Dzulhijjah Bulan Ekonomi Syariah

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ : إنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيَّ مَوْضُوعٌ، وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ، وَإِنَّ أَوَّلَ دَمٍ أَضَعُ مِنْ دِمَائِنَا دَمُ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ كَانَ مُسْتَرْضِعًا فِي بَنِي سَعْدٍ فَقَتَلَتْهُ هُذَيْلٌ، وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ، فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ، فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ - رواه مسلم
Dari Jabir bin Abdillah ra, bahwasanya Rasulullah SAW berkhutbah dalam Haji Wada’, "Wahai manusia sesungguhnya menumpahkan darah, merampas harta sesamamu adalah haram sebagaimana haramnya berperang pada hari ini, pada bulan ini, dan di negeri ini. Ketahuilah, semua yang berbau Jahiliyah telah dihapuskan di bawah undang-undangku, termasuk tebusan darah masa jahilijyah. Tebusan darah yang pertama-tama kuhapuskan adalah darah Ibnu Rabi'ah bin Harits yang disusukan oleh Bani Sa'ad, lalu ia dibunuh oleh Huzail. Begitu pula telah kuhapuskan riba jahiliyah; yang mula-mula kuhapuskan ialah riba yang ditetapkan Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya riba itu kuhapuskan semuanya. Kemudian jangalah dirimu terhadap wanita. Kamu boleh mengambil mereka sebagai amanah Allah, dan mereka halal bagimu dengan mematuhi peraturan-peraturan Allah. Setelah itu, kamu punya hak atas mereka, yaitu supaya mereka tidak membolehkan orang lain menduduki tikarmu. Jika mereka melanggar, pukullah mereka dengan cara yang tidak membahayakan. Sebaliknya mereka punya hak atasmu. Yaitu nafkah dan pakaian yang pantas. Kuwariskan kepadamu sekalian suatu pedoman hidup, yang jika kalian berpegang teguh kepadanya yaitu Al Qur`an. Kalian semua akan ditanya mengenai diriku, lalu bagaimana nanti jawab kalian?" mereka menjawab: "Kami bersaksi bahwa Anda benar-benar telah menyampaikan risalah, Anda telah menunaikan tugas dan telah memberi nasehat kepada kami." Kemudian beliau bersabda sambil mengangkat jari telunjuknya ke atas langit dan menunjuk kepada orang banyak: "Ya, Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, ya Allah saksikanlah." (HR. Muslim)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa bulan Dzulhijjah disamping memiliki keutamaan dan keistimewaan sebagai bulan haram (bulan yang dimuliakan Allah SWT), dan juga bulan berpadunya segala aktivitas ibadah dan amal shaleh (khususnya di sepuluh hari pertama di bulan dzuhijjah), ia juga merupakan bulan ekonomi syariah. Karena di bulan inilah Rasulullah SAW memberikan wasiat-wasiat kepada umatnya, dan diantara wasiat terpenting yang terkandung di dalamnya adalah wasiat yang bermuatan ekonomi syariah. Hal ini seperti penegeasan beliau terhadap haramnya riba, haramnya memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, perintah untuk menjaga kehormatan sesama muslim, dsb. Pesan-pesan tersebut merupakan nilai-nilai yang mendasar dalam ekonomi syariah.

2. Pesan-pesan tersebut disampaikan pada bulan Dzulhijjah, di tahun ke 9 H dalam sebuah rangkaian pelaksanaan ibadah haji beliau bersama para sahabatnya, yang kemudian dikenal dengan peristiwa Haji Wada’. Haji Wada’ artinya haji perpisahan atau haji terakhir. Karena Rasulullah SAW tidak melaksanakan ibadah haji, selain haji wada’ ini, yang juga merupakan satu-satunya ibadah haji yang dilaksanakan oleh beliau setelah hijrahnya beliau ke Madinah, hingga beliau wafat pada tahun ke 11 H. Adapun sebelum hijrah, dikemukakan oleh Syeikh Abu Syahbah dalam As-Sirah An-Nabawiyah Fi Dhau’ Al-Qur’an was Sunnah, beliau pernah melaksanakan ibadah haji beberapa kali. (Lihat di jilid ke 2, hal 567, Kitab As-Sirah An-Nabawiyah Fi Dhau’ Al-Qur’an Was Sunnah).

