The Power of Shiddiq (4) Memanen Kesuksesan

عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْخَازِنَ الْمُسْلِمَ الْأَمِينَ الَّذِي يُنْفِذُ، وَرُبَّمَا قَالَ يُعْطِي مَا أُمِرَ بِهِ فَيُعْطِيهِ كَامِلًا مُوَفَّرًا طَيِّبَةً بِهِ نَفْسُهُ فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِي أُمِرَ لَهُ بِهِ أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْنِ - متفق عليه
Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: "Seorang bendahara muslim yang melaksanakan tugasnya dengan jujur, dan membayar sedekah kepada orang yang diperintahkan oleh majikannya secara sempurna dengan segera dan dengan pelayanan yang baik, maka ia mendapat pahala yang sama seperti orang yang bersedekah." (Muttafaqun Alaih)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa kejujuran yang diiringi sifat amanah, dengan membayar atau menunaikan sedekah (baca ; membayarkan manfaat Takaful) secara sempurna, dan dilakukan secara segera serta dengan pelayanan yang prima, akan mendapatkan keutamaan sama seperti orang yang bersedakah itu sendiri. Demikianlah Rasulullah SAW menggambarkannya kepada kita semua. Dan apabila kita renungkan, betapa pekerjaan kita sehari-hari adalah sangat “mirip” dengan yang Rasulullah SAW sabdakan. Karena kita semua merupakan “khazin” yaitu yang menyimpan dan mengelola harta orang (baca ; sedekah dan atau tabarru’), membayarkan kepada yang berhak dan dituntut memberikan pelayanan yang baik. Dan sungguh, ternyata pekerjaan kita semua akan berbuah setiap hari-harinya seperti keutamaan orang-orang yang bersedakah. Namun itu semua haruslah didasari dengan kejujuran, sebagaimana yang beliau sabdakan dalam hadits di atas.

2. Bahwa shidiq atau kejujuran akan berbuah keberuntungan dan kebahagiaan. Hal ini sebagaimana dialami oleh Rasulullah SAW. Kejujurannya lah yang menjadikan beliau justru “dicari” oleh Khadijah (investor) bahkan belaiu “ditawari” oleh Khadijah untuk mengelola hartanya. Kejujuran beliau pulalah, yang kemudian menjadikan “bisnis” yang dikelola beliau, menjadi bisnis yang sangat menguntungkan dan penuh dengan keberkahan. Dan karena kejujuran beliau pulalah yang kemudian menjadikan Khadijah memilih untuk menikah dengan Rasulullah SAW. Dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, tentang kejujuran Rasulullah SAW dalam berniaga, sebagaimana dituliskan oleh Al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum, sebagai berikut :
“Ibnu Ishaq berkata, “Khadijah binti Khuwailid adalah seorang saudagar wanita keturunan bangsawan dan kaya raya. Dia mempekerjakan tenaga laki-laki dan melakukan sistem bagi hasil terhadap harta (modal) tersebut sebagai keuntungan untuk mereka nantinya. Kabilah Quraisy dikenal sebagai kaum pedagang handal. Tatkala sampai ke telinga Khadijah perihal kejujuran bicara, amanah dan akhlak Rasulullah SAW yang mulia, dia mengutus seseorang untuk menemuinya dan menawarkan untuk memperdagangkan harta miliknya tersebut ke negeri Syam dengan imbalan yang paling istimewa yang tidak pernah diberikan kepada para pedagang lainnya, dengan didampingi seorang budak laki-laki milik Khadijah yang bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran tersebut dan berangkat dengan barang-barang dagangan Khadijah bersama budak tersebut hingga sampai di negeri Syam. Ketika beliau pulang ke Mekkah dan Khadijah melihat betapa amanahnya beliau terhadap harta yang diserahkan kepadanya, begitu juga dengan keberkahan dari hasil perdagangan yang belum pernah didapatinya sebelum itu, ditambah lagi informasi dari budaknya, Maisarah perhial budi pekerjti beliau nan demikian manisnya, sifat-sifatnya yang mulia, ketajaman berpikir, cara bicara yang jujur dan cara hidup yang penuh amanah, maka dia seakan menemukan apa yang didambakannya selama ini. Padahal, banyak sekali para pemuka dan kepada suku yang demikian antusias untuk menikahinya namun semuanya dia tolak. Akhirnya dia menyampaikan curahan hatinya kepada teman wanitanya, Nafisah binti Munayyah yang kemudian bergegas menemui beliau dan menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah SAW serta menganjurkan beliau untuk menikahi Khadijah….” (Ar-Rahiq Al-Makhtum, hal 79 – 80)

