Bersabar Menunggu Panggilan

Seorang pria berumur 61 tahun bernama Asep Sudrajat menghidupi keluarganya dengan membuka sebuah toko berukuran 3 x 4 meter di sebuah jalan di kota Bandung. Tiada yang mendampingi hidupnya di rumah selain Asih, istrinya. Sudah puluhan tahun berumah tangga, Allah Swt Sang Maha Pencipta belum berkenan memberikan mereka keturunan.

Namun baik Asep dan Asih adalah model hamba Allah yang menerima segala ketetapan. Mereka selalu menghiasi hidup dengan pengharapan terhadap Allah SWT. Bersyukur atas segala nikmat yang mereka terima, dan bersabar atas segala ujian yang diberikan. Hampir dua puluh tahun mereka menabung demi mewujudkan cita-cita. Sebuah cita-cita mulia yang mereka tanamkan dalam hati, untuk berangkat haji ke Baitullah, Mekkah Al Mukarramah. Dengan hasil dagang di toko yang seadanya, sedikit demi sedikit mereka sisihkan untuk menggapai cita-cita itu. Hanya ibadah haji saja dalam benak mereka yang belum pernah mereka lakukan.

Keinginan itu terus membuncah, menggelegak dalam dada seorang hamba yang rindu akan keridhaan Rab-nya. Hasil tabungan yang mereka kumpulkan tidak mereka tabung di bank. Sengaja uang sejumlah itu mereka simpan agar dapat memotivasi semangat mereka untuk mencari tambahan uang sesegera mungkin. Sungguh dua puluh tahun dalam menabung, merupakan masa yang cukup panjang untuk bersabar demi mewujudkan ketaatan kepada Allah SWT. Tidak banyak, manusia modern di zaman sekarang yang mampu memiliki niat sedemikian.

Malam itu, Asep dan Asih sekali lagi menghitung jumlah tabungan mereka. Uang yang mereka simpan untuk berhaji itu kini berjumlah Rp. 50.830.000. Sementara biaya haji pada saat itu berkisar kurang lebih Rp 27 juta per orang, belum lagi biaya bimbingan haji yang harus mereka ikuti, ditambah dengan uang jajan tambahan untuk membeli oleh-oleh. Mereka menghitung,kurang lebih mereka memerlukan dana berkisar Rp 10 juta.

Setiap malam berlalu, Asep dan Asih selalu menghitung peruntungan jualan mereka, dan sebagiannya mereka sisihkan untuk mewujudkan cita-cita berhaji. Suatu pagi, Asep mendengar kabar bahwa kawan karibnya dalam berjamaah shalat di Masjid As Shabirin jatuh sakit secara mendadak dan kini dirawat di RS. Dr. Hasan Sadikin. Setelah divisum oleh dokter rupanya penyakit yang diderita tetangga sekaligus kawan karibnya itu adalah penyakit tumor tulang. Sebuah penyakit yang jarang terjadi pada masyarakat Indonesia.

Bersegeralah, Asep menjenguk kawan karibnya itu. Sesampainya di sana, sahabat tersebut masih berada di ruang ICU dan untungnya masih sadarkan diri sehingga dapat melakukan percakapan dengan Asep. Dari penuturannya Asep mengetahui bahwa tumor tulang tersebut telah membuat tetangganya tidak mampu untuk berdiri lagi, dan tumor tersebut harus diangkat segera. Sebab bila tidak, maka tumor tersebut dapat menjalar ke bagian tubuh lain. Asep bergidik mendengarnya. Namun ia masih terus membesarkan hati sahabatnya itu untuk senantiasa tawakkal dan berdoa kepada Allah Swt Yang Maha Menyembuhkan setiap penyakit hamba-Nya.

Hampir setiap hari Asep menjenguk sahabatnya itu. Pada hari kedelapan, sahabatnya itu telah dipindah ke ruang rawat inap kelas 3, bersama tujuh pasien lainnya dalam satu kamar. Kamar tersebut pengap dengan bau obat, dan tidak layak disebut sebagai kamar rumah sakit. Pemandangan yang berantakan. Jemuran baju pasien dan pendamping yang bertebaran di sepanjang jendela. Seprai kasur yang tidak rapi. Tikar dan koran bertebaran di pojok-pojok kamar. Itu semua membuat pemandangan kamar menjadi tidak asri dan pengap. Namun apa mau dikata, tetangganya adalah seorang yang mungkin memilik nasib sama dengan jutaan orang di Indonesia. Sudah masuk rumah sakit saja Alhamdulillah, nggak tahu bayarnya pakai apa?

Hari itu adalah hari kesebelas sahabatnya dirawat di rumah sakit. Kebetulan Asep sedang berada di sana, seorang perawat membawakan sebuah surat dari rumah sakit bahwa untuk membuang tumor yang berada di sendi-sendi tulang pasien haruslah dijalankan sebuah operasi. Operasi itu akan menelan biaya hampir Rp 50 juta. Bila keluarga pasien mengharapkan kesembuhan, maka operasi tersebut harus dilakukan. Namun kalau mau berpasrah kepada takdir Tuhan, maka tinggal berdoa saja agar terjadi keajaiban.

