Pengorbanan Nabi Ibrahim as


فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ ﴿١٠٢﴾

Maka tatkala anak itu (Nabi Ismail as) sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS. As-Shaffat : 102)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa Nabi Ibrahim as merupakan seorang nabi yang patut dijadikan teladan, khususnya dalam masalah pengorbanan. Demikian pentingnya kita mengambil pelajaran dan keteladanan dari Nabi Ibrahim as, hingga Allah SWT menyebutkan tentang kisah Nabi Ibrahim di dalam Al-Qur’an sebanyak 25 kali yang mencakup 156 ayat yang tersebar di dalam 20 surat di dalam Al-Qur’an. Berikut adalah diantara keistimewaan Nabi Ibrahim as :

a. Beliau mendapatkan julukan sebagai ( أبو الأنبياء ) Abul Anbiya’ (Bapaknya para Nabi dan Rasul), karena dari garis keturunan beliau, lahirlah nabi Ismail dan nabi Ishak. Dari keturunan kedua nabi ini muncul banyak nabi dan Rasul. Dan dari keturunan nabi Ismail as, lahirlah para nabi dan rasul, dan yang paling terarkhir adalah nabi kita, nabi Muhammad SAW.

b. Selain Abul Anbiya’, Nabi Ibrahim as juga mendapatkan julukan ( أبو الضيفان ) Abu Dhaifan (Bapaknya para tamu). Karena beliau memiliki sifat mulia, suka menjamu para tamu, khususnya ketika datang tamu yang kemudian beliau menyuguhkan daging anak sapi gemuk yang dibakar (dipanggang) yang tenyata mereka adalah para Malaikat yang mulia.

c. Beliau juga disebut sebagai ( أبو التوحيد ) Abu Tauhid, atau Bapak agama Tauhid. Hal ini karena keistiqamahan dan kekokohan beliau dalam mentauhidkan Allah dan dalam memberantas kemusyrikan, walalupun berakibat buruk bagi keselematan beliau.

d. Nabi Ibrahim as juga merupakan satu-satunya Nabi yang Allah SWT sifatkan dalam Al-Qur’an memiliki ( قلب سليم ) qalbun salim, yaitu hati yang bersih. Bahkan Allah SWT menyebutkan istilah qalbun salim dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali, dan keduanya hanya ketika menyebutkan nabi Ibrahim as. Kedua ayat tersebut adalah pertama dalam QS. As-Syu’ara : 89, dan Kedua dalam QS. As-Shaffat : 84.

2. Hal yang paling dominan pada Nabi Ibrahim as yang patut dijadikan keteladanan adalah sisi kecintaannya kepada Allah SWT dan sisi pengorbanannya yang demikian besar. Keteladanan Nabi Ibrahim as dalam hal pengorbanan demikian besarnya demi melaksanakan perintah Allah SWT dan mengharapkan ridha-Nya, bahkan hingga beliau “rela” melakukan apapun, kendatipun ketika harus mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya yaitu putra kandungnya sendiri yang tentunya teramat sangat disayanginya. Adalah Nabi Ismail as sebagaimana digambarkan dalam QS. As-Shaffat : 102, merupakan putra yang dikorbankan oleh Nabi Ibrahim as untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Walaupun hati terasa berat, walaupun rasa iba kepada sang anak demikian menggelora, namun kalau itu sudah menjadi ketetapan dan perintah Allah SWT, maka beliaupun siap melaksanakan apa yang Allah SWT perintahkan. Karena cinta kepada Allah haruslah berada di atas cinta kepada yang lain-lainnya. Allah SWT berfirman :

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴿٢٤﴾

Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kerabat keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS. At-Taubah : 24)

3. Bahwa terdapat beberapa pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as, dalam rangka menggapai cinta dan keridhaan Allah SWT. Diantara pengorbanan beliau adalah sebagai berikut :

a. Pengorbanan dalam menghilangkan kemusyrikan. Hal ini terlihat jelas sejak beliau baru tumbuh remaja. Bahkan beliau tetap dengan tegas berupaya menghilangkan kemusyrikan kendatipun yang melakukan perbuatan syirik tersebut adalah ayahnya sendiri dan juga kaumnya. Beliau mengingatkan mereka, memberi nasehat serta melakukan dialog dengan logika yang rasional. Al-Qur’an merekam kejadian tersebut :

وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِن قَبْلُ وَكُنَّا بِه عَالِمِينَ ﴿٥١﴾ إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ ﴿٥٢﴾

Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan) nya.(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?" (QS. Al-Anbiya’ : 51 – 52)

Ideologi keimanannya berbicara lantang menghancurkan sanubari para penyembah berhala. Bahkan dengan idiologi keimanannya ini pulalah, (bukan hanya menghancurkan sanubari mereka) namun beliau juga menghancurkan berhala-berhala buatan kaumnya dengan tangan beliau sendiri. Beliau “rela berkorban” untuk melakukan hal tersebut, meskipun beliau sadar bahwa hal tersebut akan memiliki resiko yang berat baginya;

وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُم بَعْدَ أَن تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ ﴿٥٧﴾ فَجَعَلَهُمْ جُذَاذاً إِلاَّ كَبِيراً لَّهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ ﴿٥٨﴾

Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. (QS. Al-Anbiya’ 57 – 58)

Dan ternyata benar, kaumnya murka dan sangat marah kepada beliau, bahkan mereka bertekad untuk membakar Nabi Ibrahim hidup-hidup. Mereka berbuat demikian kaena mereka merasa tidak mampu berbicara dengan logika, ketika berhadapan dengan Nabi Ibrahim. Mereka kalap dan kehabisan akal, serta bertindak brutal dan melakukan tindakan fatal, yaitu ingin membakar nabi Ibrahim as hidup-hidup.:

قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانصُرُوا آلِهَتَكُمْ إِن كُنتُمْ فَاعِلِينَ ﴿٦٨﴾ قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْداً وَسَلاَماً عَلَى إِبْرَاهِيمَ ﴿٦٩﴾
Mereka berkata: "Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak". Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim". (QS. Al-Anbiya’ : 68 – 69)

Namun Allah SWT pasti akan menolong hamba-hamba-Nya yang menolong agamanya. Beliau selamat tanpa luka sedikitpun, bahkan kemudian Allah muliakan dengan mu’jizat tersebut.

b. Pengorbanan jiwa dan keluarga. Cobaaan dan pengorbanan Nabi Ibrahim as, ternyata tidak terhenti sampai di sini saja. Allah SWT masih ingin mendapatkan pembuktian pengorbanan Nabi Ibrahim as, sebagai bukti kecintaannya kepada Allah SWT. Sebagai manusia biasa, Nabi Ibrahin pun sangat berharap memiliki keturunan, yang kelak dapat meneruskan da’wahnya. Namun hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun berlalu, dan kehadiran sang penerus generasi belum juga muncul. Usia pun telah mulai senja, dan kekuatan Nabi Ibramin pun mulai melemah. Meskipun pada akhirnya penantian panjang ini berlalu dengan hadirnya seorang bayi sehat, cerdas dan kuat yang bernama Ismail as. Dan betapa bahagianya sang ayah ketika lahirnya Ismail as. Penantian panjangnya berbuah manis; beliau memiliki keturunan yang akan meneruskan da’wahnya kelak. Namun belum lagi kebahagiaan itu dirasakannya, tiba-tiba Allah memerintahkannya untuk meninggalkan anak dan istrinya di sebuah padang yang sangat tandus, dan tiada tanaman dan tumbuhan serta air disana. Padang itu adalah Mekah Mukarramah. Berat sebenarnya hati beliau, namun karena kecintaan beliau kepada Allah yang demikian besarnya, Nabi Ibrahim harus “rela” berkurban kembali meninggalkan anak dan istrinya di sebuah padang tandus yang tiada air, tiada tumbuhan dan tiada kehidupan tersebut. Beliau sangat yakin, bahwa Allah tidak akan mungkin menyengsarakan anak istrinya di tempat tersebut. Allah SWT berfirman :

رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ ﴿٣٧﴾

“Wahai Rab kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman, di dekat rumah Engkau (baitullah) yang dihormati. Yang demikian itu agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, semoga mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim 37)

Siti Hajar mendidik Nabi Ismail hingga menjadi seorang remaja yang memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Bersamaan dengan itu, Mekah lambat laun banyak dikunjungi dan dijadikan tempat tinggal oleh banyak orang, sehingga jadilah Mekah sebagai kota kecil yang sering dilalui oleh para pedagang. Tempat yang asalnya gersang, Allah cukupi dengan makanan dan buah-buahan. Hingga suatu ketika, Allah mengizinkan Nabi Ibrahim as untuk kembali ke Mekah. Dan betapa bahagianya beliau ketika bertemu dengan anaknya yang sudah sekian lama ditinggalkannya. Bersama dengan putranya Ismail, Nabi Ibrahim membangun baitullah Ka’bah al-musyarrafah. Namun kebahagiaan yang baru sebentar dinikmatinya, lagi-lagi diuji oleh Allah SWT. Allah memerintahkannya untuk menyembelih sang anak, yang teramat sangat di sayangi dan dicintainya. Setiap orang pasti akan miris hatinya, ketika diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri. Dan disinilah, idiologi keimanan dalam diri Nabi Ibrahim kembali berbicara. Bahwa kecintaan kepada Allah harus didahulukan dari pada kecintaan pada apapun juga di dunia ini. Nabi Ibrahim pun mencoba mengkomunikasikan perintah Allah ini kepada Ismail as. Dan subhanallah, ketika mendengarkan hal tersebut, Nabi Ismail as yang memiliki keimanan dan ketaqwaan menerima dengan ikhlas perintah Allah tersebut. Dalam Al-Qur’an Allah menggambarkan:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ ﴿١٠٢﴾

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS. As-Shaffat : 102)

Dengan hati yang ikhlas mengharapkan ridha dan cinta Allah SWT, Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah tersebut. Namun ketika pisau telah siap mengenai leher Nabi Ismail, ketika itu pulalah Allah SWT mencegah beliau:

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ ﴿١٠٣﴾ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ ﴿١٠٤﴾ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ ﴿١٠٥﴾ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاَء الْمُبِينُ ﴿١٠٦﴾ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ ﴿١٠٧﴾ وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي اْلآخِرِينَ ﴿١٠٨﴾

“Maka tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” (As-Shaffat, 103-108)

4. Inilah gambaran pengorbanan yang sempurna dari seorang hamba demi mengharapkan keridhaan Allah SWT, yaitu pengorbanan Nabi Ibrahim as. Dan atas pengorbanan yang demikian besarnya tersebut, kita umat Islam dianjurkan untuk mengikuti keteladanan beliau untuk senantiasa berkurban dalam melaksanakan perintah Allah SWT dan demi mengharapkan cinta-Nya. Pengorbanan hakiki adalah dengan “menyembelih” sifat-sifat kenegatifan yang terdapat dalam diri kita, seperti sikap egois, mau menang sendiri, cinta dunia, ambisi terhadap harta, kedudukan, dsb. Untuk kemudian kita menjadi hamba-hamba Allah SWT yang senantiasa “sami’na wa atha’na” terhadap apapun yang diperintahkan oleh Allah SWT. Pengorbanan tersebut disimbolikkan dengan menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha bagi yang memiliki kemampuan untuk menyembelihnya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dalam berkurban haruslah didasari dengan keikhlasan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Karena hewan-hewan kurban tersebut tidak akan sampai kepada Allah SWT, namun yang akan sampai kepada-Nya adalah nilai dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman :

لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلاَ دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ ﴿٣٧﴾

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Hajj : 37)

Wallahu A’lam bis Shawab

By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Fiqh Berjabat Tangan

عَنْ سَلْمَانِ الْفَارِسِيِّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:"إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا لَقِيَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ فَأَخَذَ بِيَدِهِ تَحَاتَّتْ عَنْهُمَا ذُنُوبُهُمَا، كَمَا تَتَحَاتُ الْوَرَقُ مِنَ الشَّجَرَةِ الْيَابِسَةِ فِي يَوْمِ رِيحٍ عَاصِفٍ، وَإِلا غُفِرَ لَهُمَا، وَلَوْ كَانَتْ ذُنُوبُهُمَا مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ" - رواه الطبراني
Dari Salman Al-Farisy ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang muslim apabila bertemu dengan saudaranya sesama muslim kemudian keduanya berjabat tangan, maka akan gugurlah dosa-dosa keduanya sebagaimana bergugurannya daun-daun kering di hari angin bertiup kencang. Ataupun jika tidak, maka dosa-dosa keduanya akan diampuni walaupun seumpama sebanyak buih di lautan.” (HR. Turmudzi, Abu Daud & Ibnu Majah)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa hadits di atas merupakan hadits riwayat Al-Imam At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, Jilid 2 hal. 70. Juga dalam Al-Mu’jam Al-Shagir, Jilid 3, hal 354 Bab Man Laqia Akhahu Al-Muslim Bima Yuhibbu… Dalam Al-Jami’ Al-Ahadits dikemukakan bahwa menurut Imam Al-Mundziri hadits ini sanadnya Hasan. Dan menurut Imam Al-Haitsami hadits ini rijal (perawinya) shahih, bahkan tsiqah. Selain diriwayatkan oleh Imam Thabrani, hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, kesemuanya dari Salman Al-Farisy. Semantara hadits-hadits sejenis yang menguatkan hadits di atas yang secara makna hampir sama diriwayatkan oleh Imam At-Turmudzi, Imam Abu Daud & Imam Ahmad bin Hambal dari Al-Barra’ bin Azib ra.

2. Bahwa berjabat tangan merupakan salah satu sunnah yang dianjurkan ketika seorang muslim bertemu dengan saudaranya sesama muslim. Banyak riwayat yang menggambarkan bahwa Rasulullah SAW senantiasa berjabat tangan dengan para sahabatnya. Diantaranya adalah riwayat Imam Ahmad bin Hambal dengan sanadnya dari Abu Dzar Al-Ghifari bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa menjabat tangannya setiap kali bertemu. Dalam riwayat lain di Shahih Bukhari dari Abdullah bin Hisyam ra, beliau mengatakan, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau memegang tangan Umar bin Al Khattab ra.” Berjabat tangan juga menjadi sunnah para sahabat, sebagaimana digambarkan dalam riwayat berikut :
عَنْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ أَكَانَتْ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ - رواه البخاري
Dari Qatadah ra, aku berkata kepada Anas bin Malik, “Apakah berjabat tangan selalu dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah SAW?” Anas menjawab, “Ya”. (HR. Bukhari)

3. Secara definisi, berjabat tangan adalah menggenggam atau meletakkan tangan orang lain di tangan kita. Al Hattab (ulama madzhab Malikiyah) mengatakan: “Para ulama kami (Malikiyah) mengatakan, “Jabat tangan artinya meletakkan telapak tangan pada telapak tangan orang lain dan ditahan beberapa saat, selama rentang waktu yang cukup untuk menyampaikan salam.” (Hasyiyah Al Adzkar An Nawawi oleh Ali Asy Syariji, hal. 426). Ibn Hajar mengatakan, “Jabat tangan adalah melekatkan telapak tangan pada telapak tangan yang lain.” (Fathul Bari, 11/54). (Dari ; muslimah.or.id)

4. Bahwa berjabat tangan selain merupakan sunnah Rasulullah SAW dan para sahabat, juga memiliki keutamaan tersendiri yaitu akan mendapatkan ampunan dari dosa. Hal ini sebagaimana makna yang terkandung dalam riwayat di atas, bahwa seorang muslim apabila bertemu dengan saudaranya sesama muslim kemudian mereka berjabat tangan, maka akan berguguranlah dosa-dosa keduanya sebagaimana bergugurannya daun-daun kering di hari angin bertiup dengan kencang. Artinya adalah bahwa berjabat tangan yang dilandasi dengan niat tulus dan ikhlas, didasari dengan rasa ukhuwah Islamiyah dan bertujuan untuk beribadah kepada Allah SWT akan menjadi penggugur atas dosa-dosa. Namun ulama menggaris bawahi, bahwa yang dimaksud menggugurkan dosa adalah dosa-dosa kecil (shaga’ir). Adapun dosa-dosa besar, hanya bisa dihapuskan dengan taubatannashuha. Menguatkan makna tersebut, hadits riwayat Abu Daud berikut :
عَنْ الْبَرَاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا - رواه أبو داود
Dari Al-Barra’ bin Azib ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah dua orang muslim yang saling bertemu kemudian mereka saling berjabat tangan, melainkan Allah SWT akan mengampuni dosa keduanya sebelum keduanya berpisah.” (HR. Abu Daud)

5. Oleh karenanya hendaknya setiap kita membiasakan diri untuk selalu berjabat tangan apabila bertemu dengan sesama muslim. Misalnya ketika tiba di kantor dan bertemu dengan sesama karyawan atau dengan orang-orang yang kita kenal baik maka hendaknya diawali dengan mengucapkan salam lalu disertai dengan berjabat tangan. Demikian juga ketika pulang ke rumah dan bertemu dengan para tetangga, kenalan atau bertemu dengan sesama jamaah di masjid hendaknya di awali dengan salam dan berjabat tangan. Karena selain akan menggugurkan dosa-dosa kita, berjabat tangan juga memiliki sisi positif tersendiri bagi setiap muslim yang melakukannya. Diantara sisi positif berjabat tangan adalah akan semakin “meng-eratkan” ukhuwah Islamiyah diantara sesama muslim, akan menghilangkan rasa “al-ghil” (baca : perasaan tidak suka), dan juga akan menumbuhkan rasa kebersamaan terhadap sesama muslim.

