Hukum Bai' Ad-Dayn (Jual Beli Piutang)

Bai’ Dayn.

Dalam transaksi muamalah dewasa ini, terkadang ditemui transaksi berupa jual beli piutang, seperti ketika seseorang yang memiliki piutang, lalu ia menjual piutang nya tersebut kepada orang lain. Atau dalam kasus lembaga keuangan syariah, ketika suatu  LKS akan menjual asset pembiayaannya kepada LKS yang lainnya, maka bagaimanakah hukumnya? 
Berikut kami simpulkan dari beberapa referensi,utamanya dari Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Al-Zuhaily.
Syekh Wahbah Zuhaily memberikan pembahasan tentang bai’ ad-dain ( بيع الدين ) sebagai berikut (4/432):
1)      ( بيع الدين نسيئة ) Menjual piutang dengan hutang
Dalam fiqh trnasaksi seperti ini dikenal dengan sebutan bai’ ad-dayn by ad-dayn atau dalam hadits disebut bai’ al-kali bil kali ( بيع الكاليء بالكاليء ). Bentuk transaksi jual beli seperti ini adalah dilarang secara syariah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ (رواه النسائي في الكبرى والحاكم والدارقطني)
Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Nabi SAW melarang jual beli hutang dengan hutang. (HR. An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, Daruquthni dan Al-Hakim)[1]

Menjual piutang dengan hutang, bisa terjadi dalam dua bentuk :
a.       ( بيع الدين للمدين ) Menjual piutang kepada orang yang berhutang tersebut
Yaitu seperti seseorang yang berkata kapeada orang lain,
·    Saya beli dari kamu satu mud gandum dengan harga satu dinar dengan serah terima dilakukan setelah satu bulan.’
·      Atau seseorang membeli barang yang akan diserahkan pada waktu tertentu lalu ketika jatuh tempo, penjual tidak mendapatkan barang untuk menutupi utangnya, lantas berkata kepada pembeli, ‘;Juallah barang ini kepadaku dengan tambahan waktu lagi dengan imbalan tambahan barang’. Lalu pembeli menyetujui permintaan penjual dan kedua belah pihak tidak saling sarah terima barang.
Cara seperti ini merupakan riba yang diharamkan, dengan kaidah ‘berikan tambahan waktu dan saya akan berikan tambahan jumlah barang.’ ( زدني في الأجل وأزيدك في القدر )
b.      ( بيع الدين لغير المدين ) Menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang yang berhutang.
Hal ini seperti seseorang berkata kepada orang lain, ‘Saya jual kepadamu 20 mud gandum milikku yang dipinjam oleh fulan dengan harga sekian dan kamu bisa membayarnya kepadaku setelah satu bulan.’ Maka transaksi jual beli seperti ini juga termasuk transaksi yang tidak diperbolehkan.

