Tafsir Surat Al-Mujadilah (Bagian #2 : Hukum Dzihar & Kafaratnya)
0 komentar Diposting oleh Rikza Maulan, Lc., M.Ag di 02.22
Tafsir Surat Al-Mujadilah
#2. Hukum Dzihar & Kafaratnya
(Ayat 1 – 4)
قَدْ سَمِعَ
اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ
يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ ﴿١﴾ الَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَائِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ
إِلاَّ اللاَّئِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنكَراً مِّنَ الْقَوْلِ
وَزُوراً وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ ﴿٢﴾ وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ ﴿٣﴾ فَمَن
لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا فَمَن
لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِيناً ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿٤﴾
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan
wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan
(halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzhihar isterinya di
antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri
mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu
perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha
Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang
diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa
yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa
(wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi
orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS. Al-Mujadilah : 1 – 4)
Makna
Mufradat
Ayat #1
|
||
سمع الله
|
أجاب وقبل، كما في
التسميع : سمع الله لمن حمده أي : أجابه
|
Menjawab & menerima, sebagaimana dalam baca’an tasmi’ ‘Sami’allahu
liman hamidahu’, maknanya Allah menjawab/ mengistijabahinya.
|
التي تجادلك في
زوجها
|
تراجعك الكلام أيها
النبي في أمرها وأمر زوجها الذي ظاهر منها وهي خولة بنت ثعلبة الخزرجية، زوجة
أوس بن الصامت
|
Ia menuntut (menggugat) kembali apa yang telah dikatakannya kepadamu wahai Nabi SAW dalam
urusan suaminya yg mendziharnya. Ia adalah Khaulah binti Tsa’labah, istri
dari Aus bin Shamit.
|
وتشتكي إلى
الله
|
ثبت شكواها وغمها وهمها
إلى الله، متوقعة أن الله يسمع محادلتها وشكواها، ويفرج عنها كربها
|
Telah (jelas) pengaduannya, kesedihan dan
kegelisahannya kepada Allah SWT, dengan harapan Allah mendengarkan
pengaduannya dan melapangkan dari kesempitan2nya.
|
والله يسمع
تحاوركما
|
تراجعكما الكلام، بطريق
تغليب الخطاب
|
Allah menjawab perkataan kalian berdua, dengan jalan pemberian khitab
secara menyeluruh.
|
إن الله سميع
بصير
|
للأقوال والأحوال، وهذا
يدل على إثبات صفتي السمع والبصر لله تعالى
|
Maha Mendengar thd segala perkataan & semua keadaan. Ini menunjukkan dua sifat Allah SWT, yaitu
Maha Mendengar dan Maha Melihat.
|
Ayat #2
|
||
الذين يظاهرون
منكم
|
الذين يقولون لنسائهم
مثلا : أنت علي كظهر أمي، أي في الحرمة، وكالأم سائر المحارم، وقد كان هذا أشد
طلاق في الجهاهلية. والظهار : تشبيه المرأة أو عضو منها بأحد محارمه نسبا أو
رضاعا أو مصاهرة يقصد التحريم.
|
Orang-orang yang mengatakan kepada istrinya (misalnya); ‘kamu seperti
punggung ibuku’, yaitu dalam keharaman (untuk
menggaulinya),
juga seperti ibu-ibu wanita yang menjadi mahramnya (spt mertua dsb). Hal seperti ini
(dzihar)
di zaman jahiliyhah lebih berat daripada thalaq. Dzihar adalah menyerupakan
istri atau salah satu bagian tubuh istri dengan salah seorang muhrimnya
secara nasab, saudara sesusuan dengan tujuan
pengharaman untuk menggaulinya.
|
منكم
|
تهجن لعادتهم فيه، فإنه
كان من أيمان الجاهلية
|
Merendahkan adat kebiasaan mereka dalam hal tsb (dzihar). Krn perbuatan
tersebut termasuk dalam sumpah jahiliyah.
|
إن أمهاتك إلا
اللائي ولدنهم
|
أن ما أمهاتهم إلا
اللتي ولدن الأولاد، فلا تشبه بالمحارم في الحرمو إلا من ألحقها الله بهن،
كالمرضعات وأزواج الرسول صلى الله عليه وسلم
|
Bukanlah ibu mereka kecuali wanita-wanita yang telah melahirkan mereka.
