Makna Sebuah Amanah

إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS. Al-Ahzab 73)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari firman Allah SWT di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa amanah merupakah sesuatu yang sesungguhnya “sangat berat” karena segala amanah, kelak semuanya akan dimintai pertanggung jawabann, sekecil apapun amanah tersebut. Namun kenyataannya justru kebanyakan manusia merasa bahwa amanah merupakah sebuah “anugerah” atau “rizki”, atau menganggapnya sebagai bentuk kemuliaan, sehingga manusia justru merasa senang dan tersanjung ketika mendapatkan sebuah amanah. Misalnya seseorang yang mendapatkan amanah untuk menjadi pemimpin, baik pemimpin dalam bidang politik, sosial, ekonomi ataupun yang lainnya. Sebagian manusia bahkan “merayakan” dengan pesta dan nuansa kesenangan ketika mendapatkan amanah tersebut, serta sedikit sekali yang menyesal serta menangis ketika mendapatkan amanah. Oleh karena itulah, Allah SWT menyifati manusia yang “tertipu” dengan gemerlapnya amanah sebagai orang-orang yang zalim dan bodoh, sebagaimana digambarkan dalam ayat di atas.

2. Amanah berasal dari kata ( أمن – يأمن – أمنا وأمانة ) “a-mu-na – ya‘munu – amnan wa amanatan” yang artinya jujur atau dapat dipercaya. Secara bahasa, amanah dapat diartikan dengan sesuatu yang dipercayakan atau kepercayaan. Amanah juga berarti titipan (al-wadi’ah), kepercayaan, pertaruhan, kesetiaan, lurus, dan sebagainya. Dengan kata lain amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada seseorang untuk disimpan, dijaga dan dipelihara, baik berupa harta, rahasia, pekerjaan ataupun yang selainnya. Seseorang yang menjaga dan memelihara amanah dengan baik disebut dengan “al-amin”. Sedangkan lawan kata dari amanah adalah khiyanah. Khiyanah atau khianat adalah sifat orang yang tidak melaksanakan atau tidak menunaikan amanah. Orang yang khianat terhadap amanah yang diberikan padanya, disebut “al-kha’in”. Dan khianat merupakan salah satu ciri mendasar orang munafik, na’udzubillah min dzalik.

3. Amanah merambah pada aspek yang cukup luas dalam kehidupan manusia. Para ulama membagi amanah dengan pembagian yang beragam, diantaranya terdapat ulama ada yang mengklasifikasikan amanah menjadi dua bahagian besar, yaitu :
Pertama : Amanah dari Allah, atau amanah yang Allah berikan secara langsung kepada manusia. Diantara amanah klasifikasi ini adalah :
a. Amanah fitrah, yaitu sebuah amanah untuk senantiasa tegak dan istiqamah di atas tauhid kepada Allah. Ini merupakah perjanjian yang agung, sebagaimana yang Allah amanahkan kepada manusia :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ ١٧٢
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS. Al-A’raf : 172)

b. Amanah Syari’ah (Ad-Din), yaitu amanah untuk senantiasa tunduk dan patuh pada aturan dan hukum Allah SWT (baca ; syariah) dengan memenuhi segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Allah SWT berfirman :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Rum : 30)

c. Amanah pancaindera (al-hawasi); yaitu amanah berupa anggota tubuh dan panca indera kita yang merupakan anugerah Allah SWT. Panca indera ini seyogianya digunakan untuk hal-hal yang baik dan dalam rangka ketaatan kepada Allah SWT, dan bukan untuk melakukan perbuatan dosa atau kemaksiatan kepada Allah SWT.
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. An-Nur : 24)

