عَنْ أَبِي
مَسْعُودٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرُو اْلأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ، قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ
مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ"
(متفق عليه)
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amru Al-Anshari Al-Badri ra berkata, bahwa
Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya sebagian dari apa yang telah dikenal
orang dari ungkapan kenabian yang pertama adalah, ‘Jika kamu tidak malu,
berbuatlah sekehendakmu.’ (HR. Bukhari Muslim)
Takhrij
Hadits
1.
Hadits ini merupakan hadtis shahih yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dalam shahihnya, dalam beberapa tempat, diantaranya adalah
dalam :
a.
Kitab Ahaditsul Anbiya’, Bab Hadits Al-Ghar, hadits no 3224 & 3225.
b.
Kitab Al-Adab, Bab Idza Lam Tastahyi Fashna’ Ma
Syi’ta, hadits no 5655.
2.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam
Sunannya Sunan Ibni Majah, dalam Kitab Az-Zuhud, Bab Al-Haya’, hadits no
4137.
3.
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad bin
Hambal dalam Musnadnya, Musnad As-Syamiyin, Bab Baqiyati Hadits Abi Mas’ud
Al-Badri Al-Anshari ra, dalam tiga tempat, yaitu pada hadits no 16470,
16478 & 16485.
Catatan Takhrij Hadits :
Hadits ini
memiliki syahid (hadits dengan matan yang sama namun diriwayatkan
melalui jalur periwayatan yang berbeda) yang menguatkan riwayat Abu Mas’ud di
atas, yaitu riwayat lain dari Hudzaifah
bin Yaman dengan matan yang sama seperti riwayat Abu Mas’ud yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, Musnad Al-Anshar, Bab Hadits
Hudzaifah bin Yaman, hadits no 22170 & 22344
Makna
Hadits Secara Umum
Hadits
singkat dan sederhana ini menggambarkan sebuah nilai yang demikian luhur, yang ternyata
juga merupakan nilai yang ditanamkan oleh para nabi dan Rasul radhiallahu
anhum ajma’in sebelum nabi Muhammad SAW, yang apabila nilai ini menghiasi diri dan hati setiap muslim,
maka insya Allah ia akan terjaga dari segala bentuk perbuatan buruk dan tercela
atau dengan kata lain, akan terjaga keimanannya. Nilai yang luhur tersebut
adalah sebuah sifat yang disebut dengan al-haya’, yaitu sifat malu yang
didasari oleh keimanan kepada Allah yang akan melahirkan sebuah sikap untuk
senantiasa menjaga diri dari
segala perbuatan dosa dan mungkar, bahkan senantiasa memotivasinya untuk
senantiasa beramal shaleh dan beretika (berakhlakul karimah), terhadap siapapun
dan dimanapun ia berada.
Sifat ini merupakan buah dari keimanan yang tertanam di dalam hati sanubari
setiap muslim, yang tercermin dalam implementasi untuk senantiasa memiliki rasa
malu, bila mengerjakan perbuatan yang tidak sesuai dengan ruh Islam serta
mendorongnya untuk melakukan segala amalan yang terkait dengan keimanan kepada
Allah SWT.
Sifat al-haya’
ini menjadi pelajaran yang sangat berharga yang diajarkan dari masa kenabian
yang pertama (yaitu masa kenabian sebelum nabi Muhammad SAW) yang ‘wajib’ menghiasi
bagi setiap muslim. Artinya bahwa para Nabi dan Rasul as sepakat untuk menanamkan
nilai ini ke dalam hati sanubari umatnya, bahkan sifat ini seolah menjadi sifat
wajib atau sifat utama bagi para Nabi dan Rasul ra sendiri. Oleh karena itulah,
kita mendapatkan sabda dari Rasulullah SAW, ‘Sesungguhnya sebagian dari apa
yang telah dikenal orang dari ungkapan kenabian yang pertama adalah, ‘Jika kamu
tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.’ (HR. Bukhari). Ibnu Hajar Al-Asqalani
dalam Fathul Barinya mengemukakan bahwa makna dari sabda nabi ( كلام النبوة ) ‘ungkapan kenabian’, yang dimaksud adalah ( مما اتفق عليه الأنبياء ) sesuatu yang disepakati oleh para nabi. Artinya para nabi
sepakat dengan nilai ini. Kemudian makna dari ( النبوة الأولى
) maksudnya adalah dari para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Makan sejatinya,
sifat ini juga menjadi sifat wajib bagi setiap muslim, khususnya bagi para
du’at (baca ; aktivis da’wah), khususnya dalam mengemban amanah da’wah di muka
bumi ini.