Siapa orangnya yang tidak mau sembuh dari penyakit? Semua orang pun berharap sedemikian. Namun mau bilang apa? Keluarga sahabat Asep tersebut sudah menguras habis tabungan yang mereka miliki, namun itu semua untuk bayar biaya rumah sakit selama ini saja tidak cukup. Apalagi untuk membiayai proses operasi? Sungguh, yang mampu mereka lakukan adalah memohon pertolongan kepada Allah Swt. Hari kedua belas, ketiga belas, keempat belas…. kondisi pasien semakin parah. Badannya terlihat kurus tak bertenaga. Kelemahan itu terlihat jelas dalam sorot cahaya mata yang kian meredup. Sang pasien tidak mampu lagi menanggapi lawan bicara. Tumor itu semakin mengganas dan menjalar ke seluruh tubuh. Pemandangan itu semakin menyentuh relung hati Asep yang terdalam. Maka di pinggir ranjang sahabatnya, Asep pun mengambil sebuahkeputusan besar.

Setelah berpamitan dengan keluarga sahabatnya, ia bergegas pulang menuju rumah. Di sana terlihat olehnya Asih sedang melayani pembeli yang datang ke toko sederhana milik mereka. Saat pembeli sudah sepi, Asep lalu menyampaikan keputusannya itu kepada Asih. “Bu…, Kang Endi tetangga kita yang sedang di rawat di rumah sakit itu kondisinya semakin memburuk. Bapak tidak sanggup melihat penderitaannya. Sepertinya kita harus bantu dia dan keluarganya. Tiga hari lalu, kebetulan bapak sedang di sana, seorang suster memberitahukan bahwa Kang Endi harus dioperasi segera. Keluarganya belum berani menyatakan iya, sebab biaya operasi itu hampir Rp 50 juta….” Asep membuka pembicaraannya dengan kalimat yang panjang. Asih pun mulai merasa iba dengan penderitaan Kang Endi dan keluarganya, “Kasihan mereka ya, Pak! Kita bisa bantuapa…?” Asep pun langsung menyambung dengan cepat, “Kalau ibu berkenan, bagaimana bila dana tabungan haji kita diberikan saja kepada mereka semua untuk biaya operasi?” Kalimat itu diakhiri dengan sebuah senyum merekah di bibir Asep. “Diberikan….?!! Waduh pak…, hampir dua puluh tahun kita nabung dengan susah payah agar cita-cita berhaji dapat diwujudkan. Masa bisa pupus seketika dengan membantu orang lain yang bukan saudara kita?” Asih mengajukan penolakan atas usulan suaminya.

“Bu…., banyak orang yang berhaji belum tentu mabrur di sisi Allah. Mungkin ini adalah jalan buat kita untuk meraih keridhaan Allah Swt. Biarkan kita hanya berhaji di pekarangan rumah kita sendiri, tidak perlu ke Baitullah. Bapak yakin bila kita menolong saudara kita, Insya Allah, kita akan ditolong juga oleh Dia Yang Maha Kuasa.” Kalimat itu meluncur dari mulut Asep dan menohok relung hati Asih sehingga begitu membekas di dasarnya. Tak kuasa, Asih pun mengangguk dan setuju atas usul suaminya.

Keesokan pagi, Asep dan Asih pun datang berdua ke rumah sakit untuk menjenguk. Toko mereka ditutup hari itu. Mereka berdua datang ke rumah sakit dengan membawa sebuah amplop tebal berisikan uang sejumlah Rp 50 juta yang tadinya mereka siapkan untuk berhaji. Keduanya tiba di rumah sakit dan menjumpai Kang Endi dan keluarganya di sana. Usai membacakan doa untuk pasien, keduanya datang kepada istri Kang Endi. Mereka serahkan sejumlah uang tersebut, dan suasana menjadi haru seketika. Bagi keluarga Kang Endi ini adalah moment dimana doa diijabah oleh Tuhan. Sementara bagi Asep dan Asih, ini merupakan saat dimana keikhlasan menolong saudara harus ditunjukkan. Lalu pulanglah Asep dan Asih ke rumah setelah berpamitan kepada keluarga.

Uang itu kemudian segera dibawa oleh salah seorang anggota keluarga ke bagian administrasi rumah sakit. Formulir kesediaan menjalani operasi telah diisi. Besok pagi jam 08.00 operasi pengangkatan tumor di sendi-sendi tulang Kang Endi akan dilakukan. Alhamdulillah! Esoknya Kang Endi sudah dibawa ke ruang operasi.Sebelum dioperasi, dokter spesialis tulang yang selama ini menangani Kang Endi sempat berbincang dengan keluarga. “Doakan ya agar operasi berjalan lancar dan Pak Endi semoga lekas sembuh! Kalau boleh tahu…, darimana dana operasi ini didapat?” Dokter mencetuskan pertanyaan tersebut, karena ia tahu sudah berhari-hari pasien tidak jadi dioperasi sebab keluarga tidak mampu menyediakan dananya.