Maka tidak bisa dipersamakan dengan wanita-wanita yang haram dinikahi (mahram), kecuali yang memang telah Allah haramkan,
seperti wanita sesusuan, istri-istri Nabi SAW, dsb.
|
ليقولون منكرا
من القول
|
أي قولا منكرا أنكره
الشرع، والمنكر كل ما استقبحه الشرع والعقل والطبع
|
Yaitu perkataan yang munkar yang diingkari oleh syari’at. Munkar adalah
segala yang dianggap buruk oleh syariat, oleh akal dan oleh kebiasaan
manusia.
|
وزورا
|
كذبا وبهتانا، فإن
الزوجة لا تشبه بالأم
|
Kebohongan dan kedustaan. Karena istri tidak bisa dipersamakan dengan ibu.
|
وإن الله لعفو
غفور
|
يعفو عن المظاهر ويغفر
له إذا تاب وأدى الكفارة، كما أنه سبحانه غفور لكل من أذنب وعصى مطلقا إذا تاب
وأناب
|
Memaafkan dari segala perbuatan (dzihar) dan mengampuninya apabila ia
bertaubat dan menjalankan kafarah. Sebagaimana Allah SWT juga Maha Pengampun terhadap setiap orang yang berdosa dan
berbuat maksiat secara mutlak, apabila ia bertaubat dan menyesali
perbuatannya.
|
Ayat #3
|
||
ثم يعودون لما
قالوا
|
أي عدلوا عن قصد
التحريم، وذلك عند الشافعي بإمساك المظاهر منها في الزواج زمانا يمكنه مفارقتها
فيه، وعند أبي حنيفة بإستباحة استمتاعها ولو بنظرة الشهوة، وعند مالك : بالعزم
على الجماع، وعند الحسن البصري وأحمد : بالجماع
|
Yaitu mereka yang menyimpang dari tujuan pengharaman. Maka menurut Syafi’i dengan
menahan wanita yang dizhihar selama
periode thalak, Menurut Abu Hanifah dengan menganggap boleh bersenang-senang
dengannya walaupun dengan pandangan. Sedangkan menurut Imam Malik, dengan azam
untuk berjima’. Sedangkan menurut Hasan
Al-Bashri dan Ahmad, yaitu dengan berjima’.
|
فتحرير رقبة
|
أي فعليهم، أو فالواجب إعتاق
رقبة : عبد أو أمة. فالفاء للسببية الدالهة على تكرر وجوب التحرير بتكرر الظهار،
ويجب أن تكون الرقبة مؤمنة عند الجمهور غير الحنفية قياسا على كفارة القتل الخطأ
|
Yaitu , wajib bagi mereka. Maka, wajib bagi mereka untuk memerdekakan
hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan. Huruf “fa’ di sini adalah fa’
sababiyah yang menunjukkan pengulangan, yaitu wajibnya memerdekakan budak
setiap kali pengulangan dzihar. Budak yang dibebaskan haruslah budak yang
muslim menurut jumhur ulama, kecuali Hanafiah. Dikiaskan dengan kafarah
pembunuhan karena kesalahan (tidak sengaja).
|
من قبل أن
يتماسا
|
أي من قبل استمتاع
أحدهما بالأخر، لعموم اللفظ، وفيه دليل على حرمة المتعة أو الزواج قبل التكفير
|
Yaitu sebelum saling bersenang-senang (menggauli) antara satu dengan yang
lainnya, karena keumumuan lafadznya. Hal ini juga merupakan dalil haramnya
bersenagn-senang atau kawin sebelum melakukan
kafarat.
|
Ayat #4
|
||
فمن لم يجد
|
الرقبة أو ثمنها
|
Budak atau uang senilai membebaskan budak
|
فصيام شهرين
متتابعين من قبل أن يتماسا
|
أي فالواجب صوم شهرين
متواليين، فإن أفطر بغير عذر لزمه الإستئناف، وإن أفطر بعذر ففيه خلاف، وإن جامع
المظاهر منها ليلا لم ينقطع التتابع عند الشافعية، خلافا لأبي حنيفة ومالك
|
Maka wajib untuk puasa dua bulan secara berturut-turut. Jika berbuka
tanpa udzur, maka wajib mengulang dari awal. Jika berbuka karena udzur, maka
terdapat khilaf (ada yang mengharuskan mengulang dari awal, ada juga yang
tidak perlu mengulang. Namun jika orang yang mendzihar berjima’ dengan
istrinya pada malam hari, maka urutan puasa dua bulan tidak terputus menurut
Syafi’i, berbeda dengan pandangan Abu Hanifah dan Imam Malik. (menurut mereka harus mengulang puasa dari awal).
|
فمن لم يستطع
|
أي الصوم لهرم أو مرض
مزمن أو شبق مفرط إلى النساء
|
Yaitu (tidak
sanggup) berpuasa karena tua, sakit menanun, atau nafsu yang tinggi terhadap
wanita.
