Buah Ketakwaan (1) Dimensi Takwa

عَنْ أَبِى أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، يَقُولُ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقَالَ اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ - رواه الترمذي
Dari Abi Amamah ra, aku mendengar Rasulullah SAW berkhutbah para waktu haji wada’. Beliau bersabda, ‘Bertakwalah kalian pada Rab kalian, shalatlah kalian lima waktu, puasalah kalian pada bulan ramadhan, tunaikanlah zakat mal kalian dan taatilah pemimipin kalian, niscaya kalian akan masuk ke dalam surga Rab kalian. (HR. Tirmidzi)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Takwa merupakan tujuan tertinggi yang akan dicapai seorang insan dalam menjalankan ibadahnya kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 21)

Oleh karena itulah, Allah senantiasa menggandeng kata taqwa dengan kewajiban-kewajiban tertentu dalam ibadah, diantaranya adalah dengan kewajiban melaksanakan ibadah puasa, dimana output dari ibadah puasa adalah takwa, sebagaimana yang Allah firmankan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” QS. Al-Baqarah : 183

2. Taqwa tidak dapat dipisahkan dengan keimanan. Karena ketakwaan merupakan buah dari adanya keimanan yang mendalam kepada Allah SWT. Dr. Abdullah Nasih Ulwan (1996:6-7) mengemukakan bahwa “Takwa lahir sebagai konsekwensi logis dari keimanan yang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dengan muraqabatullah; merasa takut terhadap murka dan adzab-Nya dan selalu berharap atas limpahan karunia dan maghfirah-Nya.”

3. Dari segi bahasa, taqwa berasala dari kata “waqo”, yang berarti ‘penjagaan/ perlindungan, kewaspadaan dan penjauhan diri insan dari hal-hal yang dapat mencederainya, sebagaimana dikatakan oleh para ulama:
التَّقْوَى مِنْ وَقَي، بِمَعْنَى الصِّيَانَةِ وَالْحَذَرِ وَتَجَنُّبِ اْلإِنْسَانِ لِمَا يُؤْذِيْهِ
Pernah suatu ketika Umar bin Khattab ra bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang takwa. Ubai menjawab, ‘Bukankah anda pernah melewati jalan yang penuh duri?’ Umar menjawab, ‘ya!’. Ubai bertanya lagi, ‘Apa yang anda lakukan saat itu?’ Umar menjawab, ‘Saya bersiap-siap dan berjalan dengan hati-hati.’ Ubai berkata lagi, ‘Itulah taqwa.”
Dan berpijak dari jawaban Ubai di atas, Utz Sayid Qutub mengemukakan, ‘Itulah taqwa, kepekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus menerus, selalu waspada dan hati-hati jangan sampai kena duri jalanan… Jalan kehidupan yang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan dan angan-angan, kekhawatiran dan keraguan, haparan semu atas segala sesuatu yang tidak bisa diharapkan. Ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak pantas untuk ditakuti… dan masih banyak duri-duri yang lainnya….”

4. Takwa memiliki beberapa tingkatan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut:
#1. ( تقوى الكفر والشرك ) Takwa dari kekufuran dan kemusyrikan
Yaitu sebuah sikap untuk menjauhkan diri dari segala hal yang berbau kekufuran dan kemusyrikan, baik yang besar maupun pada hal-hal kecil. Karena dampak dari kekufuran dan kemusyrikan adalah sangat fatal, yaitu tidak akan pernah diampuni oleh Allah SWT :
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa’/ 4 : 116)

Diantara bentuknya adalah, meyakini adanya kekuatan-kekuatan lain pada benda-benda tertentu (seperti susuk, jimat, dsb), kepercayaan tidak boleh foto bertiga karena salah satunya akan meninggal dunia, menanam kepala kerbau untuk membangun gedung & jembatan, SMS ketik reg XXXX, “anda tidak cocok bekerja di air”, dsb.

#2. ( تقوى المحرمات ) Takwa dari hal-hal yang diharamkan Allah SWT.
Yaitu takwa dengan menjauhkan diri dari segala hal yang diharamkan Allah, maupun dari segala perbuatan-perbuatan maksiat yang dilarang Allah SWT. Dalam sebuah riwayat, dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda; ‘Bertakwalah kalian dari hal-hal yang diharamkan Allah, niscaya engkau akan menjadi hamba yang paling baik. Dan ridhalah terhadap apa yang Allah berikan pada kalian, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling kaya. Dan berbuat baiklah kalian terhadap tetangga kalian, niscaya engkan akan menjadi orang mukmin. Cintailah manusia sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, niscaya engkau akan menjadi muslim. Dan janganlah kalian memperbanyak tertawa, karena banyak tertawa itu akan mematikan hati'. (HR. Tirmidzi)

#3. ( تقوى الشبهات ) Taqwa dari hal-hal syubhat
Yaitu menjauhkan diri dari hal-hal yang ‘samar’ atau tidak jelas antara halal dan haramnya, yang sebagian besar manusia tidak mengetahuinya. Oleh karena itulah, seorang yang bertakwa hendaknya menghindarkan diri dari hal-hal seperti ini. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, “Yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar (syubhat) yang tidak diketehui oleh kebanyakan manusia. Barang siapa yang bertakwa menjauhkan diri dari hal-hal syubhat tersebut maka ia berarti telah menjaga agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus dalam kesyubhatan, maka ia terjerumus ke dalam sesuatu yang haram... “ (HR. Muslim) Diantaranya adalah makanan-makanan tertentu yang yang tidak mencantumkan lebel halal, dan ada indikasi menggunakan bahan-bahan yang tidak halal, seperti rum dsb.

