Kisah Seorang Guru Dan Dua Orang Muridnya

Alkisah di sebuah pesantren di suatu negeri hidup seorang guru silat yang sangat bijak, dan sudah sangat tua. Ia mempunyai dua murid yang masing-masing memiliki tingkat ibadah, ketulusan, kejujuran, kesalehan, keseriusan, semangat, dan keuletan belajar silat yang sama. Untuk mewariskan pesantren dan perguruannya, ia harus memilih yang terbaik dari keduanya.

Pertandingan di antara mereka pun dilakukan. Namun, beberapa kali dilakukan pertandingan, musabaqah, adu kepandaian dan adu kekuatan selalu berakhir dengan seimbang. Mereka ternyata mampu menyerap ilmu yang sama dari sang guru. Selain itu, keduanya juga sering berlatih bersama-sama sehingga masing-masing sudah mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Untuk mengetahui mana di antara mereka yang lebih baik dan lebih cerdik, gurutersebut terpaksa menggunakan cara lain.

Suatu tengah malam seusai shalat, guru tersebut memanggil kedua muridnya dan memberi mereka tugas,"Besok pagi ba'da subuh kalian pergilah ke hutan mencari ranting pohon. Siapa yang pulang dengan hasil yang terbanyak, dialah yang keluar sebagai pemenang, dan berhak mewarisi pesantren dan perguruan ini" Sambil menarik napas panjang sang guru memperhatikan kedua muridnya yang sedang mendengarkan dengan serius kemudian ia melanjutkan, "Waktu yang tersedia untuk kalian adalah jam lima pagi sampai jam lima sore." Kemudian guru tersebut mengambil sesuatu dari bawah meja dan berkata,"Ini adalah dua bilah parang yang dapat kalian gunakan, ada pertanyaan?"

Karena merasa tugas yang diembankan kepada mereka mudah, mereka pun serempak menjawab,"Tidak.""Baiklah kalau begitu, sekarang, kalian cepatlah beristirahat dan besok bangun lebih pagi," Nasihat sang guru.

Mendapat tugas yang baru ini, di benak murid yang pertama langsung terbayang bahwa keesokan harinya ia harus bangun lebih awal, harus bekerja lebih keras dan lebih serius karena waktunya terbatas. Ia terlalu terfokus pada waktu, yakni harus berangkat jam5 tepat , tidak boleh kurang satu detik pun dan pulang jam 5 sore , tidak boleh lebih. Setelah yakin dengan waktunya, ia pun pergi tidur.

Dengan tugas yang sama, murid kedua lebih terfokus pada pekerjaan yang harus dilakukannya. Ia langsung memeriksa parang yang disediakan oleh gurunya, dan ternyata parang tersebut adalah parang tua yang sudah tumpul.

Maka, ia pun memutuskan, besok sebelum berangkat ia akan mencari batu asah untuk mengasah parangnya agar menjadi tajam dan siap digunakan. Dengan parang yang lebih tajam, hasil yang sama dapat diperoleh dengan upaya yang lebih sedikit, pikirnya.

Tantangan kedua yang terbayang di benaknya adalah bagaimana cara membawa ranting pohon lebih banyak secara efisien dan efektif ? Sementara temannya sudah tertidur lelap, ia bermunjat dan berdoa kepada Allah, meminta agar dimudahkan segala urusannya sambil memikirkan cara terbaik untuk membawa ranting dengan jumlah lebih banyak. Setelah berpikir cukup lama dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan, ia memutuskanuntuk menyiapkan tali pengikat dan tongkat pikulan sebelum berangkat keesokan harinya.

Dengan memikul ranting menggunakan tongkat pikulan. Paling tidak, ia bisa membawa dua ikat besar ranting-satu di depan dan satu lagi dibelakang , itu berarti dua kali lipat lebih banyak dibandingkan memanggulnya.Dengan perasaan puas, ia shalat malam lalu pergi tidur.

Keesokan harinya, murid pertama yang sudah berencana akan bekerja keras, bangun tepat waktu dan langsung berangkat ke hutan. Sementara itu, murid kedua masih asyik berdzikir dan membaca Al-Qur'an. Tepat jam enam pagi, murid kedua bergagas. Sesuai rencana, ia segera mencari batu asah dan mengasah parangnyasampai benar-benar tajam.Kemudian ia mencari tali dan tongkat pikulan. Setelahsemua perlengkapan siap, ia segera berangkat ke hutan, jam menunjukkan pukultujuh lebih.

Ketika jam menunjukkan pukul satu siang, murid kedua sudah berhasil mengumpulkan ranting cukup banyak. Ia segera mengikatnya menjadi dua dan memikulnya pulang. Sesampainya di pesantren, diserahkannya ranting-rantingtersebut kepada gurunya. Ia berhasil mendapat banyak ranting dan pulang lebih cepat.

Sementara itu, murid pertama, karena tidak mengasah parangnya, harus menggunakan waktu dan energi yang lebih besar untuk memotong ranting pohon.Dengan demikian ia juga memerlukan waktu yang lebih banyak untuk beristirahat karena kelelahan. Belum waktu yang ia gunakan untuk mencari tali pengikat. Selain itu, dengan caranya membawa ranting kayu yang dipanggul di pundaknya, jumlah yang bisa dibawanya juga terbatas.


Hikmah :
  • Terkadang kita terbelenggu oleh kerutinan kerja sehari - hari, sehingga lupa " mengasah parang " yang berupa bermunajat dan meminta petunjuk kepada Allah, belajar , ikut pelatihan, training , mengadakan meeting, briefieng pagi dan lain - lain. Padahal kegiatan diatas yang menurut kita " buang waktu " tersebut justru merupakan sarana ampuh untuk meningkatkan dan mengembangkan Skill , Knowledge dan Attitude kita.
  • Pelatihan , tafakur, dzikir, pengajian, training , meeting , briefieng , pengarahan atau belajar pada dasarnya adalah bertujuan untuk " memudahkan " pekerjaan kita sehari - hari. Bukankah mengasah parang selama 3 menit sangat tidak berarti saat kita harus menebang pohon selama 3 jam . . . . . . . . . . . .
  • Oleh karenanya, minimal usahakanlah setiap pagi hari, membaca Al-Qur'an, berdzikir, membaca al-Ma'tsurat, dan juga berpositif thinking... Di samping diwaktu-waktu tertentu galilah potensi diri dengan mengikuti training, membaca buku motivasi, mengikuti seminar, milis yang bermanfaat, dsb... Mudah-mudahan kita semua dimudahkan Allah untuk menggapai hari esok yang lebih baik.
(Dikutip dari andriwongso.com, dengan sedikit edit beberapa bahasa dan kalimatnya)

Menghindarkan Diri Dari Sifat Kemunafikan


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ - متفق عليه
Dari Abu Hurairah ra; dari Rasulullah SAW beliau bersabda, “Ciri-ciri orang munafik ada tiga; apabila berbicara ia berdusta; apabila berjanji ia mengingkari ; dan apabila diberi amanah ia berkhianat. (Muttafaqun Alaih)

Dalam hadits yang singkat ini, terdapat makna yang mendalam dan hikmah yang dapat dijadikan pelajaran. Diantara makna dan hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Rasulullah SAW menggambarkan mengenai sifat-sifat dan sikap yang tercela dan harus dihindari oleh setiap muslim. Sifat-sifat tersebut adalah berdusta, ingkar janji dan berkhianat. Karena ternyata ketiga sifat ini selain merugikan dalam kehidupan sosial terhadap orang lain, juga karena ketiga sifat ini merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh orang munafik. Oleh karenanya Rasulullah SAW mengatakan bahwa tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; yaitu berdusta, ingkar janji dan berkhianat. Agar jangan sampai seorang muslim terperosok pada ketiga sifat tersebut.

2. Hadits di atas juga secara tegas yang jelas menjelaskan ciri dan karakter mendasar orang munafik, yang dari zaman ke zaman dan dari tempat ke tempat memiliki kesamaan. Karena sifat kemunafikan ini bersumber dari lemahnya keimanan dan motivasi duniawi yang tinggi. Sehingga ketika ia berbuat sesuatu, yang dilihatnya adalah untung rugi dan maslahat untuk dirinya pribadi, tanpa perduli dengan orang lain.

3. Sifat pertama orang munafik adalah berdusta. Rasulullah SAW menggambarkannya dengan ungkapan, “apabila berbicara berdusta.” Berdusta adalah mengemukakan sesuatu yang berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya. Dan sifat seperti ini sangat dicela oleh Islam, dan merupakan dosa besar. Dalam hadits lain Rasulullah SAW berkata :
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلاَثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ - رواه البخاري
Dari Abu Bakrah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kalian aku beri tahu dosa-dosa yang paling besar?” Sahabat menjawab, “Tentu wahai Rasulullah SAW.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” (belaiu berdiri dan kemudian duduk) lalu mengatakan, dan perkataan dusta.” Abu Bakrah mengatakan, “beliau mengulang-ulang kata ini sampai-sampai aku berkata, sekiranya beliau diam” (HR. Bukhari)

4. Sifat kedua adalah ingkar janji. Sementara janji itu adalah hutang yang harus ditepati oleh orang yang berjanji. Bahkan dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan tentang sifat-sifat orang yang bertakwa. Dan diantara sifat-sifat mereka adalah ( الوفاء بالعهد ) menepati janji. Dan orang munafik senantiasa tidak dapat menepati janjinya, mereka selalu ingkar terhadap janjinya.

5. Sifat ketiga dari sifat orang munafik adalah apabila diberi amanah ia berkhianat. Berkhianat dalam artian ia tidak menjalankan atau melaksanakan amanah yang telah diembankan kepadanya. Amanah itu berfariasi sebagaimana berfariasinya kehidupan di duniawi. Terkadang amanah dapat berbentuk pekerjaan, harta benda, waktu, ilmu, dan lain sebagainya. Bahkan kehidupan di dunia inipun sesungguhnya amanah Allah yang diembankan kepada seluruh umat manusia. Dan orang munafik senantiasa tidak dapat melaksanakan segala amanah yang diembankan kepada dirinya.

