عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ (رواه البخاري)، وفي رواية لمسلم عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ - رواه مسلم
Dari Abu Musa Al-Asy'ari ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda ”Perumpamaan orang yang berdzikir mengingat Allah SWT dengan orang yang tidak berdzikir adalah seumpama orang yang hidup dan mati” (HR Bukhari). Dan dalam riwayat Imam Muslim, dari Abu Musa Al-Asy'ari ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan rumah yang dibacakan dzikir di dalamnya dengan rumah yang tidak dibaakan dzikir di dalamnya adalah bagaikan orang yang hidup dan mati.” (HR. Muslim)
Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bahwa Dzikir merambah aspek yang luas dalam diri insan. Karena dengan dzikir, seseorang pada hakekatnya sedang berhubungan dengan Allah. Dzikir juga merupakan makanan pokok bagi hati setiap mu'min, yang jika dilupakan maka hati insan akan berubah menjadi kuburan. Dzikir juga diibaratkan seperti bangunan-bangunan suatu negri; yang tanpa dzikir, seolah sebuah negri hancur porak poranda bangunannya. Dzikir juga merupakan senjata bagi musafir untuk menumpas para perompak jalanan. Dzikirpun merupakan alat yang handal untuk memadamkan kobaran api yang membakar dan membumi hanguskan rumah insan. Demikianlah diungkapkan dalam "Tahdzib Madarijis Salikin".
2. Dari sini dapat diambil satu kesimpulan bahwa tidak mungkin memisahkan dzikir dengan hati. Karena pemisahan seperti ini pada hakekatnya sama seperti pemisahan ruh dan jasad dalam diri insan. Seorang manusia sudah bukan manusia lagi manakala ruhnya sudah hengkang dari jasadnya. Demikian pula dzikir tidak mungkin dipisahkan dengan hati, karena “feel” sentral dari dzikir adalah hati. Sedangkan lisan pada hakekatnya merupakan alat untuk mengekpresikan dzikir.
3. Dengan dzikir ini pulalah, Allah gambarkan dalam Al-Qur'an, bahwa hati dapat menjadi tenang dan tentram. Orang yang banyak berdzikir, ia relatif akan lebih tenang dalam menyelesaikan permasalahan kehidupannya dibandingkan dengan orang yang jarang berdzikir. Allah berfirman (13:28)
الذِّيْنَ آمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah bahwa hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang."
4. Ketenangan (sebagaimana diungkapkan dalam ayat di atas) bukanlah sebuah kata yang tiada makna dan hampa. Namun ketenangan memiliki dimensi yang sangat luas, yaitu mencakup kebahagian di dunia dan di akhirat. Allah SWT ketika memanggil seorang hamba untuk kembali ke haribaan-Nya guna mendapatkan keridhaan-Nya, menggunakan istilah ini: "Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kamu pada Rabmu dalam kondisi ridha dan diridhai. Maka masuklah kamu dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah kamu dalam surga-Ku." (Al-Fajr, 27-30). Maka marilah kita menjadi jiwa-jiwa yang tenang, yang kelak akan menerima panggilan mesra dari Allah SWT tersebut..
5. Dzikir memiliki banyak keistimewaan yang teramat penting guna menjadi bekalan kehidupan yang akan dilalui. Salah seorang salafuna saleh ada yang mengatakan, "Lisan yang tidak berdzikir adalah seperti mata yang buta, seperti telinga yang tuli dan seperti tangan yang lumpuh. Hati merupakan pintu besar Allah yang senantiasa terbuka antara hamba dan Rabnya, selama hamba tersebut tidak menguncinya sendiri." Adalah Syekh Hasan al-Basri, mengungkapkan dalam sebuah kata mutiara yang sangat indah:
تَفَقَّدُوْا الْحَلاَوَةَ فيِ ثَلاَثَةِ أَشْيَاءٍ : فِي الصَّلاَةِ، وَفِي الذِّكْرِ وَفِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، فَإِنْ وَجَدْتُمْ…. وَإِلاَّ فَاعْلَمُوْا أَنَّ اْلبَابَ مُغْلَقٌ
"Raihlah keindahan dalam tiga hal; dalam shalat, dalam dzikir dan dalam tilawatul Qur'an, dan kalian akan mendapatkannya…. Jika tidak maka ketahuilah, bahwa pintu telah tertutup."