#4. ( تقوى المباحات ) Takwa dari hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan)
Yaitu berusaha untuk tidak berlebihan mengkonsumsi sesuatu yang mubah. Karena yang mubah apabila terlalu berlebihan, maka juga akan menimbulkan dosa. Atau dengan bahasa lain, meninggalkan sesuatu yang tidak ada apa-apanya, karena khawatir ada apa-apanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan:
لاَ يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنْ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ - رواه الترمذي
Rasulullah SAW bersabda, ‘seorang hamba tidak akan mencapai derajat taqwa, hingga ia meninggalkan sesuatu yang tidak apa-apanya, karena khawatir ada apa-apanya. (HR. Tirmidzi)

Diantara bentuknya adalah seperti telalu banyak ngobrol, terlalu sering jajan makanan, banyak tertawa, memakai pakaian yang terlalu bagus-bagus, terlalu banyak mendengarkan lagu atau nasyid, terlalu banyak menonton TV, dsb.
#5. ( تقوى الله حق تقاته ) Takwa yang sebenar-benarnya
Dalam hal ini, Ibnu Abbas mengatakan, “Takwa yang sebenar-benarnya adalah bahwa seseorang itu berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya, dan tidak (mengambil peduli) terhadap orang-orang yang mencela mereka di jalan Allah, dan menegakkan keadilan meskipun terhadap diri mereka sendiri, orang tua mereka atau anak-anak mereka.
Taqwa dengan yang sebenar-benarnya ini, adalah gabungan dari seluruh ketaqwaan yang ada di atas. Dia juga termasuk takwa teradap kekufuran dan kesyirikan, takwa terhadap hal-hal yang diharamkan Allah SWT, takwa terhadap syubhat dan takwa terhadap hal-hal yang tidak ada apa-apanya karena khawatir terjerumus pada hal-hal kemakruhan dan syubhat. Dan hal ini sebenarnya merupakan perintah Allah SWT terhadap seluruh hamba-hamba-Nya.

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

Memaknai Idul Fitri Sesuai Al-Qur'an & Sunnah

Seiring dengan cepatnya waktu berlalu, ternyata tanpa terasa ramadhan begitu cepatnya berjalan meninggalkan kita. Padahal kita belum maksimal membaca Al-Qur’an, belum maksimal shalat malam, belum maksimal melaksanakan shiyam dan juga belum optimal untuk melaksanakan ibadah-ibadah lainnya. Setetes air mata mengalir dari ujung mata, perasaan sedih bergemuruh dalam kalbu, Ya Allah, akankah ramadhan tahun depan, kami masih dapat bertemu lagi dengan bulan ramadhan?

Dahulu para salafuna shaleh, air mata mereka meleleh membasahi pipi dan lihyah lantaran Ramadhan pergi meninggalkan mereka. Terkadang dari lisan mereka terucap sebuah doa, sebagai ungkapan kerinduan akan datangnya ramadhan dan ramadhan :
اللَّهُمَّ بَلِّغْنَا رَمَضَانَ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ وَرَمَضَانَ وَرَمَضَانَ...
Ya Allah SWT, anugerahkanlah lagi kepada kami bulan Ramadhan, anugerahkanlah lagi kepada kami bulan Ramadhan, dan bulan Ramadhan, dan bulan Ramadhan…

Suasana seperti ini bahkan berlarut hingga muncul ‘keheningan’ yang demikian heningnya pada malam hari raya Iedul Fitri. Bahkan suasana seperti ini masih begitu terasa, minimal ketika penulis mengalaminya di Mesir, selama studi di sana. Betapa malam Iedul Fitri sangat sepi dan hening, seolah mereka meratapi kepergian ‘tamu istimewa’ mereka, yaitu bulan Ramadhan. Tidak heran jika beberapa mahasiswa Indonesia yang pada malam tersebut sembab matanya, lantaran rindu dan teringat dengan suasana malam Iedul Fitri di tanah air, yang suasananya 180 derajat berbeda dengan suasana di Mesir.

Namun akankah kesedihan itu terus berlarut-larut, sementara ajal kita ditentukan oleh Allah SWT. Dan haruskan kita bersedih, sedangkan Iedul Fitri merupakan hari raya seluruh kaum muslimin, yang kita dianjurkan untuk bergembira pada hari tersebut? Lantas, amalan apakah yang seharusnya kita laksanakan menjelang maupun pada saat Iedul Fitri. Berikut penulis kutipkan beberapa hadits mengenai Iedul Fitri, semoga ada manfaatnya bagi kita semua.

Makna Iedul Fitri
Terdapat beberapa pendapat dalam memaknai Iedul Fitri, yang merupakan hari raya umat Islam di seluruh alam. Jika dilihat dari segi bahasanya, Iedul Fitri terdiri dari dua kata yaitu ( عيد ) dan ( فطر ). Dan masing-masing dari kata ini memiliki maknanya tersendiri :

#1. ( عيد ) Ada yang mengatakan bahwa Ied berasal dari kata ( عاد - يعود ) yang berarti kembali. Namun ada juga yang menterjemahkan Ied ini sebagai hari raya, atau hari berbuka. Pendapat yang kedua ini menyandarkan pada hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ - رواه ابن ماجه
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Idul Fitri adalah hari dimana kalian berbuka, dan Idul Adha adalah hari dimana kalian berkurban.” (HR. Ibnu Majah)

#2. ( الفطر ) Ada yang menerjemahkan fitri dengan “berbuka” karena ia berasal dari kata ( أفطر ) yang memang secara bahasa artinya berbuka setelah berpuasa. Namun disamping itu, ada juga yang menerjemahkan fitri dengan “fitrah”, yang berarti suci dan bersih. Pendapat kedua ini menyandarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah SAW :
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ - رواه البخاري
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidaklah seorang anak dilahirkan, melainkan ia dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih/ suci). Orangtuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. Bukhari)

Dari maknanya secara harfiah ini, dapat disimpulkan adanya dua makna dalam menerjemahkan Iedul Fitri, yaitu :
#1. Iedul Fitri diterjemahkan dengan kembali kepada fitrah atau kesucian, karena telah ditempa dengan ibadah sebulan penuh di bulan ramadhan. Dan karenanya ia mendapatkan ampunan dan maghfirah dari Allah SWT.
#2. Iedul Fitri diterjemahkan dengan hari raya berbuka, dimana setelah sebulan penuh ia berpuasa, menjalan ibadah puasa karena Allah SWT, pada hari Idul Fitri ia berbuka dan tidak berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT.

