Dalam transaksi muamalah dewasa ini, terkadang ditemui transaksi berupa jual beli piutang, seperti ketika seseorang yang memiliki piutang, lalu ia menjual piutang nya tersebut kepada orang lain. Atau dalam kasus lembaga keuangan syariah, ketika suatu LKS akan menjual asset pembiayaannya kepada LKS yang lainnya, maka bagaimanakah hukumnya?
Berikut kami simpulkan dari beberapa referensi,utamanya dari Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Al-Zuhaily.
Syekh Wahbah Zuhaily memberikan pembahasan tentang
bai’ ad-dain ( بيع الدين ) sebagai berikut (4/432):
1)
( بيع الدين نسيئة )
Menjual piutang dengan hutang
Dalam fiqh trnasaksi seperti ini
dikenal dengan sebutan bai’ ad-dayn by ad-dayn atau dalam hadits
disebut bai’ al-kali bil kali ( بيع
الكاليء بالكاليء ). Bentuk transaksi jual beli seperti ini adalah dilarang secara syariah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ (رواه النسائي في الكبرى والحاكم
والدارقطني)
Dari Ibnu Umar ra
bahwasanya Nabi SAW melarang jual beli hutang dengan hutang. (HR. An-Nasa’i
dalam Sunan Al-Kubra, Daruquthni dan Al-Hakim)[1]
Menjual piutang dengan hutang, bisa
terjadi dalam dua bentuk :
a.
( بيع الدين للمدين ) Menjual piutang kepada orang yang berhutang
tersebut
Yaitu seperti
seseorang yang berkata kapeada orang lain,
· Saya beli dari kamu satu mud gandum dengan harga satu dinar dengan serah terima dilakukan setelah satu
bulan.’
· Atau seseorang membeli barang yang akan diserahkan pada waktu tertentu lalu
ketika jatuh tempo, penjual tidak mendapatkan barang untuk menutupi utangnya,
lantas berkata kepada pembeli, ‘;Juallah barang ini kepadaku dengan tambahan
waktu lagi dengan imbalan tambahan barang’. Lalu pembeli menyetujui permintaan
penjual dan kedua belah pihak tidak saling sarah terima barang.
Cara seperti ini
merupakan riba yang diharamkan, dengan kaidah ‘berikan tambahan waktu dan saya akan
berikan tambahan jumlah barang.’ ( زدني في الأجل وأزيدك في القدر )
b.
( بيع الدين لغير المدين ) Menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang
yang berhutang.
Hal ini seperti seseorang berkata kepada orang lain, ‘Saya jual kepadamu 20 mud gandum milikku yang dipinjam oleh
fulan dengan harga sekian dan kamu bisa membayarnya kepadaku setelah satu
bulan.’ Maka transaksi jual beli seperti ini juga termasuk transaksi yang
tidak diperbolehkan.
2)
( بيع الدين نقدا في الحال ) Menjual piutang dengan tunai pada saat transaksi.
Hukum menjual
piutang dengan tunai diperselisihkan oleh ulama tentang hukumnya dan dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
( بيع الدين للمدين ) Menjual piutang kepada orang yang berhutang,
Kebanyakan ahli fiqih dari empat madzhab memperbolehkan menjual piutang atau menghibahkan piutang kepada orang yang berhutang. Karena penghalang
dari sahnya menjual piutang dengan hutang adalah karena ketidakmampuan
menyerahkan objek akad. Sementara dalam jual beli piutang kepada orang yang
berhutang di sini, tidak diperlukan lagi penyerahterimaan objek akad, karena
piutang sudah ada pada orang yang meminjamnya sehingga sudah diserah terimakan
dengan sendirinya.
Contohnya adalah orang yang memberikan hutang/ kreditur ( الدائن ) menjual
piutangnya yang ada pada debitur (المدين ) dengan harga
berupa sesuatu yang bukan sejenis piutangnya.
Namun, berbeda dengan jumhur ulama, Madzhab
Zhahiriyah berperdapat bahwa
menjual piutang kepada orang yang berhutang adalah tidak sah, karena jual beli ini
mengandung
unsur gharar. Ibnu Hazam berkata, ‘karena jual beli ini termasuk jual beli
barang yang tidak diketahui dan tidak jelas barangnya. Inilah yang disebut
dengan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
b.
( بيع الدين لغير المدين ) Menjual piutang kepada orang lain yang bukan berhutang.