|
فإطعام ستين
مسكينا
|
لكل مسكين عند الشافعية
: مد من غالب قوت البلد، وهو رطل وثلث كالفطرة، وعند الحنفية نصف صاع من بر أو
صاع من تمر أو شعير، وذلك من قبل التماس أو الإسمتمتاع، وإنما لم يذكر التماس مع
الإطعام أكتفاء بذكره مع الخصلتين الآخرين : العتق والصيام
|
Bagi tiap orang
miskin; (menurut Syafi’i) satu mud menurut makanan pokok negrinya. Yaitu satu
setengah ritl, seukuran zakat fitrah. Sedangkan (menurut Hanafiah); setengah
sha’ gandum atau satu sha’ kurma. Dan hal tersebut ditunaikan sebelum
keduanya bersentuhan atau bersenang-senang. Adapun tidak disebutkannya saling
bersentuhan pada penyebutkan memberikan makan, karena sudah cukup
penyebutannya pada dua poin sebelumnya, yaitu memerdekakan budak dan puasa.
|
ذلك
|
البيان أو التعليم للأحكام
والتخفيف في الكفارة
|
Penjelasan atau pengajaran terhadap hukum dzihar dan keringanan dalam
kafarah.
|
لتؤمنوا بالله
ورسوله
|
أي فرض ذلك لتصدقوا
بالله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم في قبول شرائعه، ورفض أعراف الجاهلية
|
Yaitu Allah mewajibkan hal tersebut supaya kalian membenarkan (lebih yakin) terhadap Allah dan Rasulullah SAW dalam menerima
syar’at-Nya serta menolak kebiasaan-kebiasaan jahiliyah.
|
وتلك حدود الله
|
أحكام شريعته، لا يجوز
تعديها
|
Hukum-hukum syariah-Nya, tidak boleh melanggarnya.
|
وللكافرين
|
أي الذين لا يقبلون تلك
الأحكام
|
Yaitu orang-orang yang tidak menerima hukum tersebut.
|
عذاب أليم
|
عذاب مؤلم، كما قال
تعال ﴿ومن كفر فإن
الله غني عن العالمين﴾
|
Adzab yang menyengsarakan sebagaimana firman Allah SWT, ‘Barang siapa
yang mengingkari, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari alam semesta.
|
Asbabun
Nuzul
Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan asbabun
nuzul ayat pertama surat Al-Mujadilah ini, dimana antara satu
riwayat melengkapi riwayat-riwayat lainnya. Riwayat-riwayat tersebut adalah
sebagai berikut :
1.
Riwayat Imam Al-Hakim dalam Al-Mustradraknya dan dishahihkan oleh beliau, dari Aisyah ra
berkata, ‘Maha Suci Allah yang Maha luas pendengarannya meliputi segala
sesuatu. Sesungguhnya aku benar-benar mendengar perbincangan Khaulah binti
Tsa’labah, namun beberapa perkataannya tidak bisa aku dengarkan, dia mengadukan
suaminya kepada Rasulullah SAW dengan berkata, ‘Wahai Rasulullah SAW,
sungguh ia (suamiku) telah mengambil masa mudaku, dan aku banyak melahirkan
anak darinya. Hingga ketika usiaku sudah menua dan aku tidak bisa
melahirkan lagi, ia mendziharku. Ya Allah aku mengadu padamu. Maka sebelum keesokan
harinya, Malaikat Jibril turun menyampaikan wahyu ayat tersebut. Suaminya
adalah Aus bin Shamit.’
2.
Riwayat Imam Bukhari
dan Imam Ahmad bin Hambal, dari Aisyah ra bahwasanya beliau berkata, ‘Segala
puji bagi Allah yang Maha Luas Pendengaran-Nya meliputi segala suara. Sungguh
telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Nabi SAW, ia
berbicara kepada Nabi SAW sedangkan aku berada di salah satu sisi rumah, aku
tidak mendengar apa yang ia bicarakan. Lalu Allah SWT menurunkan firmannya,
‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan
kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah
mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat”.
3.
Riwayat Ibnu Majah
dalam Sunannya, dan Imam Baihaqi, bahwasanya Aus bin Shamit berkata
kepada istrinya Khaulah binti Tsa’labah bin Malik, ‘Engkau bagiku seperti
punggung ibuku’. Padahal dulu di zaman Jahiliyah apabila seorang suami
berkata kepada istrinya ungkapan seperti itu maka ia menjadi haram baginya.