Penulis melihat bahwa kedua makna Iedul Fitri di atas adalah benar dan tepat. Dan kedua makna tersebut saling melengkapi dan tidak bertentangan sama sekali. Sehingga Iedul Fitri adalah hari raya umat Islam yang dianugerahkan oleh Allah SWT di mana insan dikembalikan pada fitrahnya dengan mendapatkan ampunan dari Allah SWT, sekaligus sebagai hari bergembiranya kaum muslimin dimana diperintahkan untuk makan dan minum (baca; berbuka) sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT. Oleh karena itulah, terdapat doa yang sering dibacakan sesama kaum muslimin ketika berjabat tangan dan saling memaafkan, yaitu :
جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْعَائِدِيْنَ الْفَائِزِيْنَ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang kembali (kepada fitrah) dan sebagai hamba-hamba-Nya yang menang (melawan hawa nafsu). Dan semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadah kita semua.1

Hanya terkadang, masyarakat kita lebih suka “menyunat” doa di atas, sehingga yang diucapkan hanya kalimat, ‘Minal Aidin Wal Fa’izin” saja. Bahkan lebih parah lagi ketika Minal Aidin Wal Faidzin ini diterjemahkan dengan mohon maaf lahir dan batin. Tetapi bisa kita maklumi karena keterbatasan masyarakat kita pada umumnya, asalkan masih dilandasi dengan niatan yang ikhlas hanya mengharap ridha Allah SWT, semoga tetap Allah catat sebagai amal ibadah di sisi-Nya.

Menghidupkan Iedul Fitri
Bagi kita semua saat ini, bagaimana kita dapat menghidupkan Iedul Fitri, atau dengan kata lain memaknai Iedul Fitri sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dari beberapa riwayat, terdapat beberapa hal yang disunnahkan untuk dilakukan pada malam Ied atau pada hari raya Iedul Fitri. Diantaranya adalah :
#1. Disunnahkan untuk Qiyamul Lail, pada malam hari raya Idul Fitri. Dalam sebuah riwayat digambarkan :
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ لَيْلَتَيْ الْعِيدَيْنِ مُحْتَسِبًا لِلَّهِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ - رواه ابن ماجه
Dari Abu Umamah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang melaksanakan qiyamullail pada dua malam Ied (Idul Fitri dan Adha), dengan ikhlas karena Allah SWT, maka hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati manusia. (HR. Ibnu Majah).

#2. Disunnahkan pada pagi hari raya Idul Fitri, untuk mandi, menggunakan minyak wangi dan berpakaian yang rapi. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
عَنِ الْفَاكِهِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَ عَرَفَةَ وَيَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ قَالَ وَكَانَ الْفَاكِهُ بْنُ سَعْدٍ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالْغُسْلِ فِي هَذِهِ اْلأَيَّامِ
Dari Fakih bin Sa’d bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa mandi pada hari jum’at, hari Arafah, hari Idul Fitri dan hari Idul Adha. Dan Fakih (Perawi hadits ini) senantiasa memerintahkan keluarganya untuk mandi pada hari-hari tersebut. (HR. Ahmad)

Dalam riwayat lain juga digambarkan :
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى - رواه مالك
Dari Nafi’, bahwasanya Abdullah bin Umar senantiasa mandi pada hari raya Idul Fitri, sebelum berangkat ke tempat shalat. (HR. Malik)

#3. Mendatangi tempat-tempat dilaksanakannya shalat Ied. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بَنَاتَهُ وَنِسَاءَهُ أَنْ يَخْرُجْنَ فِي الْعِيدَيْنِ - رواه أحمد
Dari Ibnu Abbas ra, bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan anak-anak wanitanya dan istri-istrinya untuk kelur (mendatangi tempat shalat Ied) pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. (HR. Ahmad)

Dalam riwayat lain dijelaskan :
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ - رواه البخاري
Dari Ummu Athiyah ra berkata, kami diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat, bahkan perawan di pingitannya dan wanita yang haid diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat Ied. Hanya mereka berposisi di belakang shaf kaum muslimin. Mereka bertakbir dengan takbir kaum muslimin, dan berdoa dengan doa kaum muslimin, dengan berharap keberkahan dan kesucian hari tersebut. (HR. Bukhari)

#4. Mendatangi tempat dilaksanakannya shalat Ied dengan berjalan kaki2 dan memakan sesuatu sebelum berangkat melaksanakan shalat Ied. Dalam sebuah riwayat dijelaskan :
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ مِنْ السُّنَّةِ أَنْ تَخْرُجَ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَأَنْ تَأْكُلَ شَيْئًا قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ - رواه الترمذي
Dari Ali bin Abi Thalib ra berkata, termasuk sunnah jika kamu keluar mendatangi tempat shalat Ied dengan berjalan kaki dan memakan sesuatu sebelum pergi ke tempat shalat Ied.” (HR. Turmudzi)

#5. Bertakbir mengagungkan Asma Allah SWT, dalam sebuah riwayat digambarkan :
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ - رواه البخاري
Dari Ummu Athiyah ra berkata, kami diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat, bahkan perawan di pingitannya dan wanita yang haid diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat Ied. Hanya mereka berposisi di belakang shaf kaum muslimin. Mereka bertakbir dengan takbir kaum muslimin, dan berdoa dengan doa kaum muslimin, dengan berharap keberkahan dan kesucian hari tersebut. (HR. Bukhari)

#6. Melalui jalan yang berbeda ketika berangkan dan pulang dari tempat dilaksanakannya shalat Ied. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيدِ فِي طَرِيقٍ رَجَعَ فِي - رواه الترمذي
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW apabila pergi (ke tempat shalat Ied) pada hari Ied melalui satu jalan, maka beliau kembali dari tempat tersebut melalui jalan yang berbeda.”