Pelajaran
Hadits
Ada
beberapa hikmah atau pelajaran penting yang dapat dipetik dari hadits di atas,
diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Sebagai agama yang universal, Islam tidak hanya
mengedepankan aspek pemenuhan pelaksanaan hukum syariat kepada pemeluknya hanya dari sisi pendekatan
penegakan aturan semata; siapa melanggar mendapatkan hukuman dan siapa
melaksanakan mendapatkan pahala. Namun Islam sangat mengedepankan sisi al-wa’yu
( الوعي ) atau kesadaran dan penghayatan ketika melaksanakan suatu
aturan tersebut. Dalam artian bahwa syariah atau hukum dan perundangan yang
terdapat dalam Dinul Islam yang mengatur seluruh dimensi kehidupan, pada
hakekatnya tidaklah bertujuan untuk membatasi kaum muslimin, namun hukum tersebut substansinya adalah untuk
menjaga nilai-nilai yang sudah mengakar menjadi satu dengan keimanan, agar
terjaga dengan baik dan tidak
rusak. Oleh karena itulah, Islam juga menumbuhkan sebuah sikap dan mentalitas
yang memotivasi umatnya untuk mentaati hukum syariah, tanpa ada rasa keberatan
atau ketrepaksanaan untuk mengikuti hukum tersebut. Dan salah satu bentuk penumbuhan
sikap tersebut adalah dengan cara memperkaya hati dengan sikap al-haya’,
yaitu sikap malu yang didasari karena keimanan kepada Allah SWT. Karena
dengan sikap al-haya’
ini, setiap muslim akan malu apabila tidak melaksanakan hukum Allah SWT, atau akan malu apabila melanggar aturan
Allah SWT, bahkan akan malu apabila
tidak beretika sebagaimana diajarkan dalam ajaran dinul Islam (baca;
berakhlakul karimah). Sehingga apabila diibaratkan dengan sifat al-haya’
ini, tanpa adanya hukum pun, setiap muslim tidak akan melakukan pelanggaran
hukum atau tidak akan melakukan tindakan yang tercela. Walaupun apabila
ditinjuar dari sisi kehidupan sosial, hukum tetap perlu diadakan untuk menjaga
keharmonian kehidupan sosial.
2.
Bahwa ajaran para Nabi dan Rasul yang diutus oleh
Allah SWT ke muka bumi, pada dasarnya memiliki persamaan prinsip dan intisari
yang terkandung dalam nilai-nilai yang diajarkan oleh mereka. Karena pada
dasarnya semua yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul ra tersebut, merupakan
wahyu yang bersumber dari Allah SWT. Maka jika kita perhatikan, semua Nabi dan
Rasul ra tanpa terkecuali mengajarkan kepada kita untuk senantiasa mentauhidkan
Allah SWT, beriman kepada hari akhir, berbudi pekerti yang luhur, melakukan
amal shaleh, dsb. Dan salah satu nilai utama yang terkandung dalam ajaran semua
Nabi dan Rasul ra dan disepakati oleh mereka adalah anjuran untuk senantiasa
memiliki sifat al-haya’, yaitu rasa malu yang lahir dari adanya keimanan
kepada Allah SWT.
3.
Sikap al-haya’ atau malu, didefinisikan
oleh Syekh Mustafa Dieb Al-Bugha dengan ‘menjauhkan diri dari perbuatan yang
tercela dan
menahan diri dari mengerjakan sesuatu atau juga meninggalkan sesuatu karena
khawatir mendapatkan celaan dan cacian yang bertentangan dengan keimanan.’ Namun yang perlu digaris bawahi dari
sifat al-haya’ atau malu adalah bahwa al-haya’ merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari keimanan. Ia lahir dan tumbuh bersamaan dengan
tumbuh dan berkembangnya keimanan dalam diri seseorang. Semakin tebal keimanannya
kepada Allah SWT, maka akan semakin tinggi pula sifat al-haya’nya. Oleh
karena itulah dalam beberapa hadits kita mendapatkan Nabi Muhammad SAW
mengaitkan antara iman dengan al-haya’. Diantaranya adalah dalam riwayat
berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ اْلإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ
اْلإِيمَانِ (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW
bersabda, ‘Iman itu memiliki enam puluh sekian cabang. Dan rasa malu merupakan
salah satu cabang keimanan.’ (HR.Bukhari)
Ibnu Qayim Al-Jauzi dalam Tahdzib Madarijis Salikin mengemukakan,
bahwa sifat al-haya’ dilihat dari akar katanya berasal dari ( الحياة ) al-hayah (kehidupan). Ia
berarti pula al-haya ( الحيا ) yang berarti
hujan. Sementara dilihat dari sisi ‘kehidupan hati’, sifat al-haya’
merupakan kekuatan akhlak; dan orang yang sedikit al-haya’nya (rasa
malunya), adalah tanda ‘matinya hati dan ruhnya. Dan semakin hati seseroang itu
hidup, maka akan semakin tinggi pula sifat al-haya’ nya. Penulis melihat
(terkait dengan apa yang dikemukakan oleh Syekh Ibnu Qayim Al-Jauzzi di atas, bahwa
keterkaitan antara al-haya’ (malu) dengan al-hayah (kehidupan)
dan al-haya (hujan), adalah bahwa orang yang memiliki rasa malu, maka
pada hakekatnya ia adalah orang yang ‘mawas’ ketika menjalani kehidupan.