3. Afzalurrahman dalam Muhammad as a Trader menulis, kunci sukses berdagang Nabi Muhammad SAW terletak pada sikap jujur dan adil dalam mengadakan hubungan dagang dengan para pelanggan. Itulah yang selalu dia tunjukkan ketika menjadi agen saudagar kaya Siti Khadijah ra — yang kemudian menjadi isti tercinta — untuk melakukan perdagangan ke Syiria, Jerussalem, Yaman dan tempat-tempat lain. Dalam perjalanan perdagangan itu, Nabi mendapatkan perolehan keuntungan di luar dugaan. Nabi menandaskan kejujuran dan agar menjaga hubungan yang baik dan ramah kepada para pelanggan maupun mitra dagang. Prinsip Nabi, pedagang yang tak jujur, meskipun sesaat mendapatkan keuntungan banyak, tapi pelan tapi pasti akan gagal dalam menggeluti profesinya. Karena itu, dia selalu menasehati sahabat-sahabatnya untuk melakukan hal serupa. Apalagi saat Nabi memimpin ummat di Madinah. Praktek-praktek perdagangan yang mengandung unsur penipuan, riba, judi, ketidakpastian dan meragukan, eksploitasi, pengambilan untung yang berlebihan dan pasar gelap belia larang. Nabi juga memelopori standardisasi timbangan dan ukuran.Nabi sangat konsen dengan kejujuran. Sampai-sampai, orang yang jujur dalam berdagang, digaransinya masuk dalam golongan para nabi. Abu Sa’id meriwayatkan bahwa Rasulullah berkata, “Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan para nabi, orang-orang jujur dan para syuhada.”

