The Power of Shiddiq (4) Memanen Kesuksesan

عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْخَازِنَ الْمُسْلِمَ الْأَمِينَ الَّذِي يُنْفِذُ، وَرُبَّمَا قَالَ يُعْطِي مَا أُمِرَ بِهِ فَيُعْطِيهِ كَامِلًا مُوَفَّرًا طَيِّبَةً بِهِ نَفْسُهُ فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِي أُمِرَ لَهُ بِهِ أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْنِ - متفق عليه
Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: "Seorang bendahara muslim yang melaksanakan tugasnya dengan jujur, dan membayar sedekah kepada orang yang diperintahkan oleh majikannya secara sempurna dengan segera dan dengan pelayanan yang baik, maka ia mendapat pahala yang sama seperti orang yang bersedekah." (Muttafaqun Alaih)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa kejujuran yang diiringi sifat amanah, dengan membayar atau menunaikan sedekah (baca ; membayarkan manfaat Takaful) secara sempurna, dan dilakukan secara segera serta dengan pelayanan yang prima, akan mendapatkan keutamaan sama seperti orang yang bersedakah itu sendiri. Demikianlah Rasulullah SAW menggambarkannya kepada kita semua. Dan apabila kita renungkan, betapa pekerjaan kita sehari-hari adalah sangat “mirip” dengan yang Rasulullah SAW sabdakan. Karena kita semua merupakan “khazin” yaitu yang menyimpan dan mengelola harta orang (baca ; sedekah dan atau tabarru’), membayarkan kepada yang berhak dan dituntut memberikan pelayanan yang baik. Dan sungguh, ternyata pekerjaan kita semua akan berbuah setiap hari-harinya seperti keutamaan orang-orang yang bersedakah. Namun itu semua haruslah didasari dengan kejujuran, sebagaimana yang beliau sabdakan dalam hadits di atas.

2. Bahwa shidiq atau kejujuran akan berbuah keberuntungan dan kebahagiaan. Hal ini sebagaimana dialami oleh Rasulullah SAW. Kejujurannya lah yang menjadikan beliau justru “dicari” oleh Khadijah (investor) bahkan belaiu “ditawari” oleh Khadijah untuk mengelola hartanya. Kejujuran beliau pulalah, yang kemudian menjadikan “bisnis” yang dikelola beliau, menjadi bisnis yang sangat menguntungkan dan penuh dengan keberkahan. Dan karena kejujuran beliau pulalah yang kemudian menjadikan Khadijah memilih untuk menikah dengan Rasulullah SAW. Dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, tentang kejujuran Rasulullah SAW dalam berniaga, sebagaimana dituliskan oleh Al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum, sebagai berikut :
“Ibnu Ishaq berkata, “Khadijah binti Khuwailid adalah seorang saudagar wanita keturunan bangsawan dan kaya raya. Dia mempekerjakan tenaga laki-laki dan melakukan sistem bagi hasil terhadap harta (modal) tersebut sebagai keuntungan untuk mereka nantinya. Kabilah Quraisy dikenal sebagai kaum pedagang handal. Tatkala sampai ke telinga Khadijah perihal kejujuran bicara, amanah dan akhlak Rasulullah SAW yang mulia, dia mengutus seseorang untuk menemuinya dan menawarkan untuk memperdagangkan harta miliknya tersebut ke negeri Syam dengan imbalan yang paling istimewa yang tidak pernah diberikan kepada para pedagang lainnya, dengan didampingi seorang budak laki-laki milik Khadijah yang bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran tersebut dan berangkat dengan barang-barang dagangan Khadijah bersama budak tersebut hingga sampai di negeri Syam. Ketika beliau pulang ke Mekkah dan Khadijah melihat betapa amanahnya beliau terhadap harta yang diserahkan kepadanya, begitu juga dengan keberkahan dari hasil perdagangan yang belum pernah didapatinya sebelum itu, ditambah lagi informasi dari budaknya, Maisarah perhial budi pekerjti beliau nan demikian manisnya, sifat-sifatnya yang mulia, ketajaman berpikir, cara bicara yang jujur dan cara hidup yang penuh amanah, maka dia seakan menemukan apa yang didambakannya selama ini. Padahal, banyak sekali para pemuka dan kepada suku yang demikian antusias untuk menikahinya namun semuanya dia tolak. Akhirnya dia menyampaikan curahan hatinya kepada teman wanitanya, Nafisah binti Munayyah yang kemudian bergegas menemui beliau dan menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah SAW serta menganjurkan beliau untuk menikahi Khadijah….” (Ar-Rahiq Al-Makhtum, hal 79 – 80)