6. Berjabat tangan juga merupakan salah satu ciri orang yang memiliki kelembutan hati. Orang yang berhati lembut, insya Allah akan senantiasa membiasakan diri untuk berjabat tangan dengan sesamanya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Ketika penduduk Yaman datang, Rasulullah SAW bersabda: ‘Penduduk Yaman telah datang, mereka adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada kalian.” Anas bin Malik ra berkomentar tentang sifat mereka: “Mereka adalah orang yang pertama kali mengajak untuk berjabat tangan.” (HR. Ahmad). Selain itu, dengan berjabat tangan juga akan memberikan pengaruh yang positif lainnya, yaitu akan menghilangkan permusuhan dan kedengkian di dalam hati. Dalam hadits riwayat Imam Malik disebutkan :
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي مُسْلِمٍ عَبْدِ اللَّهِ الْخُرَاسَانِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَافَحُوا يَذْهَبْ الْغِلُّ وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا وَتَذْهَبْ الشَّحْنَاءُ - رواه مالك
Dari Atha’ bin Muslim Abdullah Al-Khurasani ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,“Berjabat tanganlah, karena berjabat tangan akan menghilangkan kedengkian. Saling memberi hadiahlah, karena saling memberi hadiah akan menumbuhkan rasa saling cinta serta menghilangkan permusuhan.” (HR. Imam Malik)

7. Namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa hendaknya berjabat tangan dilakukan ketika setelah terlebih dahulu diawali dengan mengucapkan salam. Jangan sampai dengan alasan berjabat tangan, kemudian kita melupakan untuk saling mengucapkan salam antara sesama muslim. Karena mengucapkan salam juga memiliki keutamaan tersendiri, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam riwayat berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ - رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra banwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak dikatakan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku beritahu dengan sesuatu yang apabila kalian lakukan kalian akan saling mencintai? (yaitu) sebarkanlan (ucapkanlah) salam diantara kalian.” (HR. Muslim)

8. Bahwa dalam berjabat tangan terdapat ketentuan dan etika yang perlu diperhatikan antara sesama muslim. Diantaranya adalah
a. Tidak berjabat tangan dengan lawan jenis. Karena Rasulullah SAW seumur hidupnya tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali yang terhadap wanita yang menjadi mahramnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ وَمَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ إِلَّا امْرَأَةً يَمْلِكُهَا - رواه البخاري
Dari Aisyah ra berkata bahwasanya Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh tangan seorang wanitapun, kecuali wanita yang menjadi istrinya.” (HR. Bukhari)
Bahkan dalam riwayat lainnya disebutkan, dari Ma’qil bin Yasar ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu adalah lebih baik bagi dirinya dari pada dia menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.” (HR. At Tabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir).

b. Berusaha untuk memulai berjabat tangan terlebih dahulu ketika saling bertemu dengan sesama muslim. Karena hal ini merupakan kebiasaan Rasulullah SAW dimana beliau merupakan orang yang selalu terlebih dahulu memulai berjabat tangan, sebagaimana dikemukan oleh Syekh Abdullah Nasih Ulwan dalam Hatta Ya’lamas Syabab.

c. Tidak menarik tangan dari berjabat tangan sebelum saudara kita sesama muslim menarik tangannya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Turmudzi :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَقْبَلَهُ الرَّجُلُ فَصَافَحَهُ لَا يَنْزِعُ يَدَهُ مِنْ يَدِهِ حَتَّى يَكُونَ الرَّجُلُ يَنْزِعُ وَلَا يَصْرِفُ وَجْهَهُ عَنْ وَجْهِهِ حَتَّى يَكُونَ الرَّجُلُ هُوَ الَّذِي يَصْرِفُهُ ... (رواه الترمذي)
Dari Anas bin Malik ra bahwasanya Rasulullah SAW apabila bertemu dengan seseorang beliau menjabat tangannya dan tidak menarik tangan beliau sebelum orang tersebut menarik tangannya. Beliau juga tidak mengalihkan wajahnya dari wajah orang tersebut hingga orang tersebut yang mengalihkan wajahnya…” (HR. Turmudzi)

9. Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan mencium tangan ketika berjabat tangan. Jumhur ulama memperbolehkannya, namun Imam Malik melarangnya. Terhadap masalah ini Al-Imam An-Nawawi berpendapat, “Mencium tangan seseorang karena sifat kezuhudannya, kesalehannya, amalnya, mulianya, sikapnya dalam menjaga diri dari dosa, atau sifat keagamaan yang lainnya adalah satu hal yang tidak makruh. Bahkan dianjurkan. Akan tetapi jika mencium tangan karena kayanya, kekuatannya, atau kedudukan dunianya adalah satu hal yang makruh dan sangat di benci. Bahkan Abu Sa’id Al Mutawalli mengatakan: “Tidak boleh” (Fathul Bari, Al Hafizh Ibn Hajar 11/57). Para ulama yang lain memberikan beberapa catatan dalam berjabat tangan, diantaranya adalah sebagai berikut :
  • a. Hendaknya tidak sampai menimbulkan sikap “mengagungkan”, terlebih-lebih mengkultuskan orang yang dicium tangannya.
  • b. Hendaknya juga tidak menimbulkan sikap merendahkan diri kita di hadapan orang yang dicium tangannya.
  • c. Ketika menciumnya, hendaknya karena kemuliaan, keshalehan, keilmuan dan kedudukan dalam agama dan bukan karena dunianya.
  • d. Dalam mencium tangan, hendaknya tidak dijadikan kebiasaan karena dikhawatirkan akan menjadi seperti satu keharusan untuk dilakukan.
  • e. Orang yang dicium tidak menjulurkan tangannya kepada orang yang mencium.
10. Bahwa secara ilmiah, terdapat penemuan yang memotivasi (walaupun jangan pula dijadikan sebagai standar) untuk berjabat tangan. Berikut adalah kutipannya, “Berjabat tangan biasa dilakukan orang saat bersilaturahmi, bertemu rekan kerja atau selesai melakukan wawancara. Ternyata jabat tangan juga bisa menjadi petunjuk seseorang berumur panjang atau tidak. Para ilmuwan dari University College London menuturkan bahwa kekuatan saat orang berjabat tangan bisa menjadi petunjuk berapa lama seseorang akan hidup atau usia seseorang. Peneliti mencocokkan keseimbangan orangtua, kekuatan cengkeraman dan kemampuan untuk bangun dari kursi terhadap risiko kematian dini. Seseorang yang dapat melakukan dengan baik, kemungkinan bisa hidup lebih lama. Hasil penelitian ini dilaporkan dalam British Medical Journal (BMJ). Dari http://dhiea.student.umm.ac.id/2011/09/22/

11. Bahwa berjabat tangan merupakan bentuk penghormatan yang paling mulia. Dan kita diperintahkan untuk memberikan penghormatan kepada sesama muslim, bahkan kita juga dianjurkan untuk membalas penghormatan dengan cara yang lebih baik dari penghormatan yang dilakukan oleh saudara kita. Bila saudara kita mengucapkan salam, maka hendaknya kita balas dengan salam serupa atau yang lebih baik (lebih sempurna) dari salamnya, dan jika ia menjabat tangan kita, maka hendaknya kita membalasnya dengan jabatan tangan yang lebih erat dan lebih hangat kepadanya. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ تَمَامِ التَّحِيَّةِ الْأَخْذُ بِالْيَدِ - رواه الترمذي
Dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Diantara bentuk penghormatan yang paling sempurna adalah berjabat tangan.” (HR. Turmudzi)

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Karakteristik Ibadurrahman

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى اْلأَرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلاَماً ﴿٦٣﴾ وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّداً وَقِيَاماً ﴿٦٤﴾ وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَاماً ﴿٦٥﴾ إِنَّهَا سَاءتْ مُسْتَقَرّاً وَمُقَاماً ﴿٦٦﴾ وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَاماً ﴿٦٧﴾ وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلاَ يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً ﴿٦٨﴾ يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً ﴿٦٩﴾ إِلاَّ مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً ﴿٧٠﴾ وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً ﴿٧١﴾ وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً ﴿٧٢﴾ وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمّاً وَعُمْيَاناً ﴿٧٣﴾ وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً ﴿٧٤﴾ أُوْلَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلاَماً ﴿٧٥﴾ خَالِدِينَ فِيهَا حَسُنَتْ مُسْتَقَرّاً وَمُقَاماً ﴿٧٦﴾

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. (QS. Al-Furqan : 63 - 76)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa “ibadurrahman” atau hamba-hamba Allah yang Maha Rahman adalah hamba-hamba Allah yang memiliki keimanan dan dihiasai dengan ketakwaan, serta dikasihi dan disayangi oleh Allah SWT yang Maha Rahman. Mereka disebut secara khusus dengan disandarkan kepada salah satu asma Allah yaitu Arrahman menjadi ibadurrahman, menunjukkan betapa kasih sayang Allah yang secara khusus akan Allah berikan kepada mereka. Allah SWT menyayangi mereka, kerena keimanan dan ketakwaan serta sifat dan karakteristik positif yang melekat pada diri mereka. Penyandaran mereka terhadap salah satu asma Allah ini adalah keistimewaan tersendiri bagi mereka. Dan bisa jadi, orang-orang yang usai ditarbiyah (baca ; ditraining) selama bulan Ramadhan, adalah termasuk ke dalam golongan ibadurrahman ini.

2.Bahwa hamba-hamba Allah yang Maha Rahman (ibadurrahman), memiliki sifat dan karakteristik yang unik, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Furqan 63 – 76). Al-Qur’an menyebutkannya agar dijadikan ibrah dan diteladani oleh kita semua, mudah-mudahan kita termasuk ke dalam golongan ibadurrahman tersebut. Diantara sifat dan karakteristik mereka adalah sebagai berikut:

#1 : Mereka adalah orang-orang yang rendah hati (baca ; tidak sombong) dan senantiasa mengucapkan kata-kata yang baik. Atau sebagaimana bahasa yang digunakan dalam ayat di atas, “orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik…” (QS. Al-Furqan : 63). Subhanallah, sungguh indah penggambaran akhlak para ibadurrahman. Bahwa mereka bukan hanya orang-orang yang merendahkan hati dan tidak sombong, namum mereka juga selalu berusaha menuturkan kata-kata yang baik dan santun kendatipun dihadapan orang yang jahil sekalipun. Mereka mengindari sifat sombong karena kesombongan merupakan salah satu sifat dan karakter syaitan, dimana mereka merasa lebih mulia dibandingkan dengan manusia dan oleh karenanya Allah SWT mengusir syaitan (baca ; iblis), mengutuknya serta menjadikannya sebagai makhluk yang sangat hina ;
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَاْ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ ﴿١٢﴾ قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ ﴿١٣
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka ke luarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina" (QS. Al-A’raf : 12 – 13)