4. Ada sebuah kisah motivasi yang dapat kita petik hikmahnya, walaupun kisah ini memang bukan hadits atau riwayat dari salafuna shaleh, namun sebagaimana disabdakan Rasulullah dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Kalimat hikmah adalah barang seorang mukmin yang hilang, maka dimana saja ia menemukannya ia lebih berhak untuk mengambilnya." (HR. Ibnu Majah) :
Alkisah, ada seorang raja yang sudah memasuki usia senja dan ingin segera mencari penggantinya. Berbeda dengan kebiasaan di masa itu, ia tak menunjuk anak-anak maupun pembantu terdekatnya untuk menggantikannya menjadi raja. Sang Raja memiliki cara yang berbeda, karena ia menginginkan penggantinya kelak merupakan orang yang benar-benar kompeten menjadi seorang raja.
Suatu ketika, Sang Raja memanggil seluruh pemuda yang berada di negeri itu, dan berpidato di haddapan mereka. "Aku akan mengadakan sayembara. Kalian semua akan mendapatkan sebuah biji. Tanamlah biji ini, rawatlah, dan kembalilah setahun lagi dengan tanaman kalian masing-masing. Bagi yang memiliki tanaman terbaik, akan langsung ku tunjuk menjadi raja menggantikanku", ujar Sang Raja. Mendengar pengumumnan Sang Raja, semua pemuda menjadi sangat antusias untuk merawat biji tersebut sebaik-baiknya.
Seorang pemuda bernama Shabri terlihat sangat antusias. Ia menanam biji itu, dan menyiramaninya setiap hari sepenuh hati. Hari demi hari ia jalanani, tapi sampai sebulan berlalu, dari biji yang ia tanam itu belum tumbuh apa-apa. Bahkan bulan pun berganti bulan, hingga setelah enam bulan ketika para pemuda lainnya mulai membicarakan tanaman mereka yang tumbuh dengan tinggi dan bagusnya, bahkan sebagian sudah ada yang mengeluarkan buah, namun yang terjadi pada Shabri adalah biji yang ditanamnya tak kunjung menampakkan tanda-tanda tumbuh megeluarkan batang dan cabang. Hatinya pun mulai gusar dan gelisah..
Tanpa terasa, setahun pun berlalu. Semua pemuda diminta untuk membawa tanamannya kepada Sang Raja, mereka pun sangat antusias datang ke Istana membawa hasil tanamannya yang diletakkan di pot-pot yang agak besar. Masing-masing mereka saling membanggakan hasil tanamannya. Hal ini tentunya berbeda dengan biji yang ditanam Shabri, yang tidak menghasilkan apapun dari biji yang ditanamnya tersebut. Oleh karenanya, ia pun enggan untuk datang menghadap Sang Raja. Namun ibunya mendorongnya untuk pergi dan berbicara apa adanya kepada Sang Raja. Karena apapun hasilnya, itu merupakan amanah dari Sang Raja, yang harus ia "tunaikan" dan ia pertanggung jawabkan kepada sang Raja.
Akhirnya setelah beristikharah cukup panjang, ia pun berangkat ke Istana dengan tujuan mempertanggung jawabkan hasil kerjanya kepada Sang Raja, dengan membawa pot yang masing kosong tanpa ada satu tangkai tanaman pun yang tumbuh di pot tersebut. Kedatangannya disambut dengan cemoohan, ejekan dan olokan para pemuda lainnya. Shabri hanya terdiam dan berusaha menenangkan diri, seraya memperbanyak istighfar kepada Allah SWT...
Tak lama kemudian, Raja muncul dan mulai memeriksa hasil tanaman seluruh pemuda. Beliau mengungkapkan, "Kerja kalian bagus, tanaman kalian bukan main indahnya. Dan tibalah saatnya bagiku sekarang untuk menunjuk seorang dari kalian untuk menjadi raja yang baru." Mendengar hal tersebut, semua pemuda berharap agar dirinya lah yang akan ditunjuk oleh Sang Raja, untuk menjadi Raja. Suasana menjadi sepi dan senyap. Semua terdiam, menantikan kata-kata yang akan keluar dari Sang Raja. Tiba-tiba Raja memanggil Shabri yang berada di barisan paling belakang. Mendengar namanya dipanggil, Shabri panik, "jangan-jangan aku akan dihukum karena tidak mampu merawat biji yang diamanahkan Raja kepadaku," gumamnya. Suasanapun tiba-tiba berubah menjadi riduh rendah penuh dengan ejekan dan cemoohan hadirin yang menyaksikan pot Shabri yang kosong melompong, tanpa sebatang tangkaipun yang tumbuh dari biji yang ditanamnya.
Raja tiba-tiba berteriak, "Diam semuanya!" Semua pemuda tertegun. Raja kemudian menoleh kepada Shabri, dan kemudian beliau mengumumkan, "Inilah Raja kalian yang baru!". Semua terkejut. Bagaimana mungkin orang yang gagal yang menjadi raja? Menyadari keheranan mereka, Raja kemudian melanjutkan, "Setahun yang lalu aku memberi kalian sebuah biji untuk dtanam. Tapi yang kuberikan kepada kalian adalah biji yang sudah direbus terlebih dahulu. Dan oleh karenanya pasti tidak akan pernah dapat tumbuh. Dan ternyata kalian semua telah menggantinya dengan biji yang lain. Hanya Shabrilah satu-satunya pemuda yang tidak mengganti dengan biji yang lain. Shabri telah bersikap jujur, terhadap amanah yang aku embankan kepadanya." Ujar Sang Raja. "Dan aku menginginkan penggantiku kelak adalah orang yang memiliki kejujuran dan keberanian. Jujur karena tidak mengganti biji dariku dengan biji lainnya. Berani, karena berani datang ke Istana untuk membawa pot dengan biji yang kuberikan, meskipun tidak tumbuh apapun daripadanya. Karena itulah, dia aku angkat menjadi Raja menggantikanku...."

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

The Power of Shiddiq (3) Bukan Sekedar Kejujuran

عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا - متفق عليه
Dari Hakim bin Hizam ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya shiddiq (jujur) dan menjelaskan dagangannya (transparan) maka keduanya akan diberkahi dalam jual belinya. Dan bila keduanya menyembunyikan dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual belinya". (Muttafaqun Alaih)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa dalam syariah, muamalah ternyata bernilai ibadah yang memiliki pahala dan bahkan mendatangkan keberkahan. Hadits di atas sangat jelas menegaskan hal tersebut, dimana ketika transaksi dilakukan antara penjual dan pembeli secara jujur dan transparan maka Allah SWT akan memberikan keberkahan pada transaksi mereka berdua. Namun hal ini tentunya tetap dengan memperhatikan rukun dan syarat jual beli sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh. Artinya, kendatipun jujur dan transparan namun jika mengabaikan rukun dan syarat jual beli, maka tetap saja jual belinya tidak sah, haram dan tidak mendatangkan keberkahan. Contohnya seperti dua orang yang mentransaksikan khamer, narkoba, minuman keras dsb. Maka jual belinya batal, karena objek akadnya adalah barang haram yang dilarang syariah, dan tentunya bukan mendapatkan keberkahan namun justru mendapatkan dosa, serta tidak sahnya keuntungan yang didapatkan.

