Mencintai Dan Membenci Karena Allah Semata
0 komentar Diposting oleh Rikza Maulan, Lc., M.Ag di 17.03عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ - متفق عليه
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya dan anaknya" (Muttafaqun Alaih)
Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa sebagai seorang muslim, kita diharuskan untuk lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya, dibandingkan dengan apapun yang ada di dunia ini. Hadits di atas bahkan menggambarkan bahwa kita harus lebih mencintai Allah dan Rasulullah SAW dibandingkan dengan cinta kita terhadap orangtua dan anak kandung kita sendiri. Karena pada hakekatnya, kita semua adalah hamba Allah SWT yang memiliki “tugas” untuk menyembah dan mentauhidkan-Nya. Adapun orang tua, istri, anak, maupun kerabat keluarga mereka semua adalah titipan dan amanah dari Allah SWT agar kita menjaga dan memilhara mereka dari (bahaya) api neraka, sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS. At-Tahrim : 6: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
2. Namun bukan berarti bahwa kita tidak boleh mencintai orangtua, anak, istri maupun kerabat keluarga, namun yang dimaksud adalah bahwa cinta kita kepada mereka haruslah dibawah cinta kita kepada Allah SWT. Kecintaan seorang hamba terhadap sesama hamba lah yang tidak boleh melebihi daripada cintanya kepada Sang Khalik yang telah menciptakan-Nya. Bahkan terhadap diri sendiripun demikian, harus dibawah cinta kepada Allah SWT. Diriwayatkan dari Abdullah bin Hisyam ra, beliau menuturkan; kami pernah bersama Nabi SAW yang saat itu beliau menggandeng tangan Umar bin Khattab, kemudian Umar berujar: "ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala-galanya selain diriku sendiri." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak, demi Dzat yang jiwa berada di Tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri." Maka Umar berujar; 'Sekarang demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku'. Maka Nabi SAW bersabda, "Sekarang (baru benar) wahai Umar." (HR. Bukhari)
3. Cinta terhadap pasangan hidup baik istri maupun suami pun harus demikian adanya. Kita harus meletakkan cinta kita kepada suami atau istri kita, dibawah cinta kita kepada Allah SWT. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Abdullah bin Abu Bakar RA baru saja melangsungkan pernikahan dengan Atikah binti Zaid, seorang wanita cantik rupawan dan berbudi luhur. Dia seorang wanita berakhlak mulia, berfikiran cemerlang dan berkedudukan tinggi. Sudah tentu Abdullah amat mencintai istri yang sangat sempurna menurut pandangan manusia. Pada suatu hari, ayahnya Abu Bakar RA lewat di rumah Abdullah untuk pergi bersama-sama untuk sholat berjamaah di masjid. Namun apabila beliau mendapati anaknya sedang bermesraan dengan Atikah dengan lembut dan romantis sekali, beliau membatalkan niatnya dan meneruskan perjalanan ke masjid. Setelah selesai menunaikan sholat Abu Bakar RA sekali lagi melalui jalan di rumah anaknya. Alangkah kesalnya Abu Bakar RA apabila beliau mendapati anaknya masih bersenda gurau dengan istrinya sebagaimana sebelum beliau menunaikan sholat di masjid. Kemudian Abu Bakar RA segera memanggil Abdullah, seterusnya bertanya : "Wahai Abdullah, adakah kamu sholat berjamaah?" Tanpa berhujjah panjang Abu Bakar berkata : "Wahai Abdullah, Atikah telah melalaikan kamu dari kehidupan dan pandangan hidup malah dia juga telah melupakan kamu dari sholat fardhu, ceraikanlah dia!"
