The Power of Shiddiq (4) Memanen Kesuksesan

عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْخَازِنَ الْمُسْلِمَ الْأَمِينَ الَّذِي يُنْفِذُ، وَرُبَّمَا قَالَ يُعْطِي مَا أُمِرَ بِهِ فَيُعْطِيهِ كَامِلًا مُوَفَّرًا طَيِّبَةً بِهِ نَفْسُهُ فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِي أُمِرَ لَهُ بِهِ أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْنِ - متفق عليه
Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: "Seorang bendahara muslim yang melaksanakan tugasnya dengan jujur, dan membayar sedekah kepada orang yang diperintahkan oleh majikannya secara sempurna dengan segera dan dengan pelayanan yang baik, maka ia mendapat pahala yang sama seperti orang yang bersedekah." (Muttafaqun Alaih)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa kejujuran yang diiringi sifat amanah, dengan membayar atau menunaikan sedekah (baca ; membayarkan manfaat Takaful) secara sempurna, dan dilakukan secara segera serta dengan pelayanan yang prima, akan mendapatkan keutamaan sama seperti orang yang bersedakah itu sendiri. Demikianlah Rasulullah SAW menggambarkannya kepada kita semua. Dan apabila kita renungkan, betapa pekerjaan kita sehari-hari adalah sangat “mirip” dengan yang Rasulullah SAW sabdakan. Karena kita semua merupakan “khazin” yaitu yang menyimpan dan mengelola harta orang (baca ; sedekah dan atau tabarru’), membayarkan kepada yang berhak dan dituntut memberikan pelayanan yang baik. Dan sungguh, ternyata pekerjaan kita semua akan berbuah setiap hari-harinya seperti keutamaan orang-orang yang bersedakah. Namun itu semua haruslah didasari dengan kejujuran, sebagaimana yang beliau sabdakan dalam hadits di atas.

2. Bahwa shidiq atau kejujuran akan berbuah keberuntungan dan kebahagiaan. Hal ini sebagaimana dialami oleh Rasulullah SAW. Kejujurannya lah yang menjadikan beliau justru “dicari” oleh Khadijah (investor) bahkan belaiu “ditawari” oleh Khadijah untuk mengelola hartanya. Kejujuran beliau pulalah, yang kemudian menjadikan “bisnis” yang dikelola beliau, menjadi bisnis yang sangat menguntungkan dan penuh dengan keberkahan. Dan karena kejujuran beliau pulalah yang kemudian menjadikan Khadijah memilih untuk menikah dengan Rasulullah SAW. Dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, tentang kejujuran Rasulullah SAW dalam berniaga, sebagaimana dituliskan oleh Al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum, sebagai berikut :
“Ibnu Ishaq berkata, “Khadijah binti Khuwailid adalah seorang saudagar wanita keturunan bangsawan dan kaya raya. Dia mempekerjakan tenaga laki-laki dan melakukan sistem bagi hasil terhadap harta (modal) tersebut sebagai keuntungan untuk mereka nantinya. Kabilah Quraisy dikenal sebagai kaum pedagang handal. Tatkala sampai ke telinga Khadijah perihal kejujuran bicara, amanah dan akhlak Rasulullah SAW yang mulia, dia mengutus seseorang untuk menemuinya dan menawarkan untuk memperdagangkan harta miliknya tersebut ke negeri Syam dengan imbalan yang paling istimewa yang tidak pernah diberikan kepada para pedagang lainnya, dengan didampingi seorang budak laki-laki milik Khadijah yang bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran tersebut dan berangkat dengan barang-barang dagangan Khadijah bersama budak tersebut hingga sampai di negeri Syam. Ketika beliau pulang ke Mekkah dan Khadijah melihat betapa amanahnya beliau terhadap harta yang diserahkan kepadanya, begitu juga dengan keberkahan dari hasil perdagangan yang belum pernah didapatinya sebelum itu, ditambah lagi informasi dari budaknya, Maisarah perhial budi pekerjti beliau nan demikian manisnya, sifat-sifatnya yang mulia, ketajaman berpikir, cara bicara yang jujur dan cara hidup yang penuh amanah, maka dia seakan menemukan apa yang didambakannya selama ini. Padahal, banyak sekali para pemuka dan kepada suku yang demikian antusias untuk menikahinya namun semuanya dia tolak. Akhirnya dia menyampaikan curahan hatinya kepada teman wanitanya, Nafisah binti Munayyah yang kemudian bergegas menemui beliau dan menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah SAW serta menganjurkan beliau untuk menikahi Khadijah….” (Ar-Rahiq Al-Makhtum, hal 79 – 80)

3. Afzalurrahman dalam Muhammad as a Trader menulis, kunci sukses berdagang Nabi Muhammad SAW terletak pada sikap jujur dan adil dalam mengadakan hubungan dagang dengan para pelanggan. Itulah yang selalu dia tunjukkan ketika menjadi agen saudagar kaya Siti Khadijah ra — yang kemudian menjadi isti tercinta — untuk melakukan perdagangan ke Syiria, Jerussalem, Yaman dan tempat-tempat lain. Dalam perjalanan perdagangan itu, Nabi mendapatkan perolehan keuntungan di luar dugaan. Nabi menandaskan kejujuran dan agar menjaga hubungan yang baik dan ramah kepada para pelanggan maupun mitra dagang. Prinsip Nabi, pedagang yang tak jujur, meskipun sesaat mendapatkan keuntungan banyak, tapi pelan tapi pasti akan gagal dalam menggeluti profesinya. Karena itu, dia selalu menasehati sahabat-sahabatnya untuk melakukan hal serupa. Apalagi saat Nabi memimpin ummat di Madinah. Praktek-praktek perdagangan yang mengandung unsur penipuan, riba, judi, ketidakpastian dan meragukan, eksploitasi, pengambilan untung yang berlebihan dan pasar gelap belia larang. Nabi juga memelopori standardisasi timbangan dan ukuran.Nabi sangat konsen dengan kejujuran. Sampai-sampai, orang yang jujur dalam berdagang, digaransinya masuk dalam golongan para nabi. Abu Sa’id meriwayatkan bahwa Rasulullah berkata, “Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan para nabi, orang-orang jujur dan para syuhada.”

4. Ada sebuah kisah motivasi yang dapat kita petik hikmahnya, walaupun kisah ini memang bukan hadits atau riwayat dari salafuna shaleh, namun sebagaimana disabdakan Rasulullah dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Kalimat hikmah adalah barang seorang mukmin yang hilang, maka dimana saja ia menemukannya ia lebih berhak untuk mengambilnya." (HR. Ibnu Majah) :
Alkisah, ada seorang raja yang sudah memasuki usia senja dan ingin segera mencari penggantinya. Berbeda dengan kebiasaan di masa itu, ia tak menunjuk anak-anak maupun pembantu terdekatnya untuk menggantikannya menjadi raja. Sang Raja memiliki cara yang berbeda, karena ia menginginkan penggantinya kelak merupakan orang yang benar-benar kompeten menjadi seorang raja.
Suatu ketika, Sang Raja memanggil seluruh pemuda yang berada di negeri itu, dan berpidato di haddapan mereka. "Aku akan mengadakan sayembara. Kalian semua akan mendapatkan sebuah biji. Tanamlah biji ini, rawatlah, dan kembalilah setahun lagi dengan tanaman kalian masing-masing. Bagi yang memiliki tanaman terbaik, akan langsung ku tunjuk menjadi raja menggantikanku", ujar Sang Raja. Mendengar pengumumnan Sang Raja, semua pemuda menjadi sangat antusias untuk merawat biji tersebut sebaik-baiknya.
Seorang pemuda bernama Shabri terlihat sangat antusias. Ia menanam biji itu, dan menyiramaninya setiap hari sepenuh hati. Hari demi hari ia jalanani, tapi sampai sebulan berlalu, dari biji yang ia tanam itu belum tumbuh apa-apa. Bahkan bulan pun berganti bulan, hingga setelah enam bulan ketika para pemuda lainnya mulai membicarakan tanaman mereka yang tumbuh dengan tinggi dan bagusnya, bahkan sebagian sudah ada yang mengeluarkan buah, namun yang terjadi pada Shabri adalah biji yang ditanamnya tak kunjung menampakkan tanda-tanda tumbuh megeluarkan batang dan cabang. Hatinya pun mulai gusar dan gelisah..
Tanpa terasa, setahun pun berlalu. Semua pemuda diminta untuk membawa tanamannya kepada Sang Raja, mereka pun sangat antusias datang ke Istana membawa hasil tanamannya yang diletakkan di pot-pot yang agak besar. Masing-masing mereka saling membanggakan hasil tanamannya. Hal ini tentunya berbeda dengan biji yang ditanam Shabri, yang tidak menghasilkan apapun dari biji yang ditanamnya tersebut. Oleh karenanya, ia pun enggan untuk datang menghadap Sang Raja. Namun ibunya mendorongnya untuk pergi dan berbicara apa adanya kepada Sang Raja. Karena apapun hasilnya, itu merupakan amanah dari Sang Raja, yang harus ia "tunaikan" dan ia pertanggung jawabkan kepada sang Raja.
Akhirnya setelah beristikharah cukup panjang, ia pun berangkat ke Istana dengan tujuan mempertanggung jawabkan hasil kerjanya kepada Sang Raja, dengan membawa pot yang masing kosong tanpa ada satu tangkai tanaman pun yang tumbuh di pot tersebut. Kedatangannya disambut dengan cemoohan, ejekan dan olokan para pemuda lainnya. Shabri hanya terdiam dan berusaha menenangkan diri, seraya memperbanyak istighfar kepada Allah SWT...
Tak lama kemudian, Raja muncul dan mulai memeriksa hasil tanaman seluruh pemuda. Beliau mengungkapkan, "Kerja kalian bagus, tanaman kalian bukan main indahnya. Dan tibalah saatnya bagiku sekarang untuk menunjuk seorang dari kalian untuk menjadi raja yang baru." Mendengar hal tersebut, semua pemuda berharap agar dirinya lah yang akan ditunjuk oleh Sang Raja, untuk menjadi Raja. Suasana menjadi sepi dan senyap. Semua terdiam, menantikan kata-kata yang akan keluar dari Sang Raja. Tiba-tiba Raja memanggil Shabri yang berada di barisan paling belakang. Mendengar namanya dipanggil, Shabri panik, "jangan-jangan aku akan dihukum karena tidak mampu merawat biji yang diamanahkan Raja kepadaku," gumamnya. Suasanapun tiba-tiba berubah menjadi riduh rendah penuh dengan ejekan dan cemoohan hadirin yang menyaksikan pot Shabri yang kosong melompong, tanpa sebatang tangkaipun yang tumbuh dari biji yang ditanamnya.
Raja tiba-tiba berteriak, "Diam semuanya!" Semua pemuda tertegun. Raja kemudian menoleh kepada Shabri, dan kemudian beliau mengumumkan, "Inilah Raja kalian yang baru!". Semua terkejut. Bagaimana mungkin orang yang gagal yang menjadi raja? Menyadari keheranan mereka, Raja kemudian melanjutkan, "Setahun yang lalu aku memberi kalian sebuah biji untuk dtanam. Tapi yang kuberikan kepada kalian adalah biji yang sudah direbus terlebih dahulu. Dan oleh karenanya pasti tidak akan pernah dapat tumbuh. Dan ternyata kalian semua telah menggantinya dengan biji yang lain. Hanya Shabrilah satu-satunya pemuda yang tidak mengganti dengan biji yang lain. Shabri telah bersikap jujur, terhadap amanah yang aku embankan kepadanya." Ujar Sang Raja. "Dan aku menginginkan penggantiku kelak adalah orang yang memiliki kejujuran dan keberanian. Jujur karena tidak mengganti biji dariku dengan biji lainnya. Berani, karena berani datang ke Istana untuk membawa pot dengan biji yang kuberikan, meskipun tidak tumbuh apapun daripadanya. Karena itulah, dia aku angkat menjadi Raja menggantikanku...."

