Solusi Berasuransi Lebih Indah Dengan Syariah

Alhamdulillah, buku yang sudah dinanti-nantikan oleh banyak pihak ini telah terbit yang ditandai dengan peluncurannya pada hari ahad, 31 Mei 2009/ 06 Jumadil Akhir 1430 H, kemarin di SALAMADANI Jl. Pasirwangi Bandung. Peluncuran buku ini sekaligus loucing MISQAD Majlis Iqra' Darussalah, yang diresmikan oleh Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc. Begitu sangat diminatinya buku ini, hingga pada saat louncing pada cetakan pertama kemarin ini sudah hampir 50% dari buku yang tercetak sudah habis dipesan oleh para pembaca. Rupanya para pembaca tahu benar, bahwa ini merupakan karya yang langka, khususnya untuk dijadikan rujukan dalam literatur asuransi syariah.

Buku ini menampilkan sisi Asuransi Syariah dengan lengkap, secara mudah dan gamblang dengan bahasa yang populis, sehingga akan mudah dipahami oleh siapa saja yang membacanya ; apakah ia akademisi, praktisi, pengamat, ulama, atau bahkan oleh kaum awam sekalipun. Buku yang ditulis oleh tim penulis yang memang sehari-hari berkecimpung di dunia asuransi syariah, menampilkan gambaran asuransi syariah, bukan hanya dari sisi teoritisnya saja, namun lebih jauh buku ini mengajak para pembacanya untuk merambah lebih jauh dengan asuansi syariah, dari sisi implementasi dan bahkan aplikasi operasionalnya. Tim penulis buku ini terdiri dari para ahli di bidang asuransi syariah, yaitu Agus Edi Sumanto, Ernawan Priarto, M. Zamachsyari, Pudiarto Trihadi, Rahmaji Asmuri, dan Utz. Rikza Maulan (saya sendiri).

  • Sekilas, buku ini mengajak pembaca pada bab yang pertama untuk mengenal asuransi syariah secara umum, seperti asal mula asuransi syariah, bagaimana asuransi syariah, pandangan ulama tentang asuransi konvensional, filosofi asuransi syariah dan juga cakupan dari asuransi syariah.
  • Pada bab yang kedua para pembaca diajak untuk menyelami lebih dalam asuransi syariah, dari sisi perbedaan mendasar antara asuransi syariah dan konvensional (ada lebih dari 20 item perbedaan antara asuransi syariah dan konvensional), akad-akad yang digunakan dalam asuransi syariah dan prinsip-prinsip dalam asuransi syariah.
  • Pada bab yang ketiga pembaca akan dimanjakan dengan gambaran asuransi syariah dalam kehidupan sehari-hari yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap asuransi syariah; dari mulai saat kelahiran anak, hingga saat pensiun kelak. Lalu pembaca juga akan diajak untuk turut mengenal lebih dekat secara praktis terhadap operasional asuransi syariah, seperti pemasaran asuransi syariah, underwriting, klaim, investasi, akuntansi, metode pembagian surplus tabarru' dan syariah corporate culture.
  • Bab Keempat menampilkan mengenai problematika yang masih menjadi kendala asuransi syariah saat ini di Indonesia, serta faktor-faktor yang menunjang perkembangan asruansi syariah. Pembaca akan dikenalkan pada regulator, Dewan Syariah Nasional - MUI, dsb. Selain itu, pembaca juga akan dibawa pada tantangan-tantangan yang dihadapi oleh asuransi syariah.
  • Terakhir adalah pandangan para pakar yang selama ini telah berjibaku dengan dunia asuransi syariah, seperti pandangan Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, yang selama ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah Takaful Indonesia, lalu Prof Dr. Fathurrahman Djamil MA, Dr. H. M. Syafi'i Antonio, M.Ec dan juga praktisi asuransi syariah, Saiful Yazan Ahmad.

Satu hal yang menjadi keinginan kuat dari para penulis buku ini, bahwa semoga dengan kehadiran buku ini akan semakin membumikan asuransi syariah khususnya di tanah air dan umumnya di seluruh penjuru dunia. Beberapa pihak bahkan mengusulkan agar buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, agar dapat juga dinikmati oleh para pecinta asuransi syariah di seluruh belahan dunia.

Ya Allah.. Jadikanlah buku ini sebagai amal shaleh bagi kami semua, khususnya bagi para pihak yang membantu penulisan buku ini. Dan jadikanlah manfaat yang dilahirkan dari buku ini, menjadi manfaat yang bukan hanya bersifat duniawi namun juga menfaat yang menembus dimensi dunia ke dimensi akhirat.

Akhirnya, kami mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, dan juga rasa terimakasih yang tiada terhingga khususnya kepada Mas Bambang Trim, yang telah mendampingi penulisan buku ini hingga selesai, Bp. H. Syaifullah Sirin selaku President Director PT. Salamadani, Mas Ali, Mas Tasaro dan seluruh kru Salamdani dan juga teman-teman di Takaful Indonesia. Semoga kebaikan dan sumbangsihnya, Allah catat sebagai amal shaleh yang tiada terhingga...

Wallahu A'lam Bis Shawab

By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Muraqabah merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Karena dengan muraqabah inilah, seseorang dapat menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dimanapun ia berada, hingga mampu mengantarkannya pada derajat seorang mu’min sejati. Demikian pula sebaliknya, tanpa adanya sikap seperti ini, akan membawa seseorang pada jurang kemaksiatan kepada Allah kendatipun ilmu dan kedudukan yang dimilikinya. Inilah urgensi sikap muraqabah dalam kehidupan muslim.
Pernah suatu ketika, seorang istri yang lama ditinggal pergi suaminya; bersya’ir pada tengah malam, yang kebetulan di dengar oleh Umar bin Khatab ra. Ia mengutarakan kegundahan hatinya yang ‘kesepian’ karena tiada suami yang mendampinginya. Ia mengatakan:
لَقَدْ طَالَ هَذَا اللَّيْلُ وَاسْوَدَّ جَانِبُهُ وَأَرَقَّنِيْ أَلاَّ خَلِيْلَ أُلاَعِبُهُ فَوَاللهِ لَوْ لاَ اللهَ تُخْشَى عَوَاقِبُهُ لَحَرَّكَ مِنْ هَذَا السَّرِيْرِ جَوَانِبُهُ
Sungguh terasa teramat panjangnya malam ini, juga teramat sunyi.
Lebih membuatku gundah lagi, tiada suami yang mencumbuiku.
Namun demi Allah, sekiranya bukan karena takut terhadap Allah.
Pasti ranjang ini telah bergetar karena kemaksiatan.

Demikianlah, karena merasa bahwa Allah akan mengetahuinya jika ia melakukan perbuatan maksiat, dan juga karena takut terhadap azab Allah, ia pun menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, kendatipun ia tengah ‘kesepian’ ditinggal sang suami.
Dari sinilah, kita dapat membayangkan sekiranya seluruh pemimpin, pejabat, ulama, karyawan dan seluruh kaum muslimin dapat memberikan sikap seperti ini dalam diri mereka, tentulah akan tercipta kehidupan yang adil, makmur, sederhana dan diridhai Allah SWT, sebagaimana pada masa Rasulullah SAW, khulafa’urrasyidin, Umar bin Abdul Aziz dan lain sebagainya.