Istri Kang Endi menjawab, “Ada seorang tetangga kami bernama pak Asep yang membantu, Alhamdulillah dananya bisa didapat, Dok!” “Memangnya, beliau usaha apa? Kok mau membantu dana hingga sebesar itu?” Dibenak dokter, pastilah pak Asep adalah seorang pengusaha sukses. “Dia hanya punya usaha toko kecil di dekat rumah kami. Saya saja sempat bingung saat dia dan istrinya memberikan bantuan sebesar itu!” Istri Kang Endi menambahkan.

Di dalam hati, dokter kagum dengan pengorbanan pak Asep dan istrinya. Hatinya mulai tergerak dan berkata, “Seorang pak Asep yang hanya punya toko kecil saja mampu membantu saudaranya. Kamu yang seorang dokter spesialis dan kaya raya, tidak tergerak untuk membantu sesama.” Suara hati itu terus membekas dalam dada pak dokter. Pembicaraan itu usai, dan dokter pun masuk ke ruang operasi. Alhamdulillah operasi berjalan sukses dan lancar. Ia memakan waktu hingga 4 jam lebih. Semua tumor yang berada pada tulang Kang Endi telah diangkat. Seluruh keluarga termasuk dokter dan perawat yang menangani merasa gembira. Kang Endi tinggal menjalani masa penyembuhan pasca operasi. Pak Asep masih sering menjenguknya. Suatu hari kebetulan pak dokter sedang memeriksa kondisi Kang Endi dan pak Asep pun sedang berada di sana. Keduanya pun berkenalan. Pak dokter memuji keluasan hati pak Asep. Pak Asep hanya mampu mengembalikan pujian itu kepada Pemiliknya, yaitu Allah Swt. Hingga akhirnya, pak dokter meminta alamat rumah pak Asep secara tiba-tiba.

Beberapa minggu setelah Kang Endi pulang dari rumah sakit. Malam itu, Asep dan Asih tengah berada di rumahnya. Toko belum lagi ditutup, tiba-tiba ada sebuah mobil sedan hitam diparkir di luar pagar rumah. Nampak ada sepasang pria dan wanita turun dari mobil tersebut. Cahaya lampu tak mampu menyorot wajah keduanya yang kini datang mengarah ke rumah pak Asep. Begitu mendekat, tahulah pak Asep bahwa pria yang datang adalah pak dokter yang pernah merawat sahabatnya kemarin.

Gemuruh suasana hati Asep. Ia terlihat kikuk saat menerima kehadiran pak dokter bersama istrinya. Terus terang, seumur hidup, pak Asep belum pernah menerima tamu agung seperti malam ini. Maka dokter dan istrinya dipersilakan masuk. Setelah disuguhi sajian ala kadarnya, maka mereka berempat terlibat dalam pembicaraan hangat. Tidak lama pembicaraan kedua keluarga itu berlangsung. Hingga saat pak Asep menanyakan maksud kedatangan pak dokter dan istri. Maka pak dokter menjawab bahwa ia datang hanya untuk bersilaturrahmi kepada pak Asep dan istri.

Pak dokter menyatakan bahwa ia terharu dengan pengorbanan pak Asep dan istri yang telah rela membantu tetangganya yang sakit dan memerlukan dana cukup besar. Ia datang bersilaturrahmi ke rumah pak Asep hanya untuk mengetahui kondisi pak Asep dan belajar cara ikhlas membantu orang lain yang sulit ditemukan di bangku kuliah. Semua kalimat yang diucapkan oleh pak dokter dielak oleh pak Asep dengan bahasa yang selalu merendah.

Tiba saat pak dokter berujar, “Pak Asep dan ibu…., saya dan istri berniat untuk melakukan haji tahun depan. Saya mohon doa bapak dan ibu agar perjalanan kami dimudahkan Allah Swt… Saya yakin doa orang-orang shaleh seperti bapak dan ibu akan dikabul oleh Allah…” Baik Asep dan Asih menjawab serentak dengan kalimat, “Amien…!” Pak dokter menambahkan, “Selain itu, biar doa bapak dan ibu semakin dikabul oleh Allah untuk saya dan istri, ada baiknya bila bapak dan ibu berdoanya di tempat-tempat mustajab di kota suci Mekkah dan Madinah…” Kalimat yang diucapkan pak dokter kali ini sama-sama membuat bingung Asep dan Asih sehingga membuat mereka berani menanyakan, “Maksud pak dokter….?” “Ehm…, maksud saya, izinkan saya dan istri mengajak bapak dan ibu Asep untuk berhaji bersama kami dan berdoa di sana sehingga Allah akan mengabulkan doa kita semua!”