Demikianlah perintah Abu Bakar kepada Abdullah. Suatu perintah ketika Abu bakar mendapati anaknya melalaikan hak Allah. Ketika beliau mendapati Abdullah mulai sibuk dengan istrinya yang cantik. Ketika beliau melihat Abdullah terpesona keindahan dunia sehingga menyebabkan semangat juangnya semakin luntur.Lalu bagaimana tanggapan Abdullah? Tanpa membuat dalih apatah lagi mencoba membunuh diri, Abdullah terus mengikuti perintah ayahandanya dan menceraikan istri yang cantik dan amat dicintainya. Subhanallah!!!... sebuah gambaran bagaiamana kita harus mencintai Allah dan Rasul-Nya diatas cinta kita terhadap apapun di dunia ini. Sebagaimana Abdullah bin Abu Bakar yang kemudian menceraikan istrinya lantara “melalaikannya” dari mengingat Allah, atau dengan kata lain ia telah mencintai istrinya di atas cintanya kepada sang Khaliq. Walapun pada akhirnya, beliau merujuk kembali istri yang dicintainya namun sebuah pelajaran berharga telah beliau dapatkan dari ayahandanya yang bijaksana yaitu Abu Bakar As-Shiddiq ra, bahwa cinta kepada Allah SWT harus di atas segala-galanya….
4. Cinta adalah bagian dari keimanan kepada Allah SWT, yang akan memiliki konsekwensi dan dampak yang signifikan di masa yang akan datang. Oleh karenanya setiap muslim perlu berhati-hati dan selektif dalam memilih teman, sahabat, atau partner yang akan dicintainya. Dalam sebuah riwayat bahkan digambarkan mengenai seseorang kelak akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ السَّاعَةِ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ وَمَاذَا أَعْدَدْتَ لَهَا؟ قَالَ لَا شَيْءَ إِلَّا أَنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ، قَالَ أَنَسٌ فَمَا فَرِحْنَا بِشَيْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّي إِيَّاهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ (رواه البخاري)
Dari Anas ra bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW tentang hari kiamat, "Kapankah terjadinya hari kiamat?". Beliau balik bertanya kepada orang itu; "Apa yang telah kamu persiapkan untuk menghadapinya?". Orang tersebut menjawab; "Tidak ada, kecuali hanya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya". Maka beliau bersabda: "Kamu kelak akan bersama orang yang kamu cintai". Anas berkata; "Kami belum pernah bergembira atas sesuatu seperti gembiranya kami dengan sabda Nabi SAW ini, yaitu: "Kamu akan bersama orang yang kamu cintai". Selanjutnya Anas berkata; "Maka aku mencintai Rasulullah SAW, Abu Bakr, 'Umar dan aku berharap dapat berkumpul bersama mereka disebabkan kecintaanku kepada mereka sekalipun aku tidak memiliki amal seperti amal mereka". (HR. Bukhari)
5. Diantara konsekwensi kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mencintai orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta membenci orang-orang yang membenci Allah dan Rasul-Nya. Tidak mungkin seorang muslim yang benar imannya, kemudian mencintai orang-orang yang membenci Allah dan Rasul-Nya. Orang-orang yang beriman yang memiliki iman yang haq kepada Allah, hanya akan mencintai orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT menegaskan:
لاَ تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ *
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (QS. Al-Mujadilah : 22)
Ya Allah, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan kami memohon segala amal perbuatan yang dapat mendekatkan diri kami pada cinta-Mu…
Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag
Label: Tadabur Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ - رواه مسلم
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, 'Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah menunjuk dadanya), beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang lainnya haram; darahnya, hartanya, dan kehormatannya." (HR. Muslim)
Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa sesama muslim, kita dilarang saling mendengki, saling menfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi. Kendatipun terdapat perbedaan suku, ras, daerah, atau bahkan kebangsaan sekalipun, namun selama sama-sama beriman kepada Allah SWT, berkitabkan Al-Qur’an, bernabikan Muhammad SAW dan berkiblatkan Baitullah Ka’bah Al-Musyarrafah, maka mereka itu adalah saudara kita (baca ; ukhuwah) yang harus saling menghormati dan dilarang saling mencaci serta mencela. Dan ini semua merupakan hak-hak ukhuwah Islamiyah antara sesama muslim yang perlu dijaga dan dipelihara. Karena pada hakekatnya sesama muslim adalah bersaudara, sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ*
Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al-Hujurat : 10)
2. Bahwa Rasulullah SAW bahkan memberikan prefentif terhadap hal-hal yang berpotensi merusak ukhuwah, seperti dilarangnya “menelikung” transaksi yang sedang ditransaksikan oleh saudara kita. Dalam konteks jual beli misalnya, kita tidak boleh menjual satu barang yang telah kita tawarkan kepada saudara kita lainnya, kecuali apabila saudara kita yang pertama telah membatalkan atau mengizinkannya. Dalam konteks berasuransi syariah, kita tidak boleh menclossing seseorang calon nasabah yang telah diprospek oleh saudara kita lainnya, kecuali atas seizin dan keridhaannya. Demikian juga alam hal munakahat, seorang muslim tidak boleh melamar (baca : mengkhitbah) seorang muslimah yang telah dikhitbah oleh muslim lainnya, kecuali apabila saudara kita tersebut telah mengundurkan diri dari proses khitbahnya atau memberikan izin kepada kita dengan keridhaannya. Semua ini dilarang oleh Rasulullah SAW adalah supaya pintalan tali ukhuwah tetap terajut dengan baik dan menjaga nilai persaudaraan jauh lebih berharga. Allah SWT menggambarkan kepada kita tentang nilai ukhuwah Islamiyah;
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ*
Dan (Dialah Allah) Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal : 63)
3. Rasulullah SAW, bahkan mengecam orang-orang yang “berupaya merusak Ukhuwah Islamiyah”. Dalam sebuah riwayat digambarkan, Dari Ibnu Ishaq dari Zaid bin Aslam, “Bahwasanya suatu hari Syas bin Qais yang merupakan seorang Yahudi, melalui sekumpulan Sahabat Kaum Aus dan Kaum Khazraj. Ia melihat mereka sedang berbincang-bincang dengan akur. Hal ini membuatnya murka, padahal sebelumnya mereka (Aus dan Khazraj) saling bermusuhan dan berperang. Lalu ia memerintahkan seorang pemuda untuk duduk diantara Aus dan Khazraj, lalu pemuda ini disuruh untuk mengingat-ingatkan kembali kenangan masa lalu pada saat mereka bermusuhan. Akibatnya Aus dan Khazraj saling bertikai dan saling membangga-banggakan kaumnya masing-masing, hingga salah seorang dari kaum Aus bernama Aus Aus bin Qaidzi dan Jabbar bin Shakhr dari Khazraj saling berhadapan dan meninggi suaranya. Lalu murkalah kedua kaum tersebut dan telah bersiap-siap untuk perang. Kemudian disampaikanlah berita ini kepada Rasulullah SAW, lalu beliau datang dan memberikan nasehat kepada mereka.” Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW datang menghampiri mereka lalu bersabda. ‘Apakah dengan slogan-slogan Jahiliyah diantara kalian sementara aku ada di antara kalian dan kalian telah mendapatkan hidayah Islam serta kalian ingin kembali kepada kekafiran kalian masa lalu?” Kemudian turunlah firman Allah SWT QS. Ali Imran : 100, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” (Lubabunnuqul Fi Asbabinnuzul, Imam Jalaluddin As-Suyuthi, hal 45). Maka tidak seyogianya, hanya karena hal-hal yang kecil, kemudian kita mengumandangkan slogan-slogan jahiliyah, dengan saling mengejek, memfitnah, mendengki dan memusuhi.