Makna Muraqabah
  • Dari segi bahasa muraqabah berarti pengawasan dan pantauan. Karena sikap muraqabah ini mencerminkan adanya pengawasan dan pemantauan Allah terhadap dirinya.
  • Adapun dari segi istilah, muraqabah adalah, suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya, melihatnya, mendengarnya, dan mengetahui segala apapun yang dilakukannya dalam setiap waktu, setiap saat, setiap nafas atau setiap kedipan mata sekalipun.
  • Syekh Ibrahim bin Khawas mengatakan, bahwa muraqabah “adalah bersihnya segala amalan, baik yang sembunyi-sembunyi atau yang terang-terangan hanya kepada Allah.” Beliau mengemukakan hal seperti ini karena konsekwensi sifat muraqabah adalah berperilaku baik dan bersih hanya karena Allah, dimanapun dan kapanpun.
  • Salah seorang ulama juga mengungkapkan bahwa muraqabah ini merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah dengan pemahaman sifat “Arraqib, Al-Alim, Assami’ dan Al-Bashir” pada Allah SWT. Maka barang siapa yang memahami Sifat Allah ini dan beribadah atas dasar konsekwensi Sifat-sifat-Nya ini; akan terwujud dalam dirinya sifat muraqabah.
Pada intinya, sikap ini mencerminkan keimanan kepada Allah yang besar, hingga menyadari dengan sepenuh hati, tanpa keraguan, tanpa kebimbangan, bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap gerak-geriknya, setiap langkahnya, setiap pandangannya, setiap pendengarannya, setiap yang terlintas dalam hatinya, bahkan setiap keinginannya yang belum terlintas dalam dirinya. Sehingga dari sifat ini, akan muncul pengamalan yang maksimal dalam beribadah kepada Allah SWT, dimanapun ia berada, atau kapanpun ia beramal dalam kondisi seorang diri, ataupun ketika berada di tengah-tengah keramaian orang.

Urgensi Sifat Muraqabah
1. Suatu hal yang sudah pasti dari adanya sifat seperti ini adalah optimalnya ibadah yang dilakukan seseorang serta jauhnya ia dari kemaksiatan. Karena ia menyadari bahwa Allah senantiasa melihat dan mengawasinya. Abdullah bin Dinar mengemukakan, bahwa suatu ketika saya pergi bersama Umar bin Khattab ra, menuju Mekah. Ketika kami sedang beristirahat, tiba-tiba muncul seorang penggembala menuruni lereng gunung menuju kami. Umar berkata kepada penembala: “Hai pengembala, juallah seekor kambingmu kepada saya.” Ia menjawab, “Tidak !, saya ini seorang budak.” Umar menimpali lagi, “Katakan saja kepada tuanmu bahwa dombanya diterkam serigala.” Pengembala mengatakan lagi, “kalau begitu, dimanakah Allah?” Mendengar jawaban seperti itu, Umar menangis. Kemudian Umar mengajaknya pergi ke tuannya lalu dimerdekakannya. Umar mengatakan pada pengembala tersebut, “Kamu telah dimerdekakan di dunia oleh ucapanmu dan semoga ucapan itu bisa memerdekakanmu di akhirat kelak.” Pengembala ini sangat meyadari bahwa Allah memahami dan mengetahuinya, sehingga ia dapat mengontrol segala perilakunya. Ia takut melakukan perbuatan kemaksiatan, kendatipun hal tersebut sangat memungkinkannya. Karena tiada orang yang akan mengadukannya pada tuannya, jika ia berbohong dan menjual dombanya tersebut. Namun hal tersebut tidak dilakukannya.
2. Urgensi lainnya dari sifat muraqabah ini adalah rasa kedekatan kepada Allah SWT. Dalam al-Qur’anpun Allah pernah mengatakan, “Dan Kami lebih dekat padanya dari pada urat lehernya sendiri.” Sehingga dari sini pula akan timbul kecintaan yang membara untuk bertemu dengan-Nya. Ia pun akan memandang dunia hanya sebagai ladang untuk memetik hasilnya di akhirat, untuk bertemu dengan Sang Kekasih, yaitu Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ أَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ كَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ
“Barang siapa yang merindukan pertemuan dengan Allah, maka Allah pun akan merindukan pertemuannya dengan diri-Nya. Dan barang siapa yang tidak menyukai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak menyukai pertemuan dengannya” (HR. Bukhari).

Dan rasa rindu seperti ini tidak akan muncul kecuali dari adanya sifat muraqabah.

3. Sesorang yang bermuraqabah kepada Allah, akan memiliki ‘firasat’ yang benar. Al-Imam al-Kirmani mengatakan, “Barang siapa yang memakmurkan dirinya secara dzahir dengan ittiba’ sunnah, secara batin dengan muraqabah, menjaga dirinya dari syahwat, manundukkan dirinya dari keharaman, dan membiasakan diri mengkonsumsi makanan yang halal, maka firasatnya tidak akan salah.” (Ighatsatul Lahfan, juz I/ 48)

4. Muraqabah merupakan sunnah perintah Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits beliau mengatakan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ جُنْدَبِ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik guna menghapuskan perbuatan buruk tersebut, serta gaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.” (HR. Tirmidzi)

Macam-macam Sifat Muraqabah
Syeikh Dr. Abdullah Nasih Ulwan mengemukakan dalam ‘Tarbiyah Ruhiyah; Petunjuk Praktis Mencapai Derajat Taqwa’ ; ada empat macam bentuk muraqabah, yaitu:
  • Muraqabah dalam ketaatan kepada Allah SWT, dengan penuh keikhlasan dalam menjalankan segala perintah-Nya Seperti benar-benar menfokuskan tujuan amal ibadahnya hanya kepada Allah dan karena Allah, dan bukan karena faktor-faktor lainnya. Karena ia menyadari bahwa Allah Maha mengetahui segala niatan amalnya yang tersembunyi di balik relung-relung hatinya yang paling dalam sekalipun. Sehingga ia mampu beribadah secara maksimal, baik ketika sendirian ataupun di tengah-tengah keramaian.
  • Muraqabah dalam kemaksiatan, dengan menjauhi perbuatan maksiat, bertaubat, menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya dan lain sebagainya. Sikap seperti berangkat dari keyakinannya bahwa Allah mengetahuinya, dan Allah tidak menyukai hamba-Nya yang melakukan perbuatan maksiat. Sekiranya pun ia telah melakukan maksiat, ia akan bertaubat dengan sepenuh hati kepada Allah dengan penyesalan yang mendalam, karena Allah akan murka pada dirinya dengan kemaksiatannya itu.
  • Muraqabah dalam hal-hal yang bersifat mubah, seprti menjaga adab-adab terhadap Allah, bersyukur atas segala kenikmatan yang telah diberikan-Nya pada kita, bermuamalah yang baik kepada setiap insan, jujur, amanah, tanggung jawab, lemah lembut, perhatian, sederhana, ulet, berani dan lain sebagainya. Sehingga seorang muslim akan tampil dengan kepribadian yang menyenangkan terhadap setiap orang yang dijumpainya. Dan jadilah ia sebagai seorang dai yang disukai umatnya.
  • Muraqabah dalam musibah yang menimpanya, yaitu dengan ridha pada ketentuan Allah SWT serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran. Ia yakin bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang datang dari Allah dan menjadi hal yang terbaik bagi dirinya, dan oleh karenanya ia akan bersabar terhadap sesuatu yang menimpanya.

Sikap Muraqabah Dalam Al-Qur’an
Jika diperhatikan dalam al-Qur’an, akan dijumpai banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan mengenai sikap muraqabah ini, dalam artian bahwa Allah senantiasa mengetahui segala gerak-gerik, tingkah laku, guratan-guratan dalam hati dan lain sebagainya. Sehingga benar-benar tiada tempat untuk berlari bagi esan dari pengetahuan Allah SWT. Sebagai contoh Allah mengatakan dalam al-Qur’an:
1. Pengetahuan Allah tentang apa yang ada dalam hati kita (QS. 2: 284):
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Dalam ayat lain, Allah mengatakan: (QS. 3: 29)
قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَيَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya." Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

2. Pengetahuan Allah tentang setiap gerak-gerik kita, hingga dalam sujud sekalipun. (QS. 26: 218-220)
الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ ، وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dalam ayat lain Allah mengatakan, (QS. 40:19)
يَعْلَمُ خَائِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”

3. Kebersamaan Allah dengan diri kita. (QS. 57: 4) :
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

4. Pengetahuan Allah tentang sesuatu yang tidak diketahui makhluknya
Allah berfirman dalam QS. 2: 30
قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاََ تَعْلَمُونَ
" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

5. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada dihadapan manusia maupun dibelakangnya
Allah berfirman, QS. 2: 255:
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.”

