Menggagas Fiqh Marketing Asuransi Syariah

Asuransi Syariah di Indonesia, berkembang demikian pesatnya. AASI (Asosiasi Asuransi Syariah) memperkirakan bahwa pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia pada tahun 2013 mencapai  40%. (m.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/12/12/04/meigt9-asuransi-syariah-tumbuh-40-persen-2013). Sungguh merupakan perkembangan yang demikian pesatnya, khususnya apabila diandingkan dengan asuransi konvensional yang tidak jauh dari angka 20% saja. Pertumbuhan yang besar ini, tentunya menjadi angin segar bagi pelaku Industri Asuransi Syariah di tanah air. Karena potensi pasar asuransi syariah di Indonesia yang merupakan negeri dengan jumlah kaum muslimin terbesar di dunia masihlah sangat terbuka lebar dan sangat menjanjikan.

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan asuransi syariah, ada sebuah tantangan penting lainnya yang harus menjadi catatan bagi pelaku industri asuransi syariah, yaitu tantangan kesesuian dengan aspek syariah pada sisi pemasaran atau sisi marketing di lapangan. Karena asuransi syariah dapat secara baik menerpakan prinsip operasional dan pengelolaan keuangannya sesuai dengan syariah, namun ternyata ketika menjual di lapangan terjerumus pada kecenderungan image umumnya sales di pasaran, yaitu “yang penting produknya laku di pasaran terlebih dahulu”. Sehingga bisa jadi, seorang marketing atau seles menanggalkan atau mengabaikan “baju syariahnya” ketika menjual produk di lapangan.
Bisa jadi seorang seles atau marketing asuransi syariah merasa “galau”, apakah satu objek ini boleh diasuransikan secara syariah atau tidak? Karena secara syariah (baca ; fiqh) sah atau tidaknya objek ini sangat penting, berdampak pada keabsahan “akad” yang ditransaksikan dalam asuransi syariah tersebut. Sebagai contoh, dalam kasus general insurance syariah, ketika ada satu bangunan yang akan diasuransikan, namun ternyata bangunan ini bangunan ini menjadi tempat untuk penyimpanan minuman beralkohol. Sementara alkohol atau minuman keras (khamrer) merupakan sesuatu yang sudah jelas keharamannya. Namun bagimanakah hukum menghasuransikan gudang tersebut? Mengingat, toh itu hanya sebagai tempat untuk menyimpan saja dan kita tidak meminumnya?  Seorang seles seringkali “galau”, dan terkadang diskusi dalam dirinya berkecamuk sedemikian rupa. Bahkan terkadang muncul argumentasi-argumentasi dalam dirinya, yang kecenderungannya memperbolehkan hal tersebut, diantaranya adalah argumentasi berikut, “daripada diasuransikan ke konvensional (yang menurut jumhur ulama) hukumnya haram, lebih baik  ke syariah saja. Sehingga ia tidak terjerumus dua kali pada yang haram; sudah objeknya haram, asuransinya pun haram lagi.”  Nah, apabila seorang seles tidak jeli dalam melihat ini bisa saja ia tergoda untuk” meng accept” gudang tersebut, terlebih-lebih dengan iming-iming premi kontribusi yang tinggi dan otomatis fee atau komisi (ujrah) yang akan diterimanya juga lumayan besar.

Disinilah muncul masalah, karena apabila kemudian gudang ini di accept, akan muncul masalah baru; yaitu bahwa akad tersebut berpotensi tidak sah. Sehingga apabila akadnya tidak sah, maka premi kontribusi yang dibayarkannya pun menjadi tidak sah, dan otomatis ujrah (komisi) yang diterima oleh sales dan atau keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan asuransi syariah tersebut yang bersumber dari sisi ini akan menjadi tidak sah. Mengapa demikian? Bukan kah akad dalam asuaransi syariah tergolonga dalam akad tabarru’? Benar, memang akad yang mendasari asuaransi syariah adalah tabarru’, namun jangan lupa bahwa tabarru’ pun harus bersumber dari dana yang halal (bukan hanya dalam akad tijari yang mengharuskan hal tersebut). Perhatikan dengan seksama makna dari hadits berikut, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah (tabarru’) tidak akan diterima bila (bersumber dari yang) tidak halal.” (HR. Muslim, Kitab At-Thaharah, Bab Wujub At-Thaharah Lis Shalat, hadits no 329).  Sisi yang kelihatannya sederhana ini, ternyata memiliki implikasi yang luar biasa fatal bukan?

Dilihat dari sisi objek ini pula, muncul banyak keraguan dari seles ketika akan meng’accept suatu objek tertentu. Misalnya untuk produk marine cargo (pengangkutan laut), untuk eksport import. Apabila barang yang dikirim ternayata masuk dalam kategor barang yang tidak halal secara syariah; misalnya wine, daging import yang tidak disembelih dengan nama Allah, dsb. Atau ketika akan menutup hotel; sementara hotel tersebut bukan merupakan hotel syariah. Jika hotelnya syariah, maka permasalahannya menjadi selesai dengan sendirinya. Atau kemudian supermarket atau minimarket yang di dalamnya menjual minuman keras. Belum lagi dari sisi life insurancenya, misalnya ketika ada satu pabrik yang memproduksi minuman keras, kemudian ingin mengasuransikan semua karyawannya ke asuransi syariah, mengingat bahwa kebanyakan karyawannya adalah beragama Islam. Atau juga karyawan dan karyawati yang bekerja di bar atau diskotik dimana menu khamer menjadi salah satu ciri utamanya. Atau bahkan karyawawan dan karyawati dari bank konvensional, dst. Dan jika diinfentarisir, hal ini akan banyak sekali sehingga seringkali seroang seles atau marketing menjadi “galau”; antara apakah ini boleh diasuransikan atau tidak? Dan apabila “tidak kuat-kuat Iman”, tergiur dengan jumlah premi kontribusi yang cukup besar, atau karena pemahaman yang ”kurang”, maka bisa jadi ia akan terjerumus untuk mengaccept objek yang tidak halal.