6. Inilah ketiga sifat buruk yang juga merupakan sifat munafik yang harus dihindari secara total dari diri kaum muslimin. Bahkan jika terdapat salah satunya saja, itu berarti bahwa dalam diri kita terdapat salah satu sifat kemunafikan yang harus dihindarkan. Karena jika salah satu sifat itu melekat pada diri kita, itu mencerminkan adanya “kekurangan” dalam keimanan kita.



Wallahu A’lam Bis Shawab.
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag.

Menuju Qolbun Salim (Hati Yang Bersih)

Qolbun salim berasal dari dua kata bahasa Arab, yaitu qolbun (hati) dan salim (bersih, suci dan lurus). Jika kedua kata ini digabungkan, maka akan membentuk arti ‘hati yang lurus, bersih, suci dan ikhlas dalam segala gerak, fikiran, perasaan, perbuatan dan lain sebagainya hanya kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut istilah qolbun salim sebanyak dua kali. Dan keduanya menggambarkan tentang hatinya nabi Ibrahim as. :

1. Dalam QS. 26 : 87 – 89
وَلاَ تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ * يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ* إِلاَّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ*
“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”

2. Dalam QS. 37 : 83 – 85
وَإِنَّ مِنْ شِيعَتِهِ لإِبْرَاهِيمَ* إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ* إِذْ قَالَ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَاذَا تَعْبُدُونَ*
“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah itu?”

Jika kita renungkan, sebenarnya Allah SWT menginginkan agar seluruh hamba-hamba-Nya dapat memiliki hati yang bersih, yang dapat mengantarkan mereka pada surga Allah SWT, sekligus untuk menyempurnakan segala kenikmatan yang diberikan kepada seluruh hamba-hamba-Nya. Dan untuk menyucikan hati manusia, Allah menurunkan Al-Qur’an (agama Islam), guna dijadikan pedoman hidup manusia: (QS. 5 : 6)
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ*
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Namun untuk memiliki hati yang bersih, kita terlebih dahulu harus mengetahui seluk beluk hati manusia, sifat-sifatnya dan juga godaan-godaan yang dapat menghanyutkannya. Hati ini merupakan sentral jiwa manusia, yang apabila hatinya baik, maka insya Allah akan baik pula seluruh tubuhnya, dan jika hatinya buruk, maka akan buruk pula seluruh tubuhnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Nu’man ra, Rasulullah SAW bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
“…ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat sekerat darah, yang apabila ia baik maka baik pula seluruh jasadnya. Dan apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa sekerat darah tersebut adalah hati. (HR. Bukhari Muslim)

Dari hadits di atas kita dapat memetik satu kesimpulan, yaitu bahwa hati ternyata laksana nahkoda sebuah bahtera. Dimana arah tujuan dari bahtera tersebut sangat ditentukan oleh sang nahkoda. Jika nahkodanya memiliki niatan dan tujuan yang baik, insya Allah akan membawa bahtera tersebut ke arah yang baik. Sebaliknya, jika ia memiliki tujuan yang jahat, maka secara otomatis kapal tersebut sedang berjalan ke arah yang negatif. Oleh karena itulah sangat penting bagi kita memiliki hati yang bersih guna menjadikan kehidupan kita benar-benar sedang melaju ke arah yang baik, yaitu keridhaan Allah SWT.

Imam al-Ghazali mengungkapkan, “bahwa hati merupakan sesuatu yang paling berharga dalam diri manusia. Karena dengan hatilah, seseorang mampu mengenal Allah, beramal untuk mengharapkan ridha-Nya dan juga guna mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan jasad pada hakekatnya hanyalah menjadi pelayan dan pengikut hati, sebagaimana seorang pelayan terhadap tuannya.”

Oleh kerena itulah terdapat sebuah ungkapan, bahwa siapa yang mengenal hatinya maka ia akan mengenal Rabbnya. Namun disayangkan, karena betapa banyaknya manusia yang tidak mengenal hatinya sendiri. Lalu Allah menjadikannya seolah dirinya terpisah dari hatinya. Pemisahan ini dapat berbentuk penghalang untuk mengenal dan bermuroqobatullah (selalu dalam pengawasan Allah). Dan atas dasar hal inilah, banyak ulama yang menjadikan ma’rifatul qolb sebagai dasar dan pedoman bagi orang-orang saleh yang ingin lebih mendekatkan dirinya kepada Allah.

Namun ternyata banyak rintangan untuk mendekatkan hati kepada Sang Pencipta. Karena godaan syaitan sangat luar biasa terhadap diri manusia. Imam Al-Ghazali menggambarkannya dengan sebuah benteng yang dikepung oleh musuh yang berambisi memasuki dan menguasainya. Benteng tersebut sudah barang tentu harus dijaga pintu-pintunya, guna menghindari desakan musuh yang bergerak menyerbunya. Namun orang yang tidak mengetahui pintu-pintunya sudah barang tentu tidak dapat menjaganya. Maka demikian juga halnya dengan hati. Seseorang tidak mungkin dapat menjaganya bahkan juga mengusir syaitan yang menyerangnya melainkan dengan mengetahui pintu-pintu yang terdapat dalam hatinya tersebut. Pintu-pintu yang dapat dimasuki syaitan diantaranya adalah:
  • Iri hati
  • Dengki
  • Ambisi
  • Emosi
  • Hawa nafsu (kemaksiatan)
  • Kemegahan (bermewah-mewah)
  • Cinta (lawan jenis)
  • Kesombongan
  • Ketergesaan, dsb.

Dalam perumpamaan lain, syaitan itu digambarkan seperti seekor anjing lapar yang mendekati seorang insan. Jika ia tidak memegang suatu makanan seperti daging atau roti, maka akan dengan mudah mengusir anjing ini. Namun jika dalam genggaman tangannya terdapat daging, roti dan makanan lainnya, maka akan lebih sulit mengusir anjing tersebut. Perlu adanya kekuatan ekstra guna mengusirnya, dengan kekuatan tangan, kaki atau kayu dan tongkat, barulah ia dapat mengusir anjing itu. Demikian pula dengan hati yang dikuasai hawa nafsu serta jauh dari dzikrullah. Sudah barang tentu ia menjadi mangsa para syaitan yang kelaparan. Dan untuk mengusirnya juga diperlukan tenaga ekstra, berbeda dengan hati yang hampa dari nafsu…
Inilah sensitifas hati seorang insan, yang ternyata sangat rentan akan godaan. Oleh karenanya tidak heran, jika Rasulullah SAW sering mengungkapkan doa yang cukup masyhur;
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ، وَيَا مُصَرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Wahai Pembolak balik hati, tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu. Wahai Pemutar balik hati, tetapkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.”

Beliau yang telah di jamin dapat menapakkan kakinya dalam surga, masih dengan khusyu’nya memanjatkan irama doa yang indah. Maka sebagai umat dan pengikutnya, memanjatkan doa guna kelurusan hati merupakan hal yang seyogyanya mendapatkan prioritas. Marilah sejenak kita meninggalkan berbagai keegoisan hati dalam diri kita, baik politik, golongan, jabatan, kekayaan dan sebagainya. Guna memasrahkan jiwa dan raga yang ternyata sangat kecil dan tiada memiliki daya apapun juga di hadapan Yang Maha Perkasa. Paling tidak dalam bulan suci ramadhan ini, agar rajut-rajut ukhuwah yang sempat terkoyak dapat tersulami kembali. Kemudian apapun yang muncul dari hati kita dapat kita ukur dengan pembagian para ulama terhadap hati manusia:

  1. Pertama, hati yang dihiasi dengan nilai ketaqwaan, dzikir, pembersihan jiwa dan muraqabatullah (sikap hati yang selalu merasa berada dalam pengawasan Allah). Hati seperti ini, insya Allah dapat menangkal segala sifat tidak terpuji. Hati seperti ini sering juga disebut dengan hati yang bersih (Qolbun Salim).
  2. Kedua, hati yang berlumurah hawa nafsu, terselimuti sifat-sifat tercela. Hati seperti inilah yang kerap kali menjadi mangsa syaitan untuk mengobrak abrik sedikit saja sinar terang yang terdapat di dalamnya. Hati akan lambat laun akan menjadi kelam, seperti malam yang tidak berbulan.
  3. Ketiga, hati yang memiliki potensi mengikuti hawa nafsu, namun juga masih terdapat jeritan keimanan untuk berbuat kebaikan. Ia berada diantara kebaikan dan keburukan, walaupun pada akhirnya ia harus menentukan pilihan; hitam atau putih.
Sebagai hamba Allah, hendaknya kita memohon dan memasrahkan hati kita kepada Allah, agar hati ini terhindar dari goresan-goresan kemunafikan menuju keikhlasan-Nya yang abadi. Wahai manusia, wahai diri kita, wahai para pemimpin-pemimpin bangsa, marilah kita kembali mengenali hati kita beserta sensitifitasnya, agar kita dapat memiliki hati yang suci (Qolbun salim), sebagai mana nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim serta para nabi-nabi lainnya. … Amin.


Wallahu A’lam bis Shawab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.

Berusaha Menghindari Sifat Sombong


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ - رواه مسلم
Dari Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji dzurrah berupa kesombongan.” Seorang sahabat bertanya, (wahai Rasulullah SAW) bagaimana jika seseorang menginginkan pakaiannya bagus dan alas kakinya bagus?. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Adapun kesombongan adalah menentang kebenaran dan merendahkan manusia. (HR. Muslim)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kesombongan merupakan sikap yang tidak terpuji, yang berakibat pada diharamkannya seseorang dari surga Allah SWT. Karena kesombongan akan membawa dampak negatif baik bagi diri pribadi seseorang yang sombong tersebut, terlebih-lebih bagi orang lain. Karena dari kesombongan ini akan melahirkan rasa sakit hati, tidak suka dan penghindaran orang lain terhadapnya serta dampak-dampak negatif lainnya.