#7. Saling bermaaf-maafan seraya mendoakan semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadah kita. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
عَنْ خَالِدٍ بْنِ مَعْدَانٍ قَالَ لَقَيْتُ وَاثِلَةَ بْنَ اْلأَسْقَعِ فِيْ يَوْمِ عِيْدٍ فَقُلْتُ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ فَقَالَ نَعَمْ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ قَالَ وَاثِلَةٌ لَقَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَيْدٍ فَقُلْتُ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ قَالَ نَعَمْ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ - رواه البيهقي في الكبري
Dari Khalid bin Ma’dan ra, berkata, Aku menemui Watsilah bin Al-Asqo’ pada hari Ied, lalu aku mengatakan, ‘Taqabbalallah Minna Wa Minka”. Lalu ia menjawab, ‘Iya, Taqabbalallah Minna Wa Minka,’. Kemudian Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari Ied lalu aku mengucapkan ‘Taqabbalallah Minna Wa Minka’, kemudian Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya, Taqabbalallah Minna Wa Minka’ (HR. Baihaqi Dalam Sunan Kubra).

#8. Boleh mengadakan hiburan pada hari raya Ied, dalam sebuah riwayat digambarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Bakar yang pada waktu itu (Hari Ied) menghardik dua hamba sahaya perempuan yang mendendangkan syair di ruma Aisyah :
يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَإِنَّ الْيَوْمَ عِيْدُنَا
Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR. Nasa’I)


Shalat Iedul Fitri
Shalat Ied (Iedul Fitri dan Adha) hukumnya sunnah mu’akkadah, kecuali madzhab Abu Hanifah yang mengatakannya fardhu kifayah. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ* فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ*
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni`mat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (Al-Kautsar 1 – 2)

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى* وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى*
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (Al-A’la 14 – 15)

Selain itu, Rasulullah SAW juga senantiasa melaksanakannya dan memerintahkannya termasuk kaum wanita dan anak-anak. Sebab kedua shalat ini merupakan bagian dari sejumlah syiar Islam, juga sebagai wujud dan iman dan takwa.

Berbeda dengan shalat biasa, shalat Ied ini dianjurkan untuk dilaksanakan di mushalla. Namun pengertian mushalla di sini berbeda dengan pengertian mushalla yang menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Mushalla adalah sebuah tempat (lapangan) yang besar yang dapat menampung lebih banyak kaum muslimin. Dalam riwayat Rasulullah SAW melaksanakan shalat Ied selalu di mushalla, kecuali pada suatu ketika saat turun hujan, maka beliau dan sahabatnya melaksanakannya di dalam masjid. Oleh karenanya jumhur ulama mengatakan lebih afdhal pelaksanaan shalat Ied di mushalla (lapangan), kecuali di Masjidil Haram. Sedangkan Imam Syafi’I mengatakan lebih afdhal di masjid, karena masjid merupakan tempat yang paling mulia di muka bumi. Kesimpulannya shalat Ied boleh dilaksanakan di mushalla ataupun di masjid yang besar yang dapat menampung banyak jamaah.

Adapun waktu pelasanaannya adalah pada saat matahari setinggi dua panah (menurut riwayat hadits). Di sunnahkan pada shalat Iedul Fitri dilaksanakan diakhirkan waktunya, sedangkan untuk Iedul Adha di awalkan. Hal ini agar kaum muslimin yang belum menunaikan zakat fitrahnya pada hari raya Idul Fitri memiliki kesempatan untuk menunaikannya. Sedangkan pada Idul Adha di awalkan, agar lebih cepat memotong hewan qurban agar dibagikan kepada kaum muslimin.

Sedangkan tatacara pelaksanaan shalatnya, dijelaskan oleh Al-Jaza’iri dalam Minhajul Muslim sebagai berikut :
“Hendaknya kaum muslimin keluar menuju tempat khusus untuk shalat Ied sambil takbir, sampai matahari meninggi kira-kira beberapa meter. Ketika itu, hendaklah imam berdiri untuk mengimami shalat Ied (tidak diawali azan maupun iqamat) sebanyak dua rakaat. Pada rakaat pertama ia takbir tujuh kali, di luar takbiratul ihram dan makmum mengikutinya. Kemudian ia membaca surat Al-Fatihah dan surat Al’A’la dengan suara keras. Pada rakaat kedua, hendaklah ia takbir lima kali diluar takbir saat berdiri dari rakaat pertama. Kemudian membaca Al-Fatihah dan surat Al-Ghasyiyah atau Adhuha. Setelah ia salam, hendaknya ia bangkit berdiri untuk menyampaikan khutbah kepada jamaah…”

Bagaimana hukumnya dengan orang yang masbuq (terlambat) dalam melaksanakan shalat Ied? Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa ‘Siapa yang tidak mengikuti shalat Ied berjamaah, hendaklah ia shalat empat rakaat. Adapun bagi orang yang masih dapat mengikuti sebagian daripadanya bersama imam, sekalipun hanya tasyahud, hendaknya sesudah ia salah ia berdiri dan shalat dua rakaat sebagaimana lazimnya shalatnya orang yang masbuq dalam shalat-shalat lain.