Kalimat itu berakhir menunggu jawaban. Sementara jawaban yang ditunggu tidak kunjung datang hingga air mata keharuan menetes di pipi Asep dan Asih secara bersamaan. Beberapa menit keharuan meliputi atmosfir ruang tamu sederhana milik Asep dan Asih. Seolah bagai rahmat Tuhan yang turun menyirami ruh para hamba-Nya yang senantiasa mencari keridhaan Tuhan. Asep dan Asih hanya mampu mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Usai pak dokter pulang, keduanya tersungkur sujud mencium tanah tanda rasa syukur yang mendalam mereka sampaikan kepada Allah Yang Maha Pemurah. Akhirnya, mereka berempat pun menjalankan haji di Baitullah demi mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla.

Sungguh, kesabaran panjang yang diakhiri dengan pengorbanan kebaikan, akan berbuah di tangan Allah Swt menjadi balasan yang besar dan anugerah yang tiada terkira.

Artikel dikutip dari Kartu Pintar produksi Visi Victory Bandung

Rahasia Kebahagiaan Hidup

عَنْ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَاقَ طَعْمَ اْلإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً - رواه مسلم، والترمذي وأحمد
Dari Al-Abbas bin Abdil Mutallib ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "akan merasakan indahnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabnya, Islam sebagai agamanya dan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul utasan Allah SWT. (HR. Muslim, Turmudzi dan Ahmad)

Hadits yang singkat ini memiliki makna yang sangat mendalam tentang hakekat kehidupan, khususnya tentang rahasia kebahagiaan hidup, yaitu sebagai berikut :

1. Bahwa dalam kehidupan ini terdapat banyak orang yang tidak bisa merasakan kebahagiaan, kendatipun hidupnya dipenuhi dengan segala kesenangan dunia, seperti harta kekayaan yang melimpah, jabatan yang tinggi atau memiliki polularitas. Hal ini adalah karena adanya perbedaan yang sangat substansial, antara kebahagiaan dengan kesenangan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang relatif tidak terlalu disenangi banyak orang untuk dilakukan, cenderung tidak menyenangkan, namun sesungguhnya memiliki dampak jangka panjang yang sangat menguntungkan bahkan akan membahagiakan. Seperti giat beribadah, shalat malam, puasa senin kamis, menabung, menjaga nilai kejujuran, kerjasama, dsb. Sedangkan kesenangan adalah sesuatu yang relatif disenangi oleh banyak orang untuk dilakukan, menyenangkan, namun memiliki dampak yang relatif negatif bagi kehidupan, bahkan cenderung menjerumuskan lalu menyengsarakan kehidupannya. Seperti tabdzir (boros), bermalas-malasan sambil menonton film, merokok, selingkuh, korupsi, dsb. Singkatnya, kesenangan cenderung bersifat jangka pendek, sedangkan kebahagiaan lebih bersifat jangka panjang. Dan kehidupan dunia, merupakan kehdiupan yang cenderung berisi dengan kesenangan-kesenagan jangkpa pendek. Oleh karena itulah kita Allah SWT mengategorikan bahwa kehidupan dunia adalah kesenangan yang melalaikan (QS. Al-Hadid/ 57 : 20)

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

2. Orang yang terlena dengan kehidupan dunia dan lupa akan tujuan hidupnya, maka ia tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan. Sebagaimana dijelaskan dialam ayat di atas, bahwa kehidupan dunia adalah kesenangan yang menipu. Sebaliknya, orang yang berbahagia adalah orang yang tidak mau tertipu dengan kesenangan dunia, ia tetap mengambilnya, namun ja jadikan sebagai sarana menggapai kebahagiaan sejati. Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa orang yang mendapatkan kebahagiaan, "tidak boleh" mengejar kehidupan dunia.

3. Salah satu penyebab manusia tidak mendapatkan kebahagiaan adalah karena adanya pandangan bahwa kebahagiaan identik dengan kepemilikan harta dan jabatan. Seolah tanpa harta dan jabatan, orang tidak akan bahagia. Contohnya adalah orang yang tidak memiliki mobil, rumah atau yang lainnya dan sangat berobsesi untuk memiliki itu semua. Ia merasa bahwa apabila telah memiliki itu semua, ia akan bahagia. Padahal, belum tentu dengan memiliki hal tersebut hidupnya akan bahagia. Bahkan bisa jadi, ia semakin susah karena harus mengeluarkan biaya perawatan yang jauh lebih mahal.