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

The Power of Shiddiq (3) Bukan Sekedar Kejujuran

عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا - متفق عليه
Dari Hakim bin Hizam ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya shiddiq (jujur) dan menjelaskan dagangannya (transparan) maka keduanya akan diberkahi dalam jual belinya. Dan bila keduanya menyembunyikan dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual belinya". (Muttafaqun Alaih)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa dalam syariah, muamalah ternyata bernilai ibadah yang memiliki pahala dan bahkan mendatangkan keberkahan. Hadits di atas sangat jelas menegaskan hal tersebut, dimana ketika transaksi dilakukan antara penjual dan pembeli secara jujur dan transparan maka Allah SWT akan memberikan keberkahan pada transaksi mereka berdua. Namun hal ini tentunya tetap dengan memperhatikan rukun dan syarat jual beli sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh. Artinya, kendatipun jujur dan transparan namun jika mengabaikan rukun dan syarat jual beli, maka tetap saja jual belinya tidak sah, haram dan tidak mendatangkan keberkahan. Contohnya seperti dua orang yang mentransaksikan khamer, narkoba, minuman keras dsb. Maka jual belinya batal, karena objek akadnya adalah barang haram yang dilarang syariah, dan tentunya bukan mendapatkan keberkahan namun justru mendapatkan dosa, serta tidak sahnya keuntungan yang didapatkan.

2. Shiddiq dalam muamalah berwujud pada kejujuran sang penjual ketika menjual dan kejujuran sang pembeli ketika membeli. Karena baik penjual maupun pembeli masing-masing memiliki potensi untuk “tidak jujur” ketika menjual atau membeli. Sebagai contoh seorang penjual yang menawarkan satu objek tertentu kepada calon pembeli, ia berpotensi untuk melebih-lebihkan objek yang ditawarkankan melebihi spec yang sesungguhnya. Atau sebaliknya, seorang calon pembeli yang berpotensi untuk “mengelabui” penjual dengan mengatakan bahwa objek yang ditawarkannya juga ditawarkan penjual yang lain dengan harga yang jauh lebih rendah, supaya ia bisa membeli objek yang ditawarkan dengan harga murah. Ketidakjujuran seperti ini, bisa berdampak pada “dicabutnya” keberkahan transaksi antara keduanya. Imam Nawawi memberikan penjelasan mengenai shiddiq dan tranparan sebagaimana disebutkan dalam hadits diatas, dengan penjelasan sebagai berikut :
“Yaitu bahwa masing-masing penjual dan pembeli menjelaskan kepada yang lainnya berkenaan dengan hal yang perlu dijelaskan, seperti kekurangan/ cacat pada barang yang ditransaksikan dan juga berkenaan dengan harga, serta “jujur” dalam memberikan penjelasan. Juga ketika menginformasikan harga dan segala yang terkait dengan objek. Adapun makna “dimusnahkan keberkahan jual belinya”, yaitu hilangnya keberkahannya. (Keberkahan yaitu bertambah dan berkembangnya nilai barang yang ditransaksikan). (Al-Minhaj Fi Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj, Juz 5 hal 340)

3. Sejarah mencatat bahwa shiddiq merupakan sifat para nabi terdahulu disamping juga merupakan sifat utama Rasulullah SAW. Al-Qur’an menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim as, memiliki sifat shiddiq ini sebagaimana yang Allah firmankan, “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (shiddiq) lagi seorang Nabi.” Demikian juga dengan nabi Idris as, Allah sifati dengan shiddiq, “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (shiddiq) dan seorang nabi.” (QS. 19 : 56). Nabi Yusuf as pun juga disifati dengan sifat ini, karena kejujuran beliau dan karena beliau menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela dengan seorang wanita : “Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan daripadanya. Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar (shiddiq)." (QS. 12 : 51)

4. Dan oleh karena kebaikan sifat shiddiq dengan segala kemuliaannya, Allah SWT memerintahkan kita untuk senantiasa bersifat shiddiq dan bersama-sama dengan orang-orang yang shiddiq. Karena kebersamaan dengan orang-orang yang shiddiq, sedikit banyak akan memberikan pengaruh positif kepada diri kita. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ *
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (shiddiq). (QS. At-Taubah : 119)

5. Bahwa orang yang shiddiq selain mendapatkan keberkahan, berupa bertambahnya harta dan nama baik, orang yang shiddiq juga dijanjikan surga. Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa’ : 69) :
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا*
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

Menguatkan firman Allah SWT di atas, terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, berkenaan dengan para pelaku bisnis yang shiddiq, bahwa kelak mereka akan dikumpulkan bersama para Nabi dan Syuhada’. Dan para Nabi serta Syuhada’ tidak memiliki tempat di akhirat, kecuali di dalam surga :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الْأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ (رواه الترمذي)
Dari Abu Sa'id bahwa Rasulullah SAW beliau bersabda: "Seorang pedagang yang jujur (shiddiq) dan dipercaya (kelak) akan bersama dengan para Nabi, shiddiqun dan para syuhada`." (HR. Turmudzi)

6. Para ulama mengemukakan, bahwa shiddiqin memiliki ciri-ciri, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Teguh dan tegar terhadap apa yang dicita-citakan (diyakininya). Allah SWT mencontohkan dalam al-Qur’an, orang-orang yang shiddiq terhadap apa yang mereka janjikan (bai’atkan) kepada Allah: (QS. 33: 23) “Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati (membenarkan/shiddiq) terhadap apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya)”

b. Tidak ragu untuk berjuang dengan harta dan jiwanya. Allah berfirman dalam al-Qur’an (QS. 49: 15) “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar (shiddiq).”

c. Memiliki keimanan kepada Allah, Rasulullah SAW, berinfaq, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji dan sabar. Allah SWT berfirman, (QS. 2: 177) “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya)/ shiddiq; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

d. Memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam. Allah berfirman dalam al-Qur’an, (QS. 3: 101) “…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…” Jadi, akankah kita masih ragu untuk menjadi orang-orang yang shiddiq?

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

The Power of Shiddiq (2) Mengokohkan Keyakinan

عَنْ أَبِيْ مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ، وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ - رواه الترمذي وأحمد
Dari Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra, beliau berkata, aku hafal hadits dari Rasulullah SAW: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya shidiq itu membawa pada ketenangan dan dusta itu membawa pada keragu-raguan.” (HR. Tirmidzi & Ahmad)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Salah satu makna dari shidiq adalah keyakinan terhadap apa yang ditegaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah (baca ; wahyu). Hal ini sebagaimana diceritakan dalam sebuah riwayat, “Pada peristiwa isra’ dan mi’raj, ketika seluruh manusia mendustai Rasulullah SAW, namun Abu Bakar justru membenarkan kejadian tersebut. Al-Hakim meriwayatkan, “Pagi hari pada setelah peristiwa isra’ mi’raj kaum musyrikin mendatangi Abu Bakar seraya mengatakan, “Apakah kamu mempercayai sahabatmu (yaitu Rasulullah SAW) yang mengira bahwa ia telah melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis tadi malam?” (kaum musyrikin menganggap dengan kejadian tersebut, dapat menjadikan iman Abu Bakar pudar). Abu Bakar balik bertanya, “Apa benar Muhammad mengatakan hal tersebut?”. Mereka menjawab, “benar”. Lalu Abu Bakar mengatakan, “Sungguh apa yang diakatannya itu benar. Dan (bahkan) aku akan membenarkannya pula, jika ia mengatakan lebih dari itu…” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak). Oleh karena itulah Abu Bakar mendapatkan julukan Asshidiq. Gelar Asshidiq ini merupakan pemberian dari Allah melalui lisan Rasulullah SAW, sebagaimana yang diriwayaaatkan oleh Ali bin Abi Thalib. Dan jadilah sifat shidiq ini menjadi khas dimiliki oleh Abu Bakar sebelum dimiliki oleh sahabat-sahabat yang lainnya. Dan hal ini terjadi karena sikap Abu Bakar yang senantiasa “membenarkan” segala apapun yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya.

2. Bahwa salah satu dimensi shidiq adalah keyakinan terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya. Kisah Abu Bakar As-Shidiq di atas menggambarkan tentang hal tersebut, bahwa beliau senantiasa mengimani dan percaya terhadap wahyu, apapun bentuknya, meskipun seluruh manusia pada saat tersebut meragukannya. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dalam Syu’ab Iman dari Umar bin Khattab:
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَوْ وُزِنَ إِيْمَانُ أَبِيْ بَكْرٍ بِإِيْمَانِ أَهْلِ اْلأَرْضِ لَرَجَّحَ بِهِمْ
“Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat maka akan lebih berat keimanan Abu Bakar.” (Syu’abul Iman, bab al-Qaul fi ziyadatil Iman wa Naqshanih; I/69)

Bahkan Rasulullah SAW sendiri juga pernah memuji keislaman Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayahnya; “Tiada aku mengajak seorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, keraguan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan, hanya Abu Bakar lah. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikitpun.”

