The Power of Amanah (2)

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا (رواه مسلم)
Dari Abu Dzar ra berkata, Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak menjadikan aku sebagai pengawal? Kemudian belaiu menepuk pundakkau dan bersabda, “Hai Abu Dzar, sungguh kamu ini lemah dan jabatan itu amanah. Dan pada hari Kiamat nanti, jabatan itu menjadi kehinaan serta penyesalan, kecuali bagi orang yang melaksanakannya secara benar dan menunaikan semua kewajibannya.” (HR. Muslim)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa kelak segala amanah akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT. Dan bahwasanya kelak, banyak orang yang memegang amanah akan menyesal akan amanah yang diembankan kepada mereka. Karena amanah itu justru kelak akan merendahkannya, disebabkan karena ia tidak bisa menunaikan dan tidak melaksanakannya dengan baik. Sementera dahulu ketika di dunia, mereka sangat mendamba-dambakan amanah tersebut. Oleh karena itulah, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang meminta jabatan, maka ia tidak boleh diberi. Dan justru orang yang berhak mendapatkannya adalah orang yang menolak dan tidak menginginkannya (Nuzhatul Muttaqin, Juz I hal. 744).

2. Hadits di atas juga menggambarkan bahwa orang-orang yang dapat memagan amanah dengan baik, maka dia akan beruntung dan mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT. , Hadits di atas membahasakannya dengan, “…kecuali orang-orang yang mengambil amant itu dengan haq (benar) sebagaimana mestinya dan menunaikan apa yang diembankan pada dirinya dari amanah tersebut.” Dalam riwayat lainnya disebutkan, bahwa pemimpin yang amanah akan mendapatkan naungan Allah di hari tiada naungan kecuali naungan dari-Nya :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَى ذَلِكَ وَتَفَرَّقَا وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ ذَاتُ حَسَبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Ada tujuh golongan yang kelak akan mendapatkan naungan Allah, di hari tiada naungan kecuali naungan dari-Nya. (Yaitu) seorang pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan ibadah kepada Allah SWT, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah mereka bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah, seseorang yang mengingat Allah di waktu sepi lalu meneteskan airmata, seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang memiliki kecantikan dan kedudukan lalu ia mengatakan sesungguhnya aku takut kepada Allah, dan seseorang yang bersedekah dengan tangan kanannya yang tidak diketahui oleh tangan kirinya.” (Muttafaqun Alaih)

3. Pemimpin yang adil (dalam konteks hadits pada poin 2), adalah pemimpin yang senantiasa menjaga amanah dengan baik, melaksanakan tugas sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah, mentaati fatwa para ulama dan orang-orang shaleh, serta memimpin untuk menegakkan kalimatullah di muka bumi. Pemimpin yang demikian ini, akan mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil kelak di sisi Allah berada di mimbar-mimbar bercahaya di sebelah kanan Allah yang Maha Rahman sedangkan kedua tangan Allah adalah kenan; (yaitu) mereka yang berbuat adil dalam keputusan, terhadap keluarga dan dalam kepemimpinannya.” (HR. Muslim)

4. Sebaliknya, apabila seseorang diberikan amanah dan ia tidak menunaikannya dengan baik, maka Alah SWT pun kelak akan menyulitkannya. Demikianlah sebuah hakekat yang digambarkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana beliau sabdakan dalam sebuah riwayat berikut :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ (رواه مسلم)
Dari Aisyah ra berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda di rumahku ini, “Ya Allah barangsiapa memegang urusan umatku (mendapat amanah memimpin) dan bersikap keras (menyusahkan) kepada mereka, maka susahkanlah ia. Dan barang siapa memegang urusan umatku dan bersikap sayang kepada mereka, maka sayangilah mereka.” (HR. Muslim)

