The Power of Amanah (2)

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا (رواه مسلم)
Dari Abu Dzar ra berkata, Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak menjadikan aku sebagai pengawal? Kemudian belaiu menepuk pundakkau dan bersabda, “Hai Abu Dzar, sungguh kamu ini lemah dan jabatan itu amanah. Dan pada hari Kiamat nanti, jabatan itu menjadi kehinaan serta penyesalan, kecuali bagi orang yang melaksanakannya secara benar dan menunaikan semua kewajibannya.” (HR. Muslim)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa kelak segala amanah akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT. Dan bahwasanya kelak, banyak orang yang memegang amanah akan menyesal akan amanah yang diembankan kepada mereka. Karena amanah itu justru kelak akan merendahkannya, disebabkan karena ia tidak bisa menunaikan dan tidak melaksanakannya dengan baik. Sementera dahulu ketika di dunia, mereka sangat mendamba-dambakan amanah tersebut. Oleh karena itulah, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang meminta jabatan, maka ia tidak boleh diberi. Dan justru orang yang berhak mendapatkannya adalah orang yang menolak dan tidak menginginkannya (Nuzhatul Muttaqin, Juz I hal. 744).

2. Hadits di atas juga menggambarkan bahwa orang-orang yang dapat memagan amanah dengan baik, maka dia akan beruntung dan mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT. , Hadits di atas membahasakannya dengan, “…kecuali orang-orang yang mengambil amant itu dengan haq (benar) sebagaimana mestinya dan menunaikan apa yang diembankan pada dirinya dari amanah tersebut.” Dalam riwayat lainnya disebutkan, bahwa pemimpin yang amanah akan mendapatkan naungan Allah di hari tiada naungan kecuali naungan dari-Nya :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَى ذَلِكَ وَتَفَرَّقَا وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ ذَاتُ حَسَبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Ada tujuh golongan yang kelak akan mendapatkan naungan Allah, di hari tiada naungan kecuali naungan dari-Nya. (Yaitu) seorang pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan ibadah kepada Allah SWT, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah mereka bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah, seseorang yang mengingat Allah di waktu sepi lalu meneteskan airmata, seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang memiliki kecantikan dan kedudukan lalu ia mengatakan sesungguhnya aku takut kepada Allah, dan seseorang yang bersedekah dengan tangan kanannya yang tidak diketahui oleh tangan kirinya.” (Muttafaqun Alaih)

3. Pemimpin yang adil (dalam konteks hadits pada poin 2), adalah pemimpin yang senantiasa menjaga amanah dengan baik, melaksanakan tugas sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah, mentaati fatwa para ulama dan orang-orang shaleh, serta memimpin untuk menegakkan kalimatullah di muka bumi. Pemimpin yang demikian ini, akan mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil kelak di sisi Allah berada di mimbar-mimbar bercahaya di sebelah kanan Allah yang Maha Rahman sedangkan kedua tangan Allah adalah kenan; (yaitu) mereka yang berbuat adil dalam keputusan, terhadap keluarga dan dalam kepemimpinannya.” (HR. Muslim)

4. Sebaliknya, apabila seseorang diberikan amanah dan ia tidak menunaikannya dengan baik, maka Alah SWT pun kelak akan menyulitkannya. Demikianlah sebuah hakekat yang digambarkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana beliau sabdakan dalam sebuah riwayat berikut :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ (رواه مسلم)
Dari Aisyah ra berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda di rumahku ini, “Ya Allah barangsiapa memegang urusan umatku (mendapat amanah memimpin) dan bersikap keras (menyusahkan) kepada mereka, maka susahkanlah ia. Dan barang siapa memegang urusan umatku dan bersikap sayang kepada mereka, maka sayangilah mereka.” (HR. Muslim)