Muraqabah Dalam Hadits
Dalam haditspun banyak sekali dijumpai hal-hal yang berkaitan dengan muraqabah yang dikemukakan Rasulullah SAW, diantaranya adalah:
1. Sikap muraqabatullah membawa seorang insan memiliki derajat ihsan. Sedangkan derajat ihsan merupakan derajat yang tinggi di sisi Allah SWT. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dalam Shahihnya:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ…. قَالَ فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“…Jibril bertanya, beritahukanlah kepadaku apa itu ihsan?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Bahwa ihasan adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekiranyapun engkau tidak (dapat) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu…” (HR. Muslim)

2. Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita untuk bertaqwa kepada Allah SWT dimanapun kita berada. Sedangkan ketaqwaan tidak akan lahir tanpa adanya muraqabatullah. Rasulullah SAW mengatakan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ جُنْدَبِ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik guna menghapuskan perbuatan buruk tersebut, serta gaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.” (HR. Tirmidzi)

3. Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita tentang cara untuk dapat menghadirkan sikap muraqabatullah. Dalam hadits beliau mengatakan:
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ، يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ، احْفَظِ اللهَ يَحْفَظُكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ…
“Dari Ibnu Abas ra, berkata; pada suatu hari saya berada di belakang Nabi Muhammad SAW, lalu beliau berkata, “Wahai ghulam, peliharalah (perintah) Allah, niscaya Allah akan memeliharamu. Dan peliharalah (larangan) Allah, niscaya niscaya kamu dapati Allah selalu berada di hadapanmu.” (HR. Tirmidzi)

4. Tanpa adanya muraqabah, seseorang memiliki prosentase jatuh pada kemaksiatan lebih besar. Padahal jika seseorang berbua maksiat, Allah sangat cemburu padanya. Dalam sebuah hadits digambarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَغَارُ،وَغِيْرَةُ اللهِ تَعَالَى أَنْ يَأْتِيَ الْمَرْءُ
مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda; ‘sesungguhnya Allah SWT cemburu. Dan kecemburuan Allah terjadi jika seorang hamba mendatangi (melakukan) sesuatu yang telah diharamkan baginuya’ (HR. Bukhari)

5. Dengan muraqabah seseorang akan sadar untuk beramal guna kehidupan akhiratnya. Dan hal seperti ini dikatakan oleh Rasulullah SAW sebagai seseorang yang memiliki akal yang sempurna (cerdas). Dalam hadits dikatakan:
عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
“Orang yang sempurna akalnya adalah yang mennudukkan jiwanya dan beramal untuk bekal kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah (akalnya) adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, di samping itu ia mengharapkan angan-angan kepada Allah SWT.” (HR. Tirmidzi)

6. Muraqabah juga akan membawa seseorang untuk meninggalkan suatu perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘diantara kesempurnaan iman seseorang adalah, meninggalkan suatu pekerjaan yang tidak menjadi kepentingannya.” (HR. Tirmidzi)

Cara Untuk Menumbuhkan Sifat Muraqabah
Penulis melihat, terdapat beberapa cara untuk dapat menumbuh suburkan sikap muraqabah ini, diantara caranya adalah:
  1. Memupuk keimanan kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya, karena iman merupakan pondasi yang paling dasar untuk menumbuhkan sikap seperti ini. Tanpa adanya keimanan, muraqabah tidak akan pernah muncul. Ada beberapa cara yang dapat memupuk keimanan kepada Allah:
  2. Merenungi ayat-ayat kauniyah (ciptaan Allah SWT) melalui tadabur (baca; perenungan) alam, bahwa ciptaan yang demikian sempurna ini, pastilah dimiliki oleh Dzat yang Maha Sempurna, yang mengetahui hingga sesuatu yang terkecil dari ciptaan-Nya.
  3. Merenungi ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an), dengan mentadaburinya ayat per ayat secara perlahan, dan hal ini juga akan menumbuhkan keimanan kepada Allah SWT.
  4. Melatih diri untuk ‘menjaga’ perintah dan larangan Allah SWT, dimanapun dan kapanmu ia berada, karena hal ini akan menumbuhkan sikap muraqabah dalam jiwa kita. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: Dari Ibnu Abas ra, berkata; pada suatu hari saya berada di belakang Nabi Muhammad SAW, lalu beliau berkata, “Wahai ghulam, peliharalah (perintah) Allah, niscaya Allah akan memeliharamu. Dan peliharalah (larangan) Allah, niscaya niscaya kamu dapati Allah selalu berada di hadapanmu.” (HR. Tirmidzi)
  5. Muraqabah juga dapat tumbuh dari adanya ‘ziarah qubur’, dengan tujuan bahwa kita semua pasti akan mati dan memasuki kuburan, tanpa teman, tanpa saudara dan tanpa keluarga. Hanya amal kitalah yang akan menemani diri kita. Dan apakah kita telah siap untuk menghadap-Nya?
  6. Memperbanyak amalan-amalan sunnah, seperti dzikrullah, shalat sunnah, tilawah al-Qur’an dan lain sebagainya. Amalan-amalan seperti ini akan menumbuhkan rasa ketenangan dalam hati. Dan rasa ketenangan ini merupakan bekal pokok untuk menumbuhkan muraqabah.
  7. Merenungi kehidupan salaf shaleh dalam muraqabah, rasa takut mereka terhadap azab Allah yang sangat luar biasa, dan lain sebagainya. Untuk kemudian dibandingkan dengan diri kita sendiri; apakah kita sudah dapat seperti mereka, ataukah masih jauh?
  8. Bersahabat dengan orang-orang shaleh yang memilki rasa takut kepada Allah. Dengan persahatan insya Allah akan menimbulkan pengaruh positif pada diri kita untuk turut memiliki rasa takut kepada Allah sebagaimana sahabat kita.
  9. Memperbanyak menangis (karena Allah), dan meminimalisir tertawa, terutama karena senda gurau. Karena jiwa yang banyak tertawa, akan sulit untuk dapat merenungi dan mentadaburi ayat-ayat Allah. Dan jiwa yang terisi dengan keimanan yang membara memunculkan sikap tenang dan tawadhu’.
Penutup
Bagaimanapun juga, Allah pasti akan melihat, mendengar dan mengetahui segala gerak gerik kita, meskipun kita sendiri mungkin tidak menyadari hal tersebut. Namun waktu terus berjalan, menuju ajal dan kematian kita, sementara kita masih bergelimang dengan kemaksiatan. Sebuah pertanyaan yang menggetarkan hati muncul, ‘ akankah kita membiarkan diri kita terjerumus dalam neraka, dengan kemaksiatan yang kita lakukan?’ Ataukah kita akan memperbaiki diri dengan bermuraqabah kepada Allah agar kita jauh dari kemaksiatan dan dekat pada ketaatan hingga kita dapat menggapai ridha-Nya? Jawaban pertanyaan ini, ada dalam diri kita masing-masing.

Wallahu A’lam
Rikza Maulan, Lc., M.Ag.