4. Kunci kebahagiaan sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas adalah "keridhaan". Ridha adalah krelaan, keikhlasan, menerima dengan sepenuh hati atas apapun yang Allah berikan kepadanya. Orang yang ridha, pasti bahagia. Al-kisah, ada seorang lelaki tua yang bertani dan kehidupannya sangat sederhana. Ia hanya memiliki satu rumah terbuat dari gubug kayu, memiliki seorang istri, dua orang anak dan satu buah sepeda tua. Suatu ketika, ia pergi besama anak dan istrinya naik sepeda ke sebuah taman. Sesampainya di taman tersebut, ia bermain bola bersama mereka. Ia tertawa riang bersama keluarganya. Tidak lama kemudian datanglah seorang laki-laki bermobil mewah menghampirinya, lalu ia berkata, "Saya perhatikan dari tadi Bapak kelihatannya bahagia sekali, kalau boleh saya tahu, apa pekerjaan Bapak ya?" Bapak tua menjawab, saya hanya seorang petani kangkung yang setiap hari membawa hasil pertanian saya ke pasar lalu saya menjualnya di pasar. Setelah terjual, hasilnya saya gunakan untuk memberikan nafkah kepada keluarga saya." Lelaki bermobil mewah bertanya kembali, seberapa banyak kangkung yang Bapak jual setiap hari? Ia menjawab, "Tergantung hasilnya Pak, tapi rata-rata antara 20 sampai 30 ikat. Dan satu ikatnya saya jual Rp 500,-" Lelaki tersebut kemudian bertanya, "Tidakkah bapak meminta pembiayaan dari Bank saja?" "Untuk apa?" jawab lelaki tua. "Supaya bapak bisa menambah modal pertanian bapak." "Lalu untuk apa,?" tanyanya lagi. Lelaki tersebut menjawab, "Supaya Bapak bisa menanam lebih banyak kangkung, dan bisa menjual lebih banyak ke pasar." Lalu untuk apa? tanya Bapak tua lagi. "Kalau bapak menjual banyak, tentu bapak akan mendapatkan uang lebih banyak." Jawab lelaki bermobil mewah tersebut. "Lalu untuk apa?" jawab Bapak tua lagi. "Kalau bapak membawa uang lebih banyak, kehidupan bapak akan menjadi bahagia." Kata lelaki tersebut. Kemudian Bapak tua dengan tenaang menjawab, dengan jawaban yang tidak akan pernah dilupakan lalaki tersebut. Katanya "Saya rasa saya tidak memerlukan hal itu.,Pak. Karena jika yang dituju adalah kebahagiaan, maka alhamdulillah hidup saya sudah bahagia."

5. Hadits di atas menjelaskan, bahwa kunci kebagiaan (yang dibahasakan dalam hadits dengan istilah "merasakan manisnya iman") adalah ridha dengan sepenuh hati terhadap tiga hal : Pertama : ridha terhadap Allah SWT sebagai Rabnya, Kedua, ridha bahwa Islam sebagai agamanya dan Ketiga ridha Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul utusan Allah SWT.

6. Ridha Allah sebagai Rabnya, adalah bahwa ia ridha Allah menjadi seorang hamba Allah, atas segala apapun yang Allah berikan kepadanya. Ia ridha terhadap itu semua dan tidak "menduakan" Allah dengan sesuatu apapun juga. Karena ia sangat yakin, bahwa apapun yang Allah berikan kepadanya adalah anugerah terbaik bagi kehidupannya. Dengan pemahaman seperti ini, ia akan menerima apapun yang terjadi dengan lapang dada dan sepenuh hati.

7. Rahasia kedua adalah ridaha Islam sebagai agamanya, maksudnya ia ridha agama Islam adalah satu-satunya agama yang dijalankan untuk mengatur kehidupannya dalam segala aspeknya ; sosial, politik, ekonomi, budaya, dsb. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah SWT " Wahaiorang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam agama Islam secara kaffah. Dan janganlahkalian mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu merupakan musuh yang nyata bagi kalian." (QS. Al-Baqarah/ 2 : 208) Ia yakin, bahwa sistem Islam merupakan sistem yang mampu membawa kebahagiaan hakiki bagi manusia untuk kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat, baik dalam skala individu maupun dalam skala sosial yang lebih luas. Serta tidak ada satu ajaran agama manapun yang mampu unutk mewujudkan hal tersebut, selain agama Islam.

8. Rahasia kebahagiaan ketiga adalah ridha nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan utusan Allah. Artinya ia ridha, nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah yang diutus kepada seluruh umat manusia, dan mengantarkan mereka dari kehidupan yang gelap gulita menuju pada kehidupan yang penuh dengan kecemerlangan. Ia ridha dengan segala ajaran dan nilai-nilai yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW (sunnah), baik sunnah dalam kehidupan pribadi, sosial kemasyarakatan, maupun dalam kehidupan yang lebih luas ; berbangsa dan bernegara bahkan dalam cakupan internasional.

9. Itulah kunci kebahagiaan hidup; kata kuncinya adalah ridha. Dan cakupan dari ridha itu merambah pada tiga aspek besar ; Ridha Allah sebagai Rabnya, Ridha Islam sebagai agamanya dan Ridha Nabi Muhammad sebagai Nabi utusan Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Sudahkah anda bahagia? Jika belum, mulailah dari sekarang untuk "ridha". Insya Allah mulai hari ini juga hidup anda akan bahagia, selama-lamanya...


Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Berbagi Cinta

Bila ada ajakan untuk berbagi, apa yang ada di pikiran Anda? Mungkin berbagi dana, berbagi pakaian layak pakai, sembako, susu, atau berbagi makanan. Ya, semua jawaban biasanya dalam bentuk materi. Itu mungkin karena di kepala kita telah tertancap ide-ide materialistik yang sudah mengglobal.

Mengukur segala sesuatunya dengan ukuran yang bersifat material dan kasat mata. Pengalaman nyata dari ayah angkat saya mungkin bisa menjadi pelajaranbahwa berbagi tidaklah mesti berbentuk materi.