Kedua : Amanah antara sesama manusia, yaitu amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT, namun amanah ini juga memiliki unsur hak sesama manusia (baca : haqqun adamiyun). Diantara yang masuk dalam amanah dalam kategori ini adalah sebagai berikut :
a. Amanah yang berkaitan dengan hak dan kewajiban, seperti hak dan kewajiban sebagai seorang muslim, hak dan kewajiban sebagai seorang warga negara, hak dan kewajiban sebagai seorang karyawan, amanah sebagai seorang pedagang, dsb. Bahwa segala hak dan kewajibannya akan dimintai petanggung jawaban, baik oleh pemberi amanah di dunia maupun oleh Allah SWt.
وَقُلِ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS. At-Taubah : 105)

b. Amanah yang berkaitan dengan harta benda; seperti dari mana ia memperoleh harta bendanya tersebut, bagaimana mempergunakannya, kemana menginvestasikannya, apakah dikeluarkan zakatnya. Atau juga dalam aspek harta orang lain, apakah ia menjaga dan memeliharanya dengan baik, tidak mengambil atau memakannya, dsb. Dalam sebuah riwayat
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ - رواه الترمذي
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan dapat bergerak tapak kaki anak cucu Adam pada hari kiamat di sisi Allah SWT, hingga ia ditanya tentang lima perkara ; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudahnya digunakan untuk apa, hartanya dari mana ia memperolehnya, kemana ia belanjakannya, dan ilmunya apakah diamalkannya? (HR. Turmudzi).

c. Amanah yang berkaitan dengan keluarga dan rumah tangga. Karena keluarga merupakan sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara. Seorang anak dapat menuntut orang tuanya, apabila ia tidak diberikan bimbingan agama yang baik oleh orangtuanya, tidak diajarkan untuk shalat, tidak diperintahkan untuk memakai jilbab, dsb. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ...، رواه البخاري
Dari Abdullah bin Umar ra, Rasulullah SAW bersabda. “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya. Seorang Imam (pimpinan) adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. (HR. Bukhari)

d. Amanah yang berkaitan dengan kedudukan dan tanggung jawab, seperti ketika diberi amanah untuk menjadi pemimpin, baik dalam konteks politik, ekonomi, sosial, maupun yang lainnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda ;
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ - رواه مسلم
“Tidaklah seorang hamba yang Allah berikan amanah untuk memimpin rakyatnya, lalu ia meninggal dunia sedangkan ia dalam kondisi berbuat curang terhadap raknyatnya, melainkan Allah SWT akan haramkan baginya surga.” (HR. Muslim)

4. Bahwa beratnya amanah bukan berarti bahwa kita tidak boleh memikul sebuah amanah. Amanah memang memiliki resiko dan konsekwensi, namun di sisi yang lain amanah juga merupakan peluang untuk mendapatkan benefit yang mulia, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, seroang yang amanah akan mendapatkan kesuksesan secara duniawi, sementara di akhirat ia akan mendapatkan benefit ukhrawi yang mempesona, yaitu mendapatkan jannatul ma’wa.. Maka marilah kita pikul sebaik mungkin, apapun amanah yang telah diamanahkan kepada kita. Semoga kita semua termasuk orang yang amanah, serta terhindar dari sifat khiyanah…

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Menggapai Qalbun Salim

وَإِنَّ مِنْ شِيعَتِهِ لإِبْرَاهِيمَ* إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ* إِذْ قَالَ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَاذَا تَعْبُدُونَ*
“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah itu?” (QS. As-Shaffat : 83 - 85)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari firman Allah SWT di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa sebagai manusia kita diberi anugerah Allah SWT berupa sesuatu yang sangat berharga dan sama antara satu dengan yang lain, baik kaya, miskin, laki-laki, perempuan, tua, muda, berilmu ataupun awam. Sesuatu yang sangat berharga tersebut adalah hati. Oleh karenanhya, hati harus dijaga dan dipelihara, agar menjadi hati yang bersih atau sebagaimana diistilahkan dalam Al-Qur’an, yaitu qalbun salim. Qolbun salim berasal dari dua kata bahasa Arab, yaitu qolbun (hati) dan salim (bersih, suci dan lurus). Jika kedua kata ini digabungkan, maka akan membentuk arti ‘hati yang lurus, bersih, suci dan ikhlas dalam segala gerak, fikiran, perasaan, perbuatan dan lain sebagainya hanya kepada Allah SWT’. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut istilah qolbun salim ini hanya dua kali. Dan keduanya menggambarkan tentang hatinya nabi Ibrahim as, seorang nabi yang perjuangannya sangat luar biasa. Kedua ayat tersebut adalah, pertama dalam QS. As-Shaffat : 83 – 85 di atas, dan kedua dalam QS. As-Syu’ara : 87 – 89.
وَلاَ تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ * يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ* إِلاَّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ*
“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”