Menggapai Derajat Shiddiqin

Abu Bakar merupakan seorang sahabat Rasulullah SAW yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dalam syu’ab Iman dari Umar bin Khattab ra:
قَالَ عُمَرَ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، لَوْ وُزِنَ إِيْمَانُ أَبِيْ بَكْرٍ بِإِيْمَانِ أَهْلِ اْلأَرْضِ لَرَجَّحَ بِهِمْ
“Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat maka akan lebih berat keimanan Abu Bakar.” (Syu’abul Iman, bab al-Qaul fi ziyadatil Iman wa Naqshanih; I/69)

Bahkan Rasulullah SAW sendiri juga pernah memuji keislaman Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayahnya; “Tiada aku mengajak seorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, keraguan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan, hanya Abu Bakar lah. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikitpun.”
Puncaknya adalah pada kejadian isra’ dan mi’raj, ketika seluruh manusia mendustai Rasulullah SAW. Namun Abu Bakar justru membenarkan kejadian tersebut. Al-Hakim meriwayatkan, “Pagi hari pada setelah peristiwa isra’ mi’raj kaum musyrikin mendatangi Abu Bakar seraya mengatakan, “Apakah kamu mempercayai sahabatmu (yaitu Rasulullah SAW) yang mengira bahwa ia telah melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis tadi malam?”. Abu Bakar balik bertanya, “Apa benar Muhammad mengatakan hal tersebut?”. Mereka menjawab, “benar”. Lalu Abu Bakar mengatakan, “Sungguh apa yang diakattannya itu benar. Dan aku akan membenarkannya pula, jika ia mengatakan lebih dari itu…” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak). Oleh karena itulah Abu Bakar mendapatkan julukan As-shidiq. Gelar As-shidiq ini merupakan pemberian dari Allah melalui lisan Rasulullah SAW, sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib. Dan jadilah sifat shidiq ini menjadi khas dimiliki oleh Abu Bakar, sebelum dimiliki oleh sahabat-sahabat yang lainnya. Dan hal ini menunjukkan bahwa sidiq merupakan sifat yang memiliki nilai tinggi di sisi Allah SWT.

Pengertian Ashidiq
Dari segi bahasa, shidiq berasal dari kata shadaqa yang memiliki beberapa arti yang satu sama lain saling melengkapi makna yang dikandungnya:
الصدق: من صدق – يصدق - صدقا
Diantara arti shidiq adalah: Benar, jujur/ dapat dipercaya, ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan, dan kesungguhan. Penulis melihat bahwa shidiq di sini lebih dekat dengan sebuah sikap pembenaran terhadap sesuatu yang datang dari Alah dan Rasulullah SAW yang berangkat dari rasa dan naluri keimanan yang mendalam. Sedangkan lawan dari shiddiq adalah kadzib (dusta).

Adapun dari segi istilahnya, para ulama memberikan definisi yang beragam. Meskipun demikian, semuanya mengarah pada satu muara, yaitu sebagaimana yang terdapat pada definsi secara bahasanya. Diantara definisi shidiq adalah:
  • Menyempurnakan amal untuk Allah SWT.
  • Kesesuaian dzahir dengan bathin. Karena orang yang dusta adalah mereka yang dzahirnya lebih baik dari bathinnya.
  • Ungkapan yang haq dalam posisi yang membinasakan.
  • Perkataan yang haq pada orang yang ditakuti dan diharapkan.

Shidiq Merupakan Hakekat Kebaikan
Shidiq merupakan hakekat kebaikan yang memiliki dimensi yang luas, karena mencakup segenap aspek keislaman. Hal ini tergambar jelas dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 177:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya (bersifat sidiq) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Dalam ayat ini digambarkan dimensi yang dicakupi oleh shidiq yaittu meliputi keiamanan, menginfakkan harta yang dicintai, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, bersabar dalam kesulitan dst. Oleh karena itulah, dalam ayat lain, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bersama-sama orang yang shidiq: (QS.9 : 119)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (shidiq). ”

Membaca Hadits-hadits Tentang Sidiq
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihinnya menyebutkan enam hadits dalam bab shidiq. Dari keenam hadits tersebut dapat disimpulkan hal-hal bwerikut:
1. Bahwa shidiq itu menuntun seseorang menuju kebaikan, dan kebaikan akan membawanya ke surga. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits berikut:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ… - متفق عليه
“Dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda; ‘Sesungguhnya sidiq itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan membawanya ke dalam surga…’

2. Sementara itu lawan dari shidiq, yaitu kadzib meruapakan sumber dari keburukan:
وإن الكذب يهدي إلى الفجور، وإن الفجور يهدي إلى النار… متفق عليه
“Dan sesungguhnya kedustaan itu membawa kepada keburukan, dan keburukan itu membawa kepada api neraka.”

3. Shidiq merupakan ketenangan. Hal ini tergambar dari hadits Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ السَّعْديِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَفِظْتُ مِنْهُ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ - رواه الترمذي
Dari Abu Haura' As-Sa'dy, aku berkata kepada Hasan bin Ali ra, apa yang kamu hafal dari hadits Rasulullah SAW? Beliau berkata, aku hafal hadits dari Rasulullah SAW: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kebenaran membawa pada ketengangan dan dusta itu membawa pada keragu-raguan.” (HR. Tirmidzi)

4. Sidiq merupakan perintah Rasulullah SAW. Hal ini dikatakan oleh Abu Sufyan ketika bertemu dengan raja Hirakleus:
عَنْ أَبِيْ سُفْيَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ هِرْقَلٌ فَمَاذَا يَأْمُرُكُمْ؟ قَالَ أَبُوْ سُفْيَانٌ، قُلْتُ يَقُوْلُ اعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَاتْرُكُوْا مَا يَقُوْلُ آبَاؤُكُمْ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَّةِ - متفق عليه
“Apa yang dia perintahkan pada kalian?, Abu Sufyan menjawab, “Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan semua ajaran nenek moyang, mendirikan shalat, bersikap sidiq (jujur/ benar), sopan santun dan menyambung tali persaudaraan.”

5. Dengan shidiq seseorang akan mendapatkan pahala sesuatu yang dicita-citakannya, meskipun ia belum atau tidak dapat melakukan sesuatu yang menjadi cita-citanya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَنْ سَأَلَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ، وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ - رواه مسلم
“Barang siapa yang meminta kesyahidan kepada Allah SWT dengan sidiq (sebenar-benarnya), maka Allah akan menempatkannya pada posisi syuhada’, meskipun ia meninggal di atas ranjangnya.”

6 Shidiq akan mengantarkan seseorang pada keberkahan dari Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengemukakan:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبا مَحَقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا - متفق عليه
“Penjual dan pembeli keduanya bebas belum terikat selagi mereka belum berpisah. Maka jika keduanya benar/ jujur (shiddiq) dan menjelaskan (tidak menutupi aib barang yang diperdagangkan), maka diberkahilah jual beli itu. Tetapi jika menyembunyikan dan berdusta maka terhapuspah berkah jual beli tersebut.” (Muttafaqun Alaih)

Siddiqin dan Saddiqat akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar.
Dalam al-Qur’an dengan sangat jelas Allah memuji orang yang shidiq, baik dari kaum mu’minin maupun mu’minah. Bahkan Allah menjanjikan kepada mereka mendapatkan ampunan dan pahala yang besar. Dalam surat al-Ahzab (QS. 33: 35) Allah mengatakan:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Derajat Siddiqin bersama Para Nabi, Syuhada’ dan Shalihin
Selain mendapatkan ampunan dan pahala yang besar, para shiddiqin juga akan menempati posisi yang tinggi di sisi Allah kelak di akhirat. Mereka akan disatukan bersama para nabi dan orang-orang yang mati syahid, serta para shalihin. Allah berfirman: (QS. 4: 69)
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

Posisi apakah yang paling mulia di akhirat kelak selain posisi para nabi dan syuhada’ serta orang-orang shaleh?. Hal ini menunjukkan betapa shidiq merupakan sifat yang sangat disukai Allah SWT. Jika tidak, tentu Allah tidak akan menjanjikan sesuatu yang sangat tinggi kepada mereka.

Shidiq Merupakan Sifat Para Nabi
Dalam al-Qur’an setidaknya Allah menyebutkan tiga nabi yang memiliki sifat shiddiq ini. Yang pertama adalah Nabiullah Ibrahim as. Allah memujinya karena memiliki sifat ini: (QS. 19: 41)
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.”

Kemudian yang kedua adalah Nabiullah Idris as. Allah juga memujinya dalam al-Qur’an karena memiliki sifat sidiq. Allah berfirman: (QS. 19: 56)
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.”