Artinya sifat malu merupakan sifat yang sangat diperlukan dalam menjalani
kehidupan di dunia. Insya Allah rasa malu tersebut akan menyelematkannya dari
segala bentuk kemungkaran dan kebathilan. Dan rasa malu itu apabila telah
menghiasi pribadi seorang muslim, maka ia akan seperti hujan yang menyirami dan
meneduhkan serta menumbuhkan segala kebaikan dalam hatinya dan akan
terimplementasi kehidupan, sebagaimana hujan juga akan menumbuhkan berbagai
tumbuhan dan meneduhkan bumi atau dengan kata lain, ia akan menjadi energy
untuk mendapatkan keridhaan Ilahi.
4.
Berkenaan dengan sifat al-haya’ ini, dalam
sebuah riwayat Rasulullah SAW menggambarkan tentang hakekat dari sifat al-haya’
sekaligus sebagai bentuk penggambaran dari buah yang akan didadapatkan
seseorang aapabila menghiasi diri dengan sifat ini. Riwayat tersebut adalah
sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ
حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ
لِلَّهِ قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ اْلإِسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ
وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ اْلآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ
فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ (رواه الترمذي)
Dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.’ Sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami sudah malu dan Alhamdulillah.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Bukan seperti itu, akan tetapi malu kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya adalah bahwa engkau menjaga kepala dan apa yang di dalamnya, engkau menjaga perut dan apa yang ada di sekitarnya (kemaluan), engkau senantiasa mengingat kematian dan kefanaan. Dan barang siapa yang menginginkan kehidupan akhirat, ia akan meninggalkan perhiasan kehidupan dunia. Dan barang siapa yang melakukan itu semua, sungguh ia telah malu kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.’ (HR. Turmudzi)
Dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.’ Sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami sudah malu dan Alhamdulillah.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Bukan seperti itu, akan tetapi malu kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya adalah bahwa engkau menjaga kepala dan apa yang di dalamnya, engkau menjaga perut dan apa yang ada di sekitarnya (kemaluan), engkau senantiasa mengingat kematian dan kefanaan. Dan barang siapa yang menginginkan kehidupan akhirat, ia akan meninggalkan perhiasan kehidupan dunia. Dan barang siapa yang melakukan itu semua, sungguh ia telah malu kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.’ (HR. Turmudzi)
5.
Terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan hukum
bersifat al-haya’, sebagaimana digambarkan dalam hadits di atas; apakah
hukumnya wajib (menjadi suatu keharusan), ataukah tidak? Perbedaan pendapat ini
berpangkal dari pemahaman terhadap hadits di atas sebagai berikut :
1)
Pendapat pertama adalah pendapat yang mengatakan
bahwa sifat al-haya’ merupakan suatu keharusan (wajib). Hal ini
didasarkan pada sabda Rasulullah SAW dalam hadits di atas, “Jika kamu tidak
malu, berbuatlah sekehendakmu.”. Ulama mengatakan bahwa ungkapan tersebut
bertujuan sebagai teguran keras dan celaan terhadap orang yang tidak memiliki
rasa malu. Karena jika orang sudah tidak memiliki rasa malu, maka berbuatlah
sekehendaknya; baik atau buruk, bermanfaat atau justru bermadharat, dsb. Dan
berbuat sesuai kehendak hati yang diiringi dengan hawa nafsu sudah barang tentu
menjadi perbuatan dosa. Karena salah satu fungsi iman adalah mengontrol hawa
nafsu.