3. Dalam peristiwa Haji Wada’ tersebut, Rasulullah SAW memberikan wasiat-wasiat penting kepada umatnya melalui khutbah-khutbah beliau. Dan salah satu khutbah beliau dalam Haji Wada adalah khutbah sebagaimana dalam teks hadits di atas, yang merupakan khutbah beliau di Padang Arafah ketika sedang melaksanakan Wuquf di Arafah. Sesusai beliau berkhutbah, Bilal bin Rabah mengumandangkan iqamah, kemudian Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakan shalat dzhur dan ashar secara jama’ taqdim secara qashar. Kemudian setelah itu beliau berjalan (masih di Arafah), lalu menghadap kiblat dan berdoa dengan doa yang sangat panjang, dimana dalam doa tersebut beliau banyak sekali mendoakan umatnya (Abu Syahbah, 1996 : Jilid 2 hal 574 – 575). Imam Al-Baihaqi meriwayatkan, ‘bahwasanya Rasulullah SAW karena demikian banyaknya mendoakan umatnya agar mendapatkan maghfirah, hingga Allah SWT mewahyukan kepada beliau bahwa Allah SWT akan menghapuskan segala sesuatu dari umatnya, kecuali perbuatan dzlim antara sesame mereka.” HR. Al-Baihaqi.

4. Teratat bahwa Rasulullah SAW setidaknya berkhutbah sebanyak tiga kali dalam rangkaian pelaksanaan Haji Wada’, yaitu pertama khutbah Arafah beliau ketika wuquf di Arafah, kedua khutbah beliau pada yaumunnahr (hari raya Idul Adha), ketika itu beliau berkhutbah dari atas untanya, dan ketiga khutbah beliau di hari tasyrik ketika berada di Mina. Dalam al-Bidayah wa al-Nihayah disebutkan, dari Ibnu Umar ra bahwa “Diturunkan surat An-Nashr pada pertengahan hari-hari tasyrik dan Rasulullah SAW mengetahui bahwa itu adalah pertanda perpisahan beliau dengan umatnya. Kemudian beliau menaiki al-qushwanya, lalu kemudian beliau memberikan khutbahnya pada hari tersebut.” (HR. Al-Bazar & Al-Baihaqi). Abu Syahbah mengoementari berkenaan dengan terjadinya beberpa kali khutbah Rasulullah SAW, ‘bahwa diantara hikmah Rasulullah SAW memberikan beberapa kali khutbahnya pada saat Haji Wada’ adalah karena peristiwa Haji Wada’ ini merupakan satu-satunya ibadah haji yang dilaksanakan Rasulullah SAW, yang pelaksanaannya harus berdapmapk untuk menguatkan Islam dan kaum muslimin khususnya di seluruh jazirah Arab. Disamping itu juga sebagai kalimat perpisahan dengan kaum muslimin, yang karenanya beliau mengulang-ulang wasiatnya kepada umatnya, agar mereka senantiasa ingat dan tidak mudah melupakannya. Dan pesan untuk berekonomi secara syariah termasuk salah satu pesan yang beliau wasiatkan dalam khutbahnya, yaitu untuk meninggalkan riba serta untuk tidak memakan harta sesama manusia dengan cara yang bathil.