Setelah selesai pelasanaan shalat, imam bangkit berdiri dan menyampaikan khutbahnya. Hukum mendengarkan khutbah pada shalat Ied adalah sunnah dan tidak wajib. Namun alangkah meruginya bagi yang enggan untuk mendengarkan khutbah pada hari raya kaum muslimin ini. Setelah selesai melaksanakan khutbah, dianjurkan untuk meninggalkan tempat, tanpa shalat sunnah lagi. Karena tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalat sunnah baik sebelum maupun sesudah shalat Ied. Dan setelah itu dianjurkan bagi kaum muslimin untuk bersitaturahim dan bermaaf-maafan.

Hal-Hal Yang Dilarang Dan Dimakruhkan Dalam Idul Fitri
Seringkali manusia ‘terlena’ ketika telah mendapatkan suatu kenikmatan atau kesenangan tertentu. Tak terkecuali pada hari raya Idul Fitri, hari yang seharusnya menjadi ‘bukti’ kefitrahan jiwa dan hati kita dari perbuatan dosa. Namun terkadang tanpa kita sadari, beberapa hal yang dilarang atau dimakruhkan justru begitu marak di hari yang fitri ini. Berikut adalah hal-hal yang seyogianya kita hindarkan :

#1. Berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan (tabdzir)
Seringkali pada saat hari raya Iedul Fitri, karena begitu banyaknya makanan yang relatif istimewa, kita lupa dengan ‘kapasitas’ perut kita, sehingga terlalu banyak mengkonsumsi makanan. Baik makan besar maupun makan kecil. Sementara Allah SWT telah mengingatkan kita :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Dan makan dan minumlah kalian, tapi janganlah kalian berlebih-lebihan. Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf 31)

#2. Berlebih-lebihan dalam berpakaian dan berdandan.
Seringkali pakaian yang bagus dan indah yang memang disunnahkan untuk dikenakan pada hari raya Iedul Fitri, menjadikan kita terjebak pada sifat berlebihan dalam berpakaian ataupun berdandan, sehingga terkadang ‘aurat’ tidak terjaga, atau berpakaian terlalu ketat, atau juga terlalu menyolok (baca; tabarruj). Sehingga dosa-dosa yang telah terampuni kembali masuk dalam diri kita. Oleh karenanya, sebaiknya dalam berpakaian tidak melanggar batasan-batasan syar’I, baik bagi pria maupun wanita. Allah SWT berfirman :
وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى
“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (Al-Ahzab 33)

#3. Berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan mahromnya.
Hal ini juga terkadang sering terlalaikan dalam merayakan Iedul Fitri terhadap sanak saudara, tetangga atau teman dan kerabat. Padahal berjabat tangan bagi yang bukan mahromnya adalah termasuk perbuatan yang dilarang. Dalam sebuah hadits digambarkan :
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ عَنْ بَيْعَةِ النِّسَاءِ قَالَتْ مَا مَسَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ امْرَأَةً قَطُّ (رواه مسلم
“Dari Urwah ra, bahwasanya Aisyah memberitahukannya tentang bai’at wanita. Aisyah berkata, Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh dengan tangannya seorang wanita sama sekali.” (HR. Muslim)

#4. Berlebih-lebihan dalam tertawa dan bercanda.
Tertawa, bercanda, mendengarkan hiburan termasuk perkara yang dimubahkan terutama pada Iedul Fitri. Namun yang tidak diperbolehkan adalah ketika perbuatan tersebut berlebihan, sehingga melupakan kewajiban atau menjerumuskan pada sesuatu yang dilarang. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلاً وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (Attaubah 82)

#5.Mengulur-ulur waktu shalat.
Dengan alasan silaturahmi atau halal bi halal keluarga besar atau kerabat maupun teman sejawat, seringkali ‘mengulur-ulur’ waktu pelaksanaan shalat. Hal ini juga bukan merupakan perbuatan yang baik. Karena seharusnya kita malaksanakan shalat pada waktunya, tanpa mengulur-ulurnya.

#6. Boros dalam pengeluaran uang.
Iedul Fitri juga sering menjadi ajang untuk menghambur-hamburkan uang pada sesuatu yang ‘manfaatnya’ kurang. Kecuali jika dalam rangka untuk memberikan santunan kepada kerabat keluarga yang membutuhkan, namun itupun juga tidak boleh berlebih-lebihan. Dalam Al-Qur’an Allah mengatakan :
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Al-Furqan 67)

Inilah diantara hal-hal yang perlu kita hindarkan bersama, agar kita tidak kembali terjerumus dalam perbuatan maksiat dan dosa. Dan alangkah baiknya jika sesama muslim kita saling ingat mengingatkan, agar tercipta kehidupan yang diridhai oleh Allah SWT.

Penutup
Inilah sekelumit hal yang berkaitan dengan Iedul Fitri. Marilah kita mencoba mengamalkannya sesuai dengan tuntunan sunnah, dan menjauhi dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Agar makna fitri tersebut benar-benar lekat dengan diri kita. Dan jangan sampai justru ketika Iedul Fitri, menjadi “ajang” kemaksiatan bagi kita, setelah sekian lama dibersihkan dengan amal ibadah di bulan Ramadhan. Sehingga peningkatan demi peningkatan akan terealisasikan dalam diri kita, dan kita benar-benar menjadi insan yang bertakwa. Semoga Allah SWT menerima seluruh amalan kita, dan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H :
جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْعَائِدِيْنَ الْفَائِزِيْنَ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang kembali (kepada fitrah) dan sebagai hamba-hamba-Nya yang menang (melawan hawa nafsu). Dan semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadah kita semua.

Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

Para Pembaca Al-Qur'an (3)

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لاَ يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A'raf/ 7 : 179)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa selain dianjurkan untuk membaca dan mengkhatamkan (bacaan) Al-Qur'an, kita juga sangat dianjurkan untuk mentadaburi makna dan isi kandungan Al-Qur'an. Bahkan dalam salah satu firman-Nya, Allah SWT menggambarkan orang yang tidak metadaburi makna dan isi kandungan Al-Qur'an, seolah pada hatinya ada kunci yang menutupnya, sebagaimana yang Allah SWT firmankan (QS. Muhammad/ 47 : 24) "Maka apakah mereka tidak memtadaburi al-Qur'an, ataukan hati mereka terkunci?". Oleh karenanya, hendaknya setiap kita berusaha sebisa mungkin untuk memahami isi dan kandungan Al-Qur'an.

2. Bahkan pada ayat di atas (Al-A'raf/ 7 : 179), digambarkan tentang celaan Allah SWT terhadap orang-orang yang memiliki hati, mata dan telinga, namun tidak mereka pergunakan untuk memahami, melihat dan mendengar untuk memahami ayat-ayat Allah SWT. Orang-orang seperti itu, kelak akan Allah tempatkan di neraka jahanam. Karena pada hekaketnya mereka adalah sama seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.

3. Metadaburi Al-Qur'an adalah memahami dan merenungkan isi, makna dan kandungan Al-Qur'an. Ditinjau dari segi bahasanya, tadabur berasal dari kata "tadabbaro" yang memilki arti “memikirkan atau merenungkan”:
تَدَبَّرَ يَتَدَبَّرُ تَدَبُّرًا
Imam al-Baidhawi dalam tafsirnya (II/225) menggemukakan bahwa tadabur adalah memperhatikan/ merenungkan dibelakang sesuatu (setelah sesuatu selesai dilakukan);
وَأَصْلُ التَّدَبُّرِ: النَّظَرُ فِي أّدْبَارِ الشَّيْءِ
Sedangkan Imam al-Alusi, mengemukakan juga dalam tafsirnya, bahwa pengertian tadabur adalah; merenungkan sesuatu, setelah selasai dilaksanakan. Kemudian istilah ini digunakan untuk segala bentuk perenungan, baik berkenaan dengan hakekat suatu hal, bagian-bagiannya, sesuatu yang telah lalu, sebab-sebabnya, atau yang akan datang berikutnya, dan juga setelah selesai dilaksanakannya:
وَأَصْلُ التَّدَبُّرِ: التَّأَمُّلُ فِيْ أَدْبَارِ اْلأُمُوْرِ وَعَوَاقِبِهَا، ثُمَّ اسْتُعْمِلَ فِيْ كُلِّ تَأَمَّلٍ سَوَاءٌ كَانَ نَظَرًا فِيْ حَقِيْقَةِ الشَّيْءِ وَأَجْزَاءِهِ أَوْ سَابِقِهِ وَأَسْبَابِهِ أَوْ لَوَاحِقِهِ وِأَعْقَابِهِ

Sedangkan definisi tadabur dari sisi istilahnya, adalah sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Suyuthi berarti:
تَأَمُّلُ مَعَانِيْهِ وَتَبَصُّرُ مَا فِيْهِ
"Merenungkan semua makna yang dikandungnya, serta memikirkan segala hal yang terdapat di dalamnya.."

Pada intinya, bahwa tadabur adalah sebuah cara untuk memahami ayat secara lebih mendalam, dengan meunggunakan metode tertentu dan cara tertentu yang sesuai dengan kemampuan kita, guna memperdalam ma'ani imaniyah (hakekat-hakekat keimanan) dan kualitas ruhiyah sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

4. Mentadaburi makna dan isi kandungan Al-Qur'an memiliki urgensitas yang sangat penting dalam kehidupan setiap muslim. Dan diantara ugrensi mentadaburi Al-Qur'an adalah sebagai berikut :
#1. Bahwa mentadaburi merupakan perintah Allah SWT, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al-Qur'an (47:24):
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوْبٍ أَقْفَالُهَا
"Maka apakah mereka tidak memtadaburi al-Qur'an, ataukan hati mereka terkunci?"

#2. Tadabur sangat penting dilaksanakan, dengan tujuan untuk memahami isi kandungan / ma'ani al-Qur'an. Karena tadabur pada hakekatnya merupakan miniatur penafsiran al-Qur'an, atau dengan bahasa lain bentuk sederhana dari penafsiran al-Qur'an, yang tujuan utamanya adalah untuk memperkaya ruhiyah dan memperkokoh imaniyah (keimanan kepada Allah SWT).

#3. Tadabur merupakan sarana untuk menambah keimanan kepada Alllah SWT. Dalam al-Qur'an Allah berfirman (8 : 2):
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan kepada Rabnyalah mereka bertawakal.

#4. Tadabur juga diperlukan guna mengejewantahkan al-Qur'an dalam kehidupan nyata, baik yang bersifat ekonomi, politik, da'wah, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Karena bagaimana mungkin seseorang akan mengamalkan al-Qur'an jika tidak didahului dan dibarengi dengan pemahaman serta pentadaburan.

#5. Tadabur juga merupakan salah satu wasilah (baca ; sarana) yang dapat digunakan untuk menyelami rahasia diantara rahasia-rahasia Allah, yang tersimpan dibalik firman-firman-Nya.