2)      ( بيع الدين نقدا في الحال ) Menjual piutang dengan tunai pada saat transaksi.
Hukum menjual piutang dengan tunai diperselisihkan oleh ulama tentang hukumnya dan dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       ( بيع الدين للمدين ) Menjual piutang kepada orang yang berhutang,
Kebanyakan ahli fiqih dari empat madzhab memperbolehkan menjual piutang atau menghibahkan piutang kepada orang yang berhutang. Karena penghalang dari sahnya menjual piutang dengan hutang adalah karena ketidakmampuan menyerahkan objek akad. Sementara dalam jual beli piutang kepada orang yang berhutang di sini, tidak diperlukan lagi penyerahterimaan objek akad, karena piutang sudah ada pada orang yang meminjamnya sehingga sudah diserah terimakan dengan sendirinya.
Contohnya adalah orang yang memberikan hutang/ kreditur ( الدائن ) menjual piutangnya yang ada pada debitur (المدين ) dengan harga berupa sesuatu yang bukan sejenis piutangnya.
Namun, berbeda dengan jumhur ulama, Madzhab Zhahiriyah berperdapat bahwa menjual piutang kepada orang yang berhutang adalah tidak sah, karena jual beli ini mengandung unsur gharar. Ibnu Hazam berkata, ‘karena jual beli ini termasuk jual beli barang yang tidak diketahui dan tidak jelas barangnya. Inilah yang disebut dengan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
b.      ( بيع الدين لغير المدين ) Menjual piutang kepada orang lain yang bukan berhutang.
1.   Mahdzhab Hanafi dan Zhahiri mengatakan bahwa oleh karena pada dasarnya tidak boleh menjual barang yang tidak bisa diserah terimakan, maka menjual piutang kepada orang lain yang bukan berhutang adalah tidak boleh. Sebab piutang tidak bisa diserahkan kecuali kepada orang yang berhutang itu sendiri. Karena piutang adalah ibarat dari harta yang ada dalam tanggungan seseorang secara hukum, atau ibarat dari mengalihkan hak kepemilikan dan menyertakannya. Kedua hal tersebut tidak bisa diserahkan oleh penjual kepada pihak lain yang bukan berhutang.
2.       Madzhab Syafii mengemukakan bahwa :
a.    Menjual piutang yang bersifat tetap[2] kepada orang yang berhutang atau kepada pihak lain sebelum piutang itu diterima oleh orang yang memberi hutang, adalah diperbolehkan. Karena secara zahir, kreditur (orang yang memberikan hutang) mampu menyerahkan barang tanpa ada halangan apapun. Contoh piutang yang tetap adalah nilai barang yang dirusak (yang harus diganti) dan barang yang ada pada debitur (yang harus dikembalikan kepada si pemberi hutang).
b.    Akan tetapi apabila piutang tersebut tidak tetap, maka jika ia berupa barang yang diserahkan pada jual beli salam, hukumnya tidak boleh menjualnya sebelum barang tersebut diterima. Hal ini karena adanya larangan secara umum tentang jual beli barang yang belum diterima. Disamping itu juga karena kepemilikan barang dalam jual beli salam tidaklah tetap, karena ada kemungkinan barang tersebut tidak bisa diserahkan karena hilang, sehingga jual beli menjadi batal.
c.    Kemudian apabila piutang itu berupa harga barang dalam jual beli, maka dalam pendapat terbaru dari madzhab Syafii adalah juga diperbolehkan menjualnya sebelum dipegang, berdasarkan riwayat Ibnu Umar, dari Rasulullah SAW ;
لاَ بَأْسَ مَالَمْ تَتَفَرَّقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ
‘Tidak apa-apa selama keduanya belum berpisah dan diantara keduanya ada sesuatu.’ (HR. Turmudzi).[3]
3.       Madzhab Hambali berpendapat bahwa :
a.  Boleh menjual piutang yang tetap kepada debiturnya sendiri, seperti mengganti pinjaman dan mahar setelah senggama.
b.  Namun tidak boleh menjual piutang kepada orang lain yang bukan debiturnya, sebagaimana tidak boleh menghibahkan piutang kepada orang lain yang bukan debiturnya. Karena pada dasarnya hibah mengharuskan adanya barang sementara dalam hal hibang hutang ini, barangnya tidak ada.
c.    Tidak boleh juga menjual piutang yang tidak tetap, seperti sewa properti sebelum selesai masa sewanya, atau seperti mahar sebelum bersenggama dengan istri atau seperti barang pada jual beli salam sebelum diterima.
Namun sebagai catatan, walaupun madzhab Hambali tidak memperbolehkan transaksi menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang yang berhutang, namun Ibnu Qayim yang merupakan salah satu ulama besar Madzhab Hambali membolehkan jual piutang kepada orang yang berhutang maupun kepada orang lain yang bukan orang yang berhutang.
4.    Sementara Madzhab Maliki berpendapat bahwa boleh menjual piutang kepada orang lain yang tidak berhutang apabila memenuhi delapan syarat berikut:
a.   Jual beli tidak mengakibatkan pada pelanggaran syariah, seperti  riba, gharar, atau sejenisnya. Dengan demikian, piutang harus berupa sesuatu yang bisa dijual sebelum diterima, seperti halnya jika piutang itu berupa pinjaman dan sejenisnya. Dan jika piutang bukan berupa barang makanan.
b.    Piutang harus dijual dengan harga tunai agar terhindar dari hukum jual beli piutang yang dilarang.
c.  Harga harus berupa sesuatu yang bukan sejenis piutang yang dijual atau sejenisnya tetapi harus ada persamaan jumlahnya agar tidak terjebak dengan jual beli riba yang haram.
d.  Harga tidak boleh berupa emas, jika piutang yang dijual adalah perak agar tidak terjadi jual beli uang dengan uang yang tidak tunai, tanpa diserahkan keduanya.
e. Adanya dugaan kuat untuk mendapatkan piutang (dilunasinya hutang), seperti kemungkinan hadirnya orang yang berhutang (debitur) di tempat dilaksanakannya akad guna mengetahui kondisinya, apakah ia memiliki dana atau tidak.
f.  Orang yang berhutang (Debitur) harus mengakui hutangnya agar ia tidak mengingkarinya setelah itu. Maka oleh karenanya tidak diperbolehkan menjual hak milik yang disengketakan.
g.       Orang yang berhutang (Debitur) adalah orang yang layak untuk membayar hutangnya; atau debitur bukanlah orang yang tidak mampu atau bukan orang yang terhalang. Hal ini untuk memastikan agar ia bisa menyerahterimakan barang atau hutang.
h.   Tidak adanya konflik antara pembeli dan orang yang berhutang (debitur) seingga pembeli tidak dirugikan, atau agar debitur tidak dirugikan dalam bentuk memberi peluang kepada sengketanya untuk merugikannya.