2. Hakekat kesombongan adalah seseorang yang tidak mau menerima kebenaran (baca ; al-haq) dan senantiasa merendahkan orang lain. Artinya manakala kebenaran itu telah Allah tampakkan dengan jelas didepan matanya, namun ternyata ia tetap mengingkarinya dan senantiasa bergelut dengan kebathilannya tersebut. Selain itu, masuk juga dalam kategori kesombongan adalah seseorang yang senantiasa merendahkan orang lain, dan merasa bahwa dirinya lebih baik dari orang lain.

3. Memiliki pakaian yang bagus dan alas kaki yang bagus bukanlah merupakan suatu kesombongan. Rasulullah SAW dengan jelas mengatakan dalam hadits di atas bahwa Allah itu Maha Indah dan sangat menyukai keindahan. Jadi kesombongan bukan terletak pada pakaian atau alas kaki seseorang, namun kesombongan muncul dari hati, yang tercerminkan secara dzahir berupa penentangan terhadap Al-Haq dan sikap merendahkan orang lain yang berarti dia merasa bahwa dirinya lebih baik dari orang lain.

4. Hakekat ini juga memberikan arti bagi kita bahwa seseorang diperbolehkan memiliki kekayaan yang lebih, yang salah satu bentuknya adalah memiliki pakaian dan alas kaki yang indah yang dikenakannya. Sifat seperti ini tidak termasuk dalam kesombongan selagi ia tidak mengingkari kebenaran dan merendahkan orang lain. Namun sebaliknya jika seseorang yang bahkan tidak memiliki pakaian dan alas kaki yang bagus, namun ia mengingkari kebenaran dan senantiasa merendahkan orang lain, maka ini merupakan bentuk kesombongan.

5.Kesombongan tidak ada artinya sama sekali bagi manusia. Karena di dunia dirinya akan dibenci orang, sementara di akhirat ia akan dimasukkan ke dalam api neraka, na’udzu billah min dzalik :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ - رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ada tiga golongan yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka, tidak mensucikan mereka, tidak melihat pada mereka dan mereka akan mendapatkan azab yang pedih; orang tua yang berzina, raja yang pendusta dan orang miskin yang sombong. (HR. Muslim)


Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag.

Menjadi Pemimpin Dalam Segala Aspek Kehidupan


عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِِ - رواه البخاري

Dari Abdullah bin Umar ra, Rasulullah SAW bersabda. “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya. Seorang Imam (pimpinan) adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang khadim (pembantu) adalah pemimpin pada harta tuannya (majikannya), dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”(HR. Bukhari, Muslim, Turmudzi, Abu Daud & Ahmad bin Hambal)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah :
1. Hakekat kepemimpinan dalam Islam. Seorang pemimpin dalam Islam, bukanlah sekedar seseorang yang diangkat untuk menempati jabatan kepemimpinan tertentu, seperti jabatan presiden misalnya. Namun pemimpin adalah seseorang yang mendapatkan suatu amamat yang harus dikerjakan dan dilaksanakannya, kendatipun kecilnya amanat tersebut. Karena apa yang diamanatkan kepada dirinya, akan dimintai pertanggun jawabannya oleh Allah SWT secara keseluruhan tanpa terkecuali.

2. Manhaj Rasulullah SAW dalam mentarbiyah para sahabatnya. Beliau senantiasa menanamkan rasa “kepemimpinan”, pada hati setiap sahabatnya. Contohnya adalah hadits ini, yang menanamkan rasa “kepemimpinan” sahabat, kendatipun ia hanya sebagai seorang khadim (pembantu), atau hanya sebagai seorang suami dan juga bahkan jika ia hanya sebagai seorang istri di rumah suaminya.

3. Persamaan tanggung jawab insan di hadapan Allah SWT. Karena semua manusia akan kembali kepadanya, kendatipun tingginya kedudukan yang dimilikinya di dunia ini. Seorang khadim, belum tentu ia lebih hina di akhirat dibandingkan dengan majikannya. Seorang istri yang hanya sebagai ibu rumah tangga, bisa jadi ia lebih mulia dibandingkan dengan seorang presiden yang memimpin sebuah negara. Namun mereka semua memiliki satu kesamaan, yaitu pertanggung jawaban yang sama atas amanat yang Allah berikannya pada mereka. Inilah bukti keadilan Islam.

4. Antara Imam (pemimpin) dan khadim (pelayan). Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mendahulukan menyebut “Imam”, kemudian mengakhirkan menyebut “Khadim”. Hikmah dari mengawalkan imam dan mengakhirkan khadim adalah karena kecendrungan manusia yang sering silau dengan jabatan. Manusia berlomba-lomba mencari jabatan yang paling tinggi di kehidupan dunia ini, karena dipandang sebagai satu kemuliaan. Padahal semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin besar tanggung jawab yang akan dipikulnya di akhirat kelak. Dalam sebuah hadits umpamanya, Rasulullah SAW mengatakan :
قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ - رواه مسلم
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang Allah berikan amanat kepadanya berupa rakyat yang dipimpinnya kemudian ia mati dan pada saat ia mati ia berbuat kecurangan terhadap rakyatnya, melainkan Allah akan haramkan baginya surga (HR. Muslim)

5. Setiap muslim harus berhati hati terhadap profesi apapun yang diembannya; apakah sebagai karyawan, pedagang, buruh pabrik, ibu rumah tangga, pembantu, tukang kebun, supir taksi, pengurus masjid, marbot masjid, bendahara yayasan, anggota dewan, pejabat, kepala sekolah dan lain sebagainya. Karena pada hakekatnya ia sedang memimpin pada “amanahnya” tersebut. Jika tidak berhati-hati, maka ia akan mendapatkan azab, karena lalai dalam menjalankan amanahnya.

Wallahu A’lam
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag.

Cara Islam Mumuliakan Mitra Bisnis


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى - رواه البخاري
Dari jabin Bin Abdillah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT akan memberikan rahmat kepada seseorang yang mempermudah (orang lain) ketika menjual, mempermudah (orang lain) ketika membeli dan mempermudah ketika menagih hutang.

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini :
1. Pentingnya memudahkan urusan orang lain, khususnya dalam urusan bisnis. Karena hal tersebut merupakan ibadah yang akan mendapatkan pahala dari Allah SWT (yang dalam hadits ini disebutkan dengan kata-kata “Allah memberikan rahmat”), sekaligus hal ini juga merupakan bentuk ibadah (dalam muamalah) yang akan mensukseskan bisnis seseorang.

2.Berbisnis merupakan suatu pekerjaan, yang memiliki banyak keutamaan. Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah :
  • Allah menggunakan istilah ‘tijarah’ (yang bermakna bisnis) dalam menggambarkan tentang hubungan seorang mu’min dengan Allah SWT. Hal ini terlihat dalam QS. As-Shof/ 61 : 10 – 13.
  • Bisnis merupakan pekerjaan yang mulia. Dalam hadits diriwayatkan :
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَفْضَلِ الْكَسْبِ فَقَالَ بَيْعٌ مَبْرُورٌ وَعَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ - رواه أحمد
Dari Hani’ bin Nayar bin Amru ra berkata, bahwa Nabi Muhammad SAW ditanya mengenaipekerjaan yang paling mulia. Beliau menjawab, ‘Jual beli (bisnis) yang mabrur (sesuai syariatdan tidak mengandung unsur tipuan dan dosa) dan pekerjaan yang dilakukan seseorang dengankedua tangannya.” (HR. Ahmad)
  • Bisnis akan mndatangkan keberkahan. Artinya cara mencari rizki dengan berbisnis merupakan cara yang mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda;
عَنْ حَكِيمٍ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا - رواه البخاري ومسلم
Dari Hakim bin Hizam ra, dari Nabi Muhammad SAW bersabda; “Penjual dan pembeli keduanya bebas memilih selagi keduanya belum berpisah. Maka jika keduanya jujur dan saling menjelaskan dengan benar, maka akan diberkahi pada bisnis keduanya. Namun jika menyembunyikan cacat dan dusta, maka terhapuslah keberkahan jual beli tersebut. (HR. Bukhari – Muslim)
  • Pelaku bisnis yang jujur dan amanah akan mendapatkan surga. Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ التَّاجِرُ الصَّدُوقُ اْلأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ (رواه الترمذي)
Dari Abu Sa’id ra, dari Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seorang pebisnis yang jujur lagi amanah, maka ia akan bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada’. (HR. Turmudzi)

  • Pada masyarakat Mekah, (khususnya di masa Rasulullah SAW), seseorang tidak akan memilikikewibawaan jika ia bukan seorang pebisnis. Kendatipun ilmu, kekuatan fisik, atau nasab yang bagus. Namun jika pada saat bersamaan, dia juga merupakan pebisnis maka ia akan memilikikewibawaan tersendiri.

3. Kata “samhan” dalam hadits di atas, ditafsirkan dengan “bisuhulah” (memudahkan) oleh Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam Fathul Barinya. Kata samhan sendiri jika diterjemahkan secara bahasa, memiliki arti longgar, toleransi, membuat orang lain senang, dan juga memperbolehkan. lain Sehingga seorang pebisnis yang baik, ia akan memudahkan, toleransi dan menyenangkan orangketika bertransaksi dengannya. Sehingga siapapun “betah” dan senang dalam berbisnisdengannya. Baik ketika jual beli, maupun ketika menagih pembayaran (hutang).