Adapun yang ketiga adalah Nabiullah Yusuf as. Beliau membuktikan kebenaran keimanannya kepada Allah dengan menolak ajakan Zulaikha untuk berbuat zina, meskipun disertai dengan ancaman: Allah berfirman (QS. 12: 51):
قَالَ مَا خَطْبُكُنَّ إِذْ رَاوَدْتُنَّ يُوسُفَ عَنْ نَفْسِهِ قُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ قَالَتِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ اْلأَنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ
أَنَا رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
“Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan daripadanya. Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar."

Ciri-ciri Orang yang Shiddiq
Orang yang shiddiq memiliki beberapa ciri, diantara ciri-ciri mereka yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an adalah:
1. Teguh dan tegar terhadap apa yang dicita-citakan (diyakininya). Allah SWT mencontohkan dalam al-Qur’an, orang-orang yang shidiq terhadap apa yang mereka janjikan (bai’atkan) kepada Allah: (QS. 33: 23)
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلاً
“Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati (membenarkan) apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya)”

2. Tidak ragu untuk berjihad dengan harta dan jiwa. Allah berfirman dalam al-Qur’an (QS. 49: 15)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.”

3. Memiliki keimanan kepada Allah, Rasulullah SAW, berinfaq, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji dan sabar. (QS. 2: 177)
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

4. Memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam. Allah mengatakan dalam al-Qur’an, (QS. 3: 101)
وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…”


Cara Mencapai Sifat Shiddiq
Setelah kita melihat urgensitas sifat shidiq ini, maka setidaknya muncul dalam hati kita keinginan untuk melengkapi diri dengan sifat ini. Karena sifat ini benar-benar merupakan intisari dari kebaikan. Dan sifat ini pulalah yang dimiliki oleh sahabat yang paling dicintai Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar As-shidiq. Penulis melihat ada beberapa cara yang semoga dapat membantu menumbuhkan sifat ini:
  1. Senantiasa memperbaharui keimanan dan keyakinan kita (baca; ketsiqahan) kepada Allah SWT. Karena pondasi dari sifat shiddiq ini adalah kuatnya keyakinan kepada Allah.
  2. Melatih diri untuk bersikap jujur diamana saja dan kapan saja serta kepada siapa saja. Karena kejujuran merupakan karakter mendasar sifat shidiq.
  3. Melatih diri untuk senantiasa membenarkan sesuatu yang datang dari Allah (Al-Qur’an dan sunnah) , meskipun hal tersebut terkesan bertentangan dengan rasio. Karena kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Sementara ijtihad manusia masih sangat memungkinkan adanya kesalahan.
  4. Senantiasa melatih diri untuk komitmen dengan Islam dalam segala aspeknya; aqidah, ibadah, akhlaq dan syari’ah. Karena salah satu ciri siddiqin adalah memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam: “…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…”
  5. Sering mentadaburi ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah SAW mengenai sifat shidiq. Karena mentadaburi ayat dan hadits juga merupakan cara tersendiri yang sangat membekas dalam jiwa manusia.
  6. Senantiasa membuka-buka lembaran-lembaran sejarah kehidupan salafu shaleh, terutama pada sikap-sikap mereka yang menunjukkan keshiddiqannya.
  7. Memperbanyak dzikir dan amalan-amalan sunnah. Karena dengan hal-hal tersebut akan menjadikan hati tenang dan tentram. Hati yang seperti ini akan mudah dihiasi sifat shidiq.
Penutup
Yang kita hawatirkan adalah munculnya sifat kadzib, sebagai lawan dari shidiq dalam jiwa kita. Karena tabiat hati, jika tidak dihiasi dengan sifat yang positif, maka ia akan terisi dengan sifat negatifnya. Oleh karena itulah, marilah kita menjaga hati kita dengan menjauhi sifat munafiq dan kedustaan, yang dapat menjauhkan kita dari sifat shidiq. Untuk kemudian berusaha setahap demi setahap untuk menumbuhkan sifat sidiq, agar kita dapat bersama-sama dengan para nabi, syuhada’ dan shalihin di akhirat kelak. Amiin.

Wallahu A’lam.
By. Rikza Maulan, Lc. M.Ag.

Makna Dan Hakekat Kesabaran

Kesabaran merupakan salah satu ciri mendasar orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Bahkan ulama mengatakan bahwa kesabaran merupakan setengahnya keimanan. Sabar memiliki kaitan yang tidak mungkin dipisahkan dari keimanan: Kaitan antara sabar dengan iman, adalah seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai kesabaran, sebagaimana juga tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala. Oleh karena itulah Rasulullah SAW pernah menggambarkan tentang ciri dan keutamaan orang yang beriman sebagai berikut;
عَنْ صُهَيْبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ - رواه مسلم
Dari Suhaib ra, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya secara keseluruhan adalah baik. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mu'min: Yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) hal itu merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Muslim)

Namun kesabaran adalah bukan semata-mata memiliki pengertian "nrimo" dan identik dengan ketertindasan. Sabar sesungguhnya memiliki dimensi yang lebih pada pengalahan hawa nafsu yang terdapat dalam jiwa insan. Ketika berjihad, ia harus bersabar melawan hawa nafsunya yang menginginkan agar dirinya duduk dengan santai dan tenang di rumah. Justru ketika ia berdiam diri itulah, sesungguhnya ia belum dapat bersabar melawan tantangan dan memenuhi panggilan ilahi. Sabar juga memiliki dimensi untuk merubah sebuah kondisi, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, menuju perbaikan agar lebih baik dan baik lagi. Bahkan seseorang dikatakan dapat diakatakan tidak sabar, jika ia menerima kondisi buruk, pasrah dan menyerah begitu saja.

Makna Sabar
Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah "Shobaro", yang membentuk infinitif (masdar) menjadi "shabran":
صبر - يصبر - صبرا : أي الحبس والكف
Ditinjau dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Menguatkan makna seperti ini adalah firman Allah dalam Al-Qur'an:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS. Al-Kahfi/ 18 : 28)

Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah:
حبس النفس عن الجزع والتسخط، وحبس اللسان عن الشكوى، وحبس الجوارح عن التشويس
Menahan diri dari segala bentuk kegundahan (ketidak sabaran) dan dari rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang serampangan (tidak terarah).

Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan damai (tenang). Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al-Khowas, bahwa sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan al-Qur'an dan sunnah. Sehingga sesungguhnya sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. Justru orang yang seperti ini memiliki indikasi adanya ketidak sabaran untuk merubah kondisi yang ada, ketidak sabaran untuk berusaha, ketidak sabaran untuk berjuang dan lain sebagainya. Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk sabar ketika berjihad. Padahal jihad adalah memerangi musuh-musuh Allah, yang klimaksnya adalah menggunakan senjata (perang). Artinya untuk berbuat seperti itu perlu kesabaran untuk mengeyampingkan keiinginan jiwanya yang menginginkan rasa santai, bermalas-malasan dan lain sebagainya. Sabar dalam jihad juga berarti keteguhan untuk menghadapi musuh, serta tidak lari dari medan peperangan. Orang yang lari dari medan peperangan karena takut, adalah salah satu indikasi tidak sabar.

Ayat-ayat Sabar Dalam Al-Qur'an
Dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang berbicara mengenai kesabaran. Jika ditelusuri secara keseluruhan, terdapat 103 kali disebut dalam al-Qur'an, kata-kata yang menggunakan kata dasar sabar; baik berbentuk isim maupun fi'ilnya. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi perhatian Allah SWT, yang Allah tekankan kepada hamba-hamba-Nya. Dari ayat-ayat yang ada, para ulama mengklasifikasikan sabar dalam al-Qur'an menjadi beberapa macam;
1. Sabar merupakan perintah Allah SWT. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS.2: 153:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."

Ayat-ayat lainnya yang serupa mengenai perintah untuk bersabar sangat banyak terdapat dalam Al-Qur'an. Diantaranya adalah dalam QS.3: 200, 16: 127, 8: 46, 10:109, 11: 115 dsb.