6. Dzikir merupakan ibadah hati dan lisan, yang tidak mengenal batasan waktu. Bahkan Allah memberikan gelar ulil albab, kepada mereka-mereka yang senantiasa menyebut Rabnya, baik dalam keadaan berdiri, duduk bahkan juga berbaring. Oleh karenanya dzikir bukan hanya ibadah yang bersifat lisaniah, namun juga qolbiah. Imam Nawawi menyatakan bahwa yang afdhal adalah dilakukan bersamaan di lisan dan di hati. Sekiranyapun harus salah satunya, maka dzikir hatilah yang lebih afdhal. Meskipun demikian, menghadirkan maknanya dalam hati, memahami maksudnya merupakan suatu hal yang harus diupayakan dalam dzikir. Beliau mengemukakan:
المُرَادُ مِنَ الذِّكْرِ حُضُوْرُ الْقَلْبِ ، فَيَنْبَغِيْ أَنْ يَكُوْنَ هُوَ مَقْصُوْدُ الذَّاِكرِ فَيَحْرُصُ عَلَى تَحْصِيْلِهِ ، وَيَتَدَبَّرَ مَا يَذْكُرُهُ ، وَيَتَعَقَّلَ مَعْنَاهُ…
"Yang dimaksud dengan dzikir adalah menghadirkan hati. Seyogyanya hal ini menjadi tujuan dzikir, hingga seseorang berusaha merealisasikannya dengan mentadaburi apa yang dilafadzkan dalam dzikirnya, serta memahmi makna yang dikandungnya…"
7. Dari sinilah muncul perbedaan pendapat mengenai dzikir dengan suara keras, atau dengan suara pelan. Masing-masing dari kedua pendapat ini memiliki dalil yang kuat. Dan cukuplah untuk menegahi hal ini, firman Allah dalam sebuah ayat:" Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" (Al-Isra', 17:110)
Meskipun teks ayat di atas dimaksudkan pada bacaan shalat, namun ada juga riwayat lain yang menunjukkan bahwa dzikir dan doa juga termasuk yang dimaksudkannya juga.- Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Sirin, "bahwa Abu Bakar senantiasa mengecilkan suaranya dalam shalat, sedangkan Umar mengeraskan suaranya. Hingga suatu ketika Abu Bakar ditanya mengenai pelannya suara, beliau menjawab, "Aku bermunajat kepada Rabku, dan Allah telah mengetahui keperluanku." Sementara Umar menjawab, "Aku mengeraskannya untuk mengusir syaitan dan menghancurkan berhala." Maka tatkala turun ayat ini, dikatakan kepada Abu Bakar agar mengeraskan sedikit suaranya dan kepada Umar agar dikecilkan sedikit suaranya."
- “Asy’ast berkata dari Ikrimah dari ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun pada permasalahan doa. Demikian juga Imam Sufyan al-Tsauri dan Malik meriwyatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra, bahwa ayat ini turun pada permasalahan doa.”
8. Doa merupakan bagian dari dzikir. Kemudian terlepas dari "jahr" dan "sir", yang paling penting adalah bagaimana hati dan lisan tidak pernah kering dari dzikrullah. Maka marilah kita bersama-sama meningkatkan dzikir kita kepada Allah SWT. Mudah-mudahan dengan dzikir, Allah SWT akan memudahkan segala urusan, usaha dan segala aktivitas kita.. Amiiin.
Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag.
Label: Tadabur Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ اْلإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ - متفق عليه
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda ” Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah pada hari tiada naungan selain nauangan-Nya. (Mereka adalah) pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, orang yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah sehingga mereka bertemu dan berpisah karena Allah, laki-laki yang diajak berbuat zina oleh seorang perempuan yang memiliki kedudukan dan kecantikan lalu ia menjawab, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah', orang yang bershadaqah dan merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui yang dsihadaqahkan tangan kanannya, dan orang yang mengingat Allah di saat sendiri samapi kedua matanya basah dengan air mata.” (Muttafaqun Alaih)
Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bahwa kelak ketika manusia dikumpulkan di padang mahsyar, Allah SWT akan memberikan perlindungan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Dimana pada saat tersebut, tidak ada yang dapat memberikan pertolongan, perlindungan, atau apapun juga yang dapat meringankan manusia, selain perlindungan dan pertolongan dari Allah SWT. Imam Nawawi memberikan syarah terhadap hadits di atas :
والمراد يوم القيامة إذا قام الناس لرب العالمين ودنت منهم الشمس واشتد عليهم حرها
Bahwa yang dimaksud adalah pada hari kiamat, ketika manusia dibangkitkan dihadapan Allah Rabul Alamin, dan didekatkan matahari kepada mereka dimana panasnya amat terik kepada mereka (Al-Minhaj Fi Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj)
2. Mereka yang kelak akan mendapatkan naungan Allah SWT (sebagaimana yang disebutkan dalam hadtis di atas), adalah 7 golongan, yaitu 1. pemimpin yang adil, 2. pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, 3. orang yang hatinya terpaut dengan masjid, 4. dua orang yang saling mencintai karena Allah, 5. laki-laki yang tidak mau diajak berzina karena takut kepada Allah, 6. orang yang menyembunyikan shadaqahnya dan 7. orang yang berdoa kepada Allah di saat sendiri, lalu menetes airmatanya lantaran takut kepada Allah SWT.
