The Power of Shiddiq (3) Bukan Sekedar Kejujuran

عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا - متفق عليه
Dari Hakim bin Hizam ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya shiddiq (jujur) dan menjelaskan dagangannya (transparan) maka keduanya akan diberkahi dalam jual belinya. Dan bila keduanya menyembunyikan dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual belinya". (Muttafaqun Alaih)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa dalam syariah, muamalah ternyata bernilai ibadah yang memiliki pahala dan bahkan mendatangkan keberkahan. Hadits di atas sangat jelas menegaskan hal tersebut, dimana ketika transaksi dilakukan antara penjual dan pembeli secara jujur dan transparan maka Allah SWT akan memberikan keberkahan pada transaksi mereka berdua. Namun hal ini tentunya tetap dengan memperhatikan rukun dan syarat jual beli sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh. Artinya, kendatipun jujur dan transparan namun jika mengabaikan rukun dan syarat jual beli, maka tetap saja jual belinya tidak sah, haram dan tidak mendatangkan keberkahan. Contohnya seperti dua orang yang mentransaksikan khamer, narkoba, minuman keras dsb. Maka jual belinya batal, karena objek akadnya adalah barang haram yang dilarang syariah, dan tentunya bukan mendapatkan keberkahan namun justru mendapatkan dosa, serta tidak sahnya keuntungan yang didapatkan.

2. Shiddiq dalam muamalah berwujud pada kejujuran sang penjual ketika menjual dan kejujuran sang pembeli ketika membeli. Karena baik penjual maupun pembeli masing-masing memiliki potensi untuk “tidak jujur” ketika menjual atau membeli. Sebagai contoh seorang penjual yang menawarkan satu objek tertentu kepada calon pembeli, ia berpotensi untuk melebih-lebihkan objek yang ditawarkankan melebihi spec yang sesungguhnya. Atau sebaliknya, seorang calon pembeli yang berpotensi untuk “mengelabui” penjual dengan mengatakan bahwa objek yang ditawarkannya juga ditawarkan penjual yang lain dengan harga yang jauh lebih rendah, supaya ia bisa membeli objek yang ditawarkan dengan harga murah. Ketidakjujuran seperti ini, bisa berdampak pada “dicabutnya” keberkahan transaksi antara keduanya. Imam Nawawi memberikan penjelasan mengenai shiddiq dan tranparan sebagaimana disebutkan dalam hadits diatas, dengan penjelasan sebagai berikut :
“Yaitu bahwa masing-masing penjual dan pembeli menjelaskan kepada yang lainnya berkenaan dengan hal yang perlu dijelaskan, seperti kekurangan/ cacat pada barang yang ditransaksikan dan juga berkenaan dengan harga, serta “jujur” dalam memberikan penjelasan. Juga ketika menginformasikan harga dan segala yang terkait dengan objek. Adapun makna “dimusnahkan keberkahan jual belinya”, yaitu hilangnya keberkahannya. (Keberkahan yaitu bertambah dan berkembangnya nilai barang yang ditransaksikan). (Al-Minhaj Fi Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj, Juz 5 hal 340)

3. Sejarah mencatat bahwa shiddiq merupakan sifat para nabi terdahulu disamping juga merupakan sifat utama Rasulullah SAW. Al-Qur’an menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim as, memiliki sifat shiddiq ini sebagaimana yang Allah firmankan, “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (shiddiq) lagi seorang Nabi.” Demikian juga dengan nabi Idris as, Allah sifati dengan shiddiq, “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (shiddiq) dan seorang nabi.” (QS. 19 : 56). Nabi Yusuf as pun juga disifati dengan sifat ini, karena kejujuran beliau dan karena beliau menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela dengan seorang wanita : “Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan daripadanya. Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar (shiddiq)." (QS. 12 : 51)

4. Dan oleh karena kebaikan sifat shiddiq dengan segala kemuliaannya, Allah SWT memerintahkan kita untuk senantiasa bersifat shiddiq dan bersama-sama dengan orang-orang yang shiddiq. Karena kebersamaan dengan orang-orang yang shiddiq, sedikit banyak akan memberikan pengaruh positif kepada diri kita. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ *
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (shiddiq). (QS. At-Taubah : 119)

5. Bahwa orang yang shiddiq selain mendapatkan keberkahan, berupa bertambahnya harta dan nama baik, orang yang shiddiq juga dijanjikan surga. Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa’ : 69) :
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا*
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

Menguatkan firman Allah SWT di atas, terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, berkenaan dengan para pelaku bisnis yang shiddiq, bahwa kelak mereka akan dikumpulkan bersama para Nabi dan Syuhada’. Dan para Nabi serta Syuhada’ tidak memiliki tempat di akhirat, kecuali di dalam surga :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الْأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ (رواه الترمذي)
Dari Abu Sa'id bahwa Rasulullah SAW beliau bersabda: "Seorang pedagang yang jujur (shiddiq) dan dipercaya (kelak) akan bersama dengan para Nabi, shiddiqun dan para syuhada`." (HR. Turmudzi)

6. Para ulama mengemukakan, bahwa shiddiqin memiliki ciri-ciri, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Teguh dan tegar terhadap apa yang dicita-citakan (diyakininya). Allah SWT mencontohkan dalam al-Qur’an, orang-orang yang shiddiq terhadap apa yang mereka janjikan (bai’atkan) kepada Allah: (QS. 33: 23) “Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati (membenarkan/shiddiq) terhadap apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya)”

b. Tidak ragu untuk berjuang dengan harta dan jiwanya. Allah berfirman dalam al-Qur’an (QS. 49: 15) “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar (shiddiq).”

c. Memiliki keimanan kepada Allah, Rasulullah SAW, berinfaq, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji dan sabar. Allah SWT berfirman, (QS. 2: 177) “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya)/ shiddiq; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

d. Memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam. Allah berfirman dalam al-Qur’an, (QS. 3: 101) “…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus…” Jadi, akankah kita masih ragu untuk menjadi orang-orang yang shiddiq?

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

0 Comments:

Post a Comment