2. Shiddiq dalam muamalah berwujud pada kejujuran sang penjual ketika menjual dan kejujuran sang pembeli ketika membeli. Karena baik penjual maupun pembeli masing-masing memiliki potensi untuk “tidak jujur” ketika menjual atau membeli. Sebagai contoh seorang penjual yang menawarkan satu objek tertentu kepada calon pembeli, ia berpotensi untuk melebih-lebihkan objek yang ditawarkankan melebihi spec yang sesungguhnya. Atau sebaliknya, seorang calon pembeli yang berpotensi untuk “mengelabui” penjual dengan mengatakan bahwa objek yang ditawarkannya juga ditawarkan penjual yang lain dengan harga yang jauh lebih rendah, supaya ia bisa membeli objek yang ditawarkan dengan harga murah. Ketidakjujuran seperti ini, bisa berdampak pada “dicabutnya” keberkahan transaksi antara keduanya. Imam Nawawi memberikan penjelasan mengenai shiddiq dan tranparan sebagaimana disebutkan dalam hadits diatas, dengan penjelasan sebagai berikut :
“Yaitu bahwa masing-masing penjual dan pembeli menjelaskan kepada yang lainnya berkenaan dengan hal yang perlu dijelaskan, seperti kekurangan/ cacat pada barang yang ditransaksikan dan juga berkenaan dengan harga, serta “jujur” dalam memberikan penjelasan. Juga ketika menginformasikan harga dan segala yang terkait dengan objek. Adapun makna “dimusnahkan keberkahan jual belinya”, yaitu hilangnya keberkahannya. (Keberkahan yaitu bertambah dan berkembangnya nilai barang yang ditransaksikan). (Al-Minhaj Fi Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj, Juz 5 hal 340)

3. Sejarah mencatat bahwa shiddiq merupakan sifat para nabi terdahulu disamping juga merupakan sifat utama Rasulullah SAW. Al-Qur’an menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim as, memiliki sifat shiddiq ini sebagaimana yang Allah firmankan, “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (shiddiq) lagi seorang Nabi.” Demikian juga dengan nabi Idris as, Allah sifati dengan shiddiq, “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (shiddiq) dan seorang nabi.” (QS. 19 : 56). Nabi Yusuf as pun juga disifati dengan sifat ini, karena kejujuran beliau dan karena beliau menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela dengan seorang wanita : “Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan daripadanya. Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar (shiddiq)." (QS. 12 : 51)

4. Dan oleh karena kebaikan sifat shiddiq dengan segala kemuliaannya, Allah SWT memerintahkan kita untuk senantiasa bersifat shiddiq dan bersama-sama dengan orang-orang yang shiddiq. Karena kebersamaan dengan orang-orang yang shiddiq, sedikit banyak akan memberikan pengaruh positif kepada diri kita. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ *
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (shiddiq). (QS. At-Taubah : 119)

5. Bahwa orang yang shiddiq selain mendapatkan keberkahan, berupa bertambahnya harta dan nama baik, orang yang shiddiq juga dijanjikan surga. Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa’ : 69) :
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا*
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

Menguatkan firman Allah SWT di atas, terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, berkenaan dengan para pelaku bisnis yang shiddiq, bahwa kelak mereka akan dikumpulkan bersama para Nabi dan Syuhada’. Dan para Nabi serta Syuhada’ tidak memiliki tempat di akhirat, kecuali di dalam surga :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الْأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ (رواه الترمذي)
Dari Abu Sa'id bahwa Rasulullah SAW beliau bersabda: "Seorang pedagang yang jujur (shiddiq) dan dipercaya (kelak) akan bersama dengan para Nabi, shiddiqun dan para syuhada`." (HR. Turmudzi)