Lalu ia menyesal pada waktu tersebut, dan memanggil istrinya (untuk
menggaulinya), namun istrinya menolak dan berkata, ‘Demi Dzat yang jiwa Khaulah
berada di tangannya, jangalah kamu menyentuhku, karena kamu telah mengungkapkan
perkataan seperti yang kamu ungkapkan, hingga Allah dan Rasul-Nya memberikan
keputusan hukum.’ Lalu ia mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ‘Wahai
Rasulullah SAW sesungguhnya Aus telah menikahiku ketika aku masih muda dan
disukainya. Namun ketika usiaku telah lanjut dan aku banyak melahirkan anak
darinya, ia menjadikanku seperti ibunya (mendziharku) dan meninggalkanku
seorang diri. Maka apakah engkau memberikan rukhsah (keringanan) yang bisa
memberikan keputusan kepadaku dan dia, maka beritahukanlah kepadaku.’ Lalu Nabi
SAW bersabda, ‘Aku belum mendapatkan wahyu terkait dengan apa yang menimpamu hingga
sekarang’. (Dalam riwayat lain disebutkan) bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Aku
tidak melihat melainkan engkau menjadi haram baginya.’ Ia berkata, ‘Ia tidak
menyebutkan kata thalaq Wahai Rasulullah.’ Ia terus menggugat Rasulullah SAW
berkali-kali, lalu berkata, ‘Ya Allah sesungguhnya aku mengadu pada-Mu keadaan
dan kesulitanku….’ Ia terus menerus meminta hingga akhirnya turunlah ayat
Al-Qur’an berkenaan dengan keadaannya. Lalu Nabi SAW bersabda, ‘Wahai Khaulah,
terimalah berita gembira’. Ia berkata, ‘suatu kebaikan’. Kemudian Nabi SAW
membacakan firman-Nya (QS. Al-Mujadilah : 1).
4.
Riwayat Imam Ahmad bin
Hambal sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ‘…..bahwa
Rasulullah SAW bersabda (setelah beberapa kali Khaulah mengajukan gugatan ke
Rasulullah SAW berkenaan dengan perlakuan suaminya kepadanya), ‘Hai Khaulah,
putra pamanmu itu adalah seorang laki-laki yang sudah tua. Bertakwalah kamu
mengenai dirinya.” Khaulah berkata, ‘Demi Allah, aku terus menerus mendesak
beliau hingga turunlah ayat itu mengenai diriku.”… (Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir, Jilid 4 hal 617 – 618)
Tafsir ayat #1 :
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ
قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ
تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ ﴿١﴾
Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan
mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu
berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Ayat pertama surat Al-Mujadilah menjelaskan bahwa
Allah SWT benar-benar telah mendengar perkataan seorang wanita yang
berkali-kali datang kepada Nabi SAW untuk mengajukan gugatan perihal suaminya
yang telah mendziharnya, dan (karena tidak puas dengan jawaban Nabi SAW), ia
pun mengadu kepada Allah SWT, dengan mengucapkan ungkapan, ‘Ya Allah
sesungguhnya aku mengadu pada-Mu keadaan dan kesulitanku….’. Lalu Allah SWT
menurunkan ayat ini, sebagai sebuah pernyataan bahwa Allah benar-benar telah mendengar
dan memperhatikan kejadian rumah tangga wanita tersebut, (yaitu Khaulah binti
Tsa’labah), dan juga Allah SWT benar-benar mendengar dan memperhatikan peristiwa
diskusi yang dilakukan antara wanita ini dengan Rasulullah SAW.
Dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Daud
disebutkan (sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya), bahwa
Khaulah binti Tsa’labah berkata, ‘Demi Allah, mengenai diriku dan suamiku Aus
bin Shamit lah Allah telah menurunkan ayat yang terdapat di permulaan surat
Al-Mujadilah.”
Katanya, ;Aku berada di sisinya, dia adalah seorang laki-laki yang
sudah tua renta, akhlaknya sangat buruk sekali.’ Dia melanjutkan, ‘Pada suatu
hari, dia menemuiku, namun aku menolak keingainannya. Dia pun marah seraya
mengatakan, ‘Kamu bagiku seperti punggung ibuku.” Dia melanjutkan, ‘Kemudian
dia keluar dan duduk-duduk di kedai kawan-kawannya sebentar, kemudian masuk
lagi menemuiku. Ternyata dia ingin bersetubuh denganku. Kataku, ‘Tidak, Demi
yang diri Khaulah berada di dalam genggaman-Nya, kamu tidak layak lagi hingga
Allah dan Rasul-Nya memberikan putusan mengenai urusan kita dengan hukum.-Nya.
Lalu di menerkamku, namun aku tetap bertahan. Aku pun melumpuhkannya dengan suatu
cara yang dapat digunakan mengalahkan laki-laki yang sudah tua renta. Akupun
menjauhkan diri darinya. Lalu aku keluar untuk bertemu dengan sebagian
tetanggaku. Aku meminjam daripadanya beberapa potong pakaian. Setelah itu aku
keluar untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Akupun duduk di hadapan beliau. Aku
ceritakan kepada beliau tentang perlakuan yang aku terima dari suamiku itu.
Mulailah aku mengadukan kepada beliau tentang akhlaknya yang jelek itu.’
Rasulullah SAW kemudian mengatakan, ‘Hai Khaulah, putra pamanmu itu adalah
seorang laki-laki yang sudah tua. Bertakwalah kamu mengenai dirinya.’”
Khaulah berkata, ‘Demi Allah, aku terus medesak beliau sehingga
turunlah ayat ini mengenai diriku. Seketika itu Rasulullah SAW pun pingsan
dantidak sadarkan diri. Setelah sadar, beliau sangat bergembira sekali. Lalu
beliau mengatakan kepadaku, ‘Hai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan ayat
mengenai dirimu dan suamimu… kemudian beliua membacakan ayat itu, ‘Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya dan mengadukan kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab
antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” sampai
firman Allah SWT, ‘…dan bari orang-orang kafir ada siksa yang sangat pedih.”
(Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4 Hal. 617 – 618)
Terdapat beberapa catatan terkait dengan riwayat
sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tersebut :
1.
Bahwa telah terjadi
pengaduan seorang wanita kepada Rasulullah SAW akibat perlakukan suaminya
terhadap dirinya. Wanita tersebut adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Malik,
sedangkan suaminya adalah Aus bin Shamit, saudara sahabat Nabi SAW Ubadah bin
Shamit.
2.
Pengaduan tersebut
dilakukan karena perlakuan yang tidak semestinya yang dilakukan oleh suaminya
Aus bin Shamit, ketika ia mengatakan kepada Khaulah, ‘Engkau bagiku seperti
punggung ibuku.’ Dimana pada masa jahiliyah, ungkapan tersebut memiliki dampak
yang lebih dahsyat daripada thalak. Dikatakan oleh Wahbah az-Zuhaily dalam Tafsir
al-Munir, bahwa ungkapan tersebut (baca ; dzihar) memiliki konsekwensi haram
untuk digauli selamanya dan tidak dapat diruju’ kembali selamanya (hurmah
mu’abbadah la raj’ata fiihi). Oleh karena itulah, ia mengadu kepada
Rasulullah SAW atas perlakuan suaminya terhadapnya, yang dilakukannya ketika
usianya sudah mulai menua dan telah banyak melahirkan anak darinya.
3.
Bahwa riwayat di atas
mengatakan bahwa Khaulah berkali-kali datang kepada Rasulullah SAW untuk
mengadukan hal tersebut. Dan Rasulullah SAW hanya mengatakan kepadanya ‘Hai
Khaulah, putra pamanmu itu adalah seorang laki-laki yang sudah tua. Bertakwalah
kamu mengenai dirinya.’ Oleh karena itulah ia disebut sebagai “al-mujadilah”
yang secara bahasa berarti seorang wanita yang mendebat, atau menggugat kepada
Nabi SAW dengan datang kepada beliau berkali-kali untuk mengadukan permasalahan
tersebut kepada Nabi SAW.
4.
Bahwa Allah SWT benar-benar
mendengar dan melihat dengan sejelas-jelasnya peristiwa rumah tangga yang
dialami oleh Khaulah binti Tsa’labh dengan suaminya Aus bin Shamit, juga
peristiwa pengaduan Khaulah kepada Rasulullah SAW, serta pengaduan Khaulah
kepada Allah SWT atas apa yang menimpanya. Maka oleh karenanya, Allah SWT
menurunkan ayat-ayat ini kepada Rasulullah SAW sebagai jawaban atas peristiwa
yang menimpa Khaulah.
( المجادلة ) Al-Mujadilah dalam ayat ini bermakna tahawur (تحاور ) (berdebat,
bertanya jawab atau berdiskusi), yaitu berulang-ulangnya perbincangan untuk mendapatkan penjelasan dan
jalan keluar dari permasalahan
yang dihadapi oleh Khaulah. Karena
Khaulah memang beberapa kali datang kepada Nabi SAW untuk mendiskusikan masalah ini. Oleh karena itulah,
Al-Qur’an mengungkapkannya dengan lafadz ( تحاوركما ) atau hiwar yaitu atau perdebatan kalian berdua, antara Nabi SAW
dengan Khaulah binti Tsa’labah.
Sedangkan
kata syakwa ( شكوى
) yang dalam Al-Qur’an diibaratkan dengan ( وتشتكي
) berarti keluhan, adalah
memberitahukan kepada Nabi Muhammad SAW perihal sesuatu yang tidak disukai yang
menimpanya. Jika dilihat dari teks ayatnya, keluhan tersebut disampaikan
Khaulah kepada Allah SWT sebagaimana firman-Nya ( وتشتكي إلى الله
) ‘dan ia mengadukan halnya kepada Allah SWT’.
Sementara
kata sam’u ( السمع ) mendengar, yang diibaratkan dalam ayat di atas ( والله يسمع تحاوركما ) adalah sifat Allah SWT yang dapat mendengarkan segala suara,
termasuk suara diskusi antara Khaulah dengan Rasulullah SAW, juga suara
kejadian yang terjadi di rumah tangganya Khaulah.
Sementara
wanita ( المرأة ) dalam ayat ini ia adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Malik
dan suaminya ( الزوج ) adalah Aus bin Shamit, salah seorang dari suku Anshar.