4. Jika dicermati, ketiga hal sederhana yang disebutkan Rasulullah SAW dalam hadits di atasmerupakan kunci sukses dalam berbisnis. Pebisnis manapun akan melihat, bahwa membeli (ketika membeli barang untuk kemudian dijual kembali), menjual barang/ produknya dan juga ketika menagih pembayaran dalam transakis jual beli, merupakan inti dari sebuah usaha atau bisnis. Dan ketika ketiga hal tersebut dapat dilakukan dengan baik, tentunya juga akan memperlancar usaha bisnisnya. Sebaliknya jika ketiga proses tersebut terhambat, maka sedikit banyak juga akan menghambat proses bisnisnya. Oleh karenanya, Rasulullah SAW menggambarkan bahwa Allah akan memberikan rahmat kepada orang yang memudahkan orang lain dalam ketiga proses bisnis tersebut.

5. Diantara cara memudahkan orang lain (baca ; customer) dalam berbisnis adalah :
  • Mulai menyapa terlebih dahulu (dengan salam)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ - رواه البخاري
Dari Abdullah bin Amru ra, bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, amalan Islam apakah yang paling baik? Rasulullah SAW bersabda, “Memberikan makan (pada orang miskin) dan mengucapkan salam baik terhadap orang yang engkau kenal maupun yang tidak engkau kenal. (HR. Bukhari).

  • Menyambut dengan senyuman
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
Dari Abu Dzar ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Senyumanmu terhadap saudaramu adalah shadaqah bagimu.”

  • Memperhatikan keperluannya
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَمَنْ كَانَ فِيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ (رواه البخاري)
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ...”Dan barang siapa yang (memperhatikan) keperluan saudaranyal, maka Allah SWT pun akan (memperhatikan) keperluan-keperluannya. (HR. Bukhari)

  • Memulai bisnis sejak pagi sekali
لاَ تَنَامُوْا عَنْ طَلَبِ أَرْزَاقِكُمْ فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ إِلَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ - رواه الديلمي في الفردوس
Dari Anas bin Malik ra (beliau mamarfu’kannya dari Rasulullah SAW) bersabda, ‘Janganlah kalian tidur (kembali) untuk mencari rizki kalian, yaitu antara waktu shalat subuh hingga terbitnya matahari. (HR. Dailami dalam Musnad Firdaus)

  • Menjaga silaturahim
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ - رواه البخاري
Dari Anas bin Malik ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang berkeinginan agar rizkinya dilapangkan dan nama baiknya di kekalkan, maka hendaknya ia menyambung tali persaudaraannya.” (HR. Bukhari)

  • Itqan (Sempurna & Profesional)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ (رواه الطبراني)
Dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang apabila ia mengerjakan sesuatu, ia mengerjakannya dengan itqan.” (HR. Thabrani).

6. Pentingnya memudahkan orang yang berhutang, ketika sedang dalam kondisi kesempitan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT :
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. 2 : 280)

Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Muhkam Dan Mutasyabihat Dalam Al-Qur'an

Dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang dikenal dengan istilah ayat-ayat muhkam dan juga terdapat ayat-ayat yang dikenal dengan sebutan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat Muhkan adalah ayat sudah jelas makna dan maksudnya, sedangkan Ayat Mutasyabihat adalah ayat yang memilki banyak interpretasi makna, dan oleh karenanya sering menimbulkan permasalahan dalam pemahaman ayat-ayat mutasyabihat tersebut. Sebenarnya bagaimana ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat? Tulisan berikut mudah-mudahan dapat memberikan sedikit pencerahan bagi pembaca sekalian.

1. Makna Muhkam

Al-Qur’an (baca ; ayat-ayat suci Al-Qur'an) semuanya adalah muhkam. Ungkapan ini dimaksudkan bahwa kemuhkaman Al-Qur'an mencakup lafadh dan keindahan nadhamnya, (baca ; susunan dan rangkaian kata & kalimatnya) sunguh sangat sempurna¸tak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafadhnya, maupun dalam segi maknanya. Dan dengan pengertian seperti inilah Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagaimana yang Allah tegaskan dalm firmannya :
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. (QS. 11 : 1)

2. Makna Mutasyabih
Dan kita dapat juga mengatakan, bahwa seluruh Al-Qur’an (ayat-ayatnya) adalah mutasyabih, jika yang kita maksudkan dengan kemutasybihannya adalah kemutamatsilan (yaitu serupa atau sebanding) antara ayat-ayatnya, baik dalam bidang balaghoh maupun dalam bidang I’jaz dan kesulitan kita menampakkan kelebihan sebahagian sukunya atau yang lain. Dengan pengertian inilah Allah swt berfrman :
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, (QS. 39 : 23)

3. Beberapa pendapat ulama
Makna ihkam dan tasyabuh (baca; muhkam dan mutasyabi) dalam pengertian bahwa ayat-ayat Al-Qur'an seluruhnya muhkam atau mutasyabihat (sebagaimana yang dibahas di atas) bukanlah yang kita maksudkan dari muhkam dan mutasyabihat yang akan kita bahas. Namun yang perlu digaris bawahi pula adalah bahwa yang mennyebabkan kita mengatakan istilah muhkam dan mutasyabih, landasannya adalah firman Allah :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. 3 : 7)

Didalam ayat itu telah dinyatakan, bahwasanya muhkam ialah imbangan (baca; lawan) dari mutasyabih. Dalam artian bahwa sebagai orang yang rasikh (mendalam) ilmunya adalah imbangan (baca; lawan) dari orang-orang yang ada kesesatan dalam jiwanya. Para Ulama telah mnjadikan imbangan-imbangan ini sebagai dasar untuk mendefinisikan muhkam dan mutasyabih. Maka banyaklah pendapat-pendapat mereka dalam maudhu/ tema ini yang bermacam pula .

Namun demikiann pada akhirnya mereka menetapkan, bahwasanya yang dikatakan muhkam adalah “yang menunjukkan kepada maknanya dengan jelas”, sedikitpun tak ada yang tersembunyi padanya. Sedang mutasyabih ialah : yang kosong dari petunjuk yang kuat, yang menunjuk pada maknanya. Maka masuklah ke dalam muhkam : nash dan dzahir (jelas). Dan ke dalam mutasyabih : mujmal, muawwal dan musykil . Karena lafadh mujmal memerlukan penjelasan. Lafadh muawwal, tidak menunjukkan kepada suatu makna, terkecuali sesudah ditakwil, sedang musykil, tersembunyi petunjuknya. Pada pokoknya ada kesamaran dan kemubhaman.

Jelasnya, adalah pada ayat-ayat yang muhkam, menyebabkan kita tidak perlu membahasnya, karena dengan kita membacanya, kita telah mengetahui apa maksudnya. Tapi tersembunyinya maksud dari ayat-ayat mutasyabih, itulah yang menyebabkan kita membahasnya, supaya kita mengetahui kemudian menjauhi dari golongan orang-orang yang didalam jiwanya ada kesesatan.

  • Kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang mutasyabih tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah SWT sendiri dan mereka mengharuskan kita berwaqaf (baca; berhenti) dalam membaca Surat Ali Imran ayat 7 pada lafadh jalalah :

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُو اْلأَلبَابِ
Dan tidak ada yang mengetahui maknanya melainkan Allah. Adapun orang-orang yang rasikh ilmuny , maka mereka hanya mengatakan : “aamannaa bihii kullun min indi rabbina” ( Kami beriman kepadanya semuanya itu dari pada Tuhan kami)”.

  • Sedangkan Abu Hasan al Asy’ari berpendapat bahwa waqof (berhenti membaca) dilakukan pada: “warrasikhuuna fil ilmi “, dengan makna bahwa; mereka yang rasikh itu mengetahui takwil mutasyabih. Pendapat ini dijelaskan oleh Abu Ishak Asy Syirozi (wafat pada th 476 H) dan mendapatkan pembelaan dari beliau. Asy Syirazi berkata: tak ada satupun dari ayat-ayat Al-Qur’an yang Allah sendiri mengetahui maknanya “Para Ulama mengetahui maksudnya, karena sesungguhnya Allah menyebut firmannya ini dalam rangka menguji para ulama. Andaikata mereka tidak mngetahui makna mutasyabih, bersekutulah mereka dengan orang-orang awam.

  • Ar-Raghib al-Ashfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi masalah ini. Beliau membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahui maknanya kepada tiga bahagian :
  1. Bahagian yang tak ada jalan mengetahuinya, seperti waktu terjadi , keluar binatang dari bumi dan yang sepertinya.
  2. Bahagian manusia menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafadh-lafadh yang ganjil dari hukum-hukum yang sulit/rumit.
  3. Bahagian yang terletak antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh sebahagian ulama yang rasikh ilmunya, tidak diketahuinya oleh sebahagian yang lain.

Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi dengan sabdanya kepada Ibnu Abbas ra, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى كَتِفِي أَوْ عَلَى مَنْكِبِي شَكَّ سَعِيدٌ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ - رواه أحمد
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW meletakkan tangannya di atas bahuku, kemudian berkata, Ya Allah jadikanlah dia seorang yang fakih dalam agama dan ajarkanlah takwil kepadanya” (HR. Ahmad)

Pendapat ar-Raghib inilah yang imbang, tidak ifrath dan tidak tafrith. Dzat Allah dan hakikat-hakikat sifat-Nya tak ada yang mengetahuinya selain dari Allah sendiri. Dalam pengertian inilah mengatakan dalam doanya :
أنت كما أثنيت غلى نـفسك لا أحصى ثناء عليك
“Sebagaimana engkau telah menyanjung diri engkau . Aku tak dapat menghinggakan puji dan sanjung atas diri engkau”

Dalam membahas fawatihus Suwar, kita akan ketemukan berbagai takwil yang diberikan para ulama. Semua pendapat para ulama berkisar pada permasalahan hikmah wujudnya (fawatihu Suwar), bukan sekitar hakikat-hakikatnya. Maka di dalam ketidak mampuannya manusia menemukan hakikat-hakikat itu. terasalah oleh manusia kelemahannya. Dan diapun mengucapkan :
قَالُوا سُبْحَانَكَ لاََ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Kami mengakui kesucian Engkau, tak ada ilmu bagu kami terkecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya. Engkau adalah Tuhan yang senantiasa mengetahui lagi senantiasa menyelesaikan sesuatu dengan hikmah.” (QS. 2: 32)

Ayat-ayat yang musykil mengenai sifat-sifat Allah, diantaranya adalah seperti firman Allah SWT berikut :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy. (QS.20 : 5)

Ar-Razi dalam tafsirnya menerangkan hikmah yang diterangkan sifat-sifat yang mutasyabih, belaiu berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an melengkapi dakwah kepada orang-orang khusus dan dakwah kepada orang-orang umum.” Para ulama dalam menanggapi sifat-sifat mutasyabihah, mempunyi dua madzhab :
  1. Madzhab Salaf, yaitu : mengimani sifat-sifat yang mutasyabihat itu dan menyerahkan hakikat kepada Allah sendiri.
  2. Madzhab Khalaf, yaitu : mempertanggung jawabkan(mentakwilkan) lafadz yang mustahil dhahirnya kepada makna yang layak dengan dzat Allah

Ulama salaf mensucikan Allah dari kenyataan –kenyatan yang mustahil dan mengimani apa yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahklan urusan hakikat nya kepada Allah SWT. Sedangkan Ulama khalaf memaknakan istiwa’ dengan ketinggian yang berupa maknawi yaitu mengendalikan alam ini tanpa merasa payah, memaknakan kedatangan Allah dengan kedatangan perintah-Nya, memaknakan Allah berada diatas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, memaknakan “janbillah” dengan hak Allah, memaknakan wajah dengan Dzat,memaknakan “ain dengan “inayat”, memaknakan yad dengan qudrat dan memaknakan nafs dengan siksa.

Sementara para khalaf mentakwilkan sifat-sifat mutasyabihah dengan jalan mempertanggung jawabkannya kepada majaz yang terdekat, sehingga makna dari ayat-ayat mutasyabihat tersebut dapat lebih difahami.

Namun sebagai hamba Allah SWT, hendaknya kita memiliki kehati-hatian dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an tersebut. Jangan sampai kita "terjebak" dalam penta'wilan yang tidak ada nash dan dasarnya, yang justru akan menjerumuskan pada pemahaman yang keliru. Namun hendaknya juga jangan "enggan" untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an, karena kita masih dapat merujuk ke kitab-kitab tafsir (bil ma'tsur) untuk dapat memahami maksud dan makna yang terkandung di dalamnya.



Wallahu A’lam Bis Shawab

The Power of "Kepepet"


Ada seorang raja yang memiliki anak gadis sangat cantik jelita dan shalehah luar biasa. Tidak seorang pun pemuda yang hidup di negeri itu, melainkan ia mendambakan dalam hatinya untuk menjadi pendamping setia si gadis putri raja semata wayang itu. Bukan hanya karena ia seorang putri raja yang cantik, namun ia juga sangat shalehah, baik hati, pandai, cerdas dan juga tentunya manawan hati...

Di usianya yang sudah senja, Raja yang sangat bijaksana itu berkeinginan untuk mencari pengganti dirinya sebagai raja, sekaligus tentunya yang akan menjadi menantu alias suami putri tunggal kesayangannya tersebut. Sebagai raja, ia sangat bisa untuk menunjuk orang mana saja yang disukainya atau yang dianggapnya memiliki kemampuan untuk memimpin negerinya sebagai seorang raja. Namun, karena ia sangat bijaksana, cara itu tidak ditempuhnya.

Raja memilih untuk memberikan kesempatan kepada seluruh pemuda yang ada dinegerinya, untuk menjadi menantunya. Lalu dibuatlah pengumuman, bahwa siapa saja yang berkeinginan untuk menjadi suami dari anak perempuan kesayangannya dan sekaligus menjadi raja, maka silakan untuk mengikuti kompetisi kerajaan yang akan dilaksanakan beberapa hari ke depan. Mendengar kesempatan yang sangat berharga itu, semua pemuda berbondong-bondong mendaftarkan dirinya ke Istana.

Pada hari yang telah ditentukan untuk kompetisi, Raja dan putri kesayangannya berdiri di tepi sebuah telaga yang cukup luas. Lalu Raja mengumumkan seperti apa kompetisi tersebut. Raja meminta kepada para pemuda yang ingin menjadi suami sang putri, untuk berenang menyeberangi telaga dari sisi yang berlawanan dari tempat Raja dan putrinya berdiri. Siapa yang paling cepat sampai ke tepi bagian Raja dan putrinya berdiri, maka dialah yang akan menjadi suami putrinya.

Mendengar kompetisi tersebut, semua pemuda merasa dirinyalah yang paling bisa dan akan menjadi pemenangnya serta mereka merasa tidak sabar untuk segera memulai berenang menyeberangi telaga. Namun sebelum mereka berenang, tiba-tiba ada beberapa petugas kerajaan yang melemparkan potongan-potongan daging ke dalam telaga, dan tiba-tiba dari dalam telaga tersebut muncul ratusan buaya ganas berukuran besar dan bergigi tajam yang dengan ganasnya memakan daging-daging tersebut.

Melihat fenomena tersebut, para pemuda yang semula sangat antusias untuk berenang ke telaga, mengurungkan niatnya. Nyali mereka menjadi "ciut" melihat betapa ganasnya buaya-buaya tersebut melalap daging yang dilemparkan kepada mereka. Bahkan sesekali buaya-buaya mengeluarkan suara yang semakin menciutkan niatan para pemuda. Semua pemuda terdiam dan terpaku. Mereka diam seribu basa. Tidak ada yang terdengar, melainkan suara raungan buaya yang berebut memakan daging, membuat suasana menjadi semakin mencekam...

Tiba-tiba pada saat yang menakutkan itu, terdapat seorang pemuda yang terlihat masuk ke dalam telaga. Ia berenang ke kiri dan kanan, memukul, menendang, menghindar, dan terkadang naik ke atas punggung buaya. Meskipun dikepung dari berbagai arah, ia tetap terus berusaha keras... nafasnya terengah-engah, namun semua mata menyaksikan bagaimana pemuda ini benar-benar berjuang habis-habisan untuk bisa menyeberangi telaga penuh buaya itu.... Nyaris saja, kepalanya masuk ke mulut buaya, lantaran ia melompat menghindari buaya yang ada di depannya, namun ternyata di sampingnya sudah terdapat buaya besar dengan mulut terbuka lebar tepat di depan matanya. Sekiranya ia tidak "nekat" memukul keras bagian kepala dekat mata buaya tersebut, tentulah kepalanya akan menjadi santapan sang buaya.

Akhirnya, setelah berjuang keras yang nyaris mengorbankan nyawanya, sang pemuda tiba diseberang telaga, tepat di posisi sang Raja dan Putrinya berdiri... Raja tersenyum dan memberikan tepuk tangan, yang kemudian diikuti oleh tepuk tangan para peserta dan hadiri yang hadir dalam kompetisi tersebut. Suara terompet dan gendang pun turut mengiringi keberhasilan sang pemuda, dan tidak sedikit orang-orang yang bersorak-sorak menyambut kemenangan sang pemuda tersebut....

Raja memberikan selamat dan mengumumkan kepada para hadirin, bahwa pemuda inilah yang menjadi pemenangnya dan akan menjadi pendamping hidup putri raja sekaligus juga akan menjadi Raja untuk menggantikan dirinya. Lalu Raja mempersilakan kepada pemuda tampan tersebut yang juga ternyata sebagai seorang pemuda yang shaleh, apakah ia berkenan untuk memberikan sambutan atau pidato, atau apapun kepada para hadirin dan peserta yang lain? Ia pun mengiyakannya.

Ketika naik di atas podium, dan setelah mengucapkan terimakasihnya kepada sang Raja, ia berkata. "Saya tidak ingin berpidato di atas mimbar ini, saya hanya ingin bertanya, siapakah tadi di awal kompetisi, yang mendorong saya hingga menjadikan saya terjatuh masuk ke dalam telaga yang penuh dengan buaya tersebut?" Semua orang terdiam ketika itu. Tak satupun yang berani mengakui sebagai pelaku yang melakukan tindakan pendorongan kepada sang Pemuda, hingga membuatkan masuk ke dalam telaga penuh dengan buaya tersebut. Lalu pemuda selanjutnya ucapannya, "Siapapun orangnya, saya hanya ingin mengucapkan teriamkasih yang sebesar-besarnya kepada orang tersebut. Sekiranya tidak ada yang mendorong saya, tentulah saya tidak akan pernah berada di atas mimbar ini, dan tentunya saya tidak akan menjadi pemenangnya. Jadi sekali lagi terimakasih....."

Kisah ini saya dengar dari Mas Jamil Azzaini dalam talkshow Live Exelent di 104.6 Trijaya FM Jakarta, setiap hari kamis sore, pukul 17.00 - 18.30



Catatan :

Bahwa ternyata "kepepet" itu bisa memunculkan kekuatan dahsyat dalam diri kita. Dikarenakan kepepet, seseorang yang tidak bisa lari, akan lari tunggung langgang dengan sangat kencang bahkan bisa melompati pagar yang tinggi sekalipun, manakala ada seekor anjing besar yang mengejarnya.

Kalau pemuda dalam kisah diatas tidak kepepet dengan terlanjur masuk ke dalam telaga buaya tersebut (karena didorong oleh orang lain), mungkin ia tidak akan pernah mendapatkan sang putri dan juga kedudukan sebagai seorang raja...