Mereka juga senantiasa bertutur kata yang baik, adalah karena tutur kata merupakan cerminan dari jiwa seseorang. Orang yang baik, hanya akan melahirkan kata-kata yang baik, kendatipun ia berhadapan dengan orang yang sangat bejat, jahat dan kasar (baca ; jahil). Sementara berbicara dengan orang-orang seperti itu, bukanlah perkara yang mudah. Seringkali kita terpancing emosi dan membalas perkataan kasar mereka dengan ungkapan yang kasar pula. Namun ibadurrahman justru membalasnya dengan ungkapan yang baik yang digambarkan dalam ayat di atas dengan ungkapan ( قالوا سلاما ) yaitu mengucapkan kata yang mengandung pengertian “salam” seperti santun, baik, benar dan menentramkan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ... وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ (رواه البخاري
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “…barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya maka hendaklah ia bertutur kata yang baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari)

#2 : Mereka adalah orang-orang yang melalui malam-malamnya dengan banyak beribadah kepada Allah SWT. Atau sebagaimana yang digambarkan dalam ayat di atas “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rab mereka..” (QS. Al-Furqan : 64). Karena beribadah dengan bersujud dan berdiri (baca; shalat) dikeheningan malam, merupakan bukti “kecintaan” seorang hamba terhadap Rab-nya. Waktu-waktu ini merupakan waktu yang sangat sulit namun sekaligus juga sangat istimewa bagi setiap hamba yang mencintai Rab-nya. Karena diwaktu-waktu tengah malam diibaratkan Allah membuka tangan-Nya lebar-lebar untuk menerima taubat dan doa dari para hamba-Nya. Ustadz Sayid Qutub dalam Fi Dzilalil Qur’an bahkan mengistilahkannya “ad-daqa’iq al-ghaliyah” (detik-detik yang sangat berharga). Rasulullah SAW sendiri memberikan contoh dan ketauladanan kepada kita, dimana diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa beliau senantiasa shalat malam hingga kedua kaki beliau bengkak.” (HR. Bukhari). Shalat malam juga memiliki keistimewaan tersendiri, karena orang-orang yang “gemar” shalat malam akan Allah SWT berikan tempat yang istimewa :
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَاماً مَّحْمُوداً ﴿٧٩
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (QS. Al-Isra’ : 79)

Namun betapa meruginya kita, karena masih jarang untuk bangun di keheningan malam untuk melaksanakan shalat. Sebaliknya kita justru lebih sering bangun di tengah malam, hanya untuk menyaksikan pertandingan sepak bola, begadang, mengobrol dan lain sebagainya. Maka mulailah untuk senantiasa membiasakan diri melaksanakan shalat di keheningan malam, semoga Allah berkenan mengangkat kita ke derajat yang terpuji.

#3.: Mereka adalah orang-orang yang banyak berdoa kepada Allah SWT agar dihindarkan dari azab nereka jahanam. Atau sebagaimana dalam digambarkan dalam ayat di atas : “Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". (QS. Al-Furqan : 65). Artinya adalah bahwa ibadurrahman merupakan orang-orang yang sangat takut terhadap azab Allah SWT. Para salafuna shaleh merupakan orang-orang yang sangat takut terhadap siksa dan azab Allah SWT. Dikisahkan dalam sebuah riwayat, bahwa Abdullah bin Rawahah ra suatu ketika tampak sedang menangis dengan sedihnya. Melihat itu, istrinya pun turut menangis hingga Abdullah bertanya, “Mengapa engkau menangis?” Istrinya menjawab, “Melihatmu menangis, itulah yang menyebabkan aku menangis.” Abdullah bin Rawahah ra lalu bertutur, “Saat aku membayangkan bahwa aku bakal menyeberangi shirath, aku tidak tahu apakah aku akan selamat atau tidak. Itulah yang membuatku menangis.” (al-Kandahlawi). Dikisahkan pula bahwa Umar bin Khatab pernah berkata, “Wahai sekalian manusia, andaikata ada yg menyeru dari langit, ‘wahai sekalian manusia, sesunguhnya kalian semua masuk Surga kecuali satu orang’ Saya takut satu orang itu adalah saya.” Dikisahkan pula bahwa Yazid bin Kholsyan berkata, “Demi Allah! Saya tidak pernah melihat orang yang lebih takut dari Al Hasan Al Bashri dan Umar bin Abdul Aziz seakan Neraka diciptakan untuk mereka berdua saja. Sehingga mereka sentiasa merasa takut darinya.” Rasa takut akan azab Allah SWT menunjukkan kekuatan iman seseorang, yang sekaligus akan menjaganya dari segala perbuatan dana amalan yang tercela. Karena setiap kali akan berbuat maksiat kepada Allah, ia akan selalu teringat dahsyatnya azab dan siksa Allah SWT atas perbuatannya tersebut. Diantara penggambaran Al-Qur’an terhadap dahsyatnya azab Allah SWT adalah sebagaimana firman-Nya : Dan sesungguhnnya telah Kami sediakan neraka bagi orang-orang yang zhalim yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minuman, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek” (QS. Al-Kahfi : 29 ) Na’udzubillah min dzlik.