6. Para ulama mengemukakan, bahwa shiddiqin memiliki ciri-ciri, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Teguh dan tegar terhadap apa yang dicita-citakan (diyakininya). Allah SWT mencontohkan dalam al-Qur’an, orang-orang yang shiddiq terhadap apa yang mereka janjikan (bai’atkan) kepada Allah: (QS. 33: 23) “Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati (membenarkan/shiddiq) terhadap apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya)”

b. Tidak ragu untuk berjuang dengan harta dan jiwanya. Allah berfirman dalam al-Qur’an (QS. 49: 15) “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar (shiddiq).”

c. Memiliki keimanan kepada Allah, Rasulullah SAW, berinfaq, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji dan sabar. Allah SWT berfirman, (QS. 2: 177) “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya)/ shiddiq; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

d. Memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam. Allah berfirman dalam al-Qur’an, (QS. 3: 101) “…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…” Jadi, akankah kita masih ragu untuk menjadi orang-orang yang shiddiq?

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

The Power of Shiddiq (2) Mengokohkan Keyakinan

عَنْ أَبِيْ مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ، وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ - رواه الترمذي وأحمد
Dari Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra, beliau berkata, aku hafal hadits dari Rasulullah SAW: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya shidiq itu membawa pada ketenangan dan dusta itu membawa pada keragu-raguan.” (HR. Tirmidzi & Ahmad)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Salah satu makna dari shidiq adalah keyakinan terhadap apa yang ditegaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah (baca ; wahyu). Hal ini sebagaimana diceritakan dalam sebuah riwayat, “Pada peristiwa isra’ dan mi’raj, ketika seluruh manusia mendustai Rasulullah SAW, namun Abu Bakar justru membenarkan kejadian tersebut. Al-Hakim meriwayatkan, “Pagi hari pada setelah peristiwa isra’ mi’raj kaum musyrikin mendatangi Abu Bakar seraya mengatakan, “Apakah kamu mempercayai sahabatmu (yaitu Rasulullah SAW) yang mengira bahwa ia telah melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis tadi malam?” (kaum musyrikin menganggap dengan kejadian tersebut, dapat menjadikan iman Abu Bakar pudar). Abu Bakar balik bertanya, “Apa benar Muhammad mengatakan hal tersebut?”. Mereka menjawab, “benar”. Lalu Abu Bakar mengatakan, “Sungguh apa yang diakatannya itu benar. Dan (bahkan) aku akan membenarkannya pula, jika ia mengatakan lebih dari itu…” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak). Oleh karena itulah Abu Bakar mendapatkan julukan Asshidiq. Gelar Asshidiq ini merupakan pemberian dari Allah melalui lisan Rasulullah SAW, sebagaimana yang diriwayaaatkan oleh Ali bin Abi Thalib. Dan jadilah sifat shidiq ini menjadi khas dimiliki oleh Abu Bakar sebelum dimiliki oleh sahabat-sahabat yang lainnya. Dan hal ini terjadi karena sikap Abu Bakar yang senantiasa “membenarkan” segala apapun yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya.

2. Bahwa salah satu dimensi shidiq adalah keyakinan terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya. Kisah Abu Bakar As-Shidiq di atas menggambarkan tentang hal tersebut, bahwa beliau senantiasa mengimani dan percaya terhadap wahyu, apapun bentuknya, meskipun seluruh manusia pada saat tersebut meragukannya. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dalam Syu’ab Iman dari Umar bin Khattab:
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَوْ وُزِنَ إِيْمَانُ أَبِيْ بَكْرٍ بِإِيْمَانِ أَهْلِ اْلأَرْضِ لَرَجَّحَ بِهِمْ
“Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat maka akan lebih berat keimanan Abu Bakar.” (Syu’abul Iman, bab al-Qaul fi ziyadatil Iman wa Naqshanih; I/69)

Bahkan Rasulullah SAW sendiri juga pernah memuji keislaman Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayahnya; “Tiada aku mengajak seorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, keraguan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan, hanya Abu Bakar lah. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikitpun.”