2. Apabila kita renungkan secara mendalam, maka kita akan mendapatkan sebuah hakikat bahwa sebenarnya Allah SWT menginginkan agar seluruh hamba-hamba-Nya dapat memiliki hati yang bersih, yang dapat mengantarkan mereka pada kebahagiaan hakiki (baca ;surga). Allah juga menginginkan untuk menyempurnakan segala kenikmatan-Nya kepada seluruh hamba-hamba-Nya. Oleh karena itulah, Allah menurunkan Al-Qur’an (agama Islam), guna dijadikan pedoman hidup manusia, yang sama sekali bukan untuk menyusahkan atau menyulitkan manusia, namun agar manusia bisa bahagia dalam menjalani kehidupannya. Hal ini sebagaimana Allah SWT firmankan dalam QS. Al-Maidah : 6.
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ*
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan (mensucikan) kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

3. Untuk menggapai hati yang bersih, kita terlebih dahulu harus mengetahui seluk beluk hati kita sendiri, memahami sifat-sifatnya dan juga mengetahui godaan-godaan yang dapat menghanyutkannya dan menjauhkannya dari hati yang bersih. Karena hati merupakan sentral jiwa manusia, yang apabila hati seseorang baik, maka insya Allah akan baik pula seluruh tubuhnya, dan jika hatinya buruk, maka akan buruk pula seluruh tubuhnya. Dalam sebuah riwayat Imam Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Nu’man ra, Rasulullah SAW bersabda:
...أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ - متفق عليه
“…ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat segumpal darah, yang apabila ia baik maka baik pula seluruh jasadnya. Dan apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati”. (HR. Bukhari Muslim)

Hadits di atas menggambarkan bahwa hati laksana nahkoda dalam sebuah bahtera. Dimana arah tujuan dari bahtera tersebut sangat ditentukan oleh sang nahkoda. Jika nahkodanya memiliki niatan dan tujuan yang baik, insya Allah akan membawa bahtera tersebut ke arah yang baik. Sebaliknya jika ia memiliki tujuan yang jahat, maka secara otomatis kapal tersebut sedang berjalan ke arah yang buruk. Oleh karena itulah sangat penting bagi kita memiliki hati yang bersih guna menjadikan kehidupan kita benar-benar sedang melaju ke arah yang baik, yaitu keridhaan Allah SWT.

4. Mengenai masalah hati, Imam al-Ghazali mengungkapkan, “bahwa hati merupakan sesuatu yang paling berharga dalam diri manusia. Karena dengan hatilah, seseorang mampu mengenal Allah, beramal untuk mengharapkan ridha-Nya dan juga guna mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan jasad pada hakekatnya hanyalah menjadi pelayan dan pengikut hati, sebagaimana seorang pelayan terhadap tuannya.” Oleh kerena itulah terdapat sebuah ungkapan (baca ; bukan hadits), bahwa siapa yang mengenal hatinya maka ia akan mengenal Rabbnya. Namun disayangkan, karena betapa banyaknya manusia yang tidak mengenali hatinya sendiri. Lalu Allah menjadikannya seolah dirinya terpisah dari hatinya. Pemisahan ini dapat berbentuk penghalang untuk mengenal dan bermuroqobatullah (selalu dalam pengawasan Allah), cenderung pada kehidupan dunia, dan bahkan melupakan akhirat. Atas dasar hal inilah, banyak ulama yang menjadikan ma’rifatul qolb (mengenali hati) sebagai dasar dan pedoman bagi orang-orang saleh yang ingin lebih mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.