3. Sikap shidiq (iman & yakin) terhadap syariah seperti ini akan membawa pada ketentraman dan kedamaian. Demikianlah yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas, “Sesungguhnya shidiq itu membawa pada ketenangan dan dusta itu membawa pada keragu-raguan…” Karena syariah tidak akan pernah (selamanya) menyulitkan dan atau menyengsarakan. Syariah akan membahagiakan dan menentramkan serta menyelematkan. Sebaliknya, tidak meyakini wahyu atau dusta akan berdampak pada keragu-raguan dan kesulitan. Oleh karenanya hendaknya setiap kita senantiasa yakin dan komitmen terhadap wahyu, dimanapun dan dalam kondisi apapun. Karena dengan yakin dan membenarkan wahyu, akan menjadikan kita tentram. Allah SWT berfirman :
مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah : 6)

4. Dalam konteks “kekinian” shiddiq dapat diimplementasikan dalam bentuk “keyakinan” terhadap nilai-nilai syariah. Dalam muamalah umpamanya, shiddiq dapat diimplementasikan dalam bentuk “kejujuran” ketika bertransaksi; tidak mengurangi timbangan (baca ; spec) dan juga tidak menutupi kekurangan objek yang ditransaksikan. Atau pada skup yang lebih luas dalam muamalah kontemporer, shiddiq merupakan sebuah sikap dimana “komitmen” terhadap syariah menjadi acuan utama dalam bertransaksi, sehingga orientasinya tidak semata-mata materi namun maslahat untuk umat; ingin menyelematkan mereka dari muamalah ribawiyah yang sudah mendarah daging di kalangan umat. Sikap seperti ini, insya Allah akan mendatangkan kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat. Dalam sebuah riwayat dikisahkan ketika Rasulullah SAW bercerita tentang pintu-pintu surga, "Barangsiapa yang menginfaqkan dua jenis (berpasangan) dari hartanya di jalan Allah, maka dia akan dipanggil dari pintu-pintu surga; (lalu dikatakan kepadanya): "Wahai 'Abdullah, inilah kebaikan (dari apa yang kamu amalkan). Maka barangsiapa dari kalangan ahlu shalat dia akan dipanggil dari pintu shalat dan barangsiapa dari kalangan ahlu jihad dia akan dipanggil dari pintu jihad dan barangsiapa dari kalangan ahlu shiyam (puasa) dia akan dipanggil dari pintu ar-Rayyan dan barangsiapa dari kalangan ahlu shadaqah dia akan dipanggil dari pintu shadaqah". Lantas Abu Bakar Ash-Shidiq ra berkata, "Demi bapak dan ibuku (sebagai tebusan) untukmu wahai Rasulullah, jika seseorang dipanggil diantara pintu-pintu yang ada, itu sbeuah kepastian, namun apakah mungkin seseorang akan dipanggil dari semua pintu?". Rasulullah SAW menjawab: "Benar, dan aku berharap kamu termasuk diantara mereka". (HR. Bukhari Muslim)

5. Sebaliknya sikap kadzib (baca : mengabaikan syariah), akan membawa pada keragu-raguan. Kita dapat mengambil ibrah dan pelajaran yang sangat berharga dari peristiwa Perang Uhud, dimana para rumath (pasukan pemanah) yang diperintahkan untuk standby berdiri di atas bukit untuk menjadi garda terdepan untuk memanah kaum musyrikin. Namun ternyata mereka “mengabaikan” pesan Rasulullah SAW tersebut, hanya karena ingin menggapai materi yang ada di bawah bukit, yang sedang diperebutkan oleh kaum muslimin lainnya. Al-Hasil, pasukan kaum musyrikin yang kala itu masih dipimipin oleh Khalid bin Walid, mampu mengobrak-abrik hampir seluruh kekuatan kaum muslimin. Alih-alih mendapatkan harta yang sedang diperebutkan, kaum muslimin justru mengalami kekalahan. Inilah dampak dari mengabaikan “pesan” Rasulullah SAW.

6. Dalam konteks kekinian, hendaknya kita tidak mengabaikan nilai-nilai syariah dalam segala aktivitas, khususnya dalam bermuamalah. Terlebih-lebih apabila tujuan dari mengabaikan syariah tersebut, hanya sekedar untuk mendapatkan “ghanimah” yang masih belum jelas antara halal dan haramnya (baca ; syubhat). Karena bisa jadi, alih-alih mendapatkan ghanimah, justru kita akan terpuruk ke dalam kenistaan yang mendalam, dimana ghanimah tidak didapatkan sementara di sisi yang lain harus memikul dosa lantaran mengabaikan nilai-nilai syariah tersebut. Pesan-pesan Rasulullah SAW dalam muamalah demikian banyaknya, namun bukan bertujuan untuk menyulitkan kita semua. Pesan-pesan tersebut adalah supaya kita merasa tentram, nyaman dan bahagia.

7. Diantara benefit seseorang yang shidiq adalah bahwa ia akan mendapatkan apa yang “diyakininya” tersebut, meskipun (bisa jadi) apa yang diimpikannya tersebut tercapai. Misalnya seseorang atau satu organisasi atau satu lembaga tertentu yang menda’wahkan ekonomi syariah, dengan “mimpi” bahwa Indonesia akan menjadi Negeri Ekonomi Syariah terkemuka di dunia, kemudian ia berjuang dengan sepenuh jiwa dan raganya untuk mengaharpkan keridhaan Allah SWT. Namun belum lagi cita-citanya tercapai, ajal telah datang untuk menjemputnya, maka dalam kondisi tersebut ia akan mendapatkan “pahala” seperti apa yang telah dicitakannya. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ - رواه مسلم
Bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa mengharapkan mati syahid dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan mengangkatnya sampai ke derajat para syuhada' meski ia meninggal dunia di atas tempat tidurnya”. (HR. Muslim)


Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

The Power of Shiddiq (1) Membangun Integritas Diri

(عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا - متفق عليه
Dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu akan membimbing ke surga, sesungguhnya jika seseorang akan senantiasa berlaku jujur hingga ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Dan sesungguhnya seseorang akan selalu berdusta sehingga akan dicatat baginya sebagai seorang pendusta.” (Muttafaqun Alaih)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa “shiddiq” merupakan salah satu sifat Rasulullah SAW, yang sudah melekat pada diri beliau bahkan sejak jauh sebelum beliau diangkat menjadi seorang Rasul. Kaum Quraisy sudah mengenal beliau sebagai seorang yang jujur dan memiliki integritas yang tinggi, sehingga apapun yang beliau sampaikan akan mendapatkan kepercayaan di hati orang-orang yang mendengarnya. Dan dari sisi keutamaannya, shiddiq akan mengantarkan manusia pada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkannya menuju surga dan kebahagiaan. Atau dengan kata lain bahwa rahasia untuk menggapai surga dan kebahagiaan adalah dengan “shiddiq”.

2. Secara bahasa, shiddiq berasal dari kata shadaqa yang memiliki beberapa arti, yaitu benar, jujur, dapat dipercaya, sesuai apa yang dikatakan dengan apa yang diamalkan (baca ; integritas), ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan, dan kesungguhan :
الصدق: من صدق – يصدق - صدقا
Lawan kata shiddiq adalah kadzib (dusta). Adapun dari segi istilahnya, para ulama memberikan definisi yang beragam. Meskipun demikian, semuanya mengarah pada satu muara, yaitu sebagaimana yang terdapat pada definsi secara bahasanya (jujur, dapat dipercaya dan memiliki integritas). Diantara definisi shiddiq menurut para ulama adalah:
  • Menyempurnakan amal perbuatan dan ibadah hanya untuk Allah SWT.
  • Kesesuaian antara dzahir (sesuatu yang terlihat) dengan bathin (sesuatu yang tidak terlihat). Karena orang yang dusta (baca ; tidak memiliki integritas) adalah mereka yang dzahirnya lebih baik dari bathinnya, atau perbuatannya tidak sesuai dengan ucapannya.
  • Ungkapan dan sikap yang benar dalam posisi yang membahayakan bagi dirinya, atau dia merupakan perkataan dan sikap yang benar meskipun terhadap orang yang ditakuti kekuasaannya dan diharapkan kebaikannya.
3. Dasar pijakan dari shiddiq adalah keimanan yang kokoh kepada Allah SWT. Karena hanya iman yang kokohlah yang dapat menjadikan seseorang memiliki integritas yang tinggi, kejujuran dan amanah (baca ; shiddiq). Karena shiddiq merupakan gabungan antara mengharap keridhaan Allah, selalu merasa akan pengawasan Allah, dan istiqamah terhadap nilai kebenaran. Allah SWT berfirman :
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ*
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya (bersifat sidiq) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 177)

4. Sirah Nabawiyah menggambarkan kepada kita, mengenai the power of shiddiq, diantaranya adalah ketika terjadi peristiwa turunnya surat Al-Lahab, sebagaimana diriwayatkan oleh dari Ibnu 'Abbas ra “Tatkala turun firman Allah SWT: Dan peringatkanlah keluargamu yang terdekat, (As Syu'ara: 214). Rasulullah SAW naik ke atas bukit Shofa dan menyeru memanggil-manggil; 'Wahai bani Fihr, wahai Bani 'Adi dari keturunan Quraisy! Hingga orang-orang pun berkumpul ke bukit Shofa dan apabila ada di antara mereka yang tidak bisa hadir, mereka mengutus utusan untuk menghadirinya. Demikian juga Abu Jahal dan orang-orang Quraisy pun berdatangan. Setelah itu beliau bersabda: 'Apa pendapat kalian jika kuberitahukan kepada kalian bahwa pasukan berkuda dari musuh di balik lembah ini akan menyerang kalian apakah kalian akan membenarkanku (mempercayaiku)? Mereka menjawab: Tentu, karena kamu tidak pernah berdusta. Lalu beliau berkata: 'Sesungguhnya aku memperingatkan kalian akan adzab yang berat. Maka Abu Lahab berkata: 'Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?! Celakalah kamu! ia berkata: Maka Allah azza wa jalla menurunkan "Binasalah kedua tangan abu Lahab dan Sesungguhnya dia akan binasa." (QS. Al Lahab: 1).” (HR. Bukhari)