Kesimpulannya adalah bahwa bai' ad-dayn boleh dilakukan menurut Madzhab Syafi'i, Maliki dan juga Ibnu Qayim Al-Jauzi dengan syarat bahwa : 
  1. Dibayar dengan tunai (cash), dan tidak boleh dibayar dengan tunda (cicil). karena jika dibayar dengan tunda atau cicil, mengakibatkan pada jual beli hutang dengan hutang. dan hal tersebut dilaran oleh Rasulullah SAW. 
  2. Jual beli piutang dengan tuani diperbolehkan, apabila terhindar dari praktek riba. Sehingga diharuskan adanya kesamaan harga, antara piutang yang dijual, dengan piutang yang akan diperoleh. sehingga tidak boleh misalnya menjual piutang Rp. 10.000,000,-, untuk kemudian dibayarnya senilai Rp 11.000.000,-. Karena jika demikian terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama, dan hal ini merupakan riba fadhl yang diharamkan.  Jadi, jual beli piutang secara cash diperbolehkan dengan syarat harganya harus sama. 
  3. Objek yang ditransaksikan haruslah jelas. Misalnya berapa jumlahnya, apa objek terjadinya piutang, siapa orang yang memiliki piutang, dst. Ketidakjelasan pada aspek ini, mengakibatkan transaksi terjerumus pada bay' gharar yang diharamkan.
  4. Lalu syarat-syarat lain yang disampaikan oleh Madzhab Maliki di atas, seperti adanya pengakuan dari orang yang berhutang, lalu adanya kepastian bahwa orang yang berhutang sanggup untuk melunasi hutangnya, dsb. 
  5. Syarat lainnya adalah syarat yang dikemukakan oleh Madzhab Syafi;i, yaitu bahwa objeknya (piutang) haruslah termasuk dalam kategori maal mustaqir (yang jelas dan tetap serta tidak adanya kemungkinan bahwa hutang tersebut menjadi diputihkan), dsb. Apabila piutangnya adalah sesuatu yang bukan maal mustaqir, maka tidak boleh diperjual belikan. Karena berarti adanya ketidakjelasan pada objek yang berakibat pada bai' gharar yang diharamkan. 
Wallahu A'lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag


[1][1] Hanya saja Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Bulughul Maram mengomentari bahwa hadits ini dha’if (1/316, lihat Al-Maktabah As-Syamilah)
[2] Dijelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaily, bahwa hutang yang bersifat tetap ( الدين المستقر ) adalah hutang yang tetap keharusan untuk pelunasannya dan yang oleh pemiliknya harus ditunaikan (dibayarkan) kepada orang yang memberikan hutang, tanpa ada kemungkinan lain yang menjadikan hutangnya lunas.
[3] Hadits tersebut lengkapnya adalah sebagai berikut :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنْتُ أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَسْأَلَكَ إِنِّي أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ قَالَ لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ (رواه النسائي وأبو داود وأحمد والحاكم)
Dari Ibnu Umar, dia berkata; "Saya pernah menjual unta di Baqi' saya menjualnya dengan beberapa dinar, dan kuambil beberapa dirham, kemudian saya datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di rumah Hafshah, saya berkata; "Wahai Rasulullah, saya ingin bertanya. Sesungguhnya saya menjual unta di Baqi', saya menjualnya dengan dinar dan mengambil dirham." Beliau bersabda: "Tidak mengapa engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu, selama kalian berdua belum berpisah sementara (ketika itu) di antara kalian ada sesuatu." (HR. Nasa’i, Abu Daud, Ahmad dan Al-Hakim)

Antara Ghibah Dan Dusta

          Ghibah dan dusta merupakan dua hal, yang hampir-hampir menjadi fenomena dalam lingkup kehidupan manusia. Seringkali, dimanapun manusia berkumpul dan berbicara, tidak luput dari dua hal ini, atau minimal dengan salah satunya. Jika kita perhatikan di kantor, di pasar, di rumah, di kantin atau di manapun juga, baik laki-laki maupun perempuan, senantiasa minimal ghibah (baca; membicarakan orang lain) menjadi tema sentral pembicaraan mereka. Padahal, Allah SWT memerintahkan kepada setiap insan untuk berkomunikasi  dan berbicara dengan baik. Dalam salah satu ayatnya Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا*  يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا*
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (baik), niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta`ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.

          Ayat di atas menggambarkan kepada kita, adanya korelasi yang kuat antara keimanan (baca; ketakwaan) dengan perkataan yang baik. Seseorang yang memiliki keimanan yang baik, insya Allah secara otomatis akan berkomunikasi dan bertutur kata yang baik. Sementara ghibah apalagi dusta termasuk dalam kategori perkataan yang tidak baik. Bahkan dusta masuk dalam kategori dosa-dosa besar.

                    Antara Ghibah Dan Dusta

Dari segi bahasa, ghibah berasal dari kata bahasa Arab ‘Ghaba’, yang berarti ghaib (baca; tidak tampak), atau tidak terlihat:
الغيبة لغة مشتق من فعل غاب أو الغيب، وهو كل ما غاب عن الإنسان
Oleh karena itulah, dari segi bahasa, ghibah berarti membicarakan orang lain yang ghaib (baca; yang tidak hadir) diantara orang yang sedang membicarakannya. Baik pembicaraan tersebut mengenai hal-hal yang positif darinya, ataupun yang bersifat negatikf.
Adapun dari segi istilah, ghibah adalah pembicaraan yang dilakukan seorang muslim mengenai saudaranya sesama muslim lainnya dalam hal-hal yang bersifat keburukan dan kejelekannya, atau hal-hal yang tidak disukaiya.
Sedangkan dusta, adalah kita membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri seseorang yang sesungguhnya sesuatu itu tidak terdapat dalam diri saudara kita tersebut. Sehingga dari sini, perbedaan antara ghibah dengan dusta terletak pada obyek pembicaraan yang kita lakukan. Dalam ghibah, yang kita bicarakan itu memang benar-benar ada dan melekat pada diri orang yang menjadi obyek pembicaraan kita. Sedangkan dalam dusta, sesuatu yang kita bicarakan tersebut, ternyata tidak terdapat pada diri seseorang yang kita bicarakan. Hal ini secara jelas pernah digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ (رواه مسلم)