2. Larangan isti'jal (tidak sabar), sebagaimana yang Allah firmankan (QS. Al-Ahqaf/ 46: 35):
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلاَ تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ
"Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka…"

3. Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar, sebagaimana yang terdapat dalam QS. 2: 177:
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
"…dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa."

4. Allah SWT akan mencintai orang-orang yang sabar. Dalam surat Ali Imran (3: 146) Allah SWT berfirman :
وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
"Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar."

5. Kebersamaan Allah dengan orang-orang yang sabar. Artinya Allah SWT senantiasa akan menyertai hamba-hamba-Nya yang sabar. Allah berfirman (QS. 8: 46),
وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Dan bersabarlah kamu, karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar."

6. Mendapatkan pahala surga dari Allah. Allah mengatakan dalam al-Qur'an (13: 23 - 24),
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ ءَابَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلاَئِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ* سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ*
"(yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun `alaikum bima shabartum" (keselamatan bagi kalian, atas kesabaran yang kalian lakukan). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu."

Inilah diantara gambaran Al-Qur'an mengenai kesabaran. Gembaran-gambaran lain mengenai hal yang sama, masih sangat banyak, dan dapat kita temukan pada buku-buku yang secara khusus membahas mengenai kesabaran.

Melihat Kesabaran dari Hadits-hadits Rasulullah SAW
Sebagaimana dalam al-Qur'an, dalam hadits juga banyak sekali sabda-sabda Rasulullah SAW yang menggambarkan mengenai kesabaran. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 29 hadits yang bertemakan sabar. Secara garis besar, hadits-hadits tersebut menggambarkan kesabaran sebagai berikut;
1. Kesabaran merupakan "dhiya' " (cahaya yang amat terang). Karena dengan kesabaran inilah, seseorang akan mampu menyingkap kegelapan. Rasulullah SAW mengungkapkan,
وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ
"…dan kesabaran merupakan cahaya yang terang…" (HR. Muslim)

2. Kesabaran merupakan sesuatu yang perlu diusahakan dan dilatih secara optimal. Rasulullah SAW pernah menggambarkan:
وَمَنْ يَتَصَبَّرُ يُصَبِّرْهُ اللهُ
"…barang siapa yang mensabar-sabarkan diri (berusaha untuk sabar), maka Allah akan menjadikannya seorang yang sabar…" (HR. Bukhari)

3. Kesabaran merupakan anugrah Allah yang paling baik. Rasulullah SAW mengatakan,
وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ - متفق عليه
"…dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran." (Muttafaqun Alaih)

4. Kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang mu'min, sebagaimana hadits yang terdapat pada muqadimah; "Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (ia mengatahui) bahwa hal tersebut adalah memang baik baginya. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut adalah baik baginya." (HR. Muslim)

5. Seseorang yang sabar akan mendapatkan pahala surga. Dalam sebuah hadits digambarkan;
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ قَالَ إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِي بِحَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ عَوَّضْتُهُ مِنْهُمَا الْجَنَّةَ يُرِيدُ - رواه البخاري
Dari Anas bin Malik ra berkata, bahwa aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah berfirman, "Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya, kemudian diabersabar, maka aku gantikan surga baginya." (HR. Bukhari)

6. Sabar merupakan sifat para nabi. Ibnu Mas'ud dalam sebuah riwayat pernah mengatakan:
عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي نَبِيًّا مِنْ اْلأَنْبِيَاءِ ضَرَبَهُ قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ وَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ - رواه البخاري
Dari Abdullan bin Mas'ud berkata"Seakan-akan aku memandang Rasulullah SAW menceritakan salah seorang nabi, yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah, kemudia ia mengusap darah dari wajahnya seraya berkata, 'Ya Allah ampunilah dosa kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui." (HR. Bukhari)

7. Kesabaran merupakan ciri orang yang kuat. Rasulullah SAW pernah menggambarkan dalam sebuah hadits,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ - رواه البخاري
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika marah." (HR. Bukhari)

8. Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah SAW menggambarkan dalam sebuah haditsnya,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ - متفق عليه
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullan SAW bersabda, "Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut." (HR. Bukhari & Muslim)

9. Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana seseorang tidak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal yang terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Rasulullah SAW mengatakan,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ مِنْ ضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي - رواه البخاري
Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, 'Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik unttukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku." (HR. Bukhari Muslim)

Bentuk-Bentuk Kesabaran
Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga hal; sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar untuk meninggalkan kemaksiatan dan sabar menghadapi ujian dari Allah:
1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah.
Merealisasikan ketaatan kepada Allah, membutuhkan kesabaran, karena secara tabiatnya, jiwa manusia enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ditinjau dari penyebabnya, terdapat tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk sabar.
  • Pertama karena malas, seperti dalam melakukan ibadah shalat.
  • Kedua karena bakhil (kikir), seperti menunaikan zakat dan infaq.
  • Ketiga karena keduanya, (malas dan kikir), seperti haji dan jihad.
Kemudian untuk dapat merealisasikan kesabaran dalam ketaatan kepada Allah diperlukan beberapa hal,
  1. Dalam kondisi sebelum melakukan ibadah berupa memperbaiki niat, yaitu kikhlasan. Ikhlas merupakan kesabaran menghadapi duri-duri riya'.
  2. Kondisi ketika melaksanakan ibadah, agar jangan sampai melupakan Allah di tengah melaksanakan ibadah tersebut, tidak malas dalam merealisasikan adab dan sunah-sunahnya.
  3. Kondisi ketika telah selesai melaksanakan ibadah, yaitu untuk tidak membicarakan ibadah yang telah dilakukannya supaya diketahui atau dipuji orang lain.
2. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan.
Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca; ngerumpi), dusta, memandang sesuatu yang haram, atau pada kemaksiatan yang tidak diketahui oleh banyak orang, seperti berbuat zina di tempat yang tidak seorang pun mengenal kita. Karena kecendrungan jiwa insan, suka pada hal-hal yang buruk dan "menyenangkan". Dan perbuatan maksiat identik dengan hal-hal yang "menyenangkan". Kesabaran Nabi Yusuf as dalam meninggalkan perbuatan zina, yang bahkan ancamannya adalah penjara, merupakan bentuk kesabaran dalam meninggalkan kemaksiatan yang sangat luar biasa. Dan Allah SWT mengangkat derajat beliau, menjadi seorang yang sangat terhormat di mata seluruh manusia.
3. Sabar dalam menghadapi ujian dari Allah.
Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah, seperti mendapatkan musibah, baik yang bersifat materi ataupun inmateri; misalnya kehilangan harta, kehilangan orang yang dicintai dsb. Sebagian ulama mengatakan bahwa kesabaran dalam menghadapi ujian dari Allah SWT merupakan bentuk kesabaran yang paling rendah jika dibandingkan dengan dua bentuk kesabaran sebelumnya. Hal itu dikarenakan karena dalam sabar menghadapi ujian, seseorang tidak memiliki pilihan lain selain menerima cobaan tersebut. Sedangkan pada kesabaran dalam meninggalkan maksiat dan dalam ketaatan kepada Allah, seseorang dihadapkan pada dua pilihan, atau bahkan lebih dari dua pilihan. Namun menurut penulis, kesabaran itu terletak di hati dan merupakan aktivitas hati. Apabila hati dapat menerima dengan penuh lapang dada serta ridha dengan ketentuan Allah sepenuh hati, bisa jadi kesabaran dalam menghadapi musibah seperti ini lebih mulia baginya, dibandingkan dengan kesabaran lainnya. (wallahu A'lam bis shawab...)