5. Peristiwa di bukit Shofa memberikan pelajaran penting bagi kita, berkenaan dengan “the power fo Shiddiq”, yaitu :
a. Ketika beliau memanggil-manggil hampir semua kabilah yang ada untuk meyampaikan sebuah “pesan” yang penting. Dan ternyata semua orang datang berbondong-bondong ke bukit Shofa untuk menyimak apa yang akan beliau sampaikan. Bahkan kalaupun ada orang yang tidak bisa datang, mereka mengutus utsan atau wakil untuk mendengarkan Rasulullah SAW kemudian menyampaikannya kembali kepada orang yang mengutusnya tersbut. Kalaulah sekiranya, Rasulullah SAW tidak memiliki integritas yang tinggi, pastilah seluruh kaum dan seluruh orang tidak akan ada yang mau datang, apalagi hanya sekedar untuk mendengarkan “perkataan” Rasulullah SAW saja.

b. Ketika mereka semua telah berkumpul, Rasulullah SAW pun bertanya terlebih dahulu kepada mereka, 'Apa pendapat kalian jika kuberitahukan kepada kalian bahwa pasukan berkuda dari musuh di balik lembah ini akan menyerang kalian apakah kalian akan membenarkanku (mempercayaiku)? Mereka menjawab: Tentu, karena kami tidak pernah mendapatkanmu berdusta….” Sungguh ini merupakan pengakuan orang banyak atas keintegritasan beliau, mereka semua percaya terhadap apa yang akan beliau sampaikan. Kalaulah sekiranya beliau bukan merupakan orang yang jujur dan orang yang dapat dipercaya, tentulah mereka semua tidak akan mau untuk datang, mendengarkan bahkan memberikan persaksian bahwa beliau SAW merupakan orang yang shiddiq. Dan kalaulah beliau bukan merupakan orang yang shiddiq, tentulah Islam tidak akan menyebar dan diikuti oleh banyak orang, sebagaimana di zaman sekarang. Maha Suci Allah yang telah menganugerahkan sifat ini kepada beliau SAW.

6. Shiddiq bukanlah sekedar sifat pribadi yang melekat hanya pada satu atau beberapa pribadi saja, namun shiddiq juga merupakan merupakan sifat jama’I yang bisa melekat pada satu komunitas masyarakat tertentu, satu organisasi tertentu dan juga satu perusahaan tertentu. Sebuah perusahaan yang shiddiq adalah perusahaan yang memiliki integritas yang tinggi, dipercaya banyak orang, sepak terjangnya untuk maslahat dan falah, serta berorientasi jangka panjang, bukan materi/profit semata. Sehingga ketika melahirkan produk, masyarkat akan berbondong-bondong menyimak, mendengarkan, bahkan mengikuti produk tesebut, karena mereka yakin banyak kebaikan yang terdapat di dalamnya, sebagaimana kebaikan perusahaannya yang memiliki integritas yang senantiasa mengedapankan nilai-nilai syariah yang luhur yang membawa manfaat bagi jangka panjang bagi mereka. Mari bangun integritas kita…

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

Dzulhijjah Bulan Ekonomi Syariah

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ : إنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيَّ مَوْضُوعٌ، وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ، وَإِنَّ أَوَّلَ دَمٍ أَضَعُ مِنْ دِمَائِنَا دَمُ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ كَانَ مُسْتَرْضِعًا فِي بَنِي سَعْدٍ فَقَتَلَتْهُ هُذَيْلٌ، وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ، فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ، فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ - رواه مسلم
Dari Jabir bin Abdillah ra, bahwasanya Rasulullah SAW berkhutbah dalam Haji Wada’, "Wahai manusia sesungguhnya menumpahkan darah, merampas harta sesamamu adalah haram sebagaimana haramnya berperang pada hari ini, pada bulan ini, dan di negeri ini. Ketahuilah, semua yang berbau Jahiliyah telah dihapuskan di bawah undang-undangku, termasuk tebusan darah masa jahilijyah. Tebusan darah yang pertama-tama kuhapuskan adalah darah Ibnu Rabi'ah bin Harits yang disusukan oleh Bani Sa'ad, lalu ia dibunuh oleh Huzail. Begitu pula telah kuhapuskan riba jahiliyah; yang mula-mula kuhapuskan ialah riba yang ditetapkan Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya riba itu kuhapuskan semuanya. Kemudian jangalah dirimu terhadap wanita. Kamu boleh mengambil mereka sebagai amanah Allah, dan mereka halal bagimu dengan mematuhi peraturan-peraturan Allah. Setelah itu, kamu punya hak atas mereka, yaitu supaya mereka tidak membolehkan orang lain menduduki tikarmu. Jika mereka melanggar, pukullah mereka dengan cara yang tidak membahayakan. Sebaliknya mereka punya hak atasmu. Yaitu nafkah dan pakaian yang pantas. Kuwariskan kepadamu sekalian suatu pedoman hidup, yang jika kalian berpegang teguh kepadanya yaitu Al Qur`an. Kalian semua akan ditanya mengenai diriku, lalu bagaimana nanti jawab kalian?" mereka menjawab: "Kami bersaksi bahwa Anda benar-benar telah menyampaikan risalah, Anda telah menunaikan tugas dan telah memberi nasehat kepada kami." Kemudian beliau bersabda sambil mengangkat jari telunjuknya ke atas langit dan menunjuk kepada orang banyak: "Ya, Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah." (HR. Muslim)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa bulan Dzulhijjah disamping memiliki keutamaan dan keistimewaan sebagai bulan haram (bulan yang dimuliakan Allah SWT), dan juga bulan berpadunya segala aktivitas ibadah dan amal shaleh (khususnya di sepuluh hari pertama di bulan dzuhijjah), ia juga merupakan bulan ekonomi syariah. Karena di bulan inilah Rasulullah SAW memberikan wasiat-wasiat kepada umatnya, dan diantara wasiat terpenting yang terkandung di dalamnya adalah wasiat yang bermuatan ekonomi syariah. Hal ini seperti penegeasan beliau terhadap haramnya riba, haramnya memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, perintah untuk menjaga kehormatan sesama muslim, dsb. Pesan-pesan tersebut merupakan nilai-nilai yang mendasar dalam ekonomi syariah.

2. Pesan-pesan tersebut disampaikan pada bulan Dzulhijjah, di tahun ke 9 H dalam sebuah rangkaian pelaksanaan ibadah haji beliau bersama para sahabatnya, yang kemudian dikenal dengan peristiwa Haji Wada’. Haji Wada’ artinya haji perpisahan atau haji terakhir. Karena Rasulullah SAW tidak melaksanakan ibadah haji, selain haji wada’ ini, yang juga merupakan satu-satunya ibadah haji yang dilaksanakan oleh beliau setelah hijrahnya beliau ke Madinah, hingga beliau wafat pada tahun ke 11 H. Adapun sebelum hijrah, dikemukakan oleh Syeikh Abu Syahbah dalam As-Sirah An-Nabawiyah Fi Dhau’ Al-Qur’an was Sunnah, beliau pernah melaksanakan ibadah haji beberapa kali. (Lihat di jilid ke 2, hal 567, Kitab As-Sirah An-Nabawiyah Fi Dhau’ Al-Qur’an Was Sunnah).

3. Dalam peristiwa Haji Wada’ tersebut, Rasulullah SAW memberikan wasiat-wasiat penting kepada umatnya melalui khutbah-khutbah beliau. Dan salah satu khutbah beliau dalam Haji Wada adalah khutbah sebagaimana dalam teks hadits di atas, yang merupakan khutbah beliau di Padang Arafah ketika sedang melaksanakan Wuquf di Arafah. Sesusai beliau berkhutbah, Bilal bin Rabah mengumandangkan iqamah, kemudian Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakan shalat dzhur dan ashar secara jama’ taqdim secara qashar. Kemudian setelah itu beliau berjalan (masih di Arafah), lalu menghadap kiblat dan berdoa dengan doa yang sangat panjang, dimana dalam doa tersebut beliau banyak sekali mendoakan umatnya (Abu Syahbah, 1996 : Jilid 2 hal 574 – 575). Imam Al-Baihaqi meriwayatkan, ‘bahwasanya Rasulullah SAW karena demikian banyaknya mendoakan umatnya agar mendapatkan maghfirah, hingga Allah SWT mewahyukan kepada beliau bahwa Allah SWT akan menghapuskan segala sesuatu dari umatnya, kecuali perbuatan dzlim antara sesame mereka.” HR. Al-Baihaqi.

4. Teratat bahwa Rasulullah SAW setidaknya berkhutbah sebanyak tiga kali dalam rangkaian pelaksanaan Haji Wada’, yaitu pertama khutbah Arafah beliau ketika wuquf di Arafah, kedua khutbah beliau pada yaumunnahr (hari raya Idul Adha), ketika itu beliau berkhutbah dari atas untanya, dan ketiga khutbah beliau di hari tasyrik ketika berada di Mina. Dalam al-Bidayah wa al-Nihayah disebutkan, dari Ibnu Umar ra bahwa “Diturunkan surat An-Nashr pada pertengahan hari-hari tasyrik dan Rasulullah SAW mengetahui bahwa itu adalah pertanda perpisahan beliau dengan umatnya. Kemudian beliau menaiki al-qushwanya, lalu kemudian beliau memberikan khutbahnya pada hari tersebut.” (HR. Al-Bazar & Al-Baihaqi). Abu Syahbah mengoementari berkenaan dengan terjadinya beberpa kali khutbah Rasulullah SAW, ‘bahwa diantara hikmah Rasulullah SAW memberikan beberapa kali khutbahnya pada saat Haji Wada’ adalah karena peristiwa Haji Wada’ ini merupakan satu-satunya ibadah haji yang dilaksanakan Rasulullah SAW, yang pelaksanaannya harus berdapmapk untuk menguatkan Islam dan kaum muslimin khususnya di seluruh jazirah Arab. Disamping itu juga sebagai kalimat perpisahan dengan kaum muslimin, yang karenanya beliau mengulang-ulang wasiatnya kepada umatnya, agar mereka senantiasa ingat dan tidak mudah melupakannya. Dan pesan untuk berekonomi secara syariah termasuk salah satu pesan yang beliau wasiatkan dalam khutbahnya, yaitu untuk meninggalkan riba serta untuk tidak memakan harta sesama manusia dengan cara yang bathil.

