Buah Ketakwaan (1) Dimensi Takwa

عَنْ أَبِى أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، يَقُولُ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقَالَ اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ - رواه الترمذي
Dari Abi Amamah ra, aku mendengar Rasulullah SAW berkhutbah para waktu haji wada’. Beliau bersabda, ‘Bertakwalah kalian pada Rab kalian, shalatlah kalian lima waktu, puasalah kalian pada bulan ramadhan, tunaikanlah zakat mal kalian dan taatilah pemimipin kalian, niscaya kalian akan masuk ke dalam surga Rab kalian. (HR. Tirmidzi)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Takwa merupakan tujuan tertinggi yang akan dicapai seorang insan dalam menjalankan ibadahnya kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 21)

Oleh karena itulah, Allah senantiasa menggandeng kata taqwa dengan kewajiban-kewajiban tertentu dalam ibadah, diantaranya adalah dengan kewajiban melaksanakan ibadah puasa, dimana output dari ibadah puasa adalah takwa, sebagaimana yang Allah firmankan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” QS. Al-Baqarah : 183

2. Taqwa tidak dapat dipisahkan dengan keimanan. Karena ketakwaan merupakan buah dari adanya keimanan yang mendalam kepada Allah SWT. Dr. Abdullah Nasih Ulwan (1996:6-7) mengemukakan bahwa “Takwa lahir sebagai konsekwensi logis dari keimanan yang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dengan muraqabatullah; merasa takut terhadap murka dan adzab-Nya dan selalu berharap atas limpahan karunia dan maghfirah-Nya.”

3. Dari segi bahasa, taqwa berasala dari kata “waqo”, yang berarti ‘penjagaan/ perlindungan, kewaspadaan dan penjauhan diri insan dari hal-hal yang dapat mencederainya, sebagaimana dikatakan oleh para ulama:
التَّقْوَى مِنْ وَقَي، بِمَعْنَى الصِّيَانَةِ وَالْحَذَرِ وَتَجَنُّبِ اْلإِنْسَانِ لِمَا يُؤْذِيْهِ
Pernah suatu ketika Umar bin Khattab ra bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang takwa. Ubai menjawab, ‘Bukankah anda pernah melewati jalan yang penuh duri?’ Umar menjawab, ‘ya!’. Ubai bertanya lagi, ‘Apa yang anda lakukan saat itu?’ Umar menjawab, ‘Saya bersiap-siap dan berjalan dengan hati-hati.’ Ubai berkata lagi, ‘Itulah taqwa.”
Dan berpijak dari jawaban Ubai di atas, Utz Sayid Qutub mengemukakan, ‘Itulah taqwa, kepekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus menerus, selalu waspada dan hati-hati jangan sampai kena duri jalanan… Jalan kehidupan yang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan dan angan-angan, kekhawatiran dan keraguan, haparan semu atas segala sesuatu yang tidak bisa diharapkan. Ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak pantas untuk ditakuti… dan masih banyak duri-duri yang lainnya….”

4. Takwa memiliki beberapa tingkatan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut:
#1. ( تقوى الكفر والشرك ) Takwa dari kekufuran dan kemusyrikan
Yaitu sebuah sikap untuk menjauhkan diri dari segala hal yang berbau kekufuran dan kemusyrikan, baik yang besar maupun pada hal-hal kecil. Karena dampak dari kekufuran dan kemusyrikan adalah sangat fatal, yaitu tidak akan pernah diampuni oleh Allah SWT :
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa’/ 4 : 116)

Diantara bentuknya adalah, meyakini adanya kekuatan-kekuatan lain pada benda-benda tertentu (seperti susuk, jimat, dsb), kepercayaan tidak boleh foto bertiga karena salah satunya akan meninggal dunia, menanam kepala kerbau untuk membangun gedung & jembatan, SMS ketik reg XXXX, “anda tidak cocok bekerja di air”, dsb.

#2. ( تقوى المحرمات ) Takwa dari hal-hal yang diharamkan Allah SWT.
Yaitu takwa dengan menjauhkan diri dari segala hal yang diharamkan Allah, maupun dari segala perbuatan-perbuatan maksiat yang dilarang Allah SWT. Dalam sebuah riwayat, dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda; ‘Bertakwalah kalian dari hal-hal yang diharamkan Allah, niscaya engkau akan menjadi hamba yang paling baik. Dan ridhalah terhadap apa yang Allah berikan pada kalian, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling kaya. Dan berbuat baiklah kalian terhadap tetangga kalian, niscaya engkan akan menjadi orang mukmin. Cintailah manusia sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, niscaya engkau akan menjadi muslim. Dan janganlah kalian memperbanyak tertawa, karena banyak tertawa itu akan mematikan hati'. (HR. Tirmidzi)

#3. ( تقوى الشبهات ) Taqwa dari hal-hal syubhat
Yaitu menjauhkan diri dari hal-hal yang ‘samar’ atau tidak jelas antara halal dan haramnya, yang sebagian besar manusia tidak mengetahuinya. Oleh karena itulah, seorang yang bertakwa hendaknya menghindarkan diri dari hal-hal seperti ini. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, “Yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar (syubhat) yang tidak diketehui oleh kebanyakan manusia. Barang siapa yang bertakwa menjauhkan diri dari hal-hal syubhat tersebut maka ia berarti telah menjaga agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus dalam kesyubhatan, maka ia terjerumus ke dalam sesuatu yang haram... “ (HR. Muslim) Diantaranya adalah makanan-makanan tertentu yang yang tidak mencantumkan lebel halal, dan ada indikasi menggunakan bahan-bahan yang tidak halal, seperti rum dsb.

#4. ( تقوى المباحات ) Takwa dari hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan)
Yaitu berusaha untuk tidak berlebihan mengkonsumsi sesuatu yang mubah. Karena yang mubah apabila terlalu berlebihan, maka juga akan menimbulkan dosa. Atau dengan bahasa lain, meninggalkan sesuatu yang tidak ada apa-apanya, karena khawatir ada apa-apanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan:
لاَ يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنْ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ - رواه الترمذي
Rasulullah SAW bersabda, ‘seorang hamba tidak akan mencapai derajat taqwa, hingga ia meninggalkan sesuatu yang tidak apa-apanya, karena khawatir ada apa-apanya. (HR. Tirmidzi)

Diantara bentuknya adalah seperti telalu banyak ngobrol, terlalu sering jajan makanan, banyak tertawa, memakai pakaian yang terlalu bagus-bagus, terlalu banyak mendengarkan lagu atau nasyid, terlalu banyak menonton TV, dsb.
#5. ( تقوى الله حق تقاته ) Takwa yang sebenar-benarnya
Dalam hal ini, Ibnu Abbas mengatakan, “Takwa yang sebenar-benarnya adalah bahwa seseorang itu berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya, dan tidak (mengambil peduli) terhadap orang-orang yang mencela mereka di jalan Allah, dan menegakkan keadilan meskipun terhadap diri mereka sendiri, orang tua mereka atau anak-anak mereka.
Taqwa dengan yang sebenar-benarnya ini, adalah gabungan dari seluruh ketaqwaan yang ada di atas. Dia juga termasuk takwa teradap kekufuran dan kesyirikan, takwa terhadap hal-hal yang diharamkan Allah SWT, takwa terhadap syubhat dan takwa terhadap hal-hal yang tidak ada apa-apanya karena khawatir terjerumus pada hal-hal kemakruhan dan syubhat. Dan hal ini sebenarnya merupakan perintah Allah SWT terhadap seluruh hamba-hamba-Nya.

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

0 Comments:

Post a Comment