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian, apakah itu ghibah? Para sahabat menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘engkau membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri saudaramu mengenai sesuatu yang tidak dia sukai. Salah seorang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah SAW, bagaimana pendapatmu jika yang aku bicarakan benar-benar ada pada diri saudaraku? Rasulullah SAW menjawab, jika yang kau bicarakan ada pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mengghibahinya. Sedangkan jika yang engkau bicarakan tidak terdapat pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mendustakannya. (HR. Muslim)

                    Dusta dan Ghibah Dalam pandangan Islam

          Baik ghibah maupun dusta, sesungguhnya merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW :
Mengenai dusta, Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 22: 30):
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ*
‘Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.’

Bahkan dusta ini masuk dalam kategori dosa-dosa besar yang senantiasa harus dijauhi oleh setiap mu’min. Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW pernah mengatakan:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ فَمَا زَالَ يَقُولُهَا حَتَّى قُلْتُ لاَ يَسْكُتُ (رواه البخاري)
“Dari Abu Bakrah ra, Rasulullah SAW bersabda: ‘Maukah kalian aku beritahu tentang dosa-dosa yang paling besar diantara dosa-dosa besar? Kami menjawab, tentu wahai Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Yaitu, menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.’ Beliau berdiri, kemudian duduk, lalu mengatakan lagi, ‘dan perkataan dusta serta persaksian dusta.. perkataan dusta dan persaksian dusta..’ Beliau terus mengucapkan itu, hingga aku katakan bahwa beliau tidak berhenti mengucapkannya.” (HR. Bukhari)

Ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya yang membicarakan masalah ghibah masih cukup banyak. Namun dari kedua dalil di atas, kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa dusta merupakan perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW. Bahkan Rasulullah SAW secara langsung mengkategorikannya pada perbuatan dosa-dosa besar yang paling besar.

Sedangkan mengenai ghibah, sebagaimana dusta, banyak ayat-ayat maupun hadits-hadits yang melarangnya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam (QS. 49 : 12) :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ*
‘Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’

Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةَ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ (رواه أبو داود)
Dari Said bin Zaid ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya riba yang paling bahaya adalah berpanjang kalam dalam membicarakan (keburukan) seorang muslim dengan (cara) yang tidak benar. (HR. Abu Daud)

                    Kedua dalil di atas telah cukup menunjukkan kepada kita mengenai bahaya ghibah. Dalam ayat (QS. 49 : 12) Allah mengumpamakan ghibah seperti orang yang memakan daging saudaranya sendiri yang telah meninggal. Sedangkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah SAW mengumpamakannya dengan riba yang paling berat dan berbahaya.Oleh karena itulah, bagi setiap muslim harus berusaha secara maksimal untuk meninggalkan kedua penyakit lisan yang ternyata sangat berbahaya ini. Kita dapat membayangkan, sekiranya setiap hari kita diumpamakan seperti menyantap makanan yang terbuat dari daging saudara kita sendiri ? Selain itu kita juga diumpakan selalu berinteraksi dengan riba yang paling berbahaya dan paling besar dosanya di sisi Allah SWT ? Na’udzu billah min dzalik.