1. Mahdzhab Hanafi dan Zhahiri mengatakan bahwa oleh karena pada dasarnya tidak boleh menjual barang
yang tidak bisa diserah terimakan, maka menjual piutang kepada orang lain yang
bukan berhutang
adalah tidak boleh. Sebab piutang tidak bisa diserahkan kecuali kepada orang yang berhutang itu
sendiri. Karena
piutang adalah ibarat dari harta yang ada dalam tanggungan seseorang secara hukum, atau ibarat dari mengalihkan hak kepemilikan dan
menyertakannya. Kedua hal tersebut tidak bisa diserahkan oleh penjual kepada pihak lain yang bukan berhutang.
2.
Madzhab Syafii
mengemukakan bahwa :
a. Menjual piutang yang bersifat
tetap[2] kepada orang yang
berhutang atau kepada pihak lain
sebelum piutang itu diterima oleh orang yang memberi
hutang, adalah diperbolehkan.
Karena secara zahir, kreditur (orang yang memberikan
hutang) mampu menyerahkan barang tanpa
ada halangan apapun. Contoh piutang yang tetap adalah nilai barang yang dirusak (yang harus diganti) dan
barang yang ada pada debitur (yang harus dikembalikan
kepada si pemberi hutang).
b. Akan tetapi
apabila piutang tersebut tidak tetap, maka jika ia berupa barang yang
diserahkan pada jual beli salam, hukumnya tidak boleh menjualnya sebelum
barang tersebut diterima. Hal ini karena adanya larangan secara umum tentang
jual beli barang yang belum diterima. Disamping itu juga karena kepemilikan
barang dalam jual beli salam tidaklah tetap, karena ada kemungkinan barang
tersebut tidak bisa diserahkan karena hilang, sehingga jual beli menjadi batal.
c. Kemudian apabila piutang itu berupa harga barang
dalam jual beli, maka dalam pendapat terbaru dari madzhab Syafii adalah juga diperbolehkan menjualnya sebelum dipegang, berdasarkan riwayat Ibnu Umar,
dari Rasulullah SAW ;
لاَ
بَأْسَ مَالَمْ تَتَفَرَّقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ
‘Tidak
apa-apa selama keduanya belum berpisah dan diantara keduanya ada sesuatu.’ (HR.
Turmudzi).[3]
3.
Madzhab
Hambali berpendapat bahwa :
a. Boleh menjual
piutang yang tetap kepada debiturnya sendiri, seperti mengganti pinjaman dan
mahar setelah senggama.
b. Namun tidak
boleh menjual piutang kepada orang lain yang bukan debiturnya, sebagaimana
tidak boleh menghibahkan piutang kepada orang lain yang bukan debiturnya.
Karena pada dasarnya hibah mengharuskan adanya barang sementara dalam hal
hibang hutang ini, barangnya tidak ada.
c. Tidak boleh
juga menjual piutang yang tidak tetap, seperti sewa properti sebelum selesai
masa sewanya, atau seperti mahar sebelum bersenggama dengan istri atau seperti
barang pada jual beli salam sebelum diterima.
Namun sebagai catatan, walaupun madzhab Hambali tidak memperbolehkan transaksi menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang yang berhutang, namun Ibnu Qayim yang merupakan salah satu ulama besar Madzhab Hambali
membolehkan jual piutang kepada orang yang berhutang maupun kepada orang lain
yang bukan orang yang berhutang.
4. Sementara Madzhab
Maliki berpendapat bahwa boleh menjual piutang kepada orang lain
yang tidak berhutang apabila memenuhi delapan syarat berikut:
a. Jual beli tidak mengakibatkan pada pelanggaran syariah, seperti riba, gharar, atau sejenisnya. Dengan
demikian, piutang harus berupa sesuatu yang bisa dijual sebelum diterima, seperti
halnya jika
piutang itu berupa pinjaman dan sejenisnya. Dan jika piutang bukan berupa barang makanan.
b.
Piutang harus dijual dengan harga tunai agar terhindar dari hukum jual
beli piutang yang dilarang.
c. Harga harus berupa sesuatu yang bukan sejenis piutang yang dijual atau
sejenisnya tetapi harus ada persamaan jumlahnya agar tidak terjebak dengan jual
beli riba yang haram.
d. Harga tidak boleh berupa emas, jika piutang yang dijual adalah perak
agar tidak terjadi jual beli uang dengan uang yang tidak tunai, tanpa
diserahkan keduanya.
e. Adanya dugaan kuat untuk mendapatkan piutang
(dilunasinya hutang), seperti kemungkinan hadirnya orang yang berhutang (debitur) di tempat dilaksanakannya akad guna mengetahui
kondisinya, apakah ia memiliki dana atau tidak.
f. Orang yang
berhutang (Debitur) harus mengakui hutangnya
agar ia tidak mengingkarinya setelah itu. Maka oleh karenanya tidak diperbolehkan menjual hak
milik yang disengketakan.
g.