Kiat-kiat Untuk Meningkatkan Kesabaran
Ketidaksabaran (baca; isti'jal) merupakan salah satu penyakit hati, yang seyogyanya diantisipasi dan diterapi sejak dini. Karena hal ini memilki dampak negatif dari amalan yang dilakukan seorang insan. Seperti hasil yang tidak maksimal, terjerumus kedalam kemaksiatan, enggan untuk melaksanakan ibadah kepada Allah dsb. Oleh karena itulah, diperlukan beberapa kiat, guna meningkatkan kesabaran. Diantara kiat-kiat tersebut adalah;
  1. Mengkikhlaskan niat kepada Allah SWT, bahwa ia semata-mata berbuat hanya untuk-Nya. Dengan adanya niatan seperti ini, akan sangat menunjang munculnya kesabaran kepada Allah SWT.
  2. Memperbanyak tilawah (baca; membaca) al-Qur'an, baik pada pagi, siang, sore ataupun malam hari. Akan lebih optimal lagi manakala bacaan tersebut disertai perenungan dan pentadaburan makna-makna yang dikandungnya. Karena al-Qur'an merupakan obat bagi hati insan. Masuk dalam kategori ini juga dzikir kepada Allah.
  3. Memperbanyak puasa sunnah. Karena puasa merupakan hal yang dapat mengurangi hawa nafsu terutama yang bersifat syahwati dengan lawan jenisnya. Puasa juga merupakan ibadah yang memang secara khusus dapat melatih kesabaran.
  4. Mujahadatun Nafs, yaitu sebuah usaha yang dilakukan insan untuk berusaha secara giat dan maksimal guna mengalahkan keinginan-keinginan jiwa yang cenderung suka pada hal-hal negatif, seperti malas, marah, kikir, dsb.
  5. Mengingat-ingat kembali tujuan hidup di dunia. Karena hal ini akan memacu insan untuk beramal secara sempurna. Sedangkan ketidaksabaran (isti'jal), memiliki prosentase yang cukup besar untuk menjadikan amalan seseorang tidak optimal. Apalagi jika merenungkan bahwa sesungguhnya Allah akan melihat "amalan" seseorang yang dilakukannya, dan bukan melihat pada hasilnya. (Lihat QS. 9 : 105)
  6. Perlu mengadakan latihan-latihan untuk sabar secara pribadi. Seperti ketika sedang sendiri dalam rumah, hendaklah dilatih untuk beramal ibadah dari pada menyaksikan televisi misalnya. Kemudian melatih diri untuk menyisihkan sebagian rezeki untuk infaq fi sabilillah, dsb.
  7. Membaca-baca kisah-kisah kesabaran para sahabat, tabi'in maupun tokoh-tokoh Islam lainnya. Karena hal ini juga akan menanamkan keteladanan yang patut dicontoh dalam kehidupan nyata di dunia.

Penutup
Inilah sekelumit sketsa mengenai kesabaran. Pada intinya, bahwa sabar mereupakan salah satu sifat dan karakter orang mu'min, yang sesungguhnya sifat ini dapat dimiliki oleh setiap insan. Karena pada dasarnya manusia memiliki potensi untuk mengembangkan sikap sabar ini dalam hidupnya. Dan sabar tidak identik dengan kepasrahan dan menyerah pada kondisi yang ada, atau identik dengan keterdzoliman. Justru sabar adalah sebuah sikap aktif, untuk merubah kondisi yang ada, sehingga dapat menjadi lebih baik dan baik lagi. Oleh karena itulah, marilah secara bersama kita berusaha untuk menggapai sikap ini. Insya Allah, Allah akan memberikan jalan bagi hamba-hamba-Nya yang berusaha di jalan-Nya.


Wallahu A'lam
By. Rikza Maulan, Lc. M.Ag.

Ketika menjalani kehidupannya, tidak mungkin seorang manusia terlepas dari kesalahan dan perbuatan dosa. Dan hal ini merupakan fitrah insaniah, yang Allah berikan kepada setiap insan. Dalam surat Ali Imran, Allah mengatakan,
وَالَّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ اللهُ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلىَ مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ* أُوْلَئِكَ جَزَاءُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِيْنَ*
"Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan yang keji atau mendzolimi diri mereka sendiri, lalu mereka ingat kepada Allah dan memohon ampun atas perbuatan dosa mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah. Kemudian mereka tidak mengulangi perbuatan dosa mereka sedangkan mereka mengetahui. Mereka itulah akan mendapatkan ampunan dari Rab mereka dan surga-surga yang megalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang yang beramal." (QS. 3:135-136)

Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya pernah mengatakan,
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ - رواه الترمذي
"Semua anak cucu adam (pasti pernah) berbuat kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah, adalah mereka-mereka yang (mau) bertaubat." (HR.Tirmidzi)

Itulah sebabnya, taubat menjadi suatu hal yang penting bagi seorang muslim dalam menjalani kehidupannya. Mengingat bahwa tiada seorang manusiapun yang tidak pernah terperosok dalam jurang kemaksiatan. Sementata itu, Allah sendiri sangat senang menerima taubat hamba-hamba-Nya, karena Allah adalah Maha Penerima Taubat.

Makna Taubat
Taubat merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal kata taubat adalah dari kata "taba" sebagaimana berikut:
تاب - يتوب - توبة
Dari segi bahasa taubat memiliki beberapa arti, diantaranya;
  • Kembali (الرجوع)
  • Menyesal (ندم)
  • Bermaksud/ berniat/ berjanji (نوى)
Adapun dari segi istilah, taubat adalah, "kembalinya seorang hamba, dari jauh dari Allah, menjadi dekat dengan-Nya, dari kemaksiatan kepada ketaatan, dari kufur kepada iman dan demikian seterusnya.."

Taubat Merupakan Perintah Allah
Taubat dengan makna yang demikian ini, ternyata tidak hanya menjadi monopoli mereka-mereka yang bergelimang dengan kemaksiatan, namun bagi mereka yang tidak berbuat kemaksiatanpun, Allah perintahkan dalam Al-Qur'an untuk bertaubat juga. Allah berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Dan bertaubatlah kalian semua wahai wahai orang-orang mu'min kepada ALlah, semoga kalian beruntung." (QS.24:31).

Mengenai ayat ini, Ibnu Qoyim al-Jauzi mengungkapkan dalam "Tahdzib Madarijis Salikin" bahwa dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada penduduk Madinah, yang mereka itu adalah orang-orang yang memiliki dedikasi keimanan yang tinggi, ketaqwaan yang kuat untuk bertaubat kepada Allah. Padahal mereka juga belum lama menyelesaikan ujian berat dari Allah, berupa intimidasi di Mekah, hijrah dan juga jihad."
Kemudian juga dalam surat yang lainnya, yaitu dalam surat Attahrim ayat 8, Allah juga berfirman;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ يَوْمَ لاَ يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS. Attahrim/ 66 : 8)

Surat attahrim inipun adalah surat madaniah (surat yang diturunkan Allah setelah hijrahnya Rasulullah SAW dan para sahabat ke Madinah), yang notabene mereka adalah para sahabat yang memiliki keimanan dan ketaqwaan yang telah teruji. Namun Allah SWT tetap memerintahkan kepada mereka untuk senantiasa memperbaharui taubatnya, kendatipun tingginya keimanan mereka.
Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa taubat merupakan perintah Allah yang menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin, meskipun mereka tidak berbuat maksiat, apalagi yang telah berbuat maksiat kepada Allah. Karena ternyata Allah SWT memberikan predikat dzolim, kepada mereka yang tidak mau bertaubat, sebagaimana yang Allah firmankan,
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Dan barang siapa yang tidak mau bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzolim" (QS. Al-Hujurat/ 49: 11).

