakat-kata yang baik atau hendaklah ia diam.” Artinya bahwa diamnya seseorang yang “khawatir” salah ucap yang mengakibatkan “ketersinggungan” orang lain, adalah jauh lebih baik di bandingkan dengan orang yang “memaksakan diri” untuk berbicara, sementara isi pembicaraannya menyinggung, atau menyakiti hati orang lain.

6. Diantara bentuk tutur kata yang kurang baik adalah “bercanda” atau guyonan yang malampaui batas. Baik melampaui batas secara syar'i (misalnya guyonan dalam masalah nikah, “aku terima nikahnya”, dsb), maupun melewati batas kewajaran (misalnya ungkapan yang bersifat “ngerjain” orang lain, untuk bahan tertawaan), dsb. Sebaiknya hal-hal seperti ini perlu dikurangi, atau jangan berlebihan.

7. Hadits di atas juga menggambarkan keterkaitan antara bertutur kata yang baik dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini menggambarkan bahwa ternyata apapun yang kita ucapkan kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah SWT. Oleh karenanya, hendaknya setiap kita harus berusaha untuk memilih dan memilah ketika bertutur kata. Allah SWT. berfirman : “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaaf : 18)

8. Perkataan yang tidak baik akan mengakibatkan “hilangnya” pahala amal shaleh seorang. Dalam sebuah riwayat dikisahkan sebagai berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ، فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ - رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, 'Tahukah kalian siapakah orang yang muflis (bangkrut) itu? Para sahabat menjawab, 'Orang yang muflis (bangkrut) diantara kami adalah orang yang tidak punya dirham dan tidak punya harta.' Rasulullah SAW bersabda, 'Orang yang muflis (bankrut) dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, namun ia juga datang (membawa dosa) dengan mencela si fulan, menuduh si fulan, memakan harta ini dan menumpahkan darah si ini serta memukul si ini. Maka akan diberinya orang-orang tersebut dari kebaikan-kebaikannya. Dan jika kebaikannya telah habis sebelum ia menunaikan kewajibannya, diambillah keburukan dosa-dosa mereka, lalu dicampakkan padanya dan ia dilemparkan ke dalam neraka. (HR. Muslim)

Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag
Sekretaris Dewan Pengawas Syariah
Takaful Indonesia

;;