5. Bahwa terdapat sebuah kisah Al-Qadhi Abu Bakar yang penuh hikmah, pada keteguhan memegang amanah, semoga kita bisa mengambil hikmahnya :
Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi bin Muhammad Al-Bazzar Al-Anshari berkata: “Dulu, aku pernah berada di Makkah, semoga Allah SWT selalu menjaganya. Suatu hari aku merasakan lapar yang sangat. Aku tidak mendapatkan sesuatu yang dapat menghilangkan laparku. Tiba-tiba aku menemukan sebuah kantong dari sutera yang diikat dengan selempang yang terbuat dari sutera pula. Aku memungutnya dan membawanya pulang ke rumah. Ketika aku buka, aku dapatkan didalamnya sebuah kalung permata yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Aku lalu keluar dari rumah, dan saat itu ada seorang bapak tua yang berteriak mencari kantongnya yang hilang sambil memegang kantong kain yang berisi uang lima ratus dinar. Dia mengatakan, ‘Ini adalah bagi orang yang mau mengembalikan kantong sutera yang berisi permata’. Aku berkata pada diriku, ‘Aku sedang membutuhkan, aku ini sedang lapar. Aku bisa mengambil uang dinar emas itu untuk aku manfaatkan dan mengembalikan kantong sutera ini padanya’. Maka aku berkata pada bapak tua itu, ‘Wahai Bapak, kemarilah’. Lalu aku membawanya ke rumahku. Setibanya di rumah, dia menceritakan padaku ciri kantong sutera itu, ciri-ciri selempang pengikatnya, ciri-ciri permata dan jumlahnya berikut benang yang mengikatnya. Maka aku mengeluarkan dan memberikan kantong itu kepadanya dan dia pun memberikan untukku lima ratus dinar, tetapi aku tidak mau mengambilnya. Aku katakan padanya, ‘Memang seharusnya aku mengembalikannya kepadamu tanpa mengambil upah untuk itu’. Ternyata dia bersikeras, ‘Kau harus mau menerimanya’, sambil memaksaku terus-menerus. Aku tetap pada pendirianku, tak mau menerima. Akhirnya bapak tua itu pun pergi meninggalkanku.
Adapun aku, beberapa waktu setelah kejadian itu aku keluar dari kota Makkah dan berlayar dengan perahu. Di tengah laut, perahu tumpangan itu pecah, orang-orang semua tenggelam dengan harta benda mereka. Tetapi aku selamat, dengan menumpang potongan papan dari pecahan perahu itu. Untuk beberapa waktu aku tetap berada di laut, tak tahu ke mana hendak pergi! Akhirnya aku tiba di sebuah pulau yang berpenduduk. Aku duduk di salah satu masjid mereka sambil membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika mereka tahu bagaimana aku membacanya, tak seorang pun dari penduduk pulau tersebut kecuali dia datang kepadaku dan mengatakan, ‘Ajarkanlah Al-Qur’an kepadaku’. Aku penuhi permintaan mereka. Dari mereka aku mendapat harta yang banyak.
Di dalam masjid, aku menemukan beberapa lembar dari mushaf, aku mengambil dan mulai membacanya. Lalu mereka bertanya, ‘Kau bisa menulis?’, aku jawab, ‘Ya’. Mereka berkata, ‘Kalau begitu, ajarilah kami menulis’. Mereka pun datang dengan anak-anak juga dan para remaja mereka. Aku ajari mereka tulis-menulis. Dari itu juga aku mendapat banyak uang. Setelah itu mereka berkata, ‘Kami mempunyai seorang puteri yatim, dia mempunyai harta yang cukup. Maukah kau menikahinya?’ Aku menolak. Tetapi mereka terus mendesak, ‘Tidak bisa, kau harus mau’. Akhirnya aku menuruti keinginan mereka juga. Ketika mereka membawa anak perempuan itu kehadapanku, aku pandangi dia. Tiba-tiba aku melihat kalung permata yang dulu pernah aku temukan di Makkah melingkar di lehernya. Tak ada yang aku lakukan saat itu kecuali hanya terus memperhatikan kalung permata itu. Mereka berkata, ‘Sungguh, kau telah menghancurkan hati perempuan yatim ini. Kau hanya memperhatikan kalung itu dan tidak memperhatikan orangnya’. Maka saya ceritakan kepada mereka kisah saya dengan kalung tersebut. Setelah mereka tahu, mereka meneriakkan tahlil dan takbir hingga terdengar oleh penduduk setempat. ‘Ada apa dengan kalian?’, kataku bertanya. Mereka menjawab, ‘Tahukah engkau, bahwa orang tua yang mengambil kalung itu darimu saat itu adalah ayah anak perempuan ini’. Dia pernah mengatakan, ‘Aku tidak pernah mendapatkan seorang muslim di dunia ini (sebaik) orang yang telah mengembalikan kalung ini kepadaku’. Dia juga berdoa, ‘Ya Allah, pertemukanlah aku dengan orang itu hingga aku dapat menikahkannya dengan puteriku’, dan sekarang sudah menjadi kenyataan’. Aku mulai mengarungi kehidupan bersamanya dan kami dikaruniai dua orang anak. Kemudian isteriku meninggal dan kalung permata menjadi harta pusaka untukku dan untuk kedua anakku. Tetapi kedua anakku itu meninggal juga, hingga kalung permata itu jatuh ke tanganku. Lalu aku menjualnya seharga seratus ribu dinar. Dan harta yang kalian lihat ada padaku sekarang ini adalah sisa dari uang 100 ribu dinar itu.” (Dari Kitab Al-Rijal wa Al-Mawaqif). Dari : http://gesah.net/mag/show.php?id=1345