#4. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa “pertengahan” ketika berinfak (membelanjakan hartanya), dalam artian tidak terlalu boros dan tidak pula terlalu kikir. Atau sebagaimana digambarkan dalam ayat di atas “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. At-Thalaq : 67). Infak sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas dapat bermakna 1. menginfakkan hartanya di jalan Allah SWT sebagaimana pemahaman yang umum, dan dapat juga bermakna 2. membelanjakan hartanya untuk keperluan kehidupan diri dan keluarganya. Artinya adalah bahwa ibadurrahman adalah mereka-mereka yang senantiasa “membudgetkan” sebagian hartanya untuk berinfak dan shadaqah di jalan Allah dengan jumlah yang wajar tidak terlalu sedikit dan juga tidak berlebihan, serta juga ketika membelanjakan hartanya untuk diri sendiri dan atau untuk keluarganya ia membelanjakannya secara baik tidak boros berlebih-lebihan di sisi lain juga dan tidak terlalu pelit dan kikir. Mereka membelanjakannya pertengahan diantara keduanya. Inilah cara yang tepat dalam managemen keuangan keluarga muslim. Menguatkan makna seperti ini, Allah SWT berfirman :
وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُوماً مَّحْسُوراً ﴿٢٩﴾ إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيراً بَصِيراً ﴿٣٠
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kiasan terhadap orang yang terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.(QS. Al-Isra’ : 29 – 30)

#5. Mereka adalah orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah SWT. Bahwa ibadurrahman merupakan orang-orang senantiasa mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Terdapat hal unik yang diungkapkan dalam ayat 68 QS. Al-Furqan di atas, ketika menjelaskan tentang hal ini yaitu diungkapkan dengan bahasa: “tidak menyembah tuhan lain beserta Allah SWT”. Hal ini menyiratkan makna masih banyaknya kaum muslimin secara sadar atau tidak sadar yang masih melakukan hal-hal yang berbau kemusyrikan. Praktik-praktir tersebut adalah seperti meyakini adanya kekuatan-kekuatan lain selain Allah SWT, menggunakan jimat, mendatangi tukang ramal dan para dukun, dsb. Di masyarakat sendiri juga berkembang adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu yang cenderung menjerumuskan pada kemusyrikan. Bagi sebagian pedangang ada yang menggunakan semacam “panglaris” bagi dagangannya. Bagi sebagian kelompok masyarakat lainnya ada yang meyakini tidak boleh foto bertiga, karena nanti satunya akan ada yang meninggal dunia dalam waktu dekat, dsb. Keyakinan dan kepercayaan seperti ini mengandung unsur kemusyrikan yang harus dihindarkan dari kehidupan. Adapun ibadurrahman mereka adalah orang-orang yang benar-benar mentauhidkan Allah dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur kemusyrikan sebagaimana di atas. Karena menyekutukan Allah SWT memiliki konsekwensi yang berat; dosa-dosa mereka tidak akan pernah diampuni oleh Allah SWT :
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيداً ﴿١١٦
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa’ : 116)

#6. Mereka adalah orang-orang yang tidak “menghilangkan nyawa” orang lain kecuali dengan alasan yang benar. Atau sebagaimana digambarkan dalam ayat di atas bahwa mereka “tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar,” (QS. Al-Furqan : 68). Menghilangkan nyawa orang lain memiliki konsekwensi yang besar dalam Islam dan termasuk dalam jajaran dosa-dosa besar. Bila pelakunya melakukannya dengan sengaja, maka hukumannya adalah qishas atau dihukum setimpal dengan tindak kejahatannya. Bagi yang menghilangkan nyawa orang lain, maka hukumannya nyawanya juga akan dihilangkan sebagaimana perbuatannya. Namun apabila dilakukan dengan tidak sengaja, seperti seseorang yang terbunuh karena kecelakaan lalu lintas, maka hukuman bagi pelakunya adalah dengan membayar diyat (baca ; denda) berupa 100 ekor unta per satu nyawa manusia. Islam mengajarkan hal seperti ini pada hakekatnya adalah untuk “memuliakan” nyawa manusia itu sendiri, sehingga seseorang tidak akan pernah berfikir untuk membunuh atau menyakiti orang lain, sebab hukumannya sangat jelas dan berat; yaitu qishas. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿١٧٨﴾
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. Al-Baqarah : 178)

#7. Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan perbuatan zina. Atau sebagaimana digambarkan dalam ayat di atas, “dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya). (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Thalaq 68 – 70). Zina merupakan perbuatan yang sangat keji dan mungkar, serta masuk dalam deretan dosa-dosa besar. Karena dampak dari perbuatan zina tidak hanya akan merusak diri para pelakunya saja, namun akan berdampak luas dalam merusak kehidupan sosial masyarakat dalam skala yang sangat luas. Oleh karena itulah, Allah SWT memberikan peringatan yang sangat keras dalam masalah perzinaan dan perbuatan ini harus dihindarkan sejauh-jauhnya. Allah SWT berfirman :
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً ﴿٣٢
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’ : 32)

Bukan hanya itu saja, bahkan para pelaku zina juga mendapatkan “hukuman” yang sangat berat; dirajam hingga meninggal dunia (bagi yang telah menikah) dan dicambuk seratus kali cambukan bagi yang belum menikah. Allah SWT berfirman :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلاَ تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur : 2)

Bahwa menyekutukan Allah, membunuh dan berbuat zina disebutkan secara satu rangkaian pada ayat yang ke 68 QS. Al-Furqan, menggambarkan bahwa ketiga perbuatan tersebut merupakan perbuatan dosa besar. Atau sebagaimana di sebutkan dalam poin ke #5, #6 dan #7 dalam penjelasan di atas. Allah SWT bahkan hingga menutup ayat ke 68-69 QS. Al-Fuqran ini dengan ungkapan “barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya) (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina”. Sebagai gambaran betapa besarnya dosa ketiga perilaku ini, bahwa mereka akan “kekal” mendapatkan azab dan murka Allah SWT di hari akhir kelak. Oleh karenanya ketiga perbuatan ini harus dihindarkan sejauh-jauhnya dalam kehidupan setiap orang yang mendambakan keridhaan Allah SWT. Adapun ketiga hal ini “sengaja” disebutkan, faedahnya adalah agar manusia selalu ingat. Karena bagaimanapun manusia harus tetap dan selalu diingatkan, karena manusia “tempatnya” khilafan dan kealpaan.
Namun bagaimanapun juga, betapa Allah SWT adalah Maha Rahman. Allah SWT tetap akan mengampuni siapapun yang melakukan kesalahan dan kekhilafan apabila pelakunya benar-benar mau memperbaiki diri dan bertaubat kepada Allah SWT dengan taubat yang sebenar-benarnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam lanjutan ayat di atas, yaitu QS. Al-Furqan 69 – 71: “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” Jika mereka bertaubat selama hayat masih di kandung badan dan bukan dalam kondisi sakaratul maut, serta melakukan perbuatan amal shaleh maka Allah SWT akan mengampuni segala dosa dan kekhilafan mereka. Namun apabila mereka tiada bertaubat, atau bertaubat ketika sakaratul maut, maka tiada ampunan bagi mereka dan bagi mereka adalah azab yang pedih :
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ وَلاَ الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُوْلَـئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً ﴿١٨
Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. (QS. An-Nisa : 18)