2)
Pendapat kedua adalah pendapat yang memengatakan
bahwa sifat al-haya’ adalah tidak wajib. Hal ini juga didasarkan pada hadits
di atas, hanya saja mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi
SAW ‘berbuatlah sesukamu’; maksudnya adalah mubah (boleh) untuk berbuat
sekehendaknya. Dan selama perbuatan sekehdaknya tersebut tidak melanggar
syariah, maka hukumnya masih boleh-boleh saja.
Dari kedua pendapat tersebut, baik Ibnu
Qayim al-Jauzi dalam Tahdzib Madarijis Salikin maupun Syekh Musthafa Dieb
Al-Bugha dalam Al-Wafi, merajihkan pendapat yang pertama; yaitu bahwa sabda
nabi SAW “berbuatlah sekehendakmu” sebagai sebuah teguran keras dan
celaan. Oleh karenanya, setiap muslim harus menghiasi dirinya dengan sifat al-haya’
ini.
6.
Sifat Malu ternyata memiliki beragam bentuk dan
warnanya. Adalah Ibnu Qayim Al-Jauzi membagi sifat malu ini menjadi sepuluh
macam, sebagaimana yang beliau kemukakan dalam Tahdzib Madarijis Salikin, yaitu
sebagai berikut :
1)
Malu karena berbuat salah, yaitu seperti malunya
Nabi Adam as yang melarirkan diri dari Allah SWT saat di surga. Allah SWT
bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau lari dari-Ku wahai Adam?’ Adam as menjawab,
‘Tidak wahai Tuhanku, tetapi karena aku merasa malu terhadap-Mu.’
2)
Malu karena keterbatasan diri, yaitu seperti rasa
malunya para Malaikat yang senantiasa bertasbih di waktu siang dan malam dan
tidak pernah sesaatpun berhenti bertasbih. Namun begitu hari kiamat tiba,
mereka berkata, ‘Maha Suci Engkau, kami belumlah menyembah kepada-Mu dengan
penyembahan yang sebenar-benar-Nya.
3)
Malu karena bentuk pengagunggan atau malu karena
memiliki ma’rifat kepada Allah SWT, yaitu bentuk malu karena mengagungkan Allah
SWT. Dan sejauh ia semakin ma’rifat kepada Allah, maka sejauh itu pula rasa
malunya terhadap Allah SWT.
4)
Malu karena kehalusan budi, yaitu seperti rasa
malunya Rasulullah SAW saat mengundang orang-orang pada acara walimah Zainab.
Karena mereka tidak segera pulang, maka beliau bangkit dari duduknya dan merasa
malu untuk mengatakan kepada mereka, ‘Pulanglah kalian.’
5)
Malu karena menjaga kesopnan, seperti malunya Ali
bin Abi Thalib ketika hendak memnta baju besi kepada Rasulullah SAW karena dia
menjadi suami dari putri beliau; Fatimah.
6)
Malu karena merasa diri terlalu hina di hadapan
Allah SWT, yaitu seperti malunya hamba yang memohon berbagai mecam keperluan
kepada Allah, dengan menganggap dirinya terlalu hina untuk permohonan tersebut.
7)
Malu karena cinta, yiatu rasa malunya orang yang
mencintai di hadapan orang yang dicintainya. Bahkan tatkala terlintas sesuatu
di dalam hatinya saat berjauhan dengan orang yang dicintainya, dia tetap marasa
malu, tanpa diketahui apa sebabnya, apalagi jika orang yang dicintainya muncul
secara tiba-tiba di hadapannya.
8)
Malu karena ubudiyah (penghambaan diri kepada
Allah), yaitu rasa malu yang bercampur dengan cinta dan rasa takut. Seorang
hamba merasa penghambannya kepada Allah kurang, sementara kekuasaan Dzat yang
disembahnya terlalu agung, sehingga penghambaannya dirinya yang penuh
kekurangan menjadikannya malu dihadapan Allah SWT.
9)
Malu karena kemuliaan, yaitu rasa malu seorang
hamba yang memiliki jiwa yang agung tatkala berbuat kebaikan atau memberikan
sesuatu kepada orang lain. Sekalipun dia sudah berkorban dengan mengeluarkan
sesuatu, toh di a masih merasa malu karena kemuliaan jiwanya.