#6. Tadabur diperlukan juga dalam kehidupan mu'min dan aktivis ekonomi syariah, sebagai bahan perenungan diri dan muhasabah dalam perjalan hidupnya. Sebagai contoh ketika membaca ayat-ayat tentang kejujuran, tidak berbohong maupun ayat-ayat lainnya, segera ia bermuhasabah terhadap dirinya sendiri. Apakah dirinya juga masih memiliki sifat-sifat tersebut atau tidak.

#7. Tadabur juga merupakan pelita yang dapat memberikan kekuatan ekstra dalam ruhiyah seseorang, terutama bagi para aktivis ekonomi syariah, yang dapat memberikan semangat baru, iltizam baru, dan azimah yang baru, hingga ia mampu untuk berbuat lebih banyak dan banyak lagi, dalam menegakkan kalimatullah.

#8. Tadabur juga merupakan sarana untuk mengikis dan menghilangkan karat-karat yang melekat pada hati insan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْقُلُوْبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيْدُ، قَالُوْا وَمَا جَلاَءُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ تِلاَوَةُ الْقُرْآنِ وَذِكْرُ الْمَوْتِ - رواه الطبراني
“Sesungguhnya hati manusia itu memiliki potensi untuk berkarat sebagaimana berkaratnya besi. Sahabat bertanya, kalau demikian maka apakah pengikisnya wahai Rasulullah SAW?, beliau menjawab, tilawatul Qur’an dan dzikrul maut.” (HR. Tabrani)

Tilawah yang dapat menghilangkan karat-karat hati, tentulah tilawah yang dibarengi dengan pentadaburan makna-maknanya, dan bukan tiliwah yang sekedar membacanya tanpa adanya usaha untuk memahami makna dan isi kandungan dari ayat-ayat yang telah dibacanya.

5. Seorang salafuna shaleh, yaitu Ibrahim bin Adham mengkategorikan salah satu penyebab “matinya hati” adalah karena tidak mentadaburi Al-Qur'an ketika membacanya. Maka oleh karenanya, marilah kita berupaya untuk senantiasa istiqamah dalam membaca Al-Qur'an, dan dalam mentadaburi isi dan makna yang dikandungnya.

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

Para Pembaca Al-Qur'an (2)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي كَمْ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ؟ قَالَ اخْتِمْهُ فِي شَهْرٍ، قُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ اخْتِمْهُ فِي عِشْرِينَ، قُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ اخْتِمْهُ فِي خَمْسَةَ عَشَرَ، قُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ اخْتِمْهُ فِي عَشْرٍ، قُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ اخْتِمْهُ فِي خَمْسٍ، قُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ فَمَا رَخَّصَ لِي - رواه الترمذي والدارمي
Dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, aku berkata kepada Rasulullah SAW, ”Wahai Rasulullah seberapakah aku (seharusnya) membaca Al-Qur'an?” Beliau menjawab, 'Khatamkanlah Al-Qur'an dalam satu bulan.” Aku berkata, “Aku sanggup lebih baik dari itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Khatamkanlah dalam dua puluh hari.” Aku berkata lagi, “Aku sanggup lebih baik dari itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Khatamkanlah dalam lima belas hari.” Aku berkata lagi, “Aku sanggup lebih baik dari itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Khatamkanlah dalam sepuluh hari.” Kemudian aku berkata lagi, “Aku sanggup lebih baik dari itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam lima hari”. Aku berkata lagi, “Aku sanggup lebih baik dari itu wahai Rasulullah?' Namun beliau tidak memperbolehkan lagi.” (HR. Turmudzi & Darimi)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Antusias para sahabat, dalam menjalankan amalan mengharap keridhaan Allah SWT, sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah bin Amru bin Ash. Beliau dikenal sebagai sosok pemuda yang sangat giat dan tekun dalam beribadah. Bahkan karena ketekunan beliau yang sangat luar biasa dalam beribadah, Rasulullah SAW pernah menegurnya :
أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَلاَ تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman ra bahwasanya Abdullah bin Amru bin Ash berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Adakah benar berita, bahwa engkau puasa sepanjang hari (setiap hari), dan shalat malam sepanjang malam (setiap malam)?” Aku menjawab, “Benar Wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Jangan berbuat seperti itu. Berpuasalah dan juga berbukalah. Qiyamullail lah, dan juga tidurlah. Karena sesungguhnya pada diri kamu terdapat hak (yang harus dipenuhi), pada kedua matamu juga terdapat hak (yang harus dipenuhi) dan pada istrimu juga terdapat hak (yang harus dipenuhi). (HR. Muslim)

2. Bahwa dalam membaca Al-Qur'an, kita dianjurkan untuk membacanya secara keseluruhan dari awal hingga akhir secara terprogram. Atau dengan kata lain, kita dianjurkan untuk senantiasa mengkhatamkan Al-Qur'an, bahkan disertai dengan target dan batasan waktu tertentu. Hal ini terlihat jelas dari hadits di atas, dimana Abdullah bin Amru bin Ash ra bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, seberapakah aku (seharusnya) membaca Al-Qur'an?” Dan menanggapi pertanyaan Abdullah bin Amru bin Ash tersebut, Rasulullah SAW justru mengarahkannya untuk membacanya (baca ; mengkhatamkannya) dalam satu bulan, atau dua puluh hari, atau lima belas hari, atau sepuluh hari, atau lima hari. Maka sepatutnyalah kita juga memiliki target tertentu untuk menkhatamkan Al-Qur'an, misalnya target mengkhatamkannya satu kali dalam sebulan.