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

The Power of Amanah (1)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ* وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ*
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang di percayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. Al-Anfal : 27 – 28)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa sebagai orang yang beriman, kita dilarang “berkhianat”, terlebih-lebih mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah SWT di atas dengan sangat jelas menggambarkan hal tersebut, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” Khianat dalam ayat di atas digambarkan dalam dua jenis, pertama khianat khusus yaitu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Khianat kepada Allah dan Rasulullah SAW terjadi seperti kisah Abu Lubabah yang berkhinat yang menjadi latar belakang turunnya ayat ini (di jelaskan di poin kedua). Adapun khianat yang kedua adalah khianat umum, yaitu khianat terhadap segala hal yang diamanahkan kepada kita ; janji, jabatan, keluarga, harta, rahasia, dsb.

2. Bahwa ayat di atas memiliki asbabunnuzul, yaitu sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dan juga digambarkan dalam riwayat-riwayat sirah nabawiyah. Diantara riwayatnya adalah riwayat Al-Kalbi, bahwa Abu Lubabah bin Abdul Mundzir diutus oleh Nabi Shallallahu’ Alaihi wa Sallam ke Bani Quraidzah (sebuah suku Yahudi Madinah yang telah melanggar perjanjian waktu perang Khandak), sebab selama ini Abu Lubabah memiliki hubungan yang baik dengan suku tersebut. Abu Lubabah juga bahkan menitipkan harta dan anak-anaknya pada Bani Quraidzah. Setelah bertemu dengan para pemuka Yahudi itu, disampaikanlah usulan Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam agar mereka (Yahudi Bani Quraidzah) menyerah pada Sa’ad bin Mu’adz yang diperintahkan Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam untuk menangani kasus mereka. Lalu pemuka Yahudi bisik-bisik bertanya, “Jika mereka turun (tidak melakukan apa yang diusulkan Rasulullah SAW), apa kira-kira hukuman yang dijatuhkan pada mereka?” Lalu dengan tidak pikir panjang Abu Lubabah memberikan isyarat dengan mengisyaratkan tangan ke lehernya, sebagai isyarat bahwa mereka akan dibunuh semua. Kelancangan Abu Lubabah itulah yang ditegur Allah SWT dengan diturunkannya QS. Al-Anfal 27 – 29 di atas. Karena tidak seharusnya Abu Lubabah “memberitahukan” hal tersebut kepada Bani Quraidzah.
Setelah turun ayat ini, Rasulullah Shalallahu’Alaihi wa Sallam memanggil isteri Abu Lubabah dan bertanya, “ Apakah Abu Lubabah tetap mengerjakan shaum dan sholat. Dan adakah dia mandi junub setelah bersetubuh? “ Isterinya menjawab, “ Dia Shaum, Sholat dan mandi junub, bahkan cinta kepada Allah dan Rosul-Nya “. Nabi bertanya demikian, karena meragukan keimanannya, sehingga isterinya ditanya tentang kehidupannya, apakah dia Islam atau Munafiq. Isterinya menjawab pasti dia shaum, sholat dan setelah bersetubuh dia tetap mandi junub. Ini menunjukkan keimanannya baik. Tapi ia telah berkhianat, yang merupakan perbuatan orang Munafiq. Abu Lubabah memang bukan orang munafiq, tetapi karena kelancangannya dia telah dicap sebagai penghianat. Setelah turun ayat ini, Abu Lubabah merasa sangat menyesal, sebab Allah sendiri telah mencapnya sebagai penghianat, kemudian dia segera bertaubat.
Menurut Riwayat Qatadah dan Az-Zuhri, taubatnya itu lain sekali. Dia bersumpah untuk tidak makan dan minum, sampai diberi ampun oleh Allah. Kemudian dia mengikatkan diri di tonggak masjid sampai sembilan hari, tidak makan dan tidak minum sampai jatuh pingsan. Setelah Allah menerima taubatnya, beberapa orang datang memberitahu bahwa Alloh telah menerima taubatnya dan mereka hendak melepas ikatannya. Tetapi Abu Lubabah bersumpah bahwa dia tidak mau dilepas kecuali oleh Rasulullah SAW. Beliau pun akhirnya melepaskan ikatannya. Setelah bebas Abu Lubabah berkata, “Ya Rasulullah, saya bernadzar untuk mensedekahkan seluruh harta saya “. Beliau menjawab, “Jangan semuanya, cukup sepertiga saja “. Inilah taubat Abu Lubabah, yang sangat luar biasa karena telah merasa berkhianat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Dan kendatipun ayat ini turun mengenai Abu Lubabah, tetapi maksudnya umum, menjadi peringatan keras bagi umat Islam untuk teguh dan setia dalam memegang amnat. Tak ada artinya sholat, shaum, taat beribadah apabila seseorang tidak setia kepada amanah.