Jadi, sekiranya Allah SWT mentakdirkan kita dalam suatu suasana yang "kepepet", maka yakinlah bahwa dibalik itu semua pasti ada hikmah yang bisa kita petik untuk bekal kehidupan kita di masa yang akan datang......

Wallahu A'lam Bis Shawab

Manhaj Yang Benar Dalam Mentadaburi Al-Qur'an



Muqaddimah

Al-Qur'an merupakan sumber utama bagi kehidupan umat Islam, baik dari segi hukum, sosial, pendidikan, ekonomi, politik, da'wah, budaya, dan lain sebagainya. Dan seperti inilah seharusnya umat Islam berinteraksi dengan Al-Qur'an. Karena Allah SWT ketika menurunkannya, berkeinginan agar Al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman hidup manusia, guna mencapai kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Geneasi awal umat ini, telah membuktikannya, dengan menjadikan Al-Qur'an "segalanya" dalam hidup mereka. Rasulullah SAW pun - sebagaimana dikatakan oleh Aisyah ra, bahwa akhlaknya adalah Al-Qur'an. Beliau merupakan refleksi Al-Qur'an yang berjalan dan tertafsrikan dalam bentuk amaliah seorang insan. Sahabat-sahabat beliau juga demikian, hingga mereka mendapatkan gelar "khairul qurun".
Prestasi ini mereka peroleh, karena sikap mereka ketika berinteraksi dengan Al-Qur'an mencerminkan refleksi yang luar biasa. Sayid Qutub menggambarkannya dalam tiga faktor; pertama, karena mereka menjadikan Al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber guna menjadi pegangan hidup mereka, dan mereka membuang jauh-jauh berbagai sumber lainnya. Kedua, ketika mereka membacanya, mereka tidak memiliki tujuan untuk tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahannya dan lain sebainya. Namun mereka membacanya hanya untuk mengimplementaikan apa yang diinginkan oleh Allah dalam kehidupan mereka. Ketiga, mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masa lalu ketika jahiliah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik yang bersifat pemikiran maupun budaya. Dengan kitiga hal inilah, Utz Sayid Qutub (1993;14) mengatakan, bahwa bahwa tidak ada sebuah generasipun yang muncul dan memiliki prestasi keimanan sebagaimana para sahabat. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya satu dua tokoh yang dapat menyamai keimanan para sahabat, namun tidak dengan jumlah besar, sebagaimana jumlahnya para sahabat, dalam satu masa dan satu masyarakat yang telah tertentu.
Mentadaburi Al-Qur'an; itulah langkah awal yang diperlukan guna dapat mengamalkan dan mengaplikasikan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW pun melarang mengkhatamkan Al-Qur'an kurang dari tiga hari. Karena hal tersebut dikhwatirkan akan menafikan makna dari bacaan kita sendiri, dan menghilangkan tadabur dari tilawah kita.

Makna Tadabur.
Ditinjau dari segi bahasanya, tadabur berasal dari kata "tadabaro" yang memilki arti memikirkan atau merenungkan:
تدبر يتدبر تدبرا
Imam al-Baidhawi dalam tafsirnya (II/225) menggemukakan bahwa asal tadabur adalah memperhatikan/ merenungkan dibelakang sesuatu (setelah sesuatu selesai dilakukan);
وأصل التدبر: النظر في أدبار الشيء
Sedangkan Imam al-Alusi, mengemukakan juga dalam tafsirnya, bahwa asal pengertian tadabur adalah; merenungkan sesuatu, setelah selasai dilaksanakan. Kemudian istilah ini digunakan untuk segala perenungan, baik ditinjau dari hakekat sesuatu, bagian-bagiannya, sesuatu yang telah lalu, sebab-sebabnya atau yang akan datang berikutnya dan setelah selesai dilaksanakannya.
وأصل التدبر: التأمل في أدبار الأمور وعواقبها، ثم استعمل في كل تأمل سواء كان نظرا في حقيقة الشيء وأجزاءه أو سابقه وأسبابه أو لواحقه وأعقابه

Sedangkan definisi secara istilahnya, tadabur al-Qur'an (sebagaimana dikemukakan Imam al-Suyuthi) berarti:
تأمل معانيه وتبصر ما فيه
"Merenungkan ma'ani-ma'aninya, dan memikirkan segala sesuatu yang dikandungnya."

Pada intinya, (penulis berpendapat) bahwa tadabur adalah sebuah cara untuk memahami ayat secara lebih mendalam, dengan meunggunakan metode tertentu dan cara tertentu yang sesuai dengan kemampuan kita, guna memperdalam ma'ani imaniyah dan kualitas ruhiyah sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

Urgensi Tadabur Dalam Kehidupan Da'i dan Mu'min
1. Mentadaburi merupakan perintah Allah SWT, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al-Qur'an (47:24):
أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها
"Maka apakah mereka tidak memtadaburi al-Qur'an, ataukan hati mereka terkunci?"

2. Tadabur penting guna memahami isi kandungan / ma'ani al-Qur'an. Karena tadabur pada hakekatnya merupakan miniatur penafsiran al-Qur'an, atau dengan bahasa lain bentuk sederhana dari penafsiran al-Qur'an, yang tujuan utamanya adalah untuk pengisian ruhiyah dan memperkaya imaniah.

3. Tadabur merupakan sarana untuk menambah keimanan kepada Alllah SWT. Dalam al-Qur'an Allah berfirman (8 : 2):
إنما المؤمنون الذين إذا ذكر الله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم آياته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكلون
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iaman mereka dan kepada Rabnyalah mereka bertawakal.”

4. Tadabur juga diperlukan guna mengejewantahkan al-Qur'an dalam kehidupan nyata, baik yang bersifat politik, da'wah, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Karena bagaimana mungkin mengamalkan al-Qur'an jika tidak didahului dan dibarengi dengan pemahaman serta pentadaburan.

5. Tadabur juga merupakan salah satu wasilah yang dapat digunakan untuk menyelami rahasia diantara rahasia-rahasia Allah, yang tersimpan dibalik firman-firman-Nya.

6. Tadabur diperlukan juga dalam kehidupan mu'min dan da'i sebagai bahan perenungan diri dan muhasabah dalam perjalan hidupnya.

7. Tadabur juga merupakan pelita yang dapat memberikan kekuatan ekstra (dopping) dalam ruhiyah seseorang, terutama bagi para da'i, yang dapat memberikan semangat baru, iltizam baru, dan azimah yang baru, hingga ia mampu untuk berbuat lebih banyak dan banyak lagi.

8. Tadabur juga merupakan sarana untuk menggerogoti dan menghilangkan karat-karat yang melekat pada hati insan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن القلوب تصدع كما يصدع الحديد،
قالوا وما جلاءها يا رسول الله؟ قال تلاوة القرآن وذكر الموت.
“Sesungguhnya hati manusia itu memiliki potensi untuk berkarat sebagaimana berkaratnya besi. Sahabat bertanya, kalau demikian maka apakah pengikisnya wahai Rasulullah SAW?, beliau menjawab, tilawatul Qur’an dan dzikrul maut.” (HR. Tabrani)

Tilawah yang dapat menghilangkan karat-karat hati, tentulah tilawah yang dibarengi dengan pentadaburan makna-maknanya.


Faktor-faktor yang Menunjang Keberhasilan Tadabur
Penulis melihat terdapat beberapa faktor yang dapat menunjang keberhasilan tadabur, diantaranya adalah:
1. Hendaknya tadabur didasari dengan niat yang bersih; ikhlas dan pasrah semata-mata kepada Allah SWT, dengan menyatukan keinginan hati kita, dengan keinginan lantunan ayatt-ayat yang kita baca. Sehingga hati kita dapat larut dalam lautan ayat-ayat-Nya.

2. Guna mencapai keoptimalan dalam mentadaburi Al-Qur'an, ada baiknya jika kita memperhatikan adab-adab dalam membaca dan mentadaburi al-Qur'an. Seperti mencari tempat yang sesuai, bersih dan suci, kemudian diusahakan menghadap qiblat dan lain sebagainya. Lebih baik lagi, jika tadabur didahului dengan wudhu, sehingga kesejukan lebih merata menempa jiwa dan raga kita, serta hidayah Allah lebih mudah menembus fisik kita memasuki hati.

3. Hendaknya dihadirkan pula sebuah keinginan yang kuat, bahwa tujuan pentadaburan kita adalah untuk mengamalkan ma'ani-ma'ani rabbani dalam kehidupan nyata, atau paling tidak memiliki tujuan untuk memperkuat dan memperkaya ruhiyah kita dengan pesan-pesan ilahi.

4. Tadabur akan semakin sesuai dengan asholahnya, jika kita juga memperhatikan alat-alat bantu (baca; wasilah) dalam mentadaburi al-Qur'an, seperti memahami asbabunnuzul, makna mufradat, dsb.

5. Ketika al-Qur'an telah berada di tangan kita, hendaknya kita membuang jauh-jauh hawa nafsu dan keinginan-keinginan duniawi dari hati kita.


Metodologi Tadabur Yang Benar
Bagaimanapun juga, tadabur masih merupakan salah satu bentuk penafsiran al-Qur'an meskipun sederhana. Oleh karena itulah, dibutuhkan juga sebuah metode penafsiran yang shahih, meskipun juga dalam bentuknya yang sederhana. Terdapat beberapa cara penting guna mentadaburi al-Qur'an, yang jika seluruhnya tidak bisa dilakukan, maka tidak boleh pula ditinggalkan secara keseluruhan. Artinya, perlu ada upaya untuk memenuhi manhaj dalam pentadaburan al-Qur'an:
1. Mentadaburi ayat-ayat al-Qur'an, dibantu dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur'an lainnya yang dapat menjelaskan ayat tersebut. Seperti ketika mentadaburi ayat yang berbicara mengenai ulul Albab, (3: 190), kita dapat mengetahui bahwa yang dimaksud dengan ulul albab adalah orang-orang yang senantiasa ingat kepada Allah, baik ketika berdiri, duduk dan tidurnya. Kemudian selalu merenungi tentang ciptaan-Nya baik yang ada di langit maupun di bumi…dst.