Sebagian
mufasir mengatakan bahwa kata ( قد
) pada permulaan ayat ini bermakna ( التوقع
) ‘mengharapkan’. Karena baik Nabi Muhammad SAW dan wanita yang mengajukan
gugatan kepada beliau sama-sama mengharapkan bahwa Allah SWT mendengarkan
perdebatan diantara mereka, lalu menurunkan ayat yang dapat menyelesaikan
permasalahan tersebut. Firman Allah ( سمع الله
) ‘Allah mendengar’ merupakan kiasan dari diterima dan dijawabnya
perbincangan atau pengajuan gugatan wanita tersebut. Kata ( قد
) tersebut juga bisa berarti “sungguh”, sebagai bentuk ungkapan bahwa Allah
sungguh-sungguh mendengar peristiwa tersebut.
Tafsir Ayat #2
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ
مِنكُم مِّن نِّسَائِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلاَّ اللاَّئِي
وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنكَراً مِّنَ الْقَوْلِ وَزُوراً وَإِنَّ
اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ ﴿٢﴾
Orang-orang yang menzhihar isterinya di
antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri
mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu
perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha
Pengampun.
Ayat
kedua menjelaskan Allah SWT
benar-benar memandang buruk
perbuatan dzihar, sebagaiama sudah menjadi kebiasaan masyarakat jahiliyah khususnya yang dilakukan oleh Aus
bin Shamit terhadap istrinya, yaitu Khaulah binti Tsa’labah. Allah SWT
bahkan mengatakannya bahwa hal tersebut merupakan perkataan yang mungkar dan
dusta. Karena pada hakekatnya, ibu mereka adalah wanita yang telah melahirkan
mereka.
Hukum Dzihar di Masa Jahiliyah
Pada
zaman jahiliyah, dzihar berlaku sebagai thalaq (perceraian) yang mengharamkan suami untuk menggauli istri dengan pengharaman yang mu’abbad (selamanya) yang tidak dapat
diruju’ kembali. Pada zaman Jahiliyah, semua wanita yang bisa dithalak, bisa pula di
dzihar. Dalam thalaq seorang istri masih bisa dirujuk sedangkan dalam
dzihar tidak dapat dirujuk kembali. Oleh karena itulah, Islam mengharamkan
dzihar.
Dzihar berasal dari kata ‘dzahr’ yang
berarti punggung. Dalam hal ini adalah menyamakan seorang istri dengan punggung
atau anggota tubuh ibunya. Digunakan istilah punggung, karena ungkapan yang
sering disebutkan oleh suami yang mendzihar istrinya adalah dengan menyamakan istrinya
dengan punggung (dzhar). Sementara dari segi istilah, dzihar adalah
menyerupakan istri atau salah satu bagian tubuh istri dengan salah seorang
muhrimnya secara nasab atau saudara sesusuan dengan tujuan pengharaman untuk
menggaulinya. Dzihar ada dua jenis; sharih (jelas atau terang-terangan) dan
kinayah (kiasan).
1.
Dzihar Sharih
Yaitu dzihar yang diungkapkan dengan
bahasa yang jelas, seperti seorang suami berkata kepada istrinya dengan
ungkapan sebagai berikut :
a.
Engkau bagiku seperi
punggung ibuku.
b.
Engkau haram bagiku seperti
punggung ibuku.
c.
Engkau bagiku seperti perut
ibuku (atau bagian tubuh ibu lainnya, seperti kepala, kemaluan, kaki, dsb)
2.
Dzihar Kinayah
Yaitu ungkapan yang dicupakan seorang
suami kepada istrinya dengan ungkapan-ungkapan yang mengandung makna seperti
dzihar. Diantaranya adalah ungkapan ‘Engkau seperti ibuku’. Mengenai hal ini,
para ulama berpendapat bahwa apabila ungkapan tersebut dimaksudkan dzihar maka
hukumnya adalah dzihar. Namun apabila tidak dimaksudkan dzihar, maka hukumnya
bukan dzihar.
Dzihar hanya bisa dilakukan oleh suami terhadap
istrinya dan tidak bisa seorang istri mendzihar suaminya. Ayat kedua di atas
menggambarkan hal seperti itu, ‘Orang-orang yang mendzhihar isterinya di
antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri
mereka itu ibu mereka…’ Sehingga apabila seorang istri mengatakan kepada
suaminya, ‘Engkau bagiku seperti punggung ibuku’, maka hukumnya adalah kafarat
sumpah (berpuasa tiga hari). Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan ‘Wajib
baginya untuk kafarat dzihar, karena telah mengucapkan perkataan mungkar dan
dusta.’
Hukum dzihar (berupa kafarat yang harus
dilakukan oleh suami yang mendzihar istrinya) hanya dikhususkan bagi kaum
muslimin saja. Kata ( منكم
) pada ayat ini menunjukkan bahwa hukum ini berlaku khusus bagi kaum muslimin.
Karena konsekewnsi dzihar untuk membebaskan budak, berpuasa dua bulan
berturut-turut dan memberikan makan terhadap 60 orang miskin menunjukkan bahwa
hukum dzihar hanya berlaku untuk kaum muslimin.