Setiap tahun, ayah angkat saya punya kebiasan berkeliling ke berbagai panti asuhan dan rumah anak yatim. Kunjungan biasanya dilakukan dua kali. Awal bulan Ramadhan dan akhir bulan Ramadhan. Kunjungan pertama adalah survei untuk mengetahui kebutuhan panti asuhan atau rumah yatim. Kunjungan kedua membawa bantuan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

Ketika berkunjung ke salah satu rumah yatim, ayah angkat saya bertemu dengan seorang bocah manis dan lucu. Dia masih sekolah kelas nol besar. ”Siapa namamu nak?” sapa ayah saya. ”Nama saya Nina Om”, jawabnya manja. ”Nina sudah punya sepatu baru?” tanya ayah saya. ”Sudah om, dikasih Abah (pemimpin panti-red). Nina juga sudah punya baju baru” urai Nina.

“Kalau begitu Nina mau apa?” tanya ayah saya. “Nggak ah… ntar Om marah” jawab Nina. “Nggak sayang, Om nggak akan marah,” ayah saya menimpali. ”Nggak ah… ntar Om marah” Nina mengulang jawabannya. Ayah saya berpikir, pasti yang diminta Nina adalah sesuatu yang mahal. Rasa keingintahuan ayah saya semakin menjadi. Maka dia dekati lagi Nina.

”Ayo Nak katakan apa yang kamu minta sayang”, pinta ayah saya. ”Tapi janji ya Om tidak marah?” jawab Nina manja. ”Om janji tidak akan marah sayang,” tegas ayah saya. ”Bener Om nggak akan marah?” sahut Nina agak ragu. Ayah saya menganggukkan kepala.

Nina menatap tajam wajah ayah saya. Sementara ayah saya berpikir, ‘Seberapa mahal sich yang bocah kecil ini minta sampai dia harus meyakinkan bahwa saya tidak akan marah’. Sambil tersenyum Ayah mengatakan “ayo Nak, katakan, jangan takut, Om tidak akan marah Nak.””Bener ya Om nggak marah?,” ujar Nina sambil terus menatap wajah ayah saya. Sekali lagi ayah saya menganggukkan kepala.

Dengan wajah berharap-harap cemas, Nina mengajukan permintaanya ”Mmmm, boleh gak mulai malam ini saya memanggil Om..dengan paggilan Ayah?. Nina sedih gak punya ayah” Mendengar jawaban itu, Ayah saya tak kuasa membendung air matanya. Segera dia peluk Nina, ”tentu Anakku.. tentu Anakku…mulai hari ini Nina boleh memanggil Ayah, bukan Om”. Sambil memeluk erat ayah saya, dengan terisak Nina berkata ”terima kasih ayah…terima kasih ayah..”.

Hari itu, adalah hari yang takkan terlupakan buat ayah saya. Dia habiskan waktu beberapa saat untuk bermain dan bercengkrama dengan Nina. Karena merasa belum memberikan sesuatu berbentuk material kepada Nina maka sebelum pulang Ayah bertanya lagi pada Nina, ”anakku, sebelum lebaran nanti ayah akan datang lagi kemari bersama ibu dan kakak-kakakmu, apa yang kamu minta nak?” ”Kan udah tadi, Nina sudah boleh memanggil Ayah,” jawab Nina.

”Nina masih boleh minta lagi sama ayah. Nina boleh minta sepeda, otoped atau yang lain, pasti akan Ayah kasih.” jelas Ayah saya. ”Nanti kalau ayah datang sama ibu ke sini, aku minta Ayah bawa foto bareng yang ada Ayah, Ibu dan kakak-kakak NIna, boleh kan Ayah?” Nina memohon sambil memegang tangan Ayah.

Tiba-tiba kaki Ayah lunglai. Dia berlutut di depan Nina. Dia peluk lagi Nina sambil bertanya, ”buat apa foto itu Nak?” “Nina ingin tunjukkan sama temen-temen Nina di sekolah, ini foto ayah Nina, ini ibu Nina, ini kakak-kakak Nina.” Ayah saya memeluk Nina semakin erat, seolah tak mau berpisah dengan gadis kecil yang menjadi guru kehidupannya di hari itu.

Terima kasih Nina. Meski usiamu masih belia kau telah mengajarkan kepada kami tentang makna berbagi cinta. Berbagilah cinta, karena itu lebih bermakna dibandingkan dengan sesuatu yang kasat mata. Berbagilah cinta, maka kehidupan kita akan lebih bermakna. Berbagilah cinta agar orang lain merasakan keberadaan kita di dunia.

Dikutip dari Jamil Azzaini.
www.jamil.niriah.com

Cinta Istri Sampai Mati

Thoriq termasuk orang yang sangat mencintai istrinya. Selain itu, ia juga amat takut sama istrinya. Para tetangganya sudah sangat paham akan kecintaan Thoriq kepada istrinya. Sebab sepasang suami istri ini sering menunjukkan kemesraan didepan umum. Namun, kemesraan yang sudah menjadi buah bibir warga perumahan ituakhirnya berakhir. Sang istri di panggil oleh Yang Maha Kuasa di usia yang masih sangat muda.