2. Mentadaburi al-Qur'an dengan metode memahaminya dari sunnah. Seperti ketika mentadaburi ayat 92 surat Ali Imran, yaitu bahwa orang tidak dapat meraih kebaikan, hingga ia menginfakkan sesuatu yang paling dicintainya. Dalam hadits dijelaskan (HR. Bukhari Muslim), bahwa Abu Thalhah ketika mendengarkan ayat ini, segenar mendatangi Rasulullah SAW, untuk menginfakkan tanahnya (bairuha') yang sangat indah dan strategis guna kepentingan Islam…

3. Mentadaburi al-Qur'an dengan aqwal sahabah (perkataan sahabat Rasulullah SAW), sebagai generasi yang paling memahami ayat-ayat Allah. Seperti ketika mentadaburi ayat tentang riya' seperti QS. 8: 47, di mana dalam ayat tersebut tidak disebutkan tentang ciri-ciri orang yang riya'. Kita dapat menggunakan perkataan sahabat, Ali bin Abi Thalib misalnya, yang menggambarkan ciri-ciri orang yang riya' sebagai berikut;
للمرائي علامات: يكسل إذا كان وحده، ينشط إذا كان مع الناس،يزيد في العمل إذا أثنى وينقص إذا ذم
Orang yang riya' memiliki beberapa ciri; malas apabila sendiri, semangat bila berada dihadapan orang banyak, bertambah giat jika mendapat pujian dan mengendur semangatnya apabila mendapat celaan.

4. Mentadaburi dengan merujuk ke pengertian dan kaidah bahasa arab. Karena bagaimanapun juga, Al-Qur'an menggunakan bahasa Arab. Imam Syahid mengatakan; ".. dan memahami al-Qur'an hendaknya sesuai dengan kaidah bahasa Arab tanpa penyimpangan dan juga tanpa dibuat-buat (dipaksakan)…"

5. Mentadaburi al-Qur'an dengan menggunakan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur'an, seperti ilmu qiraat, asbabunnuzul, dsb.

Kemudian sekiranya hal-hal di atas terasa sulit dilakukan, maka dapat pula dengan menggunakan terjemah al-Qur'an, sebagai alat bantu dalam memahami dan mentadaburi ayat-ayat yang menjadi bahan renungan kita. Pada intinya, jangan sampai ayat-ayat, berlalu begitu saja, tanpa ada penghayatan, perenungan dan sebuah usaha untuk memahaminya. Allah sudah memberikan peringatan kepada kita:
أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها
"Maka apakah mereka tidak memtadaburi al-Qur'an, ataukan hati mereka terkunci?"

Penutup
Membaca tanpa merenungi kandungan al-Qur'an merupakan salah satu hal yang dikemukakan oleh Syekh Ibrahim bin Adham (w.162), sebagai penyebab matinya hati. Akankah seorang da'i membiarkan hati, sebagai satu-satunya pemberian Allah yang dapat menghubungkan antara bumi dan langit menjadi mati? Marilah kita bersama memperbaiki tilawah kita, baik dari segi bacaannya, pemahamannya maupun pengimplementasiannya dalam kehidupan riil. Agar dapat muncul ke dunia ini, generasi-generasi sebagaimana generasi sahabat ridwanullah alaihim.

Wallahu A'lam Bishowab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.

Etika Dan Akhlak Bekerja Dalam Islam


Bekerja Dalam Islam

Islam memandang bahwa bekerja merupakan satu kewajiban bagi setiap insan. Karena dengan bekerja, seseorang akan memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan juga keluarganya serta dapat memberikan maslahat bagi masyarakat di sekitarnya. Oleh karenanya Islam bahkan mengkategorikan bekerja sebagai ibadah, yang diperintahkan oleh Allah SWT :
“Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".

Selain sebagai satu kewajiban, Islam juga memberikan penghargaan yang sangat mulia bagi para pemeluknya yang dengan ikhlas bekerja mengharapkan keridhaan Allah SWT. Penghargaan tersebut adalah sebagaimana dalam riwayat-riwayat hadits berikut :
  • Akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT
مَنْ أَمْسَى كَالاًّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ أَمْسَى مَغْفُوْرًا لَهُ رواه الطبراني
Dari Ibnu Abbas ra berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Barang siapa yang merasakan keletihan pada sore hari, karena pekerjaan yang dilakukan oleh kedua tangannya, maka ia dapatkan dosanya diampuni oleh Allah SWT pada sore hari tersebut." (HR. Imam Tabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Ausath VII/ 289)

  • Dihapuskan dosa-dosa tertentu yang tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa dan shadaqah.
إِنَّ مِنَ الذُّنُوْبِ لَذُنُوْبًا، لاَ تُكَفِّرُهَا الصَّلاةُ وَلاَ الصِّياَمُ وَلاَ الْحَجُ وَلاَ الْعُمْرَةُ، قَالَ وَمَا تُكَفِّرُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ الْهُمُوْمُ فِيْ طَلَبِ الْمَعِيْشَةِ رواه الطبراني
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya diantara dosa-dosa itu terdapat suatu dosa yang tidak dapat diampuni dengan shalat, puasa, haji dan juga umrah." Sahabat bertanya, "Apa yang bisa menghapuskannya wahai Rasulullah?". Beliau menjawab, "Semangat dalam mencari rizki". (HR. Thabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Ausath I/38)

  • Mendapatkan cinta Allah SWT
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ رواه الطبراني
Dari Ibnu Umar ra bersabda, 'Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu'min yang bekerja dengan giat". (HR. Imam Tabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Aushth VII/380) :

  • Terhindar dari azab neraka
Dalam sebuah riwayat dikemukakan, "Pada suatu saat, Saad bin Muadz Al-Anshari berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad SAW baru kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat tangan Sa'ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa sengatan matahari. Rasulullah bertanya, 'Kenapa tanganmu?' Saad menjawab, 'Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku." Kemudian Rasulullah SAW mengambil tangan Saad dan menciumnya seraya berkata, 'Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka'" (HR. Tabrani)

  • Bekerja mencari nafkah digolongkan dalam fi sabililah
Dari Ka'ab bin Umrah berkata, "Ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang itu sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat lalu berkata, 'Ya Rasulullah, andaikata bekerja seperti dia dapat digolongkan fi sabilillah, alangkah baiknya.' Lalu Rasulullah bersabda, 'Jika ia bekerja untuk mengidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; Jika ia bekerja untuk membela kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; dan jika ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu adalah fi sabilillah... (HR. Thabrani)

Riwayat-riwayat di atas sudah lebih dari cukup bagi seorang mu'min untuk menjadi motivator dalam bekerja, terlebih-lebih bekerja di Lembaga Keuangan Syariah, yang memiliki visi untuk merealisasikan syariat Allah di muka bumi ini. Oleh karenanya seorang muslim yang baik adalah yang bekerja dengan penuh kesungguhan dan ketekunan. Karena selain mendapatkan penghasilan untuk kehidupan dunianya, ia juga mendapatkan beribu kebaikan untuk kehidupannya di akhirat kelak.

Etika Bekerja Dalam Islam
Dalam mewujudkan nilai-nilai ibadah dalam bekerja yang dilakukan oleh setiap insan, diperlukan adab dan etika yang membingkainya, sehingga nilai-nilai luhur tersebut tidak hilang sirna sia-sia. Diantara adab dan etika bekerja dalam Islam adalah :

1. Bekerja dengan ikhlas karena Allah SWT.
Ini merupakan hal dan landasan terpenting bagi seorang yang bekerja. Artinya ketika bekerja, niatan utamanya adalah karena Allah SWT. Ia sadar, bahwa bekerja adalah kewejiban dari Allah yang harus dilakukan oleh setiap hamba. Ia faham bahwa memberikan nafkah kepada diri dan keluarga adalah kewajiban dari Allah. Ia pun mengetahui, bahwa hanya dengan bekerjalah ia dapat menunaikan kewajiban-kewajiban Islam yang lainnya, seperti zakat, infak dan shodaqah. Sehingga ia selalu memulai aktivitas pekerjaannya dengan dzikir kepada Allah.

2. Itqon, tekun dan sungguh-sungguh dalam bekerja.
Implementasi dari keikhlasan dalam bekerja adalah itqon (baca ; profesional) dalam pekerjaannya. Ia sadar bahwa kehadiran tepat pada waktunya, menyelesaikan apa yang sudah menjadi kewajibannya secara tuntas, tidak menunda-nunda pekerjaan, tidak mengabaikan pekerjaan, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari esensi bekerja itu sendiri yang merupakan ibadah kepada Allah SWT. Dalam sebuah hadits, riwayat Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, dia itqan (baca ; menyempurnakan) pekerjaannya." (HR. Thabrani).

3. Jujur dan amanah.
Etika lain dari bekerja dalam Islam adalah jujur dan amanah. Karena pada hakekatnya pekerjaan yang dilakukannya tersebut merupakan amanah, baik secara duniawi dari atasannya atau pemilik usaha, maupun secara duniawi dari Allah SWT yang akan dimintai pertanggung jawaban atas pekerjaan yang dilakukannya. Implementasi jujur dan amanah dalam bekerja diantaranya adalah dengan tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, tidak curang, obyektif dalam menilai, dan sebagainya. Rasulullah SAW memberikan janji bagi orang yang jujur dan amanah akan masuk ke dalam surga bersama para shiddiqin dan syuhada'. Dalam hadits riwayat Imam Turmudzi : Dari Abu Said Al-Khudri ra, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Pebisnis yang jujur lagi dipercaya (anamah) akan bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada'.