5. Abas bin Abdul Muthallib merupakan salah seorang paman beliau, yang dahulu melalukan praktek riba jahiliyah. Praktek riba jahiliyah terjadi pada masa tersebut khususnya ketika memasuki masa dagang, baik pada musim dinging (as-syita’) maupun pada musim panas (as-shaif). Pada kedua masa tersebut umumnya masyarakat Arab berdagang ke Syam dan Shan’a (Yaman), untuk waktu yang cukup lama. Kebiasaan mereka pada waktu tersebut adalah terjadi transaksi pinjam meminjam diantara mereka untuk modal perdagangannya. Dan salah satu “tempat peminjaman” yang poluler pada masa tersebut adalah meminjam ke Abas bin Abdul Muthallib paman Rasulullah SAW. Pada masa tesebut, ketika orang meminjam kepada Abas bin Abdul Muthallib serta berjanji akan mengembalikan pinjamannya sepulang dari perjalanan dagangnya (berkisar dua atau tiga bulanan), maka ia harus mengembalikan uang yang dipinjamnya persis sejumlah sejumlah pinjamannya, tidak kurang dan tidak lebih. Namun apabila pada waktu yang telah disepakati si peminjam tidak bisa mengembalikannya dan minta ditangguhkan pembayarannya, maka barulah pada saat terebut dikenakan tambahan (baca ; bunga) atas hutangnya tersebut. Atau dengan kata lain, pada saat tersebut, pinjaman tidak dikenakan bunnnga apabila si peminjam dapat mengemblikan hutangnya tepat waktu. Namun apabila pada waktu yang telah ditentukan tidak bisa mengembalikan, barulah dikenakan bunga. Dan ternyata praktek seperti ini disebut oleh Rasulullah SAW sebagai riba jahiliyah. Itulah sebabnya beliau mengemukakan bahwa, “Begitu pula telah kuhapuskan riba jahiliyah; yang mula-mula kuhapuskan ialah riba yang ditetapkan Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya riba itu kuhapuskan semuanya.”

6. Selain menegaskan pengharaman riba, Rasulullah SAW juga menegaskan haramnya memakan harta sesama muslim dengan cara yang bathil. Beliau mengemukakan, “Sesungguhnya menumpahkan darah, merampas harta sesamamu adalah haram sebagaimana haramnya berperang pada hari ini, pada bulan ini, dan di negeri ini.” (HR. Muslim). Pesan ini sesungguhnya menegaskan dari firman Allah SWT :
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلإِثْمِ وأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kaliam memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang bathil. Dan janganlah pula kalian membawa urusan harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan sebagian dari harta manusia dengan cara yang dosa sedangkan kalian mengetahui. (QS. 2 : 188)

7. Diantara bentuk praktek riba yang umumnya terjadi pada saat ini adalah bunga bank, baik dalam bentuk tabungan, pinjaman, maupun kartu kredit. Bahkan menurut ulama kontemporer Syeikh Yusuf Al-Qardhawi, bahwa riba yang terjadi pada praktik perbankan konvesional saat ini lebih dahsyat dibandingkan dengan praktek riba pada masa jahiliyah. Karena “bunga” pada riba jahiliyah baru terjadi pada saat peminjam tidak dapat mengembalikan pinjamannya pada saat jatuh tempo saja. Sementara pada riba yang saat ini umum di perbankan adalah bahwa riba sudah terjadi pada saat penandatanganan awal kontrak peminjaman. Selain praktek perbankan, riba juga terjadi pada praktek asuransi konvensional, dimana terjadi pertukaran antara uang dengan uang, dengan jumlah yang tidak sama. Sebagai contoh akumulasi premi yang terkumpul selama tiga tahun Rp 3 juta. Lalu kemudian mendapatkan klaim sebesar Rp 100 juta (adanya pertukaran antara uang dengan uang dengan jumlah yang tidak sama). Praktek riba seperti ini dalam fiqh disebut dengan Riba Fadhl. Selain Riba Fadhl, dalam asuransi juga terdapat riba nasi’ah, sebagaimana yang terdapat pada praktek bank konvensional, yaitu adanya unsur bunga yang masuk dalam dana yang dikembalikan kepada nasabah, seperti dalam dana tabungan nasabah juga dalam dana klaim, dsb. Sehingga jika diperhatikan, sesungguhnya dalam asuransi konvensional terdapat dua jenis riba sekaligus; riba nasi’ah dan riba fadhl, sementara dalam bank konvensional terdapat riba nasi’ah saja.

8. Oleh karena itulah, penting kiranya bagi kita sekalian untuk menguatkan kembali da’wah ekonomi syariah kepada seluruh umat, khususnya di bulan Dzulhijjah ini dimana terdapat penekanan dan penegasan Rasulullah SAW untuk meninggalkan riba serta larangan untuk memakan harta dengan cara yang bathil. Dan cara yang terbaiknya adalah memulainya dari diri kita sendiri, lalu mengajak orang lain untuk berhijrah menuju ekonomi syariah yang lebih berkah…
يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِى الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيْمٍ
Allah menghaspuskan segala macam riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. (QS. Al-Baqarah : 276)

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

Hikmah & Fiqh Kurban

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ اْلأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا - رواه مسلم
Dari dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada amalan yang dilakukan oleh anak Adam pada hari Nahr (Idul Adhha) yang lebih dicintai oleh Allah selain dari pada mengucurkan darah (hewan kurban). Karena sesungguhnya ia (hewan kurban) akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada (ridha) Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi, maka bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban." (HR. Turmudzi)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa berkurban merupakan anjuran yang hendaknya dilaksanakan oleh setiap muslim yang memiliki kemampuan. Jumhur ulama berpendapat bahwa berkurban hukumnya adalah sunnah mu’akkadah, sementara Madzhab Hanafi berpendapat bahwa berkurban hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim yang telah memiliki kemampuan untuk berkurban. Dalam sebuah riwayat bahkan Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَنَا - رواه ابن ماجه
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa memiliki keluasaan (untuk berkorban) namun tidak berkorban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami." (HR. Ibnu Majah)

2. Adapun secara hikmahnya, berkurban memiliki banyak hikmah. Diantara hikmahnya adalah :
#1. Sebagai bentuk taqarrub kepada Allah SWT, khususnya pada hari raya Idul Adha, dimana amalan yang paling dicintai Allah adalah menyembelih hewan kurban. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Maka dirikanlah shalat karena Rabmu dan berkurbanlah.” (QS Al-Kautsar : 2)
#2. Menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim as, karena beliaulah orang pertama yang diperintahkan Allah SWT untuk berkurban dengan menyembelih putranya, yaitu Ismail as. Kemudian Allah SWT menebusnya degnan seekor biri-biri besar sebagai pengganti. Hal ini menunjukkan cinta sejati beliau kepada Allah SWT, sehingga apapun konsekwensinya beliau rela kendatipun harus menyembelih putra yang sangat disayanginya yaitu Ismail as.
#3. Sebagai media untuk membahagian fakir miskin, kerabat dan keluarga pada hari raya Idul Adha, khususnya bagi mereka yang berada di sekitar kita. Karena dengan hewan yang kita kurbankan tersebut, minimal mereka bisa memakan daging hewan kurban dan bersuka cita pada hari-hari tersebut.
#4. Sebagai tanda syukur kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan hewan ternak kepada kita. Dan salah satu bentuk rasa syukur tersebut adalah berkurban, mendahulukan “keridhaan” Allah SWT, dibandingkan dengan keinginan dirinya sendiri.