3. Afzalurrahman dalam Muhammad as a Trader menulis, kunci sukses berdagang Nabi Muhammad SAW terletak pada sikap jujur dan adil dalam mengadakan hubungan dagang dengan para pelanggan. Itulah yang selalu dia tunjukkan ketika menjadi agen saudagar kaya Siti Khadijah ra — yang kemudian menjadi isti tercinta — untuk melakukan perdagangan ke Syiria, Jerussalem, Yaman dan tempat-tempat lain. Dalam perjalanan perdagangan itu, Nabi mendapatkan perolehan keuntungan di luar dugaan. Nabi menandaskan kejujuran dan agar menjaga hubungan yang baik dan ramah kepada para pelanggan maupun mitra dagang. Prinsip Nabi, pedagang yang tak jujur, meskipun sesaat mendapatkan keuntungan banyak, tapi pelan tapi pasti akan gagal dalam menggeluti profesinya. Karena itu, dia selalu menasehati sahabat-sahabatnya untuk melakukan hal serupa. Apalagi saat Nabi memimpin ummat di Madinah. Praktek-praktek perdagangan yang mengandung unsur penipuan, riba, judi, ketidakpastian dan meragukan, eksploitasi, pengambilan untung yang berlebihan dan pasar gelap belia larang. Nabi juga memelopori standardisasi timbangan dan ukuran.Nabi sangat konsen dengan kejujuran. Sampai-sampai, orang yang jujur dalam berdagang, digaransinya masuk dalam golongan para nabi. Abu Sa’id meriwayatkan bahwa Rasulullah berkata, “Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan para nabi, orang-orang jujur dan para syuhada.”