4. Fanatisme terhadap sesuatu yang bukan karena Allah SWT, disebut dengan ashobiyah. Ashobiyah merupakan salah satu penyakit hati yang perlu diwaspadai serta merupakan sesuatu yang dilarang dalam Islam. Karena umumnya ashabiyah akan mencederai ukhuwah Islamiyah. Ashobiyah beragam bentuk dan macamnya, diantaranya adalah seperti ashobiyah terhadap kesukuan, kekelompokan, atau kebangsaan tertentu. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ جُنْدَبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ رَضيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَدْعُو عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ - رواه مسلم
Dari Jundab bin Abdullah Al Bajali ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa terbunuh karena membela bendera kefanatikan yang menyeru kepada kebangsaan atau mendukungnya, maka matinya seperti mati Jahiliyah." (HR. Muslim)
Namun demikian, perlu juga membingkai pemahaman ashobiyah dengan hadits riwayat Imam Muslim berikut : Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra bahwa seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, “Ada seseorang berperang karena dorongan fanatisme, ada yang berperang karena ingin memperlihatkan keberanian, dan ada yang berperang karena ingin dilihat orang, siapakah yang disebut fi sabilillah? Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang berperang agar kalimatullah menjadi tinggi, maka ia adalah fi sabilillah.” (HR. Muslim)
5. Bahwa “dada” merupakan tempat bersemayamnya keimanan dan ketakwaan seseorang kepada Allah SWT. Demikian pentingnya “tempat di dada ini”, hingga Rasulullah SAW mengatakan (hingga tiga kali dalam hadits di atas), bahwa taqwa adalah di sini seraya mengisyaratkan tangan beliau ke dadanya. Hal ini menunjukkan bahwa yang seharusnya ada di dada seorang muslim adalah ketakwaan dan keimanan kepada Allah SWT. Al-Qur’an banyak sekali menggambarkan mengenai sesuatu yang sangat krusial yang seyogianya berada di dalam dada seseorang, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Allah SWT “menyimpan” Al-Qur’an di dada Rasullah SAW, sebagaimana yang Allah firmankan :لاَ تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ * إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ *
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (QS. Al-Qiyamah : 16 – 17)
b. Bahwa Al-Qur’an lah yang seharusnya berada dalam dada orang-orang yang berilmu. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT :
بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلاَّ الظَّالِمُونَ*
Sebenarnya, Al Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim. (QS. Al-Ankabut : 49)
c. Bahwa Allah SWT mengetahui isi yang tersembunyi di dalam dada setiap orang, apakah keimanan atau kekafiran :
وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ *
Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. (QS. Al-Qashas : 69)
d. Allah SWT bahkan menegaskan bahwa orang yang tidak merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT adalah orang yang buta hatinya, yang berada di dalam dada:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي اْلأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لاَ تَعْمَى اْلأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ*
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj : 46)
e. Dan ternyata “dada” inilah yang menjadi tempat syaitan menggoda manusia.مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ* الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ *
“Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (QS An-Nas, 4-5)”
f. Bahwa Rasulullah SAW pada peristiwa isra’ pernah didatangi malaikat, kemudian isi dada beliau dicuci oleh Malaikat, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Imam Bukhari berikut, Abu Dzar menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saat aku di Makkah atap rumahku terbuka, tiba-tiba datang Malaikat Jibril Alaihis Salam. Lalu dia membelah dadaku kemudian mencucinya dengan menggunakan air zamzam. Dibawanya pula bejana terbuat dari emas berisi hikmah dan iman, lalu dituangnya ke dalam dadaku dan menutupnya kembali…” (HR. Bukhari, Bab Kaifa Furidhatis Shalat Fil Isra’, hadits no 336)
6. Apabila dada diisi dengan sesuatu selain keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, maka ada indikasi bahwa dada tersebut sedang sakit. Olehkarenanya sebagai hamba Allah, sepatutnyalah kita hanya mengisi dada kita dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, dan bukan dengan sesuatu yang lainnya. Apabila telah terlanjur terisi dengan yang lainnya, maka obat terhadap apa yang terdapat di dalam dada (yang saktit tersebut) adalah Al-Qur’an Al-Karim. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ*
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus : 57)
Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag
Label: Tadabur Hadits
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)