5. Abas bin Abdul Muthallib merupakan salah seorang paman beliau, yang dahulu melalukan praktek riba jahiliyah. Praktek riba jahiliyah terjadi pada masa tersebut khususnya ketika memasuki masa dagang, baik pada musim dinging (as-syita’) maupun pada musim panas (as-shaif). Pada kedua masa tersebut umumnya masyarakat Arab berdagang ke Syam dan Shan’a (Yaman), untuk waktu yang cukup lama. Kebiasaan mereka pada waktu tersebut adalah terjadi transaksi pinjam meminjam diantara mereka untuk modal perdagangannya. Dan salah satu “tempat peminjaman” yang poluler pada masa tersebut adalah meminjam ke Abas bin Abdul Muthallib paman Rasulullah SAW. Pada masa tesebut, ketika orang meminjam kepada Abas bin Abdul Muthallib serta berjanji akan mengembalikan pinjamannya sepulang dari perjalanan dagangnya (berkisar dua atau tiga bulanan), maka ia harus mengembalikan uang yang dipinjamnya persis sejumlah sejumlah pinjamannya, tidak kurang dan tidak lebih. Namun apabila pada waktu yang telah disepakati si peminjam tidak bisa mengembalikannya dan minta ditangguhkan pembayarannya, maka barulah pada saat terebut dikenakan tambahan (baca ; bunga) atas hutangnya tersebut. Atau dengan kata lain, pada saat tersebut, pinjaman tidak dikenakan bunnnga apabila si peminjam dapat mengemblikan hutangnya tepat waktu. Namun apabila pada waktu yang telah ditentukan tidak bisa mengembalikan, barulah dikenakan bunga. Dan ternyata praktek seperti ini disebut oleh Rasulullah SAW sebagai riba jahiliyah. Itulah sebabnya beliau mengemukakan bahwa, “Begitu pula telah kuhapuskan riba jahiliyah; yang mula-mula kuhapuskan ialah riba yang ditetapkan Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya riba itu kuhapuskan semuanya.”

6. Selain menegaskan pengharaman riba, Rasulullah SAW juga menegaskan haramnya memakan harta sesama muslim dengan cara yang bathil. Beliau mengemukakan, “Sesungguhnya menumpahkan darah, merampas harta sesamamu adalah haram sebagaimana haramnya berperang pada hari ini, pada bulan ini, dan di negeri ini.” (HR. Muslim). Pesan ini sesungguhnya menegaskan dari firman Allah SWT :
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلإِثْمِ وأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kaliam memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang bathil. Dan janganlah pula kalian membawa urusan harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan sebagian dari harta manusia dengan cara yang dosa sedangkan kalian mengetahui. (QS. 2 : 188)

7. Diantara bentuk praktek riba yang umumnya terjadi pada saat ini adalah bunga bank, baik dalam bentuk tabungan, pinjaman, maupun kartu kredit. Bahkan menurut ulama kontemporer Syeikh Yusuf Al-Qardhawi, bahwa riba yang terjadi pada praktik perbankan konvesional saat ini lebih dahsyat dibandingkan dengan praktek riba pada masa jahiliyah. Karena “bunga” pada riba jahiliyah baru terjadi pada saat peminjam tidak dapat mengembalikan pinjamannya pada saat jatuh tempo saja. Sementara pada riba yang saat ini umum di perbankan adalah bahwa riba sudah terjadi pada saat penandatanganan awal kontrak peminjaman. Selain praktek perbankan, riba juga terjadi pada praktek asuransi konvensional, dimana terjadi pertukaran antara uang dengan uang, dengan jumlah yang tidak sama. Sebagai contoh akumulasi premi yang terkumpul selama tiga tahun Rp 3 juta. Lalu kemudian mendapatkan klaim sebesar Rp 100 juta (adanya pertukaran antara uang dengan uang dengan jumlah yang tidak sama). Praktek riba seperti ini dalam fiqh disebut dengan Riba Fadhl. Selain Riba Fadhl, dalam asuransi juga terdapat riba nasi’ah, sebagaimana yang terdapat pada praktek bank konvensional, yaitu adanya unsur bunga yang masuk dalam dana yang dikembalikan kepada nasabah, seperti dalam dana tabungan nasabah juga dalam dana klaim, dsb. Sehingga jika diperhatikan, sesungguhnya dalam asuransi konvensional terdapat dua jenis riba sekaligus; riba nasi’ah dan riba fadhl, sementara dalam bank konvensional terdapat riba nasi’ah saja.

8. Oleh karena itulah, penting kiranya bagi kita sekalian untuk menguatkan kembali da’wah ekonomi syariah kepada seluruh umat, khususnya di bulan Dzulhijjah ini dimana terdapat penekanan dan penegasan Rasulullah SAW untuk meninggalkan riba serta larangan untuk memakan harta dengan cara yang bathil. Dan cara yang terbaiknya adalah memulainya dari diri kita sendiri, lalu mengajak orang lain untuk berhijrah menuju ekonomi syariah yang lebih berkah…
يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِى الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيْمٍ
Allah menghaspuskan segala macam riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. (QS. Al-Baqarah : 276)

Wallahu A'lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag

0 Comments:

Post a Comment