Penulis melihat (setelah melakukan perenungan cukup lama), bahwa ada satu metode yang cukup sederhana untuk bisa “memastikan” apakah suatu object boleh atau tidak boleh diasuransikan secara syariah, yaitu memahami Fiqh Marketing Asuransi Syariah. Metode memahami Fiqh Marketing Asuransi Syariah pada dasarnya adalah kembali kepada kaidah dalam hukum jual beli umum. Dalam jual beli, terdapat satu kaidah untuk menentukan apakah suatu akad jual beli, sah atau tidak (ditinjau dari objek yang ditransaksikan) yaitu segala sesuatu yang haram (tidak boleh dikonsumsi, atau tidak boleh dimanfaatkan), maka ia tidak boleh diperjualbelikan. Kaidah ini mengambil spirit dari hadits Nabi SAW, dari Ibnu Abbas ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Dan sesungguhnya Allah apabila mengharamkan untuk memakan sesuatu kepada satu kaum, maka Allah menghamkan pula harganya (keuntungannya).” (HR. Ahmad, dalam Bidayah Musnad Abdillah bin Abbas ra, hadits no 2546). Sehingga dari hadits ini dapat ditarik satu benang merah, yaitu bahwa segala sesuatu yang haram, maka ia haram pula harga atau keuntungan yang didapatkannya. Karena sesuatu yang haram, tidaklah akan menghasilkan kecuali yang haram juga.

Dalam Asuransi Syariah, hal untuk mengetahui apakah sesuatu itu boleh diasuransikan atau tidak, maka dapat digunakan sebuah kaidah sederhana, sebagai “turunan” dari kaidah dalam jual beli di atas, yang merupakan bagian dari Fiqh Marketing Asuransi Syariah. Kaidah tersebut adalah “Bahwa segala seuatu yang boleh diperjualbelikan, maka boleh di asuransikan. Dan segala sesuatu yang tidak boleh diperjualbelikan maka tidak boleh diasuransikan.”

Dengan metode kaidah ini, seorang sales relatif akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan sautu objek yang akan diasuransikan apakah boleh (halal) atau tidak boleh (haram)yang haram untuk diasuaransikan. Misalnya segala sesuatu yang terkait dengan minuman keras, apakah minuman kerasnya itu sendiri, pengangkutannya, restoran yang menyajikannya, iklannya, karyawannya, dan segala sesuatu yang terkait dengannya maka tidak boleh diasuransikan. Mengapa demikian? Karena secara syariah, objek yang tidak halal, ia tidak boleh diperjualbelikan. Dan apabila tidak boleh diperjualbelikan maka otomatis ia juga tidak boleh diasuransikan. Menguatkan hal ini, terdapat hadits sebagai berikut :  ‘Bahwa Rasulullah SAW melaknat dalam khamer sepuluh macam; pemerasnya, yang menyuruh memeras, peminumnya, pembawanya, penampungnya, pelayan yang menghidangkannya, penjualnya, yang memakan harganya, pembelinya dan yang menyuruh dibelikannya.” (HR. Turmudzi, Kitab Al-Buyu’ An Rasulillah SAW, Bab An-Nahyu An Yattakhidzal Khamru Khallan, hadits no 1216)

Bagiaman dengan gedung perkantoran? Bangunan hotel yang bukan syariah? Jawabannya adalah dilihat kembali ke kaidah di atas. Adalah komponen haram yang terdapat dalam perkantoran dan hotel tersebut? Apabila kantornya bergerak di bidang yang halal, atau hotelnya tidak menyedikan sisi haram, maka tentu mengasuranskannya juga menjadi halal.  Untuk selanjutnya, kita tinggal mengikuti kaidah tersebut saja; intinya segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka ia boleh diasuransikan. Namun perlu dicatat dan digarisbawahi, bahwa segala sesuatu yang tidak boleh diperjualbelikan, atau jika jenis usaha maka segala usaha yang tidak diperbolehkan secara syariah, maka ia tidak boleh diasuransikan.

Insya Allah dengan kaidah yang merupakan bagian dari Fiqh Marketing Asuransi Syariah, akan memudahkan bagi para seles, agen atau marketing di lapangan ketika akan “menawarkan” asuransi syariah; dimana mereka akan dengan mudah mengklasifikasikan mana yang boleh diasuransikan dan mana yang tidak boleh. Selanjutnya tinggal integritas dan kemauan mereka untuk konsisten dan istiqamah mengikuti ketentuan mana yang boleh diasuransikan dan mana yang tidak boleh. Mudah-mudahan tulisan ini dapat membantu para “pejuang” asuransi syariah di lapangan, minimal dari sudut pandang; mana yang boleh di accept oleh asuransi syariah dan mana yang tidak boleh.

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan

0 Comments:

Post a Comment