3. Dalam berkurban terdapat beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan diantaranya adalah sebagaimana disebutkan oleh Syeikh Abu Bakar Al-Jaza’iri dalam Minhajul Muslim, Syeikh Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya, Imam Nawawi dalam Al-Minhajnya, dsb :
#1. Usia hewan kurban. Untuk biri-biri harus yang telah genap berumur satu tahu atau hamper genap satu tahun. Sedangkan kambing harus yang telah genap berumur satu tahun dan telah memasuki umur tahun kedua. Sedangkan sapi harus telah genap berusia dua tahun memasuki tahun ketiga. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW :
عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَذْبَحُوا إِلاَّ مُسِنَّةً إِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ - رواه مسلم
Dari Jabir bin Abdillah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian menyembelih hewan kurban, kecuali yang telah tua. Bilamana kesulitan untuk mendapatkannya, sembelihlah oleh kalian domba yang telah genap berusia satu tahun atau hampir satu tahun. (HR. Muslim)
#2. Tidak cacat. Artinya hewan yang akan dijadikan sebagai hewan kurban harus merupakan hewan yang sehat dan baik, tidak boleh yang memiliki cacat secara fisik. Tidak sah berkurban dengan hewan yang buta, pincang, tanduknya patah, telinganya robek, sakit, terlalu kurus, dsb. Hal in sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW :
عَنْ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعٌ لاَ تَجُوزُ فِي اْلأَضَاحِيِّ فَقَالَ الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لاَ تَنْقَى (رواه أبو داود)
Dari Al-Bara' bin Azib ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Empat perkara yang tidak boleh ada pada hewan kurban; buta sebelah matanya yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya, dan pecah kakinya yang tidak memiliki sumsum.” (HR. Abu Daud)
#3. Hewan kurban paling afdhal untuk berkurban sebagaimana dijelaskan dalam riwayat adalah biri-biri atau domba jantan, bertanduk, berbulu putih bercampur hitam di sekitar mata dan kakinya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ فَحِيلٍ يَأْكُلُ فِي سَوَادٍ وَيَمْشِي فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ - رواه الترمذي
Dari Abu Sa'id Al-Khudri ra bahwasanya Rasulullah SAW berkurban dengan domba bertanduk yang pada bagian mulutnya berwarna hitam, pada bagian kakinya berwarna hitam dan pada daerah matanya juga berwarna hitam.” (HR. Turmudzi)
#4. Waktu untuk menyembelih hewan kurban adalah setelah shalat Idul Adha, dan pada hari-hari tasyrik (yaitu 11 – 13 Dzulhijjah). Tidak sah menyembelih sebelum pelaksanaan shalat Idul Adha. Dalam sebuah riwayat digambarkan :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ رواه البخاري
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat (Idul Adha) berarti ia hanya menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa yang menyembelih hewan kurban sesudah shalat Idul Adha, berarti ia telah menyempurnakan ibadah krubannya dan menepati sunnah kaum muslimin.” (HR. Bukhari)
#5. Sunnah dalam menyembelih hewan kurban, diantaranya adalah menghadapkan hewan kurban ke arah kiblat dan membaca :
إِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ
Bilamana penyembelihan dilakukan langsung oleh yang berkurban, hendaknya ia membaca :
بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ ....
Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah ini adalah kurban dariku dari …. (sebutkan namanya atau nama yang mewasiatkannya)
#6. Mewakilkan dalam menyembelih hewan kurban. Boleh mewakilkan dalam berkurban, meskipun yang afdhal adalah adalah langsung dilakukan oleh si pengkurban. Dalam sebuah riwayat dari Jabir bin Abdillah ra bahwasanya Rasulullah SAW menyembelih kurban sebanyak 63 ekor hewan dan Ali ra disuruh menyembelih binatang kurban yang sisanya (mewakilkan kepada Ali ra)” (HR. Muslim)
#7. Pembagian hewan kurban. Dianjurkan untuk hewan kurban dibagi menjadi tiga bagian, satu bagian (1/3) untuk keluarga, satu bagian (1/3) untuk disedekahkan, dan satu bagian (1/3) untuk dihadiahkan. Namun demikian, seluruh daging hewan kurban tersebut boleh untuk disedekahkan secara keseluruhan, misalnya untuk para korban bencana alam secara keseluruhan, atau disumbangkan ke tempat-tempat yang mayoritas masyarakatnya kurang mampu, dsb.
#8. Upah jagal. Adapun berkenaan dengan upah jagal, riwayat menjelaskan tidak boleh memberikan upah jagal dari hewan yang dikurbankan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat :
عَنْ عَلِىِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ أَمَرَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ وَأُقْسِمَ جُلُوْدَهَا وَجِلاَلَهَا وَأَمَرَنِيْ أَنْ لاَ أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا بِشَيْءٍ وَقَالَ نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا (رواه الجماعة)
Dari Ali bin Abi Thalib ra, aku diperintahkan Rasulullah SAW mengurus penyembelihan unta-untanya, membagi-bagikan kulit dan dagingnya dan aku diperintahkan agar tidak memerikan sesuatupun darinya kepada tukang potong. Beliau berkata, ‘Kami memberinya dari harta kami sendiri.” (HR. Jamaah)
#9. Satu hewan kurban untuk satu keluarga. Seekor kambing atau domba sesungguhnya cukup atau dianggap memadai sebagai kurban untuk satu keluarga walaupun anggotanya banyak. Hal ini dimungkinkan, dengan dalil segbuah riwayat dari Abu Ayyub Al-Anshari :
كَانَ الرَّجُلُ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ (روا الترمذي وصححه)
Bahwa pada masa Rasulullah SAW seseorang menyembelih seekor kambing (sebagai kurban), untuk dirinya dan untuk anggota keluarganya.” (HR Turmudzi)
#10. Anjuran sebelum menyembelih hewan kurban. Bagi setiap muslim yang akan berkurban, dan telah memasuki bulan dzulhijjah dianjurkan untuk tidak memotong rambut, bulu dan kuku-kunya. Hal ini sebagai perumpamaan orang-orang yang berihram di tanah suci melaksanakan ibadah haji. Rasulullah SAW bersabda,
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ (رواه مسلم)
Dari Ummu Salamah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, Apabila kalian telah melihat hilal bulan dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian ada yang hendak berkurban, maka hendaklah ia menahan diri untuk tidak memotong rambutnya dan tidak memotong kukunya sampai ia berkurban. (HR. Muslim)
Namun terkait anjuran ini, Imam Nawawi memberikan penjelasan yang secara ringkasnya adalah bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai pelarangan memotong rambut dan kuku bagi orang yang akan berkurban. Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa hukumnya adalah Makhruh dan tidak haram. Sementara Abu Hanifah dan sebagian madzhab Maliki berpendapat bahwa hukumnya tidak makruh. Namun sebagian lainnya berpendapat bahwa hukumnya adalah haram. Kesimpulannya adalah bahwa walaupun dianjurkan untuk tidak memotong rambut serta kuku bagi orang yang akan berkurban, namun pelarangan tersebut tidak bersifat haram, melainkan makhruh. Bahkan sebagian ulama merukhsahnya (memperbolehkan atau memberikan keringanan) untuk tetap memotong rambut dan kuku, walaupun tidak memotongnya adalah lebih utama. Wallahu A'lam.
#11. Rasulullah SAW pernah berkurban atas nama seluruh umatnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ عَنْ مِنْبَرِهِ فَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي (رواه الترمذي)
Aku pernah mengikuti shalat Idul Adha bersama Rasulullah SAW di lapangan maka setelah selesai berkhutbah beliau turun ke lapangan. Ketika itu didatangkan kepada beliau seekor kambing lalu beliau menyembelih kambing tersebut dengan tangannya, dengan mengucapkan (Dengan menyebut nama Allah, Dan Allah Maha Besar. Ya Allah kurban ini adalah dariku dan dari orang-orang yang yang tidak menyembelih dari umatku). (HR. Turmudzi)
Atas dasar riwayat di atas, sebagaian ulama memperbolehkan berkurban untuk orang lain (seperti orang tua) baik yang masih hidup bahkan yang sudah meninggal dunia sekalipun. Hal ini adalah karena keumuman sabda Rasulullah SAW di atas, untuk orang-orang yang yang tidak menyembelih dari umatku, yaitu bahwa yang dimaksud adalah baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Namun hal tersebut bukanlah merupakan sunnah.

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ - رواه الجماعة إلا مسلم والنسائي
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada hari-hari di mana amal saleh itu lebih disukai oleh Allah SWT daripada hari-hari ini (yakni hari pertama hingga kesepuluh Dzulhijjah)”. Para sahabat bertanya, 'Ya Rasulullah, meskipun dibandingkan dengan berjihad fi sabilillah?' Beliau menjawab, “Ya, meskipun dibadingkan dengan berjihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang pergi (berjihad) membawa nyawa dan hartanya, kemudian tidak satupun diantara keduanya itu yang kembali (mati syahid)” (HR. Jamaah, kecuali Imam Muslim dan Nasa'i)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bahwa bulan dzulhijjah merupakan salah satu bulan-bulan haram (bulan yang dimuliakan Allah SWT), yang memiliki banyak keutamaan, dimana kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan amal shaleh. Diantara keutamaan bulan Dzulhijjah ini adalah sebagai berikut :
#a. QS. Al-Fajr : 1-2 :
َوالْفَجْرِ* وَلَيَالٍ عَشْرٍ
Demi fajar dan demi malam yang sepuluh.
Ibnu Katsir berkata, yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah.

#b. QS. Al-Hajj : 28
وَيَذْكُرُوْا اسْمَ اللهِ فِيْ أَيَّامٍ مَعْلُوْمَاتٍ...*
Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan...
Ibnu Abbas ra berkata, yang dimaksud adalah hari-hari sepuluh bulan dzulhijjah.

#c. HR. Bukhari dari Ibnu Abbas
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلاَ الْجِهَادُ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ - رواه البخاري
Dari ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada amal perbuatan yang lebih utama daripada sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah ini”. Sahabat bertanya, 'Tidak juga jihad wahai Rasulullah?' Beliau bersabda, 'Tidak pula jihad, kecuali seseornag yang berjihad membawa jiwa dan hartanya lalu ia tidak kembali membawa sesuatu apapun.' (HR. Bukhari).

#d. HR. Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ماَ مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَلاَ أَحَبُّ إِلَى اللهِ الْعَمَلُ فِيْهِنَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوْا فِيْهِنَّ مِنَ التَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ - رواه الطبراني
Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada hari-hari yang dianggap lebih agung oleh Allah SWT dan lebih disukai untuk digunakan sebagai tempat beramal, sebagaimana sepuluh hari pertama di bulan dzulhijjah ini. Karenanya, perbanyaklah pada hari-hari itu bacaan tahlil, takbir dan tahmid”. (HR. Thabrani)

#e. Pandangan Ulama
Ibnu Hajar mengemukakan (dalam Fath al-Bari), 'Tampaknya sebab mengapa sepuluh hari dzulhijjah diistimewakan adalah karena pada hari tersebut merupakan waktu berkumpulnya ibadah-ibadah utama, seperti shalat, shaum, shadaqah dan haji dan tidak ada selainnya waktu seperti itu.” Sebagian Ulama lainnya juga mengemukakan bahwa “Sepuluh hari dzulhijjah adalah hari-hari yang paling utama, sedangkan malam-malam terakhir bulan ramadhan adalah malam-malam yang paling utama.”


2. Oleh karenanya, pada bulan ini (khususnya di sepuluh hari pertama di bulan ini) kita dianjurkan untuk melakukan amal ibadah serta amal shaleh lainnya. Diantara amalan yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
#1. Melaksanakan ibadah haji dan umrah, karena memang secara khusus bulan dzulhijjah merupakan bulan untuk pelaksanaan ibadah haji. Dan haji merupakan rukun Islam kelima dan pelaksanaannya relatif yang paling berat bagi kaum muslimin pada umumnya. Karena ibadah haji dan umrah, bukan hanya membutuhkan kesiapan spiritual, namun juga memerlukan persiapan fisik, mental dan juga materi yang cukup besar, ditambah lagi dengan waktu pelaksanaan yang membutuhkan waktu yang relatif cukup lama. Namun balasan yang akan Allah berikan kepada orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah juga sangat besar, yaitu kan dihapuskan segala dosa serta mendapatkan surga :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ رواه البخاري
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Umrah yang satu ke umrah yang lainnya adalah penghapus dosa-dosa antara keduanya. Dan haji yang mabrur tiada pahala yang pantas baginya melainkan surga.” (HR. Bukhari)

#2. Melaksanakan shalat fardhu serta memperbanyak shalat sunnah lainnya. Hal ini karena shalat merupakan ibadah yang sangat fundamental, yang bahkan dikatakan dalam sebuah riwayat bahwa yang membedakan antara seseorang itu mu'min atau kafir adalah dalam meninggalkan shalat. Dan kendatipun tidak disebutkan secara khusus baik dalam Al-Qur'an maupun dalam hadits sebagai amalan yang dianjurkan untuk dilakukan di bulan Dzulhijjah ini, namun dilihat dari “keumuman” hadits tentang keutamaan sepuluh hari pertama di bulan dzulhijjah, maka shalat juga termasuk amal shaleh yang paling utama untuk dikerjakan pada bulan ini. Maka usahakanlah sekuat tenaga kita, untuk menjaga shalat fardhu lima waktu berjamaah di masjid, dan diiringi dengan memperbanyak shalat sunnah. Baik sunnah rawatib yang mengiringi shalat fardhu, maupun shalat-shalat sunnah lainnya, seperti dhuha, qiyamul lail, dsb.