3. Bahwa penyebab terjadinya sifat “khianat” umumnya adalah faktor harta (amwalukum) dan keturunan (auladukum) beserta turunannya. Seperti Abu Lubabah yang memang secara histori memiliki hubungan sangat baik dengan Yahudi Bani Quraidzah, bahkan beliau menitipkan anak-anak dan juga harta (baca ; investasi) di Yahudi Bani Quraidzah. Kedekatan hubungan dengan Yahudi inilah yang kemudian membuat Abu Lubabah tega “mengkhianati” Allah dan Rasulullah SAW. Abu Lubabah memberitahukan kepada Yahudi Bani Quraidzah apa yang akan dilakukan Rasulullah SAW jika mereka tidak mengikuti usulan Rasulullah SAW. Padahal tidak seharusnya beliau memberitahukan itu. Faktor kedekatan hubungan dengan Bani Quraidzah dan faktor harta yang beliau investasikan di Bani Quraidzh telah menjadikan beliau berkhianat kepada Allah & Rasul-Nya. Amwal (jabatan, kedudukan, harta, investasi) dan aulad (kedekatan hubungan, hutang budi, dsb) yang seringkali “membutakan” mata manusia, sehingga ia rela berkhianat.

4. Harta dan anak merupakan cobaan dan ujian dari Allah SWT. Mereka-mereka yang hidupnya dilalaikan dengan harta dan anak-anak, pastilah akan menuai kesengsaraan dan tidak mendapatkan kebahagiaan. Sebaliknya, orang-orang yang hidupnya istiqamah untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tidak dibutakan oleh harta, kedudukan, hubungan baik, hutang budi, keluarga, anak-anak atau kepentingan jangka pendek lainnya, akan mendapatkan kebahagiaan. Kisah seorang gadis anak penjual susu di zamah Kekhilafahan Umar bin Khattab ra, dapat kita ambil hikmahnya. Berikut adalah kisahnya “Bahwa Khalifah Umar bin Khattab pada suatu malam yang gelap gulita di saat beliau berkeliling di antara rumah-rumah rakyatnya, beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin. Kata ibu "Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari. Anaknya menjawab "Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini" Si ibu masih mendesak "Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu". Balas si anak "Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu". Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu. Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu. Kata Umar, “Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam." Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz, seorang Amirul Mu’minin yang namanya tertulis dengan tinta emas sepanjang zaman, karena keadilan dan kearifan beliau dalam memimpin umat Islam. Subhanallah.. betapa sifat amanah akan melahirkan pemimpin yang besar di masa yang akan datang. Sebaliknya, sifat khianah akan menimbulkan kesengsaraan dan kesulitan di masa yang akan datang.

5. Bahwa ayat di atas secara tersirat juga menggambarkan tentang keutamaan orang-orang yang istiqamah melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya (atau di zaman sekarang ini bentuknya dengan mentaati para ulama-ulama dan orang-orang shaleh). Ayat di atas menggambarkannya dengan firman Allah SWT “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal : 28). Di akhir ayat tersebut disebutkan bahwa di sisi Allah lah pahala yang besar. Artinya adalah bahwa orang yang menjaga amanah akan mendapatkan pahala yang besar baik di dunia maupun di akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman :
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ ﴿٨﴾ وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ ﴿٩﴾ أُوْلَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ ﴿١٠﴾ الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿١١﴾
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (ya`ni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Mu’minun 8 : 11)

6. Bahwa cara atau sarana agar kita tidak tertipu dengan “kemilaunya” kehidupan dunia adalah dengan memupuk keimanan kepada Allah SWT, mempertebal keyakinan tentang akhirat serta meyakini bahwa apa yang ada di tangan Allah SWT adalah lebih utama. Dan untuk merealisasikan itu semua, sarana utamanya adalah mendengarkan serta mentaati nasehat ulama dan berkumpul dengan orang-orang shaleh. Orang-orang shaleh memiliki nur (cahaya) yang akan menerangi jalan kita. Sehingga apabila di sekeliling kita adalah orang-orang shaleh, maka insya Allah akan semakin menjadikan jalan kita menjadi semakin terang terhindar dari sifat khianat.