10)
Malu terhadap diri sendiri, yaitu rasa malu
seseorang yang memiliki jiwa besar dan mulia, sekiranyapun dirinya merasa ridha
terhadap kekurangan dirinya dan merasa puas melihat kekurangan orang lain. Dia
merasa malu terhadap dirinya sendiri, sehingga seakan-akan dia mempunyai dua
jiwa, yaitu yang satu merasa malu terhadap yang lainnya. Ini meupkana rasa malu
yang paling sempurna. Sebab jika seorang hamba merasa malu terhadap diri
sendiri, maka dia lebih layak untuk merasa malu terhadap orang lain.
7.
Selain sebagai sifat yang harus menghiasi hati
setiap muslim, Al-Haya’ juga memiliki fadhilah atau benefit yang
mulia. Adapun diantara benefit
dari sifat al-haya’ adalah :
1)
Akan mendatangkan segala
kebaikan, hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam riwayat
berikut :
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ (متفق عليه)
Dari Imran bin Hushain ra berkata, bahwa
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidaklah sifat al-haya’ (malu karena Allah
SWT) itu datang, melainkan dengan (membawa) kebaikan.’ (Muttafaqun Alaih)
2)
Al-Haya’ merupakan sunnah para Rasul utusan Allah SWT. Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam hadits :
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ الْحَيَاءُ وَالتَّعَطُّرُ
وَالسِّوَاكُ وَالنِّكَاحُ (رواه الترمذي)
Dari Abu Ayyub ra berkata, bahwa Rasulullah SAW
bersabda, ‘Ada 4 hal yang menjadi sunnah para Rasul, yaitu; al-haya’,
memakai wewangian, bersiwak dan nikah.’ (HR. Turmudzi)
3)
Al-Haya’ akan menjadi penghias pribadi bagi setiap muslim. Hal ini sebagaimana
disabdakan dalam hadits berikut :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَا كَانَ الْفُحْشُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ وَمَا كَانَ الْحَيَاءُ فِي
شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ (رواه الترمذي)
Dari Anas ra berkta, bahwa Rasulullah SAW
bersabda, ‘Tidaklah perbuatan keji itu dikerjakan dalam sesuatu, melainkan akan
mengotorinya. Dan tidaklah sifat al-haya’ (malu karena Allah SWT)
dilakukan dalam sesuatu, melainkan ia akan menghiasinya.’ (HR. Turmudzi)
4)
Al-Haya’ akan mengantarkan seseorang ke dalam surga. Hal ini sebagaimana disabdakan
Rasulullah SAW dalam hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ مِنْ اْلإِيمَانِ وَاْلإِيمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَالْبَذَاءُ
مِنْ الْجَفَاءِ وَالْجَفَاءُ فِي النَّارِ (رواه الترمذي)
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda, ‘Sifat Al-Haya’ (malu karena Allah SWT) adalah dari iman. Dan
iman itu (tempatnya) adalah di surga. Sementara al-badza’ (perkataan
yang kotor dan keji) adalah dari kerasnya hati. Dan kerasnya hati (tempatnya)
adalah di neraka.’ (HR. Turmudzi).
5)
Al-haya’ merupakan sebuah sifat yang dicintai oleh
Allah SWT. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam hadits :
عَنْ عَطَاءٍ عَنْ يَعْلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَأَى رَجُلًا يَغْتَسِلُ بِالْبَرَازِ فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى
عَلَيْهِ وَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَلِيمٌ حَيِيٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ
وَالسَّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ (رواه الترمذي)
Dari Ya’la ra bahwasanya Rasulullah SAW melihat
seorang laki-laki sedang mandi dengan memakai sarung. Setelah itu beliau naik
ke mimbar lalu memuji Allah SAW dan bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT Maha
Pemurah, Maha Hidup (kekal), Maha Suci, mencintai sifat al-haya dan mencintai
orang yang menutup auratnya. Maka apabila salah seorang diantara kalian mandi,
hendaklah ia menutupi auratnya.’ (HR. Turmdzi)
6)
Al-Haya’ merupakan intisari akhlak dalam Islam. Hal ini sebagaimana disabdakan
Rasulullah SAW dalam hadtis berikut :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا وَخُلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْحَيَاءُ (رواه
ابن ماجه)
Dari Anas bin Malik ra berkata, bahwa Rasulullah
SAW bersabda, ‘Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak dinul
Islam adalah al-haya’.’ (HR. Ibnu Majah)
Wallahu
A’lam bis Shawab
By.