#3. Memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid. Bahkan dalam hadits secara khusus hal ini disebutkan oleh Rasulullah SAW (lihat hadits No 1, poin d). Artinya bahwa pada bulan ini kita sangat dianjurkan untuk memperbanyak dzikir, khususnya di luar dzikir ba'da shalat. Membaca dzikir pagi dan petang (seperti al-ma'tsurat), juga dapat menjadi salah satu pilihan dzikir yang baik untuk diamalkan di bulan ini. Atau dapat juga dengan dzikir-dzikir lainnya, yang memiliki keutamaan yang besar, seperti mengucapkan subanallah wabihamdihi subanallahil adzim, dsb.

#4. Puasa sunnah, khususnya pada tanggal 9 dzulhijjah (hari Arafah). Karena hari Arafah merupakan hari puncak pelaksanaan ibadah haji, dimana pintu langit seolah dibuka lebar-lebar. Sehingga seakan akan tiada hijab antara seorang hamba dengan Allah SWT, untuk memohon ampunan dan anugerah-Nya. Oleh karenanya bagi kita yang tidak melaksanakan ibadah haji, sangat dianjurkan untuk melaksanakan puasa Arafah, sebagaimana digambarkan dalam sebuah riwayat :
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ رواه مسلم
Dari Abu Qatadah ra, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab, 'Akan menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu dan yang akan datang.' (HR. Muslim)

Namun yang perlu menjadi catatan adalah bahwa puasa Arafah tidak dianjurkan bahkan dilarang bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat, “bahwa Rasulullah SAW melarang berpuasa pada hari Arafah di Padang Arafah (bagi jamaah haji)” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)

#5. Mengenai puasa di awal bulan dzulhijjah ini, bahkan sebagian ulama menganjurkan untuk melakukan puasa sejak tanggal 1 hingga 9 dzulhijjah. Diantara yang menganjurkannya adalah Imam Nawawi. Walaupun memang (menurut penulis) tidak ada satu riwayatpun yang secara khusus menganjurkan kita untuk berpuasa pada sembilan hari pertama di bulan dzulhijjah ini. Sekiranya pun terdapat riwayat, riwayat tersebut tidak secara tersurat menganjurkan untuk berpuasa sembilan hari di bulan dzulhijjah. Riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيهَا مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ يَعْدِلُ صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ وَقِيَامُ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ - رواه الترمذي
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada hari-hari yang lebih disukai Allah SWT untuk digunakan beribadah sebagaimana halnya hari-hari sepuluh dzulhijjah. Berpuasa pada siang harinya sama dengan berpuasa selama satu tahun dan shalat pada malam harinya sama nilainya dengan mgernajakan shalat pada malam lailatul qadar.” (HR. Turmudzi)

Kendatipun demikian, sekiranya terdapat sebagian kaum muslimin yang mengamalkan puasa tanggal 1 – 9 dzulhijjah maka harus kita hargai, demikian pula apabila terdapat sebagian lainnya yang hanya berpuasa pada tanggal 9 dzulhijjah saja, juga perlu kita hargai. Dan hendaknya kita tidak saling menyalahkan, selama amalan yang kita lakukan masih memiliki dasar dan dalil yang mendukungnya.

#6. Berkurban pada hari Idul Adha atau pada hari-hari tasyrik. Karena berkurban merupakan amalan yang paling penting dan paling utama pada hari raya Idul Adha. Demikian pentingnya, hingga penamaan hari rayanya pun, dinamakan dengan berkurban (Adha), yaitu hari raya qurban. Dan berkurban memiliki satu keistimewaan serta hikmah tersendiri yang sangat mendalam. Namun cukuplah bagi kita tentang keutamaan berkurban, dengan sebuah riwayat sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ - رواه الترمذي وابن ماجه
Dari Aiyah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, 'Tidaklah seorang anak cucu Adam melakukan satu amalan pada hari nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai Allah SWT dibandingkan dengan menyembelih hewan qurban. Dan sesungguhnya hewan qurban itu akan datang pada hari qiyamat dengan tanduknya, bulunya dan kukunya. Dan darah hewan qurban itu akan sampai di sisi Allah sebelum sampai ke bumi.” (HR. Turmdzi & Ibnu Majah)

#7. Dianjurkan pula bagi yang ingin berkurban dan telah masuk di bulan dzulhijjah, untuk tidak mencabut rabut atau kuku dari dirinya, hingga dia menyembelih binatang kurbannya. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Jika telah masuk hari sepuluh bulan dzulhijjah, dan salah seorang diantara kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia tidak mencabut rambutnya dan memotong kukunya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Dan apabila seseorang baru berniat untuk berkurban di tengah hari-hari yang sepuluh itu, maka hendaknya dia menahan diri (untuk memotong kuku, mencabut rambut dsb) sejak dia niat berkurban.
Hal ini, (salah satu hikmahnya) adalah, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya, sebagaimana dalam Firman Allah. "Artinya : ..... dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan...". (Al-Baqarah : 196).
Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.

#8. Bertakbir pada hari raya Idul Adha dan pada hari-hari tasyrik. Bahkan takbir sudah dianjurkan sejak subuh pada hari Arafah pada tanggal 9 dzulhijjah, hingga petang di akhir hari tasyrik (13 Dzulhijjah). Bahkan para ulama mengatakan, disunnahkan mengeraskan suaranya bagi orang laki-laki di masjid-masjid, pasar dan rumah-rumah setelah melaksanakan shalat, sebagai pernyataan atas pengagungan kepada Allah serta perwujudan dari rasa syukur kita kepada-Nya.

#9. Melaksanakan shalat Idul Adha, pada hari raya Idul Adha dan mendengarkan khutbahnya. Demikian pentingnya shalat ini, Allah SWT memerintahkan dalam Al-Qur'an :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Rab-mu dan berkurbanlah (QS. Al-Kautsar : 2)

Namun jumhur ulama mengatakan bahwa hukum shalat Idul Adha adalah sunnah mu'akkadah, dan dianjurkan untuk dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin, laki-laki, perempuan, tua, muda bahkan hambasahaya pun dianjurkan untuk melaksanakannya. Sedikit catatan bahwa dalam pelaksanaan shalat Idul Adha, disunnahkan pula untuk : mandi, memakai wewangian, mengenakan pakaian terbaik, menempuh jalan yang berbeda antara berangkat dan pulang, mendengarkan khutbah, dan juga memperbanyak takbir, dsb.

Wallahu A'lam Bis Shawab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Ketika Musibah Menerpa (2) Sebab Terjadinya Musibah

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ* أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ* أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ* أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ*
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS. Al-A'raf : 96 - 99)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat-ayat di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa Allah SWT akan membukakan pintu-pintu keberkahan yang banyak baik dari langit maupun bumi, terhadap penduduk suatu negeri, atau terhadap satu komunitas yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Artinya bahwa keberkahan, kesejahteraan, kebaikan yang akan didapatkan suatu komunitas atau suatu kaum adalah berbanding lurus dengan keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Semakin besar keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah SWT, maka akan semakin besar pula keberkahan yang akan mereka dapatkan.

2. Sebaliknya, ketika kita berbicara mengenai sebab musabab terjadinya suatu bencana dan musibah yang digambarkan Al-Qur’an, maka memang harus diakui bahwa hampir semua ayat-ayat yang berbicara tentang musibah dan bencana yang menimpa manusia; selalu terkait dengan kekufuran dan keingkaran manusia itu sendiri kepada Allah SWT. Sebagai contoh, ketika kita membuka buka Al-Qur’an tentang bencana yang terjadi pada kaum-kaum terdahulu. Semuanya (tanpa terkecuali) bencana yang menimpa meraka adalah disebabkan karena kekufuran mereka kepada Allah SWT. Perhatikan beberapa ayat-ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang musibah yang menimpa kaum-kaum nabi terdahulu :
#1. Kaum nabi Nuh as, Allah tenggelamkan dengan banjir yang sangat dahsyat, yang tinggi gelombangnya sebesar gunung (QS. Hud/ 11 : 42). Hingga tak ada makhlukpun yang tersisa melainkan yang berada di atas kapal bersama nabi Nuh as. (QS. Asyu’ara’ : 119 - 120). Mereka dihancurkan Allah SWT lantaran keingkaran dan kekufuran mereka kepada Allah SWT, bahkan mereka berkeinginan untuk merajam Nabi Nuh as (QS. As-Syu'ara : 116)
#2. Kaum nabi Syu’aib as, Allah hancurkan dengan gempa bumi yang sangat dahsyat. Sampai-sampai Al-Qur’an menggambarkan seolah-olah mereka belum pernah mendiami kota tempat yang mereka tinggali. Lantaran begitu hancurnya kota mereka pasca gempa. (QS. Al-A’raf : 91 - 92) Azab tersebut Allah timpakan kepada mereka, lantaran mereka sering berlaku curang dalam timbangan dan takaran mereka, serta tidak mau beriman kepada Allah SWT.
#3. Kaum nabi Luth as, Allah hancurkan mereka denqan hujan batu yang terbakar, serta Allah jungkir balikkan negeri mereka. Hingga digambarkan Al-Qur’an bangunan-bangunan tingginya menjadi rata dengan tanah. (QS. Hud : 82). Mereka ditimpa azab yang sangat mengerikan tersebut, lantaran perilaku homoseksual di kalangan mereka dan keingkaran mereka kepada Allah SWT.
#4. Kaum Tsamud (kaumnya nabi Shaleh as), juga Allah hancurkan dengan gempa bumi dahsyat (QS. Al-A'raf : 78), dan juga suara keras yang menggelegar (QS. Hud : 67), sehingga mereka mati bergelimpangan di dalam rumah mereka sendiri. Mereka diazab oleh Allah SWT, lantaran kesombongan dan keingkaran mereka terhadap Allah dan Nabi Shaleh, serta karena mereka membunuh (menyembelih) unta betina yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah, padahal mereka telah dilarang untuk membunuhnya.
#5. Fir’aun dan pengikutnya dihancurkan oleh Allah dengan ditenggelamkan ke dalam lautan, hingga tidak satupun yang tersisa dari mereka. (QS. Al-A’raf : 136) Dan siapapun mengetahui bahwa Fir'aun sangat ingkar kepada Allah SWT, mendustakan ayat-ayat-Nya, serta berlaku dzalim dan semena-mena dimuka bumi (QS. Al-Qashas : 4)
#6. Qarun beserta pengikutnya, Allah benamkan mereka ke dalam bumi sehingga sedikitpun tidak tersisa dari kekayaannya, hanya lantaran ia sombong kepada Allah SWT (QS. Al-Qashash :81). Ia dibenamkan ke dalam bumi lantaran kesombongannya, meresa bahwa kekayaan yang dimilikinya adalah semata-mata karena ilmunya (QS. Al-Qashas : 78), dan juga karena kekufurannya kepada Allah SWT.