5. Bahwa untuk mendekatkan hati kepada Sang Pencipta menuju qalbun salim, banyak sekali rintangan dan penghalangnya. Karena syaitan tidak pernah ”ridha”, bila manusia menjadi hamba Allah yang suci dan bersih. Oleh karenanya godaan syaitan sangat luar biasa terhadap diri manusia. Imam Al-Ghazali menggambarkannya dengan sebuah benteng yang dikepung oleh musuh yang berambisi memasuki dan menguasainya. Benteng tersebut tentu harus dijaga pintu-pintunya, guna menghindari desakan musuh yang bergerak menyerbunya. Namun jika tidak mengetahui pintu-pintunya, tentu tidak dapat menjaganya. Demikian juga halnya dengan hati. Seseorang tidak mungkin dapat menjaganya bahkan juga mengusir syaitan yang menyerangnya melainkan dengan mengetahui pintu-pintu yang terdapat dalam hatinya tersebut. Pintu-pintu yang dapat dengan mudah dimasuki syaitan menurut para ulama adalah: sifat iri hati, dengki, ambisi duniawi, emosi dan amarah, hawa nafsu (kemaksiatan), bermewah-mewahan, cinta lawan jenis (syahwat), rasa sombong merasa paling baik, ketergesaan (isti’jal), dsb. Sifat-sifat ini perlu dijauhi dan dihindari, agar hati bisa menjadi hati yang bersih.

6. Dalam perumpamaan lain, syaitan diumpamakan seperti seekor anjing lapar yang mendekati seorang insan. Jika ia tidak memegang suatu makanan seperti daging atau roti, maka akan dengan mudah ia mengusir anjing ini. Namun jika dalam genggaman tangannya terdapat daging, roti dan makanan lainnya, maka akan lebih sulit mengusir anjing tersebut, bahkan perlu adanya kekuatan ekstra guna mengusirnya. Demikian pula dengan hati yang dikuasai hawa nafsu serta jauh dari dzikrullah, tentu ia menjadi mangsa para syaitan yang kelaparan. Dan untuk mengusirnya juga diperlukan tenaga ekstra, berbeda dengan hati yang terhindarkan dari nafsu, akan lebih mudah untuk menghalau dan mengusir syaitan. Inilah sensitifas hati seorang insan, yang ternyata sangat rentan akan godaan. Oleh karenanya hendaknya kita senantiasa berdoa, agar memiliki hati yang taat kepada syariat Allah SWT;
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ، وَيَا مُصَرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Wahai Pembolak balik hati, tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu. Wahai Pemutar balik hati, tetapkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.”

7. Bahwa Rasulullah SAW yang merupakan seseorang yang telah di jamin dapat menapakkan kakinya dalam surga, masih berusaha dengan khusyu’nya memanjatkan irama doa yang indah, agar diberi hati yang teguh pada agama-Nya dan taat terhadap-Nya. Maka sebagai umat dan pengikutnya, memanjatkan doa guna kelurusan hati merupakan hal yang seyogyanya mendapatkan prioritas. Oleh karenanya, marilah kita meninggalkan berbagai keegoisan hati dalam diri kita; keegoisan karena faktor kedaerahan, golongan, jabatan, kekayaan dan sebagainya, kemudian memasrahkan jiwa dan raga yang ternyata sangat kecil dan tiada memiliki daya apapun juga di hadapan Yang Maha Perkasa.

8. Bahwa hati manusia apabila dipetakan, akan terbagi menjadi tiga, sebagaimana diungkapkan oleh para ulama yaitu :
  • Pertama, hati yang dihiasi dengan keimanan, nilai ketaqwaan, dzikir, pembersihan jiwa dan muraqabatullah (sikap hati yang selalu merasa berada dalam pengawasan Allah). Hati seperti ini, insya Allah dapat menghalau segala sifat tidak terpuji. Hati seperti inilah yang kemudian disebut dengan hati yang bersih (Qolbun Salim), dan mudah-mudahan kita semua dapat menggapainya.
  • Kedua, hati yang berlumuran dengan hawa nafsu, terselimuti sifat-sifat tercela, terhiasi dengan hubbuddunya (baca ; cinta dunia). Hati seperti inilah yang kerap kali menjadi mangsa syaitan. Hati seperti ini adalah hati hitam dan kelam seperti malam yang tidak berbulan, tidak akan bisa mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, na’udzubillah min dzalik.
  • Ketiga, hati yang memiliki potensi mengikuti hawa nafsu, namun juga masih terdapat jeritan keimanan untuk berbuat kebaikan. Ia berada diantara kebaikan dan keburukan, terkadang menjadi hati yang baik dan terkadang menjadi hati yang berlumuran hawa nafsu. Hati yang ketiga ini pada akhirnya ia harus menentukan pilihan; menjadi hati yang hitam kelam atau putih yang bersinar terang. Dan pilihan itu, ada dalam diri dan kemauannya sendiri.
Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

;;