Rikza Maulan, Lc., M.Ag
Label: Tadabur Hadits
Dalam transaksi muamalah dewasa ini, terkadang ditemui transaksi berupa jual beli piutang, seperti ketika seseorang yang memiliki piutang, lalu ia menjual piutang nya tersebut kepada orang lain. Atau dalam kasus lembaga keuangan syariah, ketika suatu LKS akan menjual asset pembiayaannya kepada LKS yang lainnya, maka bagaimanakah hukumnya?
Berikut kami simpulkan dari beberapa referensi,utamanya dari Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Al-Zuhaily.
Syekh Wahbah Zuhaily memberikan pembahasan tentang
bai’ ad-dain ( بيع الدين ) sebagai berikut (4/432):
1)
( بيع الدين نسيئة )
Menjual piutang dengan hutang
Dalam fiqh trnasaksi seperti ini
dikenal dengan sebutan bai’ ad-dayn by ad-dayn atau dalam hadits
disebut bai’ al-kali bil kali ( بيع
الكاليء بالكاليء ). Bentuk transaksi jual beli seperti ini adalah dilarang secara syariah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ (رواه النسائي في الكبرى والحاكم
والدارقطني)
Dari Ibnu Umar ra
bahwasanya Nabi SAW melarang jual beli hutang dengan hutang. (HR. An-Nasa’i
dalam Sunan Al-Kubra, Daruquthni dan Al-Hakim)[1]
Menjual piutang dengan hutang, bisa
terjadi dalam dua bentuk :
a.
( بيع الدين للمدين ) Menjual piutang kepada orang yang berhutang
tersebut
Yaitu seperti
seseorang yang berkata kapeada orang lain,
· Saya beli dari kamu satu mud gandum dengan harga satu dinar dengan serah terima dilakukan setelah satu
bulan.’
· Atau seseorang membeli barang yang akan diserahkan pada waktu tertentu lalu
ketika jatuh tempo, penjual tidak mendapatkan barang untuk menutupi utangnya,
lantas berkata kepada pembeli, ‘;Juallah barang ini kepadaku dengan tambahan
waktu lagi dengan imbalan tambahan barang’. Lalu pembeli menyetujui permintaan
penjual dan kedua belah pihak tidak saling sarah terima barang.
Cara seperti ini
merupakan riba yang diharamkan, dengan kaidah ‘berikan tambahan waktu dan saya akan
berikan tambahan jumlah barang.’ ( زدني في الأجل وأزيدك في القدر )
b.
( بيع الدين لغير المدين ) Menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang
yang berhutang.
Hal ini seperti seseorang berkata kepada orang lain, ‘Saya jual kepadamu 20 mud gandum milikku yang dipinjam oleh
fulan dengan harga sekian dan kamu bisa membayarnya kepadaku setelah satu
bulan.’ Maka transaksi jual beli seperti ini juga termasuk transaksi yang
tidak diperbolehkan.
2)
( بيع الدين نقدا في الحال ) Menjual piutang dengan tunai pada saat transaksi.
Hukum menjual
piutang dengan tunai diperselisihkan oleh ulama tentang hukumnya dan dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
( بيع الدين للمدين ) Menjual piutang kepada orang yang berhutang,
Kebanyakan ahli fiqih dari empat madzhab memperbolehkan menjual piutang atau menghibahkan piutang kepada orang yang berhutang. Karena penghalang
dari sahnya menjual piutang dengan hutang adalah karena ketidakmampuan
menyerahkan objek akad. Sementara dalam jual beli piutang kepada orang yang
berhutang di sini, tidak diperlukan lagi penyerahterimaan objek akad, karena
piutang sudah ada pada orang yang meminjamnya sehingga sudah diserah terimakan
dengan sendirinya.
Contohnya adalah orang yang memberikan hutang/ kreditur ( الدائن ) menjual
piutangnya yang ada pada debitur (المدين ) dengan harga
berupa sesuatu yang bukan sejenis piutangnya.
Namun, berbeda dengan jumhur ulama, Madzhab
Zhahiriyah berperdapat bahwa
menjual piutang kepada orang yang berhutang adalah tidak sah, karena jual beli ini
mengandung
unsur gharar. Ibnu Hazam berkata, ‘karena jual beli ini termasuk jual beli
barang yang tidak diketahui dan tidak jelas barangnya. Inilah yang disebut
dengan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
b.
( بيع الدين لغير المدين ) Menjual piutang kepada orang lain yang bukan berhutang.