4. Ada sebuah kisah motivasi yang dapat kita petik hikmahnya, walaupun kisah ini memang bukan hadits atau riwayat dari salafuna shaleh, namun sebagaimana disabdakan Rasulullah dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Kalimat hikmah adalah barang seorang mukmin yang hilang, maka dimana saja ia menemukannya ia lebih berhak untuk mengambilnya." (HR. Ibnu Majah) :
Alkisah, ada seorang raja yang sudah memasuki usia senja dan ingin segera mencari penggantinya. Berbeda dengan kebiasaan di masa itu, ia tak menunjuk anak-anak maupun pembantu terdekatnya untuk menggantikannya menjadi raja. Sang Raja memiliki cara yang berbeda, karena ia menginginkan penggantinya kelak merupakan orang yang benar-benar kompeten menjadi seorang raja.
Suatu ketika, Sang Raja memanggil seluruh pemuda yang berada di negeri itu, dan berpidato di haddapan mereka. "Aku akan mengadakan sayembara. Kalian semua akan mendapatkan sebuah biji. Tanamlah biji ini, rawatlah, dan kembalilah setahun lagi dengan tanaman kalian masing-masing. Bagi yang memiliki tanaman terbaik, akan langsung ku tunjuk menjadi raja menggantikanku", ujar Sang Raja. Mendengar pengumumnan Sang Raja, semua pemuda menjadi sangat antusias untuk merawat biji tersebut sebaik-baiknya.
Seorang pemuda bernama Shabri terlihat sangat antusias. Ia menanam biji itu, dan menyiramaninya setiap hari sepenuh hati. Hari demi hari ia jalanani, tapi sampai sebulan berlalu, dari biji yang ia tanam itu belum tumbuh apa-apa. Bahkan bulan pun berganti bulan, hingga setelah enam bulan ketika para pemuda lainnya mulai membicarakan tanaman mereka yang tumbuh dengan tinggi dan bagusnya, bahkan sebagian sudah ada yang mengeluarkan buah, namun yang terjadi pada Shabri adalah biji yang ditanamnya tak kunjung menampakkan tanda-tanda tumbuh megeluarkan batang dan cabang. Hatinya pun mulai gusar dan gelisah..
Tanpa terasa, setahun pun berlalu. Semua pemuda diminta untuk membawa tanamannya kepada Sang Raja, mereka pun sangat antusias datang ke Istana membawa hasil tanamannya yang diletakkan di pot-pot yang agak besar. Masing-masing mereka saling membanggakan hasil tanamannya. Hal ini tentunya berbeda dengan biji yang ditanam Shabri, yang tidak menghasilkan apapun dari biji yang ditanamnya tersebut. Oleh karenanya, ia pun enggan untuk datang menghadap Sang Raja. Namun ibunya mendorongnya untuk pergi dan berbicara apa adanya kepada Sang Raja. Karena apapun hasilnya, itu merupakan amanah dari Sang Raja, yang harus ia "tunaikan" dan ia pertanggung jawabkan kepada sang Raja.
Akhirnya setelah beristikharah cukup panjang, ia pun berangkat ke Istana dengan tujuan mempertanggung jawabkan hasil kerjanya kepada Sang Raja, dengan membawa pot yang masing kosong tanpa ada satu tangkai tanaman pun yang tumbuh di pot tersebut. Kedatangannya disambut dengan cemoohan, ejekan dan olokan para pemuda lainnya. Shabri hanya terdiam dan berusaha menenangkan diri, seraya memperbanyak istighfar kepada Allah SWT...
Tak lama kemudian, Raja muncul dan mulai memeriksa hasil tanaman seluruh pemuda. Beliau mengungkapkan, "Kerja kalian bagus, tanaman kalian bukan main indahnya. Dan tibalah saatnya bagiku sekarang untuk menunjuk seorang dari kalian untuk menjadi raja yang baru." Mendengar hal tersebut, semua pemuda berharap agar dirinya lah yang akan ditunjuk oleh Sang Raja, untuk menjadi Raja. Suasana menjadi sepi dan senyap. Semua terdiam, menantikan kata-kata yang akan keluar dari Sang Raja. Tiba-tiba Raja memanggil Shabri yang berada di barisan paling belakang. Mendengar namanya dipanggil, Shabri panik, "jangan-jangan aku akan dihukum karena tidak mampu merawat biji yang diamanahkan Raja kepadaku," gumamnya. Suasanapun tiba-tiba berubah menjadi riduh rendah penuh dengan ejekan dan cemoohan hadirin yang menyaksikan pot Shabri yang kosong melompong, tanpa sebatang tangkaipun yang tumbuh dari biji yang ditanamnya.
Raja tiba-tiba berteriak, "Diam semuanya!" Semua pemuda tertegun. Raja kemudian menoleh kepada Shabri, dan kemudian beliau mengumumkan, "Inilah Raja kalian yang baru!". Semua terkejut. Bagaimana mungkin orang yang gagal yang menjadi raja? Menyadari keheranan mereka, Raja kemudian melanjutkan, "Setahun yang lalu aku memberi kalian sebuah biji untuk dtanam. Tapi yang kuberikan kepada kalian adalah biji yang sudah direbus terlebih dahulu. Dan oleh karenanya pasti tidak akan pernah dapat tumbuh. Dan ternyata kalian semua telah menggantinya dengan biji yang lain. Hanya Shabrilah satu-satunya pemuda yang tidak mengganti dengan biji yang lain. Shabri telah bersikap jujur, terhadap amanah yang aku embankan kepadanya." Ujar Sang Raja. "Dan aku menginginkan penggantiku kelak adalah orang yang memiliki kejujuran dan keberanian. Jujur karena tidak mengganti biji dariku dengan biji lainnya. Berani, karena berani datang ke Istana untuk membawa pot dengan biji yang kuberikan, meskipun tidak tumbuh apapun daripadanya. Karena itulah, dia aku angkat menjadi Raja menggantikanku...."

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

0 Comments:

Post a Comment