5. Bahwa terdapat sebuah kisah Al-Qadhi Abu Bakar yang penuh hikmah, pada keteguhan memegang amanah, semoga kita bisa mengambil hikmahnya :
Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi bin Muhammad Al-Bazzar Al-Anshari berkata: “Dulu, aku pernah berada di Makkah, semoga Allah SWT selalu menjaganya. Suatu hari aku merasakan lapar yang sangat. Aku tidak mendapatkan sesuatu yang dapat menghilangkan laparku. Tiba-tiba aku menemukan sebuah kantong dari sutera yang diikat dengan selempang yang terbuat dari sutera pula. Aku memungutnya dan membawanya pulang ke rumah. Ketika aku buka, aku dapatkan didalamnya sebuah kalung permata yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Aku lalu keluar dari rumah, dan saat itu ada seorang bapak tua yang berteriak mencari kantongnya yang hilang sambil memegang kantong kain yang berisi uang lima ratus dinar. Dia mengatakan, ‘Ini adalah bagi orang yang mau mengembalikan kantong sutera yang berisi permata’. Aku berkata pada diriku, ‘Aku sedang membutuhkan, aku ini sedang lapar. Aku bisa mengambil uang dinar emas itu untuk aku manfaatkan dan mengembalikan kantong sutera ini padanya’. Maka aku berkata pada bapak tua itu, ‘Wahai Bapak, kemarilah’. Lalu aku membawanya ke rumahku. Setibanya di rumah, dia menceritakan padaku ciri kantong sutera itu, ciri-ciri selempang pengikatnya, ciri-ciri permata dan jumlahnya berikut benang yang mengikatnya. Maka aku mengeluarkan dan memberikan kantong itu kepadanya dan dia pun memberikan untukku lima ratus dinar, tetapi aku tidak mau mengambilnya. Aku katakan padanya, ‘Memang seharusnya aku mengembalikannya kepadamu tanpa mengambil upah untuk itu’. Ternyata dia bersikeras, ‘Kau harus mau menerimanya’, sambil memaksaku terus-menerus. Aku tetap pada pendirianku, tak mau menerima. Akhirnya bapak tua itu pun pergi meninggalkanku.
Adapun aku, beberapa waktu setelah kejadian itu aku keluar dari kota Makkah dan berlayar dengan perahu. Di tengah laut, perahu tumpangan itu pecah, orang-orang semua tenggelam dengan harta benda mereka. Tetapi aku selamat, dengan menumpang potongan papan dari pecahan perahu itu. Untuk beberapa waktu aku tetap berada di laut, tak tahu ke mana hendak pergi! Akhirnya aku tiba di sebuah pulau yang berpenduduk. Aku duduk di salah satu masjid mereka sambil membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika mereka tahu bagaimana aku membacanya, tak seorang pun dari penduduk pulau tersebut kecuali dia datang kepadaku dan mengatakan, ‘Ajarkanlah Al-Qur’an kepadaku’. Aku penuhi permintaan mereka. Dari mereka aku mendapat harta yang banyak.
Di dalam masjid, aku menemukan beberapa lembar dari mushaf, aku mengambil dan mulai membacanya. Lalu mereka bertanya, ‘Kau bisa menulis?’, aku jawab, ‘Ya’. Mereka berkata, ‘Kalau begitu, ajarilah kami menulis’. Mereka pun datang dengan anak-anak juga dan para remaja mereka. Aku ajari mereka tulis-menulis. Dari itu juga aku mendapat banyak uang. Setelah itu mereka berkata, ‘Kami mempunyai seorang puteri yatim, dia mempunyai harta yang cukup. Maukah kau menikahinya?’ Aku menolak. Tetapi mereka terus mendesak, ‘Tidak bisa, kau harus mau’. Akhirnya aku menuruti keinginan mereka juga. Ketika mereka membawa anak perempuan itu kehadapanku, aku pandangi dia. Tiba-tiba aku melihat kalung permata yang dulu pernah aku temukan di Makkah melingkar di lehernya. Tak ada yang aku lakukan saat itu kecuali hanya terus memperhatikan kalung permata itu. Mereka berkata, ‘Sungguh, kau telah menghancurkan hati perempuan yatim ini. Kau hanya memperhatikan kalung itu dan tidak memperhatikan orangnya’. Maka saya ceritakan kepada mereka kisah saya dengan kalung tersebut. Setelah mereka tahu, mereka meneriakkan tahlil dan takbir hingga terdengar oleh penduduk setempat. ‘Ada apa dengan kalian?’, kataku bertanya. Mereka menjawab, ‘Tahukah engkau, bahwa orang tua yang mengambil kalung itu darimu saat itu adalah ayah anak perempuan ini’. Dia pernah mengatakan, ‘Aku tidak pernah mendapatkan seorang muslim di dunia ini (sebaik) orang yang telah mengembalikan kalung ini kepadaku’. Dia juga berdoa, ‘Ya Allah, pertemukanlah aku dengan orang itu hingga aku dapat menikahkannya dengan puteriku’, dan sekarang sudah menjadi kenyataan’. Aku mulai mengarungi kehidupan bersamanya dan kami dikaruniai dua orang anak. Kemudian isteriku meninggal dan kalung permata menjadi harta pusaka untukku dan untuk kedua anakku. Tetapi kedua anakku itu meninggal juga, hingga kalung permata itu jatuh ke tanganku. Lalu aku menjualnya seharga seratus ribu dinar. Dan harta yang kalian lihat ada padaku sekarang ini adalah sisa dari uang 100 ribu dinar itu.” (Dari Kitab Al-Rijal wa Al-Mawaqif). Dari : http://gesah.net/mag/show.php?id=1345

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

0 Comments:

Post a Comment