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Debt Collector Dalam Pandangan Syariah

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى - رواه البخاري
Dari Jabir bin Abdillah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Allah akan memberikan rahmat terhadap seseorang yang bermurah hati ketika menjual, bermurah hati ketika membeli dan bermurah hati ketika menagih hutang”. (HR. Bukhari)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa bermurah hati atau berkasih sayang merupakan sifat yang dianjurkan untuk dilakukan antara sesama kaum muslimin. Rasulullah SAW bahkan memberikan perumpamaan sifat murah hati dan kasih sayang antara sesama muslim adalah ibarat satu tubuh, yang apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka anggota tubuh yang lainnya juga turut merasakannya :
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى - رواه مسلم
Dari Nu’man bin Basyir ra, Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan kaum muslimin dalam cinta, kasih sayang dan kelemahlembutan diantara mereka adalah seumpama satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakannya, seperti ketika tidak bisa tidur atau ketika demam.” (Muslim)

2. Bahwa sikap bermurah hati dan berkasih sayang bukan hanya dianjurkan dalam kehidupan sosial, namun juga ketika melakukan transaksi muamalah. Demikianlah yang dapat “dipetik” dari hadits di atas. Bahwa Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya terhadap seseorang yang bermurah hati ketika menjual, bermurah hati ketika membeli, bermurah hati ketika menagih hutang, yaitu menagih hutang dengan cara yang baik. Artinya adalah bahwa “bermurah hati” dalam bermuamalah memiliki pahala yang mulia di sisi Allah SWT, dengan mendapatkan rahmat dari-Nya. Orang yang mendapatkan rahmat dari Allah SWT, memiliki keistimewaan tersendiri sebagaimana yang Allah SWT firmankan :
وَأَمَّا الَّذِينَ ابْيَضَّتْ وُجُوهُهُمْ فَفِي رَحْمَةِ اللّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿١٠٧﴾ تِلْكَ آيَاتُ اللّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ وَمَا اللّهُ يُرِيدُ ظُلْماً لِّلْعَالَمِينَ ﴿١٠٨﴾
Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya. Itulah ayat-ayat Allah, Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imran : 107 – 108)

3. Hutang merupakan sesuatu yang “boleh” atau mubah untuk dilakukan apabila memang terdesak oleh satu keperluan atan kebutuhan tertentu. Dan bagi orang yang dihutangipun akan mendapatkan benefit atau pahala yang mulia, khususnya pada saat ia memberikan pinjaman atau hutang terhadap orang yang sedang mengalami kesulitan. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً (رواه ابن ماجه)
Dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “TIdaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada muslim lainnya sebanyak dua kali, melainkan Allah SWT akan menghitungnya sebagai shadaqah (sebesar yang dipinjamkan) satu kali.” (HR. Ibnu Majah)

4. Terdapat adab dan etika terkait dengan masalah hutang piutang, khususnya ketika menagih terhadap orang yang berhutang. Diantara adab-adabnya adalah sebagai berikut :
a. Membuat perjanjian pembayaran hutang secara tertulis, khususnya ketika “akad” hutang dilakukan. Misalnya apabila berhutang selama satu bulan, maka ditentukan saja hari, tanggal dan bulan waktu pengembaliannya yang tertuang dalam dalam kontrak akad. Dengan adanya perjanjian yang tertulis dan ditentukan waktu pembayarannya secara jelas, akan menghindarkan diri dari kesalahpahaman, khususnya ketika kelak akan menagih hutang. Hal ini mengamalkan firman Allah SWT terkait dengan masalah hutang piutang, dalam QS. Al-Baqarah : 282 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ...
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (QS. Al-Baqarah : 282)

b. Mengingatkan secara baik waktu jatuh tempo hutangnya, khususnya ketika telah tiba waktunya. Dalam mengingatkan waktu jatuh tempo ini hendaknya didasari dengan prinsip “saling mengingatkan” dalam kebaikan dan kebenaran, dan juga rasa khawatir apabila yang berhutang lupa dan kemudian menjadi satu kedzaliman dikarenakan adanya “penundaan” pembayaran hutang. Perlu diingat bahwa menunda-nunda pembayaran hutang adalah perbuatan dzalim dan berdosa. Semakin lama ia menunda, maka semakin besar pula dosanya. Oleh karenanya, perlu untuk mengingatkannya agar orang yang berhutang tidak terjatuh ke dalam kedzaliman yang berlarut-larut. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Menunda pembayaran hutang (bagi orang yang mampu) adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang mampu/ kaya, maka terimalah hawalah itu. (Muttafaqun Alaih)

c. Menagih dengan cara yang baik, yaitu ketika mendatangi orang yang berhutang tersebut maka hendaknya berbicara dan bertingkah laku yang baik sesuai dengan adab dan etika Islam (baca ; akhlaqul karimah) seperti datang dengan senyuman, mengucapkan salam, meminta pembayaran dengan sopan dan baik, tidak arogan serta tidak menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran orang yang berhutang maupun keluarga dan tetangganya. Hal ini sebagaimana yang digambarkan Rasulullah SAW dalam hadits di atas, “… bermurah hati ketika menagih hutang.”