Orang yang
berhutang (Debitur) adalah orang yang layak
untuk membayar hutangnya; atau debitur bukanlah orang yang tidak mampu atau bukan orang yang terhalang. Hal ini untuk memastikan agar ia bisa
menyerahterimakan barang atau hutang.
h. Tidak adanya konflik antara pembeli dan orang yang
berhutang (debitur) seingga pembeli tidak
dirugikan, atau agar debitur tidak dirugikan dalam bentuk memberi peluang kepada sengketanya
untuk merugikannya.
Kesimpulannya adalah bahwa bai' ad-dayn boleh dilakukan menurut Madzhab Syafi'i, Maliki dan juga Ibnu Qayim Al-Jauzi dengan syarat bahwa :
- Dibayar dengan tunai (cash), dan tidak boleh dibayar dengan tunda (cicil). karena jika dibayar dengan tunda atau cicil, mengakibatkan pada jual beli hutang dengan hutang. dan hal tersebut dilaran oleh Rasulullah SAW.
- Jual beli piutang dengan tuani diperbolehkan, apabila terhindar dari praktek riba. Sehingga diharuskan adanya kesamaan harga, antara piutang yang dijual, dengan piutang yang akan diperoleh. sehingga tidak boleh misalnya menjual piutang Rp. 10.000,000,-, untuk kemudian dibayarnya senilai Rp 11.000.000,-. Karena jika demikian terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama, dan hal ini merupakan riba fadhl yang diharamkan. Jadi, jual beli piutang secara cash diperbolehkan dengan syarat harganya harus sama.
- Objek yang ditransaksikan haruslah jelas. Misalnya berapa jumlahnya, apa objek terjadinya piutang, siapa orang yang memiliki piutang, dst. Ketidakjelasan pada aspek ini, mengakibatkan transaksi terjerumus pada bay' gharar yang diharamkan.
- Lalu syarat-syarat lain yang disampaikan oleh Madzhab Maliki di atas, seperti adanya pengakuan dari orang yang berhutang, lalu adanya kepastian bahwa orang yang berhutang sanggup untuk melunasi hutangnya, dsb.
- Syarat lainnya adalah syarat yang dikemukakan oleh Madzhab Syafi;i, yaitu bahwa objeknya (piutang) haruslah termasuk dalam kategori maal mustaqir (yang jelas dan tetap serta tidak adanya kemungkinan bahwa hutang tersebut menjadi diputihkan), dsb. Apabila piutangnya adalah sesuatu yang bukan maal mustaqir, maka tidak boleh diperjual belikan. Karena berarti adanya ketidakjelasan pada objek yang berakibat pada bai' gharar yang diharamkan.
Wallahu A'lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag
[1][1] Hanya saja Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Bulughul Maram mengomentari
bahwa hadits ini dha’if (1/316, lihat Al-Maktabah As-Syamilah)
[2] Dijelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaily, bahwa hutang yang bersifat tetap
( الدين المستقر ) adalah hutang yang tetap keharusan untuk pelunasannya dan
yang oleh pemiliknya harus ditunaikan (dibayarkan) kepada orang yang memberikan
hutang, tanpa ada kemungkinan lain yang menjadikan hutangnya lunas.
[3] Hadits tersebut lengkapnya adalah sebagai berikut :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنْتُ أَبِيعُ الْإِبِلَ
بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَسْأَلَكَ إِنِّي أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ
وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ قَالَ لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ
تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ (رواه النسائي وأبو داود وأحمد والحاكم)
Dari
Ibnu Umar, dia berkata; "Saya pernah menjual unta di Baqi' saya menjualnya
dengan beberapa dinar, dan kuambil beberapa dirham, kemudian saya datang
menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di rumah Hafshah, saya berkata;
"Wahai Rasulullah, saya ingin bertanya. Sesungguhnya saya menjual unta di
Baqi', saya menjualnya dengan dinar dan mengambil dirham." Beliau
bersabda: "Tidak mengapa engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu,
selama kalian berdua belum berpisah sementara (ketika itu) di antara kalian ada
sesuatu." (HR. Nasa’i, Abu Daud, Ahmad dan Al-Hakim)
Label: Muamalat
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)