                    Kondisi Diperbolehkannya Ghibah dan Dusta

          Meskipun demikian, memang ada beberapa kondisi tertentu di mana kita diperbolehkan untuk dusta dan ghibah.
1.    Kondisi diperbolehkannya dusta
Dalam hadits dijelaskan oleh Rasulullah SAW mengenai beberapa keadaan dimana seseorang dihalalkan untuk berdusta, berdasarkan hadits berikut:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ (رواه الترمذى)
“Dari Asma’ binti Yazid ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Dusta tidak diperkenankan melainkan dalam tiga hal; seorang suami berbicara kepada istrinya agar istrinya (lebih mencintainya), dusta dalam peperangan dan dusta untuk mendamaikan diantara manusia (yang sedang bertikai)” (HR. Turmudzi)
2.    Kondisi diperbolehkannya ghibah
Dr. Sayid Muhammad Nuh dalam Afat Ala al-Thariq (1996 : III/ 52) mengungkapkan ada enam hal, dimana seseorang diperbolehkan untuk ghibah, yaitu:
  1. Tadzalum.
Yaitu orang yang teraniaya, kemudian mengadukan derita yang diterimanya kepada hakim, ulama dan penguasa agar dapat mengatasi problematika yang sedang dialaminya. Dalam pengaduan tersebut tentu ia akan menceritakan keburukan orang yang menganiaya dirinya. Dan hal seperti ini diperbolehkan. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
لاَ يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا*
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
  1. Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran & mengembalikan orang yang maksiat menjadi taat kepada Allah SWT, kepada orang yang dirasa mampu untuk melakukannya. Seperti ulama, ustadz atau psikolog. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,
‘Barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya. (HR. Muslim).
Sementara meminta bantuan kepada orang yang lebih mampu, masuk dalam kategori merubah kemungkaran dengan lisan.


  1. Meminta fatwa.
Seperti seseorang yang meminta fatwa kepada ulama dan ustadz, bahwa saudaraku misalnya mendzolimiku seperti ini, maka bagaimana hukumnya bagi diriku maupun bagi suadaraku tersebut.
Dalam salah satu riwayat pernah digambarkan, bahwa Hndun binti Utbah (istri Abu Sufyan) mengadu kepada Rasulullah SAW dan mengatakan, wahai Rasulullah SAW, suamiku adalah seorang yang bakhil. Dia tidak memberikan padaku uang yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga kami, kecuali yang aku ambil dari simpanannya dan dia tidak mengetahuinya. Apakah perbuatanku itu dosa ? Rasulullah SAW menjawab, ambilah darinya sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik (baca; ma’ruf)” (HR. Bukhari)
  1. Peringatan terhadap keburukan atau bahaya.
Seperti ketika Fatimah binti Qais ra datang kepada Rasulullah SAW dan memberitahukan bahwa ada dua orang pemuda yang akan meminangnya, yaitu Muawiyah dan Abu Jahm. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Adapun Muawiyah, ia adalah seseorang yang sangat miskin, sedangkan Abu Jahm, adalah seseorang yang ringan tangan (suka memukul wanita).” (HR. Muslim)
  1. Terhadap orang yang menampakkan kefasikan & kemaksiatannya, seperti minum khamer, berzina, judi, mencuri, dan membunuh. Terhadap orang yang seperti ini kita boleh ghibah. Apalagi terhadap orang yang menampakkan permusuhannya kepada agama Islam dan kaum muslimin.
  2. Untuk pengenalan.
Adakalanya seseorang telah dikenal dengan julukan tertentu yang terkesan negatif, seperti para periwayat hadits ada yang dikenal dengan sebutan A’masy (si rabun), A’raj (pincang), Asham (tuli), A’ma (buta) dsb. Mereka semua sangat dikenal dengan nama tersebut. Jika disebut nama lain bahkan banyak perawi lainnya yang kurang mengenalnya. Meskipun demikian, tetap menggunakan nama aslinya adalah lebih baik. Bahkan jika dengan namanya tersebut dia telah dikenal, maka tidak boleh menggunakan julukan yang terkesan negatif.