3. Sikap shidiq (iman & yakin) terhadap syariah seperti ini akan membawa pada ketentraman dan kedamaian. Demikianlah yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas, “Sesungguhnya shidiq itu membawa pada ketenangan dan dusta itu membawa pada keragu-raguan…” Karena syariah tidak akan pernah (selamanya) menyulitkan dan atau menyengsarakan. Syariah akan membahagiakan dan menentramkan serta menyelematkan. Sebaliknya, tidak meyakini wahyu atau dusta akan berdampak pada keragu-raguan dan kesulitan. Oleh karenanya hendaknya setiap kita senantiasa yakin dan komitmen terhadap wahyu, dimanapun dan dalam kondisi apapun. Karena dengan yakin dan membenarkan wahyu, akan menjadikan kita tentram. Allah SWT berfirman :
مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah : 6)

4. Dalam konteks “kekinian” shiddiq dapat diimplementasikan dalam bentuk “keyakinan” terhadap nilai-nilai syariah. Dalam muamalah umpamanya, shiddiq dapat diimplementasikan dalam bentuk “kejujuran” ketika bertransaksi; tidak mengurangi timbangan (baca ; spec) dan juga tidak menutupi kekurangan objek yang ditransaksikan. Atau pada skup yang lebih luas dalam muamalah kontemporer, shiddiq merupakan sebuah sikap dimana “komitmen” terhadap syariah menjadi acuan utama dalam bertransaksi, sehingga orientasinya tidak semata-mata materi namun maslahat untuk umat; ingin menyelematkan mereka dari muamalah ribawiyah yang sudah mendarah daging di kalangan umat. Sikap seperti ini, insya Allah akan mendatangkan kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat. Dalam sebuah riwayat dikisahkan ketika Rasulullah SAW bercerita tentang pintu-pintu surga, "Barangsiapa yang menginfaqkan dua jenis (berpasangan) dari hartanya di jalan Allah, maka dia akan dipanggil dari pintu-pintu surga; (lalu dikatakan kepadanya): "Wahai 'Abdullah, inilah kebaikan (dari apa yang kamu amalkan). Maka barangsiapa dari kalangan ahlu shalat dia akan dipanggil dari pintu shalat dan barangsiapa dari kalangan ahlu jihad dia akan dipanggil dari pintu jihad dan barangsiapa dari kalangan ahlu shiyam (puasa) dia akan dipanggil dari pintu ar-Rayyan dan barangsiapa dari kalangan ahlu shadaqah dia akan dipanggil dari pintu shadaqah". Lantas Abu Bakar Ash-Shidiq ra berkata, "Demi bapak dan ibuku (sebagai tebusan) untukmu wahai Rasulullah, jika seseorang dipanggil diantara pintu-pintu yang ada, itu sbeuah kepastian, namun apakah mungkin seseorang akan dipanggil dari semua pintu?". Rasulullah SAW menjawab: "Benar, dan aku berharap kamu termasuk diantara mereka". (HR. Bukhari Muslim)

5. Sebaliknya sikap kadzib (baca : mengabaikan syariah), akan membawa pada keragu-raguan. Kita dapat mengambil ibrah dan pelajaran yang sangat berharga dari peristiwa Perang Uhud, dimana para rumath (pasukan pemanah) yang diperintahkan untuk standby berdiri di atas bukit untuk menjadi garda terdepan untuk memanah kaum musyrikin. Namun ternyata mereka “mengabaikan” pesan Rasulullah SAW tersebut, hanya karena ingin menggapai materi yang ada di bawah bukit, yang sedang diperebutkan oleh kaum muslimin lainnya. Al-Hasil, pasukan kaum musyrikin yang kala itu masih dipimipin oleh Khalid bin Walid, mampu mengobrak-abrik hampir seluruh kekuatan kaum muslimin. Alih-alih mendapatkan harta yang sedang diperebutkan, kaum muslimin justru mengalami kekalahan. Inilah dampak dari mengabaikan “pesan” Rasulullah SAW.

6. Dalam konteks kekinian, hendaknya kita tidak mengabaikan nilai-nilai syariah dalam segala aktivitas, khususnya dalam bermuamalah. Terlebih-lebih apabila tujuan dari mengabaikan syariah tersebut, hanya sekedar untuk mendapatkan “ghanimah” yang masih belum jelas antara halal dan haramnya (baca ; syubhat). Karena bisa jadi, alih-alih mendapatkan ghanimah, justru kita akan terpuruk ke dalam kenistaan yang mendalam, dimana ghanimah tidak didapatkan sementara di sisi yang lain harus memikul dosa lantaran mengabaikan nilai-nilai syariah tersebut. Pesan-pesan Rasulullah SAW dalam muamalah demikian banyaknya, namun bukan bertujuan untuk menyulitkan kita semua. Pesan-pesan tersebut adalah supaya kita merasa tentram, nyaman dan bahagia.