1. Mahdzhab Hanafi dan Zhahiri mengatakan bahwa oleh karena pada dasarnya tidak boleh menjual barang
yang tidak bisa diserah terimakan, maka menjual piutang kepada orang lain yang
bukan berhutang
adalah tidak boleh. Sebab piutang tidak bisa diserahkan kecuali kepada orang yang berhutang itu
sendiri. Karena
piutang adalah ibarat dari harta yang ada dalam tanggungan seseorang secara hukum, atau ibarat dari mengalihkan hak kepemilikan dan
menyertakannya. Kedua hal tersebut tidak bisa diserahkan oleh penjual kepada pihak lain yang bukan berhutang.
2.
Madzhab Syafii
mengemukakan bahwa :
a. Menjual piutang yang bersifat
tetap[2] kepada orang yang
berhutang atau kepada pihak lain
sebelum piutang itu diterima oleh orang yang memberi
hutang, adalah diperbolehkan.
Karena secara zahir, kreditur (orang yang memberikan
hutang) mampu menyerahkan barang tanpa
ada halangan apapun. Contoh piutang yang tetap adalah nilai barang yang dirusak (yang harus diganti) dan
barang yang ada pada debitur (yang harus dikembalikan
kepada si pemberi hutang).
b. Akan tetapi
apabila piutang tersebut tidak tetap, maka jika ia berupa barang yang
diserahkan pada jual beli salam, hukumnya tidak boleh menjualnya sebelum
barang tersebut diterima. Hal ini karena adanya larangan secara umum tentang
jual beli barang yang belum diterima. Disamping itu juga karena kepemilikan
barang dalam jual beli salam tidaklah tetap, karena ada kemungkinan barang
tersebut tidak bisa diserahkan karena hilang, sehingga jual beli menjadi batal.
c. Kemudian apabila piutang itu berupa harga barang
dalam jual beli, maka dalam pendapat terbaru dari madzhab Syafii adalah juga diperbolehkan menjualnya sebelum dipegang, berdasarkan riwayat Ibnu Umar,
dari Rasulullah SAW ;
لاَ
بَأْسَ مَالَمْ تَتَفَرَّقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ
‘Tidak
apa-apa selama keduanya belum berpisah dan diantara keduanya ada sesuatu.’ (HR.
Turmudzi).[3]
3.
Madzhab
Hambali berpendapat bahwa :
a. Boleh menjual
piutang yang tetap kepada debiturnya sendiri, seperti mengganti pinjaman dan
mahar setelah senggama.
b. Namun tidak
boleh menjual piutang kepada orang lain yang bukan debiturnya, sebagaimana
tidak boleh menghibahkan piutang kepada orang lain yang bukan debiturnya.
Karena pada dasarnya hibah mengharuskan adanya barang sementara dalam hal
hibang hutang ini, barangnya tidak ada.
c. Tidak boleh
juga menjual piutang yang tidak tetap, seperti sewa properti sebelum selesai
masa sewanya, atau seperti mahar sebelum bersenggama dengan istri atau seperti
barang pada jual beli salam sebelum diterima.
Namun sebagai catatan, walaupun madzhab Hambali tidak memperbolehkan transaksi menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang yang berhutang, namun Ibnu Qayim yang merupakan salah satu ulama besar Madzhab Hambali
membolehkan jual piutang kepada orang yang berhutang maupun kepada orang lain
yang bukan orang yang berhutang.
4. Sementara Madzhab
Maliki berpendapat bahwa boleh menjual piutang kepada orang lain
yang tidak berhutang apabila memenuhi delapan syarat berikut:
a. Jual beli tidak mengakibatkan pada pelanggaran syariah, seperti riba, gharar, atau sejenisnya. Dengan
demikian, piutang harus berupa sesuatu yang bisa dijual sebelum diterima, seperti
halnya jika
piutang itu berupa pinjaman dan sejenisnya. Dan jika piutang bukan berupa barang makanan.
b.
Piutang harus dijual dengan harga tunai agar terhindar dari hukum jual
beli piutang yang dilarang.
c. Harga harus berupa sesuatu yang bukan sejenis piutang yang dijual atau
sejenisnya tetapi harus ada persamaan jumlahnya agar tidak terjebak dengan jual
beli riba yang haram.
d. Harga tidak boleh berupa emas, jika piutang yang dijual adalah perak
agar tidak terjadi jual beli uang dengan uang yang tidak tunai, tanpa
diserahkan keduanya.
e. Adanya dugaan kuat untuk mendapatkan piutang
(dilunasinya hutang), seperti kemungkinan hadirnya orang yang berhutang (debitur) di tempat dilaksanakannya akad guna mengetahui
kondisinya, apakah ia memiliki dana atau tidak.
f. Orang yang
berhutang (Debitur) harus mengakui hutangnya
agar ia tidak mengingkarinya setelah itu. Maka oleh karenanya tidak diperbolehkan menjual hak
milik yang disengketakan.
g.