3. Demikian pentingnya pesan ini, hingga Allah SWT menegaskan kembali bahwa mereka semua ditimpakan musibah adalah karena dosa dan perbuatan mereka sendiri. Allah SWT berfirman :
فَكُلاًّ أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ اْلأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ*
Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS. Al-Ankabut : 40)

4. Oleh karenanya kita perlu introspeksi diri atas setiap musibah dan bencana yang menimpa, karena bisa jadi hal tersebut adalah karena perilaku kita yang mendatangkan murka dari Allah SWT. Berikut adalah beberapa perilaku yang disebutkan Al-Qur'an yang mengakibatkan bencana :
#1. Penyebab terjadi azab atau musibah adalah karena mengingkari atau mendustakan ayat-ayat Allah SWT. Padahal jika mereka beriman, Allah akan membukakan pintu-pintu keberkahan baik dari langit maupun dari bumi. Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS. Al-A’raf/ 7 : 96 di atas.
#2. Penyebab lain dari terjadinya bencana atau musibah adalah karean adanya proses untuk menyekutukan Allah dengan sesuatu (baca; syirik), seperti mempropagandakan bahwa Allah memiliki anak. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT :
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا* لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا* تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ اْلأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا* أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا*
“Dan mereka berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak". Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh. Karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS. Maryam/ 88 : 91)

#3. Penyebab lain dari terjadinya bencana atau musibah adalah karena adanya suatu kaum yang tidak mau memberikan peringatan kepada orang-orang dzalim diantara mereka :
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ*
Dan peliharalah dirimu daripada siksaan (azab/ bencana) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Anfal/ 8 : 25)

#4. Penyebab berikutnya terjadinya musibah dan bencana adalah karena perbuatan zina dan riba yang dilakukan secara terang-terangan oleh suatu kaum. Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا ظَهَرَ فِي قَوْمٍ الرِّبَا وَالزِّنَا إِلاَّ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عِقَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Abdullah bin Mas’ud ra dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, ‘Tidaklah suatu kaum mereka melakukan dengan terang-terangan berupa riba dan zina, melainkan halal bagi Allah untuk menimpakan azabnya kepada mereka.’ (HR. Ahmad)

#5. Penyebab lainnya terjadinya musibah dan bencana adalah karena tingkah manusia yang merusak alam. Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum : 41)

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

Ketika Musibah Menerpa (1) Hikmah Di Balik Musibah

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ - متفق عليه
Dari Abu Sa'id al-Khudri ra dan Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah sesuatu menimpa seorang muslim, baik berupa rasa letih, rasa sakit, gelisah, sedih, gangguan, gundah gulana, bahkan duri yang menusuknya (adalah juian baginya), melainkan dengan hal itu Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya. “ (HR. Muslim)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa manusia hidup ibarat seprti roda yang berputar, terkadang di atas dan terkadang di bawah. Atau dengan kata lain terkadang manusia hidup mendapatkan kenikmatan dan kebaikan, namun adakalanya pula manusia hidup mendapatkan kesedihan ataupun musibah. Dan tidak mungkin seorang manusia hidup selalu dalam kesenangan dan kebahagiaan, sebagaimana juga tidak mungkin juga seorang manusia hidup terus dalam bencana dan musibah yang tiada berkesudahan. Karena memang demikianlah siklus kehidupan di dunia, sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam Al-Qur'an :
إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ اْلأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Jika kamu mendapat luka, maka sesungguhnya mereka (orang kafir) itupun mendapat luka yang serupa. Demikianlah perumpamaan itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. Ali Imran/ 3 : 140)

2. Musibah dan bencana merupakan salah satu sunnatullah diantara sekian banyak sunnatullah yang Allah ‘berlakukan’ terhadap hamba-hamba-Nya di muka bumi. Dalam Al-Qur’an Allah SWT menggambarkan bahwa ujian dan cobaan memiliki hikmah tersendiri, diantaranya adalah :
#1. Sebagai “sarana” untuk mengungkap keimanan seseorang; apakah seseorang benar benar beriman atau tidak. Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam Al-Qur'an :
الم* أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ* وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ*
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut/ 29 : 1-3)

#2. Cobaan dan ujian merupakan ‘hakekat’ dari kehidupan insan di dunia. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman (QS. Al-Mulk/ 67 : 1-2)
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ* الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ*
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

#3. Cobaan dan ujian sebagai sarana untuk introspeksi diri dan pelajaran agar manusia dapat lebih baik dalam beribadah kepada Allah SWT. Berkenaan dengan hal ini, Allah SWT berfirman :
فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ*
Maka Kami hukumlah Fir`aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim. (QS. Al-Qashas/ 28 : 40)

#4. Cobaan dan ujian sebagai sarana peningkatan ketakwaan seseorang kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً قَالَ اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى اْلأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ - رواه الترمذي وابن ماجه وأحمد
Dari Sa’d bin Abi Waqash, aku bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat cobaannya? Beliau menjawab, ‘Para nabi, kemudian orang-orang yang seperti para nabi, kemudian orang-orang yang seperti mereka. Seorang hamba diuji Allah berdasarkan keimanannya. Jika keimanannya kokoh maka akan semakin berat cobaannya. Namun jika keimanannya lemah, maka ia akan diuji berdasarkan keimanannya tersebut. Dan cobaan tidak akan berpisah dari seorang hamba hingga nanti ia meninggalkannya berjalan di muka bumi seperti ia tidak memilki satu dosa pun. (HR. Turmudzi).

#5. Cobaan dan ujian merupakan salah satu bentuk kecintaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ - رواه الترمذي وابن ماجه
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Besarnya suatu pahala adalah tergantung dari besarnya ujian dari Allah. Dan sesungguhnya Allah SWT apabila mencintai suatu kaum, Allah menguji mereka. Jika (dengan ujian tersebut) mereka ridha, maka Allah pun memberikan keridhaan-Nya. Dan siapa yang marah (tidak ridha), maka Allah pun marah terhadapnya. (HR Turmudzi & Ibnu Majah)

3. Bencana alam yang terjadi dan menimpa suatu kaum, dilihat dari satu sisi bisa jadi merupakan peringatan atau azab dari Allah SWT, karena kemungkaran dan kemaksiatannya. Namun di sisi yang lain, ia juga bisa merupakan ujian dan cobaan dari Allah SWT. Karena sesungguhnya ketika kita membuka lembaran-lembaran ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita jumpai bagaimana ketika Allah membinasakan suatu kaum, di satu sisi hal tersebut adalah azab yang Allah timpakan kepada mereka lantaran kekufuran mereka kepada Allah SWT. Namun di sisi lain juga merupakan ujian bagi kaum yang beriman; supaya mereka lebih dapat meningkatkan keimanannya kepada Allah SWT, serta untuk meninggikan derajat mereka.

4. Diantara contoh bahwa bencana alam merupakan musibah, azab dan sekaligus sebagai cobaan adalah kisah Nabi Nuh as, yang Allah gambarkan dalam QS. Hud/ 11 : 25 – 49. Di sana Allah kisahkan bahwa karena kaumnya senantiasa ingkar dan tidak mau beriman kepada Allah SWT, maka Allah timpakan azab kepada mereka berupa banjir yang sangat besar yang bahkan Al-Qur’an menggambarkannya ( في موج كالجبال ) “mereka diterjang gelombang yang tinggi seperti gunung”. (QS. 11 : 42). Dan pada saat terjadi banjir besar tersebut, kaumnya disapu dan dimusnahkan Allah dengan azab banjir besar tersebut. Dan pada saat bersamaan, Nabi Nuh as juga melihat anaknya di tempat yang jauh terpencil, lalu beliau memanggilnya. Namun sang anak tidak mau mengikuti orang tuanya, bahkan berlari ke arah bukit. Kemudian beliau berdoa kepada Allah untuk menyelematkan anaknya, karena dia adalah termasuk ‘keluarganya’. (QS. 11 : 45). Namun kemudian Allah mematahkan logika manusiawi Nabi Nuh as, dengan mengatakan bahwa anaknya itu bukan termasuk ‘keluarganya’, karena dia juga tidak mau beriman kepada Allah SWT. Kaumnya dan juga anaknya hancur binasa ditimpa banjir besar tersebut, sementara beliau dan pengikutnya selamat berada di atas perahu hingga banjir besar tersebut kembali surut. Kejadian ini dilihat dari satu sisi merupakan azab yang Allah timpakan kepada kaum Nabi Nuh as, karena keingkaran dan kekufuran mereka. Namun di sisi yang lain juga merupakan ujian dan cobaan sekaligus rahmat bagi orang-orang yang beriman dan mengikuti Nabi Nuh. Bagi Nabi Nuh sendiri, kejadian tersebut merupakan ujian yang cukup berat.

5. Hal lain yang sangat penting dalam setiap musibah dan bencana yang menimpa adalah, bahwa semua kepedihan, penderitaan, rasa sakit, gundah gulana atau segala rasa yang menjadikan kita kurang nyaman, pada hakakatnya merupakan penghapus dari setiap dosa dan kesalahan yang kita lakukan. Maka patutlah kiranya dalam setiap musibah, bencana atau apapun yang menimpa kita, segera kita kembalikan kepada Allah SWT, dengan bersabar, beristighfar dan memohon pertolongan dari-Nya.....

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

;;