7. Diantara benefit seseorang yang shidiq adalah bahwa ia akan mendapatkan apa yang “diyakininya” tersebut, meskipun (bisa jadi) apa yang diimpikannya tersebut tercapai. Misalnya seseorang atau satu organisasi atau satu lembaga tertentu yang menda’wahkan ekonomi syariah, dengan “mimpi” bahwa Indonesia akan menjadi Negeri Ekonomi Syariah terkemuka di dunia, kemudian ia berjuang dengan sepenuh jiwa dan raganya untuk mengaharpkan keridhaan Allah SWT. Namun belum lagi cita-citanya tercapai, ajal telah datang untuk menjemputnya, maka dalam kondisi tersebut ia akan mendapatkan “pahala” seperti apa yang telah dicitakannya. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ - رواه مسلم
Bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa mengharapkan mati syahid dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan mengangkatnya sampai ke derajat para syuhada' meski ia meninggal dunia di atas tempat tidurnya”. (HR. Muslim)


Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

The Power of Shiddiq (1) Membangun Integritas Diri

(عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا - متفق عليه
Dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu akan membimbing ke surga, sesungguhnya jika seseorang akan senantiasa berlaku jujur hingga ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Dan sesungguhnya seseorang akan selalu berdusta sehingga akan dicatat baginya sebagai seorang pendusta.” (Muttafaqun Alaih)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa “shiddiq” merupakan salah satu sifat Rasulullah SAW, yang sudah melekat pada diri beliau bahkan sejak jauh sebelum beliau diangkat menjadi seorang Rasul. Kaum Quraisy sudah mengenal beliau sebagai seorang yang jujur dan memiliki integritas yang tinggi, sehingga apapun yang beliau sampaikan akan mendapatkan kepercayaan di hati orang-orang yang mendengarnya. Dan dari sisi keutamaannya, shiddiq akan mengantarkan manusia pada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkannya menuju surga dan kebahagiaan. Atau dengan kata lain bahwa rahasia untuk menggapai surga dan kebahagiaan adalah dengan “shiddiq”.

2. Secara bahasa, shiddiq berasal dari kata shadaqa yang memiliki beberapa arti, yaitu benar, jujur, dapat dipercaya, sesuai apa yang dikatakan dengan apa yang diamalkan (baca ; integritas), ikhlas, tulus, keutamaan, kebaikan, dan kesungguhan :
الصدق: من صدق – يصدق - صدقا
Lawan kata shiddiq adalah kadzib (dusta). Adapun dari segi istilahnya, para ulama memberikan definisi yang beragam. Meskipun demikian, semuanya mengarah pada satu muara, yaitu sebagaimana yang terdapat pada definsi secara bahasanya (jujur, dapat dipercaya dan memiliki integritas). Diantara definisi shiddiq menurut para ulama adalah:
  • Menyempurnakan amal perbuatan dan ibadah hanya untuk Allah SWT.
  • Kesesuaian antara dzahir (sesuatu yang terlihat) dengan bathin (sesuatu yang tidak terlihat). Karena orang yang dusta (baca ; tidak memiliki integritas) adalah mereka yang dzahirnya lebih baik dari bathinnya, atau perbuatannya tidak sesuai dengan ucapannya.
  • Ungkapan dan sikap yang benar dalam posisi yang membahayakan bagi dirinya, atau dia merupakan perkataan dan sikap yang benar meskipun terhadap orang yang ditakuti kekuasaannya dan diharapkan kebaikannya.
3. Dasar pijakan dari shiddiq adalah keimanan yang kokoh kepada Allah SWT. Karena hanya iman yang kokohlah yang dapat menjadikan seseorang memiliki integritas yang tinggi, kejujuran dan amanah (baca ; shiddiq). Karena shiddiq merupakan gabungan antara mengharap keridhaan Allah, selalu merasa akan pengawasan Allah, dan istiqamah terhadap nilai kebenaran. Allah SWT berfirman :
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ*
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya (bersifat sidiq) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 177)