d. Boleh meminta jaminan terhadap orang yang berhutang. Apabila diperlukan, sesungguhnya orang yang memberi hutang boleh saja meminta “jaminan” terhadap orang yang berhutang, berupa harta atau sesuatu yang dapat dijadikan sebagai jaminan. Allah SWT berfirman:
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ...
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)... (QS. Al-Baqarah : 283)

e. Memberi nasehat berkenaan dengan hutang, seperti berkenaan dengan keharusan membayar hutang yang bahkan seorang syahid pun yang semua dosanya diampuni oleh Allah SWT, ternyata khusus “hutangnya” tidak dapat diampuni oleh Allah SWT. Kenyataan ini sebagaimana yang Rasulullah SAW sabdakan dalam hadits :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ (رواه مسلم
Dari Abdullan bin Amr bin Asr ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni, kecuali hutang.” (HR. Muslim)

f. Memberikan penangguhan waktu, apabila orang yang berhutang sedang mengalami kesulitan. Yaitu misalnya dengan mereschedulkan kembali pembayaran hutangnya, pada hari, tanggal, bulan dan tahun yang jelas dan disepakati bersama. Karena orang yang bermurah hati memberikan penangguhan pembayaran hutang terhadap orang yang sedang kesulitan, akan mendapatkan pahala yang mulia di sisi Allah SWT. Dalam sebuah riwayat disebtukan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَحْتَ ظِلِّ عَرْشِهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ - رواه الترمذي
Dari Abu Hurairah ra berkata bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menangguhkan hutang orang yang sedang kesulitan, atau membebaskannya dari hutangnya, maka Allah akan memayunginya nanti pada hari kiamat di bahwa naungan ‘Arsy-Nya, di saat tidak ada naungan melainkan hanya naungan-Nya.” (HR. Turmudzi)

g. Mencairkan jaminan atas seizin orang yang berhutang, yaitu apabila orang yang berhutang memberikan jaminan dan telah jatuh tempo namun tidak mampu untuk melunasi hutangnya, maka boleh saja jaminannya tersebut “dicairkan” atas seizinnya. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa apabila jaminan tersebut dicairkan untuk melunasi hutangnya, dan ternyata masih terdapat sisanya, maka sisanya tersebut harus dikembalikan kepada orang yang berhutang tersebut. Apabila selisihnya diambil oleh si pemberi hutang, maka justru pada saat tersebut, si pemberi hutanglah yang menjadi pelaku kedzaliman.

5. Bahwa terdapat satu fakta yang unik, yaitu Rasulullah SAW tidak mau menshalatkan jenazah seorang sahabat yang memiliki hutang. Dalam riwayat disebutkan, “Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan.... Rasulullah bertanya, “Apakah dia mempunyai hutang?” Para sahabat menjawab, “Tidak”. Lalu Rasulullah menshalatkannya. Kemudian di datangkan jenazah yang lainnya, dan beliau bertanya, “Apakah ia punya hutang?” Sahabat menjawab, “Ya, Rasulullah pun menyuruh para sahabatnya untuk menyalatkannya (namun beliau sendiri tidak). Abu Qatadah berkata, “Saya menjamin hutangnya wahai Rasulullah”. Maka (barulah) Rasulullah SAW menshalatkan jenazah tersebut.” (HR. Bukhari)‏

6. Orang yang memberikan hutang, boleh saja mewakilkan orang lain untuk menagih hutangnya, misalnya melalui jasa debt collector. Ketentuan bolehnya mewakilkan kepada pihak atau orang lain untuk menagihkan hutangnya adalah berdasarkan akad wakalah, dimana pihak yang memberikan hutang bertindak sebagai muwakil (yang memberikan kuasa) kepada pihak debt collector (wakil) untuk menagihkan hutangnya pada orang yang berhutang. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَرَدْتُ الْخُرُوْجَ إِلَى خَيْبَرَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِذَا أَتَيْتَ وَكِيلِيْ بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقًا رواه أبو داود‏
“Dari Jabir ra berkata, “Aku keluar pergi ke Khaibar, lalu aku datang kepada Rasulullah SAW, kemudian beliau bersabda, ‘Bila engkau datang pada wakilku di Khaibar, maka ambillah darinya 15 wasaq.” (HR. Abu Daud)