3.#1 : Golongan pertama yang akan mendapatkan naungan Allah SWT adalah seorang pemimpin yang adil. Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang tidak berbuat dzalim, dan senantiasa berusaha untuk berbuat baik kepada siapapun, sesuai dengan rambu-rambu Al-Qur'an dan sunnah. Walaupun memang pada dasarnya Islam memandang bahwa setiap orang adalah pemimpin (lihat taujihat No 001). Namun pemimpin yang dimaksud dalam hadits ini adalah pemimpin yang memiliki tugas dan wewenang untuk memimpin sekumpulan atau banyak orang. Menguatkan hal tersebut, Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah seorang hamba yang Allah berikan amanat kepadanya berupa rakyat yang dipimpinnya kemudian ia meninggal dunia dan pada saat ia meninggal ia berbuat kecurangan terhadap rakyatnya, maka Allah akan haramkan baginya surga” (HR. Muslim)
4.#2 : Golongan kedua adalah pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah Swt. Artinya seseorang yang menjaga masa mudanya dalam ibadah kepada Allah SWT, serta tidak menggunakan masa mudanya untuk berfoya-foya, atau melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan agama, sehingga ia gunakan masa mudanya untuk beribadah kepada Allah SWT.
5.#3 : Golongan ketiga adalah pemuda atau seseorang yang hatinya terpaut dengan masjid. Karena masjid merupakan sentra kegiatan Islam, dimana didalamnya berkumpul orang-orang yang memiliki tujuan dan orientasi satu, yaitu mengharap keridhaan Allah SWT. Dalam sebuah riwayat lainnya Rasulullah SAW pernah bersabda, Apabila kalian melihat pemuda yang menekuni masjid, maka saksikanlah bahwa ia adalah orang yang (benar-benar) beriman.” (HR. Turmudzi & Ahmad)
6.#4 : Golongan keempat adalah dua orang (pemuda) yang saling mencintai karena Allah, mereka bertemu karena Allah dan mereka berpisah juga karena Allah. Artinya dua orang pemuda tersebut adalah pemuda yang sama-sama memiliki keimanan kepada Allah, berjuang di jalannya, serta beraktivitas untuk menegakkan kalimatullah. Dua orang disini bukanlah dua orang yang berlainan jenis yang saling mencintai lalu kemudian menikah. Namun mereka adalah dua orang pemuda yang sama-sama beraktivitas untuk menggapai ridha Allah, dimana mereka bertemu dan berpisah hanya karena Allah SWT, untuk menegakkan kalimatullah.
7.#5 : Golongan kelima adalah laki-laki yang diajak berbuat zina oleh seorang perempuan yang memiliki kedudukan dan kecantikan lalu ia menjawab, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”. Artinya ia adalah seorang pemuda yang menjaga kehormatan diri dan agamanya, serta berusaha untuk menghindarkan diri dari kemaksiatan, khususnya terkait kemaksiatan dengan lawan jenisnya, bahkan ketika diajak berbuat maskiat oleh wanita yang cantik dan memiliki kedudukan sekalipun. Karena fitnah lawan jenis merupakan fitnah yang paling dahsyat. Dan ia meninggalkan hal tersebut, karena semata-mata takut kepada Allah SWT. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah aku tinggalkan fitnah yang lebih besar bagi kaum laki-laki, dibandingkan dengan fitnah wanita.” (Muttafaqun Alaih).
8.#6 : Golongan keenam adalah orang yang bershadaqah dan merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui yang dsihadaqahkan tangan kanannya. Artinya bahwa ia merupakan ahli shadaqah yang senantiasa menyisihkan sebagian rizkinya untuk berinfak dan shadaqah dalam setiap keadaan. Kemudia ia pun berusaha menjaga keikhlasannya dalam bershadaqah. Sehingga demikian menjaganya, hingga diibaratkan bahwa seolah tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dishadaqahkan oleh tangan kanannya.
9.#7 : Golongan ketujuh adalah orang yang mengingat Allah di saat-saat sedang sendiri sampai kedua matanya basah dengan air mata. Ini merupakan tanda keimanan yang mendalam bagi seorang mu'min, yaitu ketika ia dapat menangis seorang diri di tengah kesunyian dan keheningan malam, lantaran takut kepada Allah SWT. Pernahkan kita mengalami hal seperti ini, meneteskan airmata di saat sunyi dan sendiri? Jika sudah pernah, maka bersyukurlah karena ini merupakan tanda keimanan. Namun apabila belum pernah, maka segeralah meminta ampunan kepada Allah SWT..
10.Ketujuh golongan diatas merupakan kelompok-kelompok orang yang kelak akan mendapatkan naungan dan perlindungan dari Allah SWT di hari tiada naungan dan pertolongan kecuali naungan dan pertolongan dari Allah SWT. Maka marilah kita hiasi diri kita dengan ketujuh sifat di atas. Walaupun menurut para ulama, jumlah tujuh sebagaimana yang disebutkan dalam hadits diatas bukanlah pembatasan. Karena dalam riwayat lainnya masih terdapat golongan lain yang mendapatkan naungan Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَحْتَ ظِلِّ عَرْشِهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ - رواه الترمذي
Dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menangguhkan hutang orang yang sedang kesulitan, atau membebaskannya dari hutangnya, maka Allah akan menaunginya nanti pada hari kiamat, di bawah naungan Arsy'-Nya, di saat tiada naungan melainkan hanya naungan-Nya.” (HR. Turmudzi)
Wallahu A’lam Bis ShawabBy. Rikza Maulan Lc., M.Ag.
Label: Tadabur Hadits
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)