Orang yang
berhutang (Debitur) adalah orang yang layak
untuk membayar hutangnya; atau debitur bukanlah orang yang tidak mampu atau bukan orang yang terhalang. Hal ini untuk memastikan agar ia bisa
menyerahterimakan barang atau hutang.
h. Tidak adanya konflik antara pembeli dan orang yang
berhutang (debitur) seingga pembeli tidak
dirugikan, atau agar debitur tidak dirugikan dalam bentuk memberi peluang kepada sengketanya
untuk merugikannya.
Kesimpulannya adalah bahwa bai' ad-dayn boleh dilakukan menurut Madzhab Syafi'i, Maliki dan juga Ibnu Qayim Al-Jauzi dengan syarat bahwa :
- Dibayar dengan tunai (cash), dan tidak boleh dibayar dengan tunda (cicil). karena jika dibayar dengan tunda atau cicil, mengakibatkan pada jual beli hutang dengan hutang. dan hal tersebut dilaran oleh Rasulullah SAW.
- Jual beli piutang dengan tuani diperbolehkan, apabila terhindar dari praktek riba. Sehingga diharuskan adanya kesamaan harga, antara piutang yang dijual, dengan piutang yang akan diperoleh. sehingga tidak boleh misalnya menjual piutang Rp. 10.000,000,-, untuk kemudian dibayarnya senilai Rp 11.000.000,-. Karena jika demikian terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama, dan hal ini merupakan riba fadhl yang diharamkan. Jadi, jual beli piutang secara cash diperbolehkan dengan syarat harganya harus sama.
- Objek yang ditransaksikan haruslah jelas. Misalnya berapa jumlahnya, apa objek terjadinya piutang, siapa orang yang memiliki piutang, dst. Ketidakjelasan pada aspek ini, mengakibatkan transaksi terjerumus pada bay' gharar yang diharamkan.
- Lalu syarat-syarat lain yang disampaikan oleh Madzhab Maliki di atas, seperti adanya pengakuan dari orang yang berhutang, lalu adanya kepastian bahwa orang yang berhutang sanggup untuk melunasi hutangnya, dsb.
- Syarat lainnya adalah syarat yang dikemukakan oleh Madzhab Syafi;i, yaitu bahwa objeknya (piutang) haruslah termasuk dalam kategori maal mustaqir (yang jelas dan tetap serta tidak adanya kemungkinan bahwa hutang tersebut menjadi diputihkan), dsb. Apabila piutangnya adalah sesuatu yang bukan maal mustaqir, maka tidak boleh diperjual belikan. Karena berarti adanya ketidakjelasan pada objek yang berakibat pada bai' gharar yang diharamkan.
Wallahu A'lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag
[1][1] Hanya saja Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Bulughul Maram mengomentari
bahwa hadits ini dha’if (1/316, lihat Al-Maktabah As-Syamilah)
[2] Dijelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaily, bahwa hutang yang bersifat tetap
( الدين المستقر ) adalah hutang yang tetap keharusan untuk pelunasannya dan
yang oleh pemiliknya harus ditunaikan (dibayarkan) kepada orang yang memberikan
hutang, tanpa ada kemungkinan lain yang menjadikan hutangnya lunas.
[3] Hadits tersebut lengkapnya adalah sebagai berikut :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنْتُ أَبِيعُ الْإِبِلَ
بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَسْأَلَكَ إِنِّي أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ
وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ قَالَ لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ
تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ (رواه النسائي وأبو داود وأحمد والحاكم)
Dari
Ibnu Umar, dia berkata; "Saya pernah menjual unta di Baqi' saya menjualnya
dengan beberapa dinar, dan kuambil beberapa dirham, kemudian saya datang
menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di rumah Hafshah, saya berkata;
"Wahai Rasulullah, saya ingin bertanya. Sesungguhnya saya menjual unta di
Baqi', saya menjualnya dengan dinar dan mengambil dirham." Beliau
bersabda: "Tidak mengapa engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu,
selama kalian berdua belum berpisah sementara (ketika itu) di antara kalian ada
sesuatu." (HR. Nasa’i, Abu Daud, Ahmad dan Al-Hakim)
Label: Muamalat
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)