4. Menjaga etika sebagai seorang muslim.
Bekerja juga harus memperhatikan adab dan etika sebagai seroang muslim, seperti etika dalam berbicara, menegur, berpakaian, bergaul, makan, minum, berhadapan dengan customer, rapat, dan sebagainya. Bahkan akhlak atau etika ini merupakan ciri kesempurnaan iman seorang mu'min. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan, "Orang mu'min yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya." (HR. Turmudzi). Dan dalam bekerja, seorang mu'min dituntut untuk bertutur kata yang sopan, bersikap yang bijak, makan dan minum sesuai dengan tuntunan Islam, berhadapan dengan customer dengan baik, rapat juga dengan sikap yang terpuji dan sebagainya yang menunjukkan jatidirinya sebagai seorang yang beriman. Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah SAW menggambarkan bahwa terdapat dua sifat yang tidak mungkin terkumpul dalam diri seorang mu'min, yaitu bakhil dan akhlak yang buruk. (HR. Turmudzi)

5. Tidak melanggar prinsip-prinsip syariah.
Aspek lain dalam etika bekerja dalam Islam adalah tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syariah dalam pekerjaan yang dilakukannya. Tidak melanggar prinsip syariah ini dapat dibagi menjadi beberapa hal, Pertama dari sisi dzat atau substansi dari pekerjaannya, seperti memporduksi barang yang haram, menyebarluaskan kefasadan (seperti pornografi dan permusuhan), riba, risywah dsb. Kedua dari sisi penunjang yang tidak terkait langsung dengan pekerjaan, seperti tidak menutup aurat, ikhtilat antara laki-laki dengan perempuan, membuat fitnah dalam persaingan dsb. Pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip syariah, selain mengakibatkan dosa dan menjadi tidak berkahnya harta, juga dapat menghilangkan pahala amal shaleh kita dalam bekerja. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlal kepada Rasul-Nya dan janganlah kalian membatalkan amal perbuatan/ pekerjaan kalian.." (QS. 47 : 33).

6. Menghindari syubhat
Dalam bekerja terkadang seseorang dihadapkan dengan adanya syubhat atau sesuatu yang meragukan dan samar antara kehalalan dengan keharamannya. Seperti unsur-unsur pemberian dari pihak luar, yang terdapat indikasi adanya satu kepentingan terntentu. Atau seperti bekerja sama dengan pihak-pihak yang secara umum diketahui kedzliman atau pelanggarannya terhadap syariah. Dan syubhat semacam ini dapat berasal dari internal maupun eksternal. Oleh karena itulah, kita diminta hati-hati dalam kesyubhatan ini. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, "Halal itu jelas dan haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat. Maka barang siapa yang terjerumus dalam perkara yang syubhat, maka ia terjerumus pada yang diharamkan..." (HR. Muslim)

7. Menjaga ukhuwah Islamiyah.
Aspek lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah masalah ukhuwah islamiyah antara sesama muslim. Jangan sampai dalam bekerja atau berusaha melahirkan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin. Rasulullah SAW sendiri mengemukakan tentang hal yang bersifat prefentif agar tidak merusak ukhuwah Islamiyah di kalangan kaum muslimin. Beliau mengemukakan, "Dan janganlah kalian menjual barang yang sudah dijual kepada saudara kalian" (HR. Muslim). Karena jika terjadi kontradiktif dari hadits di atas, tentu akan merenggangkan juga ukhuwah Islamiyah diantara mereka; saling curiga, su'udzon dsb. Karena masalah pekerjaan atau bisnis yang menghasilkan uang, akan sangat sensitif bagi palakunya. Kaum Anshar dan Muhajirin yang secara sifat, karakter, background dan pola pandangnya sangat berbeda telah memberikan contoh sangat positif bagi kita; yaitu ukhuwah islamiyah. Salah seorang sahabat Anshar bahkan mengatakan kepada Muhajirin, jika kamu mau, saya akan bagi dua seluruh kekayaan saya; rumah, harta, kendaraan, bahkan (yang sangat pribadipun direlakan), yaitu istri. Hal ini terjadi lantaran ukhuwah antara mereka yang demikian kokohnya.

Ranjau-Ranjau Berbahaya Dalam Dunia Kerja
Dunia kerja adalah dunia yang terkadang dikotori oleh ambisi-ambisi negatif manusia, ketamakan, keserakahan, keinginan menang sendiri, dsb. Karena dalam dunia kerja, umumnya manusia memiliki tujuan utama hanya untuk mencari materi. Dan tidak jarang untuk mencapai tujuan tersebut, segala cara digunakan. Sehingga sering kita mendengar istilah, injak bawah, jilat atas dan sikut kiri kanan. (Na'udzu billah min dzalik). Oleh karenanya, disamping kita perlu untuk menghiasi diri dengan sifat-sifat yang baik dalam bekerja, kitapun harus mewaspadai ranjau-ranjau berbahaya dalam dunia kerja serta berusaha untuk menghindarinya semaksimal mungkin. Karena dampak negatif dari ranjau-ranjau ini sangat besar, diantaranya dapat memusnahkan seluruh pahala amal shaleh kita. Berikut adalah diantara beberapa sifat-sifat buruk dalam dunia kerja yang perlu dihindari dan diwaspadai:

1.Hasad (Dengki)
Hasad atau dengki adalah suatu sifat, yang sering digambarkan oleh para ulama dengan ungkapan "senang melihat orang susah, dan susah melihat orang senang." Sifat ini sangat berbahaya, karena akan "menghilangkan" pahala amal shaleh kita dalam bekerja.Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ أَوْ قَالَ الْعُشْبَ رواه أبو داود
Dari Abu Hurairah ra berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah oleh kalian sifat hasad (iri hati), karena sesungguhnya hasad itu dapat memakan kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar. (HR. Abu Daud)

2.Saling bermusuhan
Tidak jarang, ketika orang yang sama-sama memiliki ambisi dunia berkompetisi untuk mendapatkan satu jabatan tertentu, atau ingin mendapatkan "kesan baik" di mata atasan, atau sama-sama ingin mendapatkan proyek tertentu, kemudian saling fitnah, saling tuduh, lalu saling bermusuhan. Jika sifat permusuhan merasuk dalam jiwa kita, dan tidak berusaha kita hilangkan, maka akibatnya juga sangat fatal, yaitu bahwa amal shalehnya akan "dipending" oleh Allah SWT, hingga mereka berbaikan.Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا رَجُلًا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra berkata,bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Pintu-pintu surga dibuka pada hari senin dan kamis, maka pada hari itu akan diampuni dosa setiap hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, kecuali seseorang yang sedang bermusuhan dengan saudaranya sesama muslim, maka dikatakan kepada para malaikat, “Tangguhkan dua orang ini sampai mereka berbaikan.” (HR. Muslim).

3.Berprasangka Buruk
Sifat inipun tidak kalah negatifnya. Karena ambisi tertentu atau hal tertentu, kemudian menjadikan kita bersu'udzon atau berprasangka buruk kepada saudara kita sesama muslim, yang bekerja dalam satu atap bersama kita, khususnya ketika ia mendapatkan reward yang lebih baik dari kita. Sifat ini perlu dihindari karena merupakan sifat yang dilarang oleh Allah & Rasulullah SAW, di samping juga bahwa sifat ini merupakan pintu gerbang ke sifat negatif lainnya.Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَافَسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah oleh kalian prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka buruk itu adalah sedusta-dustanya perkataan. Dan janganlah kalian mencari-cari berita kesalahan orang lain, dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah kalian saling mementingkan diri sendiri, dan janganlah kalian saling dengki, dan janganlah kalian saling marah, dan jangan lah kalian saling memusuhi dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersudara. (HR. Muslim)

4.Sombong
Di sisi lain, terkadang kita yang mendapatkan presetasi sering terjebak pada satu bentuk kearogansian yang mengakibatkan pada sifat kesombongan. Merasa paling pintar, paling profesional, paling penting kedudukan dan posisinya di kantor, dsb. Kita harus mewaspadai sifat ini, karena ini merupakan sifatnya syaitan yang kemudian menjadikan mereka dilaknat oleh Allah SWT serta dijadikan makhluk paling hina diseluruh jagad raya ini. Sifat ini pun sangat berbahaya, karena dapat menjadikan pelakunya diharamkan masuk ke dalam surga (na'udzu billah min dzalik). Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda "Tidak akan pernah masuk ke dalam surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat satu biji sawi sifat kesombongan" (HR. Muslim).

5.Namimah (mengadu domba)
Indahnya dunia terkadang membutakan mata. Keingingan mencapai sesuatu, meraih kedudukan tinggi, memiliki gaji yang besar, tidak jarang menjerumuskan manusia untuk saling fitnah dan adu domba. Sifat ini teramat sangat berbahaya, karena akan merusak tatanan ukhuwah dalam dunia kerja. Di samping itu, sifat sangat dimurkai oleh Allah serta dibenci Rasulullah SAW.Dalam sebuah hadits rasulullah bersabda :
عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَجُلًا يَنُمُّ الْحَدِيثَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ
Dari Hudzaifah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersbada, “Tidak akan masuk surga sesroang yang suka mengadu domba.” HR Bukhari Muslim)


Masih banyak sesungguhnya sifat-sifat lain yang perlu dihindari. Namun setidaknya kelima ranjau berbahaya tadi, dapat menggugah kita untuk menjauhi segala ranjau-ranjau berbahaya lainnya khususnya dalam kehidupan dunia kerja. Jadi, sekarang bekerjalah dengan niat ikhlas, hiasi dengan sifat-sifat positif dan songsonglah hari esok dengan penuh kegemilangan serta keridhaan dari Allah SWT.

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

;;