Tafsir Ayat #3 & #4
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ
مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ
أَن يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿٣﴾
فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا
فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِيناً ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿٤﴾
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang
tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
Ayat ketiga dan keempat dari surat Al-Mujadilah ini
menjelaskan tentang kafarat yang harus dilakukan bagi seseorang yang telah
mendzihar istrinya. Dalam kedua ayat ini terdapat beberpa hukum terkait dengan
kafarat dzihar :
1.
Terdapat perbedaan perndapat dari makna
firman Allah ( يعودون لما قالوا ) “kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan”, yaitu :
a.
Jumhur ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
membatalkan dziharnya dan kembali seperti semula kepada istrinya seperti untuk
berjima’, bersenang-senang dsb, maka bagi mereka harus membebaskan budak, atau
berpuasa selama dua bulan berturut-turut atau memberi makan kepada 60 orang
miskin.
b.
Ad-Dzhariyah berpendapat bahwa yang dimaksud
adalah pengulangan kata dzihar. Artinya orang yang mengulangi perkataan dzihar
kepada istrinya. Maksudnya tidak perlu membayar kafarat kecuali apabila
melakukan pengulangan kata dzihar kepada istrinya. Namun pendapat ini merupakan
pendapat yang bathil dan tidak bisa diterima.
c.
Sementra Syafii berpendapat bahwa yang dimaksud
adalah menahan istri setelah mendziharnya, sementara ia mampu untuk
menthalaqnya.
2.
Berkenaan dengan kafarat yang harus dilakukan oleh
orang yang mendzihar istrinya.Kafaratnya adalah sebagai berikut :
a.
Membebaskan budak.
Yang dimaksud dengan membebaskan budak
adalah membebaskan budak secara sempurna hingga menjadi orang yang merdeka.
Ulama berbeda pendapat, apakah yang dimaksud harus budak mu’min atau boleh juga
budak yang kafir?
·
Hanafiyah dan Dzahiriyah
berpendapat bahwa yang dimaksud adalah budak secara mutlaq, tidak disyaratkan
harus budak yang mu’min. Karena jika disyaratkan iman, tentu Allah SWT akan
menjelaskan sebagaimana disyarakatkan dalam diyat pembunuhan.
·
Namun jumhur ulama
berpendapat bahwa yang dimaksud adalah budak yang beriman. Ayat yang
menjelaskan keharusan membebaskan budak yang beriman menjadi penjelas bagi
umumnya ayat pembebasan budak dalam ayat ini. Dan hal ini juga dikuatkan dengan
riwayat dari Imam Malik ra dengan sanadnya dari Mu’awiyah bin Al-Hakam
As-Sulami tentang kisah seorang budak hitam, dimana Rasulullah SAW bersabda,
‘Bebaskanlah (merdekakanlah ia) karena sesungguhnya ia seorang mu’minah’ (HR.
Malik & Ahmad).
b.
Berpuasa dua bulan secara berturut-turut
Yaitu apabila tidak terdapat budak yang memungkinkan untuk dimerdekakan,
seperti di zaman sekarang ini, maka ia harus menggantinya dengan berpuasa
selama dua bulan berturut-turut yang tidak terputus diantaranya. Karena jika
terputus satu hari saja, maka ia harus mengulanginya dari awal menurut jumhur
ulama. Kecuali apabila terputusnya karena ada udzur, seperti sakit, haid, nifas
dsb.
c.
Memberi makan kepada 60 orang miskin.
Jka tidak mampu untuk melaksanakan puasa selama dua bulan terturut-turut,
karena sudah tua atau sakit menahun atau halangan berat lainnya yang tidak
memungkinkannya untuk berpuasa berturut-turut, maka ia harus memberi makan
kepada 60 orang miskin.
Jumlah 60 orang miskin merupakan jumlah yang harus diberikan kepada 60
orang miskin, sehingga tidak bisa memberikan satu orang miskin selama 60 hari
menurut jumhur ulama. Namun Hanafiyah memperbolehkannya. Tentu pendapat jumhur
ulama adalah yang lebih tepat.
Ulama sepakat, bahwa urutan kafarat dzihar
harus sesuai sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat. Pertama-tama haruslah
membebaskan budak terlebih dahulu, apabila tidak memungkinkan baru berpuasa dua
bulan berturut-turut. Sedangkan apabila tidak memungkinkan maka memberi makan
kepada 60 orang miskin.
3.
Terkait dengan permasalahan
melakukan jima’ (antara suami yang mendzihar dengan istrinya yang didiziharnya),
secara dzahir ayat menjelaskan bahwa harus melakukan kafarat terlebih dahulu
sebelum saling bersentuhan ( من قبل أن يتماسا ). Bersentuhan dalam ayat tersebut adalah ibarat
untuk melakukan jima’. Ulama sepakat bahwa siapa yang melakukan jima’ sebelum
selesai kafaratnya maka ia berdosa karena menyalahi ketentuan Allah SWT. Adapun
hukum kafaratnya apabila di tengah-tengah kafarat ia melakukan jima’
a.