4. Sirah Nabawiyah menggambarkan kepada kita, mengenai the power of shiddiq, diantaranya adalah ketika terjadi peristiwa turunnya surat Al-Lahab, sebagaimana diriwayatkan oleh dari Ibnu 'Abbas ra “Tatkala turun firman Allah SWT: Dan peringatkanlah keluargamu yang terdekat, (As Syu'ara: 214). Rasulullah SAW naik ke atas bukit Shofa dan menyeru memanggil-manggil; 'Wahai bani Fihr, wahai Bani 'Adi dari keturunan Quraisy! Hingga orang-orang pun berkumpul ke bukit Shofa dan apabila ada di antara mereka yang tidak bisa hadir, mereka mengutus utusan untuk menghadirinya. Demikian juga Abu Jahal dan orang-orang Quraisy pun berdatangan. Setelah itu beliau bersabda: 'Apa pendapat kalian jika kuberitahukan kepada kalian bahwa pasukan berkuda dari musuh di balik lembah ini akan menyerang kalian apakah kalian akan membenarkanku (mempercayaiku)? Mereka menjawab: Tentu, karena kamu tidak pernah berdusta. Lalu beliau berkata: 'Sesungguhnya aku memperingatkan kalian akan adzab yang berat. Maka Abu Lahab berkata: 'Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?! Celakalah kamu! ia berkata: Maka Allah azza wa jalla menurunkan "Binasalah kedua tangan abu Lahab dan Sesungguhnya dia akan binasa." (QS. Al Lahab: 1).” (HR. Bukhari)

5. Peristiwa di bukit Shofa memberikan pelajaran penting bagi kita, berkenaan dengan “the power fo Shiddiq”, yaitu :
a. Ketika beliau memanggil-manggil hampir semua kabilah yang ada untuk meyampaikan sebuah “pesan” yang penting. Dan ternyata semua orang datang berbondong-bondong ke bukit Shofa untuk menyimak apa yang akan beliau sampaikan. Bahkan kalaupun ada orang yang tidak bisa datang, mereka mengutus utsan atau wakil untuk mendengarkan Rasulullah SAW kemudian menyampaikannya kembali kepada orang yang mengutusnya tersbut. Kalaulah sekiranya, Rasulullah SAW tidak memiliki integritas yang tinggi, pastilah seluruh kaum dan seluruh orang tidak akan ada yang mau datang, apalagi hanya sekedar untuk mendengarkan “perkataan” Rasulullah SAW saja.

b. Ketika mereka semua telah berkumpul, Rasulullah SAW pun bertanya terlebih dahulu kepada mereka, 'Apa pendapat kalian jika kuberitahukan kepada kalian bahwa pasukan berkuda dari musuh di balik lembah ini akan menyerang kalian apakah kalian akan membenarkanku (mempercayaiku)? Mereka menjawab: Tentu, karena kami tidak pernah mendapatkanmu berdusta….” Sungguh ini merupakan pengakuan orang banyak atas keintegritasan beliau, mereka semua percaya terhadap apa yang akan beliau sampaikan. Kalaulah sekiranya beliau bukan merupakan orang yang jujur dan orang yang dapat dipercaya, tentulah mereka semua tidak akan mau untuk datang, mendengarkan bahkan memberikan persaksian bahwa beliau SAW merupakan orang yang shiddiq. Dan kalaulah beliau bukan merupakan orang yang shiddiq, tentulah Islam tidak akan menyebar dan diikuti oleh banyak orang, sebagaimana di zaman sekarang. Maha Suci Allah yang telah menganugerahkan sifat ini kepada beliau SAW.

6. Shiddiq bukanlah sekedar sifat pribadi yang melekat hanya pada satu atau beberapa pribadi saja, namun shiddiq juga merupakan merupakan sifat jama’I yang bisa melekat pada satu komunitas masyarakat tertentu, satu organisasi tertentu dan juga satu perusahaan tertentu. Sebuah perusahaan yang shiddiq adalah perusahaan yang memiliki integritas yang tinggi, dipercaya banyak orang, sepak terjangnya untuk maslahat dan falah, serta berorientasi jangka panjang, bukan materi/profit semata. Sehingga ketika melahirkan produk, masyarkat akan berbondong-bondong menyimak, mendengarkan, bahkan mengikuti produk tesebut, karena mereka yakin banyak kebaikan yang terdapat di dalamnya, sebagaimana kebaikan perusahaannya yang memiliki integritas yang senantiasa mengedapankan nilai-nilai syariah yang luhur yang membawa manfaat bagi jangka panjang bagi mereka. Mari bangun integritas kita…

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

;;