Thoriq menangis tersedu tiada henti. Bahkan ketika sang istri hendak dimakamkan, Thoriq meminta izin untuk membacakan puisi cintanya kepada sang belahan jiwa.

Semua yang hadir terkagum-kagum dengan kecintaan Thoriq kepada istrinya. Kekaguman masyarakat semakin membuncah beberapa bulan setelah sang istri meninggal. Mengapa? karena walau sudah tiga bulan istri meninggal, Thoriq setiap pagi Thoriq masih terus menyiram makam istri dengan air bunga.

Karena penasaran, sahabat Thoriq yang bernama Riza bertanya, “Mas Thoriq, semua orang sudah tahu bahwa kamu sangat mencintai istrimu. Kamu tidak perlu menyiram air bunga lagi setiap pagi untuk membuktikan cintamu. Kenapa sich kamu harus menyiram air bunga setiap pagi ke makam istrimu? Orang sudah tahu, kamu nggak mungkin berpaling dengan yang lain, kecintaanmu kepada istrimu tiada tandingannya”.

Dengan menarik napas panjang, Thoriq menjawab, “dulu istriku pernah berwasiat; nanti bila aku meninggal jangan buru-buru kawin lagi. Mas boleh kawin lagi apabila rumput di makamku sudah setinggi lutut”. Maka agar aku bisa menunaikan amanah istriku itu, setiap pagi makamnya aku siram air agar rumput di makam istriku bisa tumbuh dengan cepat.

(Nama dan kejadian di dalam cerita ini rekaan belaka. Cerita dibuat untuk mengaktifkan otak kanan dan mengurangi kepenatan hidup)

Diambil dari jamil.niriah.com


Kisah Ada Kemudahan Di Balik Setiap Kesulitan

Konon di sebuah kota di Timur Jauh, hiduplah seorang gadis bernama Fatimah. Ayahnya adalah seorang pemintal yang sukses. Suatu hari ayahnya akan mengadakan perjalanan jauh untuk memasarkan hasil pintalannya dan juga untuk mengajak Fatimah berlayar "mencari" pendamping hidup Fatimah, yang shaleh dan tampan...

Mereka berlayar melalui pulau-pulau. Sang Ayah berdagang, sedang Fatimah mendambakan seorang suami yang shaleh dan tampan... Namun saat berlayar menuju Krete, kapalnya diterjang badai. Kapal pun hancur dan Fatimah tidak sadarkan diri. Saat tersadar, Fatimah sudah terbaring di pantai Alexandria. Sang Ayah dan semua awak kapal tewas. Fatimah sangat sedih, ia benar-benar menjadi miskin dan hidup seorang diri.

Ketika Fatimah menelusuri pantai, sebuah keluarga pembuat kain menemukannya. Diajaknya Fatimah ke rumah dan diajarinya ia membuat kain. Itulah kehidupan kedua yang dijalani Fatimah. Lama-kelamaan Fatimah menjadi batah dan bahagia. Ia pun menjadi sangat mahir untuk membuat kain. Dan dia pun sudah melupakan penderitaannya.

Suatu hari, saat Fatimah sedang berada di pantai, sekelompok pedagang budak mendarat dan membawa Fatimah pergi bersama tawanan-tawanan yang lain. Fatimah dibawa ke Istambul untuk dijual sebagai budak. Dunianya runtuh untuk kedua kalinya. Beberapa pembeli telah berkumpul untuk memilih budak-budak. Salah seorang membawa Fatimah untuk dijadikan pembantu istrinya. Orang itu sebenarnya sedang mencari budak untuk dipekerjakan membuat tiang-tiang kapal, namun ketika melihat Fatimah dia merasa iba dan mencoba untuk menolongnya.

Malang tak dapat ditolak, di perjalanan mereka bertemu dengan rombongan perompak. Semua harta miliknya dirampas. Uang yang disimpan di petipun digondol, sehingga ia tidak bisa membayar tukang-tukang kayu yang bekerja. Mereka jatuh miskin. Dan Fatimah Fatimah terpaksa membantu belajar membuat tiang-tiang kapal, sebuah pekerjaan yang kasar untuk ukuran seorang gadis cantik dan lembut seperti Fatimah. Namun ia jalani kehidupan itu, hingga akhirnya iapun mahir membuat tiang-tiang kapal.

Walau begitu, Fatimah berterima kasih pada majikannya, karena telah menyelematkannya dari gerombolan penjual budak yang kasar dan kejam. Dan karena ketekunan dan kerajinannya, sang majikan memberi kepercayaan besar pada Fatimah, sehingga Fatimah sangat bahagia untuk yang ketiga kalinya.

Suatu hari, majikannya berkata, "Fatimah, aku ingin kamu pergi dengan kargo berisi tiang-tiang kapal ke Pulau Jawa sebagai agenku, dan pastikan kau menjualnya dengan harga yang baik dan keuntungan yang besar." Fatimah pun mengiyakannya dan dengan langkah mantap, serta diawali dengan bismillahi tawakkaltu alallah.. La haula wala quwwawta illa billah.. ia berangkat.