Maliki, Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa jima’
pada saat proses kafarat diharamkan dan membatalkan kafarat yang sedang
dilakukannya dan ia harus memulainya kembali dari awal. Namun menurut Hanafi
dan Hambali, apabila kafaratnya berbentuk memberi makan 60 orang fakir miskin
dan belum selesai prosesnya lalu ia berjima’, maka tidak perlu mengulanginya
lagi dari awal sebagaimana puasa.
b.
Syafii berpendapat bahwa ia berdosa karena jima
sebelum usai kafaratnya namun tidak membatalkan urutan puasa kafarat dua bulan
secara berturut-turut. Ia bisa meneruskan kafarat puasanya.
4.
Sedangkan dalam melakukan muqaddimah jima’, ulama
juga berbeda pendapat sebagai berikut :
a.
Jumhur ulama berpendapat,
haram melakukan jima’ sebelum selesai kafaratnya, termasuk di dalamnya semua
bentuk “muqaddimah” jima’ seperti mencium, memeluk, dsb. Karena jalan menuju kepada yang haram adalah haram.
b.
Sementara Syafi’I berpendapat bahwa
muqaddimah jima’ boleh dilakukan
sebelum usai kafaratnya. Karena haramnya jima’ tidak berarti haramnya
muqaddimah jima’, seperti wanita yang sedang haid, boleh dilakukan muqadimah
jima’ tanpa jima’ atau seperti orang yang sedang berpuasa, haram untuk jima’
namun boleh saja melakukan muqadimah jima’.
5.
Bahwa semua hukum dan ketentuan dzihar ini
ditetapkan Allah SWT agar kita membenarkan kepada hukum dan syariat Allah SWT
dan Rasul-Nya serta tidak melanggarnya, khusuanya dalam masalah dzihar yang
merupakan perilaku jahiliyah yang sangat bertentangan dengan hukum Allah SWT.
Dan bagi orang-orang yang mengingakari hukum Allah SWT tersebut akan
mendapatkan azab yang pedih. Disebutkan kata kafir dalam ayat ke 4, sebagai bentuk
celaan bagi orang-orang yang melanggar syariat Allah SWT.
Hikmah Tarbawiyah
1.
Bahwa Allah SWT Maha Mendengan dan Maha Melihat,
bahkan hingga apa yang terjadi dalam kehidupan yang paling pribadi bagi setiap
muslim; yaitu hubungan suami istri. Oleh karenanya, hendaknya setiap muslim
tidak boleh menganggap remeh kehidupan rumah tangga, khususnya yang terkait
dengan hukum Allah. Tidak boleh melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Allah
SWT dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
2.
Antusias seorang shahabiyah untuk mendapatkan
kepastian hukum kepada Rasulullah SAW dalam masalah rumah tangga yang
dihadapinya. Ia tidak mau ketika diajak berhubungan jima’ oleh suaminya yang
telah mendziharnya, hingga adanya kepastian hukum. Ini menunjukkan
kehati-hatian shahabiyah tersebut, untuk tidak berbuat sesuatu sebelum adanya
kepastian hukum syariat. Tentu hal ini berbeda dengan kebanyakan orang-orang
sekarang yang cenderung “merasa aman” kalau belum ada ketentuan syariahnya.
3.
Segala perilaku jahiliyah hendaknya dijauhi oleh
setiap muslim dalam segala aspek kehidupan yang menyalahi ketentuan Allah dan
Rasul-Nya, tidak terkecuali dalam masalah kehidupan rumah tangga seperti dzihar
yang dilakukan oleh Aus bin Shamit kepada istrinya Khaulah binti Tsa’labah.
Karena dzihar merupakan perbuatan mungkar dan dusta. Mungkar karena menyalahi
aturan Allah dalam kehidupan rumah tangga, dan dusta karena menyamakan istri
dengan ibu. Sementara ibu adalah wanita yang telah melahirkan kita.
4.
Bahwa setiap hukum dan aturan syariah yang dibuat
Allah SWT adalah untuk menguji kita; apakah kita membenarkan hukum tersebut
dengan melaksanakannya atau mendustakannya dengan tidak melaksanakannya bahkan
mengabaikannya. Maka hendaklah kita berusaha untuk senantiasa melaksanakan
segala hukum Allah SWT. Karena dalam ayat yang ke 4 dikatakan bahwa “bagi orang
kafir azab yang pedih” sebagai bentuk celaan terhadap orang yang melanggar
syariat Allah SWT ia sama seperti orang kafir atau sama seperti sifat orang
kafir yang mengabaikan hukum Allah SWT dan Rasul-Nya.
Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag
Label: Tafsir Juz 28
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)