Namun yang perlu dicatat dan digaris bawahi adalah bahwa orang atau pihak yang menjadi wakil dalam menagih hutang, haruslah memenuhi segala ketentuan dan etika sebagaimana di jelaskan sebelumnya, seperti akad hutang piutang harus tertulis, tidak mengandung unsur bunga (riba), mengingatkan secara baik-baik apabila telah tiba masa jatuh temponya, menagih dengan cara yang baik dan sopan (berakhlaqul karimah), memberikan nasehat berkenaan dengan hutang piutang sesuai tuntunan syariah, memberikan penangguhan apabila orang yang berhutang benar-benar dalam kesulitan, dsb (silakan baca kembali poin 4 dalam tulisan ini). Apabila debt collector bisa memenuhi semua syarat dan etika di atas, maka insya Allah akan menjadi debt collector syariah. Sebaliknya apabila meninggalkan syarat di atas (misalnya hutang piutangnya terkait dengan bunga atau riba), atau mengabaikan faktor etika dan akhlak maka dengan sendirinya sudah tidak menjadi debt collector syariah. Jadi apa anda berminat untuk membuat perusahaan yang menawarkan jasa "debt collector secara syariah?" Peluang masih terbuka lebar.


Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Hukum Menyerupai Laki-Laki & Menyerupai Wanita

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا - رواه البخاري
Dari Ibnu Abbas ra berkata, bahwasanya Rasulullah SAW melaknat mukhannasin (laki-laki yang menyerupai perempuan) dan mutarajjilat (perempuan yang menyerupai laki-laki). Beliau bersabda, ”Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian.” Maka Rasulullah SAW mengeluarkan Fulan dari rumahnya dan Umar juga mengeluarkan Fulan dari rumahnya. (HR. Bukhari)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di dunia ini secara berpasang-pasangan; ada siang dan malam, ada besar dan kecil ada terang dan gelap dst. Demikian juga ketika menciptakan manusia, Allah SWT menciptakannya secara berpasang-pasangan ; ada laki-laki dan juga ada perempuan, yang masing-masing memiliki fitrah tersendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan fitrah antara laki-laki dan perempuan adalah untuk saling melengkapi, sekaligus sebagai tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah SWT. Allah SWT berfirman :
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (QS. Ad-Dzariyat : 49)

2. Bahwa jenis manusia yang Allah ciptakan hanyalah jenis laki-laki dan perempuan saja, tidak ada jenis lainnya yang ketiga. Sehingga tidak benar manakala ada seseorang yang mengatakan bahwa dirinya secara psikologis adalah perempuan, namun secara fisik dia adalah laki-laki dan kemudian ia berperilaku layaknya seperti seorang perempuan (baca ; banci), ataupun sebaliknya. Demikianlah yang Allah gambarkan dalam Al-Qur’an :
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَاْلأُنثَى
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. (QS. An-Najm : 45)

3. Bahwa haram hukumnya bagi seorang laki-laki menyerupai perempuan dalam segala hal, baik dalam gerakan, cara bicara, gaya, penggunaan perhiasan, dalam berpakaian, dalam kebiasaan, maupun segala hal lainnya yang terkait dengan perempuan. Hadits di atas sangat jelas dan sangat tegas menggambarkan hal tersebut, bahkan pelarangannya dengan menggunakan bahasa “melaknat” seorang laki-laki yang menyerupai perempuan maupun perempuan yang menyerupai laki-laki. Di samping melaknat, hadits di atas juga memerintahkan untuk mengeluarkan (baca ; mengusir) mereka dari dalam rumah. Dalam riwayat lainnya disebutkan :
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ - رواه البخاري
Dari Ikrimah dan Ibnu Abbas ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang meniru perempuan dan perempuan yang meniru laki-laki. (HR. Bukhari)

4. Larangan menyerupai atau tasyabbuh ini berlaku bagi setiap laki-laki (yang menyerupai perempuan) dan juga bagi perempuan (yang menyerupai laki-laki). Artinya bahwa laki-laki yang menyerupai wanita adalah terlaknat, sebagaimana perempuan yang menyerupai laki-laki juga terlaknat. Mereka derajatnya adalah sama-sama mendapatkan laknat. Dan dewasa ini kita melihat banyak sekali kaum laki-laki yang bergaya, berbicara, berdandan, berpakaian, berkebiasaan seperti perempuan. Mereka bahkan tampil di televisi, di panggung-panggung hiburan publik, dsb dengan tingkah polah sedemikian rupa dengan alasan hiburan dan entertaiment. Sementara di pihak lain masyarakat saat ini menganggapnya bahwa hal tersebut adalah biasa dan tidak apa-apa. Padahal hal tersebut merupakan perbuatan terlaknat, dan jangan-jangan bukan hanya pelakunya saja yang dilaknat, namun yang menyaksikannya pun juga bisa jadi juga terlaknat.