3. Bahwa dalam riwayat yang lainnya, Rasulullah SAW bahkan memperbolehkan sahabat untuk mengkhatamkan Al-Qur'an tiga hari. Hal ini terlihat dalam riwayat berikut :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صُمْ مِنْ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ قَالَ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَمَا زَالَ حَتَّى قَالَ صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا فَقَالَ اقْرَإِ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ قَالَ إِنِّي أُطِيقُ أَكْثَرَ فَمَا زَالَ حَتَّى قَالَ فِي ثَلاَثٍ - رواه البخاري
Dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, Rasulullah SAW bersabda, “Berpuasalah tiga hari setiap bulan.” Aku mampu lebih dari itu”. Maka beliau akhirnya mengatakan, “berpuasalah sehari dan berbukalah sehari.” Beliau juga bersabda, “Bacalah (khatamkalah Al-Qur'an) setiap bulan.” Aku berkata, “Aku mampu lebih baik dari itu”. Rasulullah SAW tetap seperti itu hingga akhirnya memperbolehkan untuk mengkhtamkannya dalam tiga hari.” (HR. Bukhari)
Sebagian ulama bahkan memperbolehkan untuk mengkhatamkan Al-Qur'an kurang dari tiga hari, dengan syarat ia harus mahir dalam membacanya dan tidak menyalahi hukum-hukum bacaan. Disamping itu amalan para sahabat dan juga salafuna shaleh, dimana sebagian mereka ada yang mengkhatamkan Al-Qur'an dalam satu hari.

4. Para salafuna shaleh juga demikian antusiasnya dalam membaca dan mengkhatamkan Al-Qur'an. Berikut adalah salafuna shaleh yang memiliki kelebihan dalam membaca dan mengkhatamkan Al-Qur'an :
  • Aswad bin Yazid An Nakha’i Al Kufi. Disebutkan dalam kitab Hilyah Al Auliya (2/224) bahwa beliau mengkhatamkan Al Qur`an dalam bulan Ramadhan setiap dua hari, dan beliau tidur hanya di waktu antara maghrib dan isya, sedangkan di luar Ramadhan beliau menghatamkan Al Qur`an dalam waktu 6 hari.
  • Qatadah bin Diamah, dalam hari-hari “biasa”, tabi’in ini menghatamkan Al Qur`an sekali tiap pekan, akan tetapi tatkala Ramadhan tiba beliau menghatamkan Al Qur`an sekali dalam tiga hari, dan apabila datang sepuluh hari terakhir beliau menghatamkannya sekali dalam semalam .(Al Hilyah, 2/228).
  • Tabi’in lain, Abu Al Abbas Atha’ juga termasuk mereka yang “luar biasa” dalam tilawah. Di hari-hari biasa ia menghatamkan Al Qur`an sekali dalam sehari. Tapi di bulan Ramadhan, Abu Al Abbas mempu menghatamkan 3 kali dalam sehari. (Al Hilyah 10/302).
5. Adapun riwayat yang menggambarkan tentang keutamaan mengkhatamkan Al-Qur'an, diantaranya adalah :
#1. Mengkhatamkan Al-Qur'an merupakan amalan yang paling dicintai Allah SWT. Dalam riwayat disebutkan :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ، قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ قَالَ وَمَا الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ قَالَ الَّذِي يَضْرِبُ مِنْ أَوَّلِ الْقُرْآنِ إِلَى آخِرِهِ كُلَّمَا حَلَّ ارْتَحَلَ
Dari Ibnu Abbas ra, beliau mengatakan ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW. ‘Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab ‘al-Hal wal Murtahil’. Orang ini bertanya lagi, ‘apa itu al-hal wal murtahil wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab, ‘yaitu yang membaca al-Qur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR. Tirmidzi)

#2. Orang yang mengikuti khataman Al-Qur'an, seperti mengikuti pembagian ghanimah. Dalam riwayat disebutkan :
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا صَالِحٌ الْمُرِّيُّ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ رَفَعَهُ قَالَ مَنْ شَهِدَ الْقُرْآنَ حِينَ يُفْتَحُ فَكَأَنَّمَا شَهِدَ فَتْحًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ شَهِدَ خَتْمَهُ حِينَ يُخْتَمُ فَكَأَنَّمَا شَهِدَ الْغَنَائِمَ تُقْسَمُ
“Dari Abu Qilabah, Rasulullah SAW mengatakan, ‘Barang siapa yang menyaksikan (mengikuti) bacaan al-Qur’an ketika dibuka (dimulai), maka seakan-akan ia mengikuti kemenangan (futuh) fi sabilillah. Dan barang siapa yang mengikuti pengkhataman al-Qur’an maka seakan-akan ia mengikuti pembagian ghanimah.” (HR.Addarimi)

#3. Mendapatkan doa dan shalawat dari para malaikat. Dalam riwayat disebutkan :
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ سَعْدٍ قَالَ إِذَا وَافَقَ خَتْمُ الْقُرْآنِ أَوَّلَ اللَّيْلِ صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ حَتَّى يُصْبِحَ وَإِنْ وَافَقَ خَتْمُهُ آخِرَ اللَّيْلِ صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ حَتَّى يُمْسِيَ فَرُبَّمَا بَقِيَ عَلَى أَحَدِنَا الشَّيْءُ فَيُؤَخِّرَهُ حَتَّى يُمْسِيَ أَوْ يُصْبِحَ قَالَ أَبُو مُحَمَّد هَذَا حَسَنٌ عَنْ سَعْدٍ
“Dari Mus’ab bin Sa’d, dari Sa’d bin Abi Waqas, beliau mengatakan, ‘ apabila al-Qur’an dikhatamkan bertepatan pada permulaan malam, maka malaikat akan bersalawat (berdoa) untuknya hingga subuh. Dan apabila khatam bertepatan pada akhir malam, maka malaikat akan bershalawat/ berdoa untuknya hingga sore hati. “(HR. Addarimi.)

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

;;