Ketika kapalnya melewati Laut Cina, kapalnya dihantam topan besar. Fatimah mendapatinya dirinya, lagi-lagi terdampar di sebuah pantai, di kepulauan yang asing baginya. Fatimah kembali meratapi nasibnya yang bertubi-tubi ditimpa kemalangan; ketika semua tampak lancar, sesuatu muncul dengan tiba-tiba dan menghancurkannya. Itulah kehidupannya. Dan sebagai seorang manusia biasa terkadang rasa putus asa menerpanya. "Mengapa nasibku seperti ini, mengapa?" Fatimah meratapi nasibnya, namun ketika teringat, ia segera beristighfar meminta ampunan kepada Allah. Ia yakin, pasti ada hikmah besar di balik segala penderitaannya tersebut. Fatimah pun melangkah ke Pedalaman.

Saat itu di Cina tak seorang pun mendengar cerita tentang Fatimah atau mengenalnya. Tetapi ada legenda yang berdar di sana, bahwa sautu hari akan datang seorang perempuan asing yang mampu membuat tenda istimewa untuk sang Kaisar. Tak seorang pun di Cina yang mampu membuat tenda, maka mereka berharap hal ini akan terwujud.

Dalam upaya ini, sang Kaisar telah berusaha, agar setiap ada perempuan asing yang datang, untuk dihadapkan kepada Kaisar. Setahun sekali, sang Kaisar mengirimkan tentaranya ke seluruh pelosok negeri, mencari sang wanita asing yang dinanti-nanti...

Ketika Fatimah memasuki sebuah kota di Pantai Cina, maka melalui penerjemah mereka mewajibkan Fatimah untuk menghadap sang Kaisar ke Istana. "Bisakah kamu membuat tenda?" tanyak sang Kaisar ketika Fatimah menghadap kepadanya. "Ya, saya bisa Tuan." Jawab Fatimah lembut.

Fatimah meminta seutas tali, namun tak seorang pun memilikinya. Ia pun segera mengumpulkan batang rami, dan memintalnya menjadi untaian tali. Ia teringat saat membantu ayahnya sebagai pemintal tali. Lalu Fatimah meminta kain, namun tak seorang pun yang mengenal kain. Maka Fatimah dengan pengalamannya di Alexandria, pada sebuah keluarga yang
menolongnya, iapun meyiapkan diri untuk membuat kain yang bagus dan kuat. Fatimah kemudian meminta tiang, namun ketika itu tidak ada sebuah tiapun di negeri Cina. Fatimah dengan pengalamannya bekerja dengan tukang pembuat tiang kapal di Istambul, mulai mencari batang kayu dan menyiapkannya menjadi tiang.

Dan ketika semuanya telah siap, Fatimah memutar kembali pengalamannya selama dalam perjalanan, tentang tenda-tenda yang pernah dilihatnya, sejauh perjalanannya menjelajahi manis pahitnya dunia... Akhirnya, dengan ketekunan, keuletan, kesabaran dan ketelitiannya jadilah sebuah tenda yang kuat dan sangat indah...

Ketika melihat tenda buatan Fatimah, semua orang terkagum-kagum. Sang Kaisar yang tampan menawarkan akan memberi apa saja yang diinginkan Fatimah. Fatimah akhirnya memilih untuk tinggal di Negeri Cina dan menikah dengan Pangeran yang tampan, yang kemudian hari menjadi seorang pangeran yang sangat shaleh... Mereka hidup bagiah dikelilingi anak-anak mereka yang shaleh dan shalehah....

Melalui petualangan-petualangan inilah Fatimah sadar, bahwa pengalaman-pengalaman yang tampak tidak menyenangkan, berubah menjadi bagian penting dalam kebahagiaan dan kesuksesan hidupnya....

Dikutip dari buku Time To Change, Hari Subagya. Dengan sedikit perubahan pada beberapa alur kisah dan redaksinya, agar sesuai dengan kondisi "ke-kitaan".

Catatan :
Sekiranya Fatimah tidak dihantam ombak yang besar, yang mengakibatkannya terdampar sebatang kara di Alexandria.... Sekiranya Fatimah tidak dibawa para pencari budak, dan dijual di Istambul... Sekiranya orang yang iba dan menolongnya di Istambul tidak dirampok oleh sekawanan perompak... Sekiranya Fatimah tidak dihantam ombak dan terdampar untuk kedua kalinya.... tentulah ia tidak akan menemukan kebahagiaannya...

Jadi, yakinlah bahwa apapun kondisi yang Allah "takdirkan" kepada kita, pasti ada "hikmah besar" dibalik itu semua. Oleh karenanya, jalanilah kehidupan ini dengan lapang dada, penuh kepositifan, berusaha memberikan yang terbaik kepada orang lain, serta selalu meminta kepada yang Maha Segalanya.....

Wallahu A'lam

;;