5. Bahwa bentuk larangan yang menggunakan kalimat “Rasulullah SAW melaknat”, memiliki makna yang mendalam. Ulama berpendapat, kata “dilaknat” dalam hadits di atas menunjukkan bahwa tasyabuh (baca ; menyerupai) perempuan bagi laki-laki ataupun menyerupai laki-laki bagi perempuan merupakan dosa besar. Hikmah diharamkannya tasyabuh ini adalah bahwa orang yang melakukan tasyabuh tersebut telah keluar dari fitrah dan watak pembawaannya sebagaimana yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Berkenaan dengan lafaz “melaknat” sendiri, dalam Al-Qur’an Allah SWT menggambarkan tentang orang-orang yang dilaknat Allah SWT, bahwa kelak mereka akan mendapatkan azab yang pedih, dan mereka tidak akan mendapatkan orang atau sesuatu yang menolong mereka :
أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللّهُ وَمَن يَلْعَنِ اللّهُ فَلَن تَجِدَ لَهُ نَصِيراً
Mereka itulah orang yang dilaknat Allah. Barangsiapa yang dilaknat Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya. (QS. An-Nisa’ : 52)

6. Bagaimana harus memperlakukan mukhannsin (laki-laki yang menyerupai perempuan) dan mutarajjilat (perempuan yang menyerupai laki-laki)? Dalam sebuah riwayat disebutkan bagaimana Rasulullah SAW memperlakukan seorang laki-laki yang menyerupai perempuan bahwa orang tersebut diasingkan ke tempat yang jauh dari pemukiman masyarakat sebagai berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِمُخَنَّثٍ قَدْ خَضَّبَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ بِالْحِنَّاءِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَالُ هَذَا فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَتَشَبَّهُ بِالنِّسَاءِ فَأَمَرَ بِهِ فَنُفِيَ إِلَى النَّقِيعِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَقْتُلُهُ فَقَالَ إِنِّي نُهِيتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّينَ - رواه أبو داود
Dari Abu Hurairah bahwasanya dibawa kepada Nabi SAW seorang laki-laki yang berlagak seperti wanita, dia memberi warna dengan hinna' (quitec) pada (kuku-kuku) kedua tangan dan kakinya. Maka Rasulullah SAW bertanya : "Kenapa orang ini ?" Ada sahabat yang menjawab, “Ya Rasulullah, orang laki-laki itu berlagak seperti wanita". Lalu diperintahkan (oleh Rasulullah) supaya orang tersebut diasingkan ke Naqi' (suatu tempat di daerah Muzainah, perjalanan dua malam dari Madinah), lalu ditanyakan kepada beliau, "Ya Rasulullah, apakah tidak kita bunuh saja orang itu ?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya aku dilarang membunuh orang-orang yang shalat". (HR. Abu Daud)

7. Hikmah pelarangan dan bahkan keharusan untuk “mengasingkan” (baca ; mengusir) orang-orang yang menyerupai laki-laki dan perempuan, adalah agar “penyakit” seperti ini tidak menyebar dan tidak merusak banyak orang. Menurut ahli pendidikan Prof Arif Rahman, terkait dengan maraknya acara di televisi yang menampilkan para waria “Tayangan kebanci-bancian jika dibiarkan akan terjadi pembenaran dan ini bisa menular. Pada akhirnya akan terjadi suatu pembentukan masyarakat yang tidak sehat untuk Indonesia.” (http://bgs-dennis.blogspot.com/2008/09/indonesia-jadi-negara-banci-peran.html). Dan berdasarkan pengamatan “penulis” sendiri, ketika ada seseorang yang berkonsultasi kepada penulis dan ia mengakui bahwa dirinya “memiliki kecenderungan kebanci-bancian dan menyukai sesama jenis” bahwa asal muasal kecenderungan tersebut muncul ketika ia banyak “bergaul” dan berinteraksi dengan para banci, dan lama kelamaan ia pun memiliki kecenderungan yang sama.


Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

;;