#8. Mereka adalah orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu. Atau sebagaimana dibahasakan dalam ayat di atas, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu” (QS. Al-Furqan : 72). Karena persaksian palsu masuk dalam kategori dosa-dosa besar yang harus ditinggalkan oleh setiap muslim. Persaksian palsu akan menimbulkan kedzaliman dan menghilangkan esensi mendasar dalam agama Islam, yaitu keadilan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW memberikan peringatan keras terhadap persaksian palsu sebagaimana digambarkan dalam riwayat berikut :
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ (متفق عليه
Dari Abu Bakrah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kalian aku beritahu dengan sebesar-besarnya dosa besar? (Beliau bertanya seperti itu tiga kali). Sahabat menjawab, “Tentu wahai Rasulullah”. Beliau bersabda, “(yaitu) menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua” Pada saat itu beliau sedang bersandar, kemudian duduk lalu bersabda, “Ingatlah, juga perkataan palsu dan persaksian palsu. Ingatlah, juga perkataan palsu dan persaksian palsu” Beliau terus mengulang-ulangnya hingga kami berkata, sekiranya beliau diam.” (Muttafaqun Alaih)

Bahkan dalam riwayat lainnya, Rasulullah SAW menggambarkan bahwa seseorang yang bersumpah palsu akan dimasukkan ke dalam neraka dan diharamkan baginya surga:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللَّهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ (رواه مسلم
Dari Abu Umamah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mengambil hak seorang muslim dengan sumpah palsu maka Allah SWT pasti akan memasukkannya ke dalam neraka dan mengharamkan baginya surga. Seorang laki-laki bertanya, ‘Sekalipun barang yang tidak berarti wahai Rasulullah?” Belaiu menjawab, ‘Sekalipun hanya satu tangkai dari batang pohon arak (untuk bersiwak).” (HR. Muslim)

#9. Mereka adalah orang-orang yang menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat (laghwu). Perbuatan yang tidak memiliki faedah dan manfaat disebut dengan laghwu, yaitu segala perbuatan yang sama sekali tidak memiliki manfaat dan cenderung melalikan dari mengingat Allah SWT. Al-Zamachsyari mengemukakan, laghwu adalah segala sesuatu yang tidak memberikan manfaat, baik berupa perkataan ataupun perbuatan. Sedangkan Syekh Abu Bakar Al-Jaza’iri juga mengemukakan, bahwa laghwu adalah segala hal tidak bermanfaat yang tidak diridhai Allah SWT, baik berupa perkataan, perbuatan dan sesuatu yang dipikirkan. Diantara bentuk perbuatan yang mengandung unsur laghwu adalah duduk-duduk di jalanan, melihat dan mendengarkan (menonton) tayangan sesuatu yang tidak bermanfaat, berlebihan dalam candaan, guyonan, main kartu, dsb. Ibadurrahman tidak terjebak pada perbuatan-perbuatan seperti itu, bahkan jika mereka bertemu atau melalui orang-orang yang melakukan laghwu, mereka melewatinya dengan tetap menjaga kehormatan dirinya artinya tidak turut melakukan perbuatan seperti yang mereka lakukan. Sifat meninggalkan laghwu juga merupakan sifat ahli surga Firdaus :
وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ ﴿٣
Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. (QS. Al-Mu’minun – 3)

#10. Mereka adalah orang-orang yang mendengarkan firman Allah SWT dan sangat memperhatikan peringatan Rab-Nya. Atau sebagaimana digambarkan dalam bahasa ayat di atas, “Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan : 73). Artinya mereka adalah orang-orang yang sangat takut terhdap peringatan Rab-nya sehingga apabila dibacakan firman-firman-Nya, mereka akan benar-benar mendengarkan, memperhatikan dan juga melaksanakan firman-firman Allah SWT. Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ﴿٢
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal : 2)

#11. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa membina dan mendoakan keluarganya agar menjadi orang yang bertakwa. Atau sebagaimana digambarkan dalam ayat di atas “. Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan : 74). Membina dan mendidik keluarga agar menjadi keluarga yang selamat dunia akhirat merupakan perintah Allah SWT. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴿٦
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim : 6)

Karena pada hakekatnya, setiap orang juga mendambakan memiliki keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Dan diantara indikator terpenting dari keluarga yang demikian adalah keluarga yang orientasi dasarnya adalah keridhaan Allah SWT.


3. Bahwa ibadurrahman dengan 11 sifat dan karakteristiknya sebagaimana di atas, akan mendapatkan derajat yang mulia di dalam surga di sisi Allah SWT. Ini merupakan “balasan” kebaikan dari Allah SWT kepada orang-orang yang beramal shaleh, atas segala jerih payah mereka ketika menjalani kehidupan di dunia. Mereka mendapatkan derajat yang tinggi, diberi penghormatan yang mulia, disambut dengan ucapan selamat dan kekal selamanya di dalam surga. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah SWT “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.” (QS. Al-Furqan : 76). Semoga kita semua bisa seperti Ibadurrahman, yang mendapatkan janji berupa surga dan kemuliaan, serta keridhaan-Nya, Amiiin ya Rabbal Alamin...

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

;;