                    Cara Untuk Menghindari Dusta dan Ghibah

          Sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap penyakit tentu ada obatnya. Demikian juga dengan penyakit hati dan lisan, seperti dusta dan ghibah. Allah memberikan berbagai jalan untuk manusia agar dapat mengobati dirinya dari penyakit-penyakit seperti ini, diantaranya adalah:
1.    Dengan meningkatkan rasa ‘muraqabatullah’ yaitu sebuah rasa dimana kita senantiasa tahu, bahwa Allah sangat mengetahui segala tindak tanduk yang kita lakukan, baik ketika seorang diri maupun di saat bersama-sama. Baik ketika orang yang kita bicarakan ada diantara kita ataupun tidak ada. Allah pasti mengetahuinya.
2.    Meningkatkan keyakinan kita bahwa setiap orang yang kita bicarakan, pasti akan dimintai pertanggung jawabannya dari Allah SWT kelak. Dalam salah satu ayatnya, Allah berfirman (QS. 50 : 18) :
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ*
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.
3.    Menahan emosi dan mencegah amarah. Karena keduanya merupakan faktor yang dapat membawa seseorang pada ghibah dan dusta.
4.    Tabayun (baca; mengecek) terhadap informasi yang datang dari seseorang, sebelum membicarakannya pada orang lain. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 49 : 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ*
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
5.    Beramal & berusaha untuk dapat menciptakan suasana yang ‘Islami’, dilingkungan kerja, dirumah, di kantin dsb, dengan membuat kesepakatan dan ketauladanan untuk tidak membicarakan kejelekan orang lain, apalagi berbohong. Di samping itu juga keharusan adanya teguran, kepada orang yang secara sengaja atau tidak dalam membicarakan orang lain.
6.    Jika kita merupakan orang yang menjadi obyek pembicaraan, kitapun harus menanggapinya dengan akhlak yang baik dan bijaksana. Kita mencek kembali, mengapa mereka membicarakan kita, siapa saksinya kemudian diselesaikan dengan baik.
7.    Himbauan secara khusus kepada orang-orang yang menjadi panutan, baik dalam kantornya, masyarakatnya atau di mana saja, untuk menjauhi hal ini (ghibah dan dusta), supaya mereka yang berada di bawahnya dapat mencontoh. Karena apabila para panutan ini memberikan keteladanan yang buruk, maka para bawahannya pun akan mengikutinya.
8.    Membiasakan diri untuk bertanya sesegera mungkin manakala melihat adanya fenomena seseorang yang berbuat sesuatu yang melanggar syariat, hingga kita tidak terjerumus pada keghibahan.
9.    Mengajak umat secara keseluruhan untuk menghindari diri dari penyakit ini, dengan cara tidak membicarakan orang lain, tidak mendengarkan jika ada orang yang membicarakan orang lain, memberikan teguran dan lain sebagainya.
10. Mengingat-ingat kembali, tentang hukum dusta dan ghibah serta akibat yang akan ditimbulkan dari adanya hal seperti ini.

                    Penutup

          Kita yakin bahwa setiap insan pasti pernah terjerumus dalam perbuatan maksiat. Dan kemasiatan yang paling mudah menjerumuskan setiap insan adalah maksiat mata dan maksiat lisan. Dan diatara kemasiatan lisan adalah dusta dan ghibah. Padahal kedua kemaksiatan ini (ghibah dan dusta) adalah termasuk dalam kategori dosa-dosa besar. Dusta, adalah dosa besar yang paling besar, yang disejajarkan dengan syirik dan durhaka pada orang tua. Sementara ghibah Allah umpamakan seperti memakan bangkai saudara kita sendiri yang telah mati. Atau seperti orang yang melakukan riba yang paling berat dan berbahaya. Jadi betapa besarnya dosa kita jika setiap hari kita ‘menkonsumsi’ dusta dan ghibah ?
          Oleh karena itulah, hendaknya kita memperbaharui taubat kita kepada Allah SWT serta berjanji untuk tidak terjerumus kembali pada ghibah & dusta, semampu kita. Apalagi jika kita merenungi bahwa salah satu sifat mu’min adalah sebagaimana yang digambarkan dalam hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ (رواه البخاري)
Dari Abdullah bin Amru ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Seorang muslim adalah seseorang yang menjadikan muslim lainnya selamat (terjaga) dari lisan dan tanganya. Sedangkan muhajir adalah orang yang meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah SWT. (HR. Bukhari)


          Wallahu A’lam Bis Shawab
          By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.

;;