Rasulullah SAW Merupakan Imam Para Tawwabin
Inilah bukti yang menguatkan bahwa taubat tidak harus terkait dengan kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang hamba. Namun mereka yang tidak berbuat maksiat sekalipun, mendapatkan perintah untuk bertaubat. Adalah Rasulullah SAW, sebagai figur orang yang paling bertaqwa kepada Allah, dan sebagai seorang hamba yang tidak pernah melakukan perbuatan maksiat, mencontohkan bahwa beliau bertaubat lebih dari 70 kali setiap harinya. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda,
عَنْ أََبِيْ هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً (رواه البخاري) وفي رواية لمسلم : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ - رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya aku beristighfar dan bertaubat kepada Allah satu hari lebih dari 70 kali." Bahkan dalam riwayat Muslim, Rasulullah SAW berkata, "Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah sehari sebanyak 100 kali." (HR.Muslim)

Suatu ketika, sahabat-sahabat Rasulullah SAW pernah menghitung jumlah taubat Rasulullah SAW dalam sebuah majlis. Beliau mengucapkan lafadz taubat sebanyak 100 kali. Beliau membaca:
رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُوْرُ
"Ya Allah, ampunilah aku, terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat dan Maha Pengampun." (HR. Ahmad)

Jika Rasulullah SAW saja, yang dosa-dosanya telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang masih bertaubat kepada Allah seratus kali satu hari, maka bagaimana dengan umatnya yang banyak berbuat maksiat. Seharusnya umat Islam generasi sekarang ini, lebih banyak bertaubat kepada Allah dibandingkan dengan generasi-genarasi awal keislaman. Karena banyaknya dosa, kesalahan, kekhilafan serta kelalaian, yang barangkali tiada terbilang jumlahnya.

Allah Maha Penerima Taubat
Sementara Allah sendiri, adalah Dzat yang Maha Penerima Taubat. Pernyataan seperti ini Allah ungkapkan sendiri dalam firman-Nya, (QS. 2:222) "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang membersihkan diri." Dalam hadits, Rasulullah SAW juga pernah bersabda, "Sungguh Allah sangat berbahagia dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat, melebihi bahagianya seseorang yang sedang musafir di padang sahara di atas ontanya, yang kemudian ia kehilangan ontanya tersebut. Padahal di atas ontanyalah perbekalan makanan dan minumannya. Ketika telah putus asa mencari ontanya tersebut, ia duduk dibawah sebuah pohon, pesimis untuk dapat melanjutkan perjalanannya lagi. Ketika ia sedang dalam konsdisi seperti itu, tiba-tiba muncullah ontanya dengan segala perbekalannya yang masih utuh, dan dengan segera dipeganglah tali kekang ontanya. Dengan sangat gembiranya, hingga ia salah dalam berucap, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhanmu." (HR. Muslim)
Inilah gambaran kebahagiaan yang Rasulullah SAW gambarkan. Bahkan Allah lebih bahagia daripada orang yang sangat bahagia dalam hadits di atas. Sehingga sesungguhnya tidak terdapat penghalang yang mampu merintangi seseorang dari taubat kepada Allah SWT, karena Allah adalah Maha Penerima Taubat. Dalam hadits lain Rasulullah SAW juga menggambarkan sebagai berikut: "Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam hari guna menerima taubat hambanya yang bersalah pada siang hari, dan Allah juga membentangkan tangan-Nya pada siang hari guna menerima taubat hamba-Nya yang bersalah pada malam hari, sampai batas waktu matahari terbit dari tempat terbenamnya." (HR.Muslim)
Pintu taubat senantiasa akan terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin kembali kepada Allah. Sebesar apapun dosa seorang hamba, selagi ia mengakui dosa-dosanya, kemudian menyesalinya dengan penyesalan yang dalam, serta berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, maka niscaya Allah akan menerima taubatnya. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW menggambarkan tentang "taubatnya seseorang yang telah membunuh 99 orang. Ketika datang kepada seorang pendeta guna bertaubat, pendeta menyatakan tidak ada lagi pintu taubat karena ia telah membunuh 99 orang. Karena kesal, iapun sekalian membunuh pendeta tersebut, hingga genaplah 100 orang yang tewas ditagannya. Kemudian datanglah ia kepada seorang alim, dengan niatan untuk bertaubat. Ketika ditanya adakah pintu taubat masih terbuka untuk dirinya, orang alim ini menjawab, tidak ada yang dapat menghalangi dirinya dari taubat. Lantas orang alim ini memberikan saran kepadanya agar ia pergi ke negri sana, guna beribadah kepada Allah bersama penduduk negri yang taat tersebut, dan janganlah ia sekali-kali kembali ke kampungnya, karena kampungnya penuh dengan orang-orang yang berbuat maksiat. Di tengah perjalanan yang ditempuhnya, tiba-tiba malaikat maut datang menjemputnya. Dan disinilah, terjadi pertentangan antara malaikat azab dan malaikat rahmat. Malaikat azab mengatakan, bahwa pemuda ini tidak pernah melakukan kebaikan sama sekali. Sedang malaikat rahmat mengemukakan, bahwa pemuda ini telah bertaubat kepada Allah dan berniat beribadah kepada-Nya. Pada saat yang bersamaan Allah mengutus seorang malaikat yang menjelma sebagai seorang insan. Malaikat ini memerintahkan mereka berdua untuk mengukur jarak pemuda ini dengan kampung taubat yang ditujunya, dan juga dari kampung maksiat yang ditinggalkannya. Jika ia lebih dekat dengan salah satunya, maka jadilah ia mengikuti malaikat yang bersangkutan. Pada saat itu juga Allah memerintahkan pada kampung taubat untuk mendekat, dan kepada kampung maksiat untuk menjauh. Sehingga akhirnya setelah dihitung, ia lebih dekat satu jengkal dengan kampung taubat. Dan jadilah ia mengikuti malaikat rahmat. (HR. Bukhari)
Dalam ayat-ayat lain, Allah bahkan melarang hamba-hamba-Nya untuk berputus asa terhadap rahmat Allah lantaran banyaknya dosa yang telah dilakukannya. Dalam surat Azzumar, (39:53) Allah berfirman:
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ*
"Wahai hamba-hamba-Ku yang yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri; janganlah kalian berputus asa terhadap rahmat Allah. Karena sesungguhnya Allah mengampuni dosa kalian secara keseluruhan."

Syarat Diterimanya Taubat
Tinggallah sekarang, sebuah pertanyaan muncul mengenai cara dan syarat-syarat dalam bertaubat. Para ulama mengatakan, bahwa dalam bertaubat terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
  1. Melepaskan diri sejauh-jauhnya dari kemaksiatan yang pernah dilakukannya.
  2. Memiliki rasa penyesalan yang sedalam-dalamnya atas perbuatan yang dilakukannya itu, baik yang sengaja ataupun yang tidak senganja.
  3. Harus memiliki tekad yang kuat, untuk tidak mengulangi perbuatan maksiatnya tersebut.
  4. Jika dosanya berkenaan dengan orang lain, sebaiknya ia juga meminta maaf kepada orang tersebut.
  5. Taubat tidak akan diterima jika ia sudah hampir tiba pada ajalnya (sakaratul maut).
Adapun cara untuk bertaubat, dapat dilakukan dengan cara fardi (individu), dengan seorang diri mengakui kesalahan dihadapan Allah, menyesali atas perbuatannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Waktu yang afdhal adalah pada tengah malam, setelah melaksanakan shalat malam (baca; tahajud). Karena pada saat-saat inilah, tiada hijab yang dapat menghalangi seorang hamba dengan Allah SWT. Selain cara di atas, dapat juga dilakukan dengan bantuan orang lain, seperti dengan seorang ustadz atau ulama agar ia dibimbing untuk melakukan taubat. Kedua cara ini dapat dilakukan sesuai dengan kecendrungan seseorang. Pada intinya kemauan merupakan faktor yang dominan, yang dapat membantunya dalam bertaubat.

Penutup
Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya tiada sebuah penghalangpun yang dapat merintangi seseorang dari taubat kepada Allah, baik bagi yang berbuat maksiat, apalagi yang tidak melakukan maksiat. Justru Rasulullah SAW bahkan mencontohkan dengan bertaubat lebih dari 100 kali setiap harinya, meskipun beliau terhindar dari perbuatan maksiat. Akankah kaum muslimin pada saat ini enggan untuk bertaubat, padahal Rasulullah SAW saja senantiasa tidak pernah meninggalkan taubatnya?

Wallahu A'lam.
Rikza Maulan, Lc., M.Ag.

;;