The Power of Amanah (1)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ* وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ*
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang di percayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. Al-Anfal : 27 – 28)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa sebagai orang yang beriman, kita dilarang “berkhianat”, terlebih-lebih mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah SWT di atas dengan sangat jelas menggambarkan hal tersebut, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” Khianat dalam ayat di atas digambarkan dalam dua jenis, pertama khianat khusus yaitu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Khianat kepada Allah dan Rasulullah SAW terjadi seperti kisah Abu Lubabah yang berkhinat yang menjadi latar belakang turunnya ayat ini (di jelaskan di poin kedua). Adapun khianat yang kedua adalah khianat umum, yaitu khianat terhadap segala hal yang diamanahkan kepada kita ; janji, jabatan, keluarga, harta, rahasia, dsb.

2. Bahwa ayat di atas memiliki asbabunnuzul, yaitu sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dan juga digambarkan dalam riwayat-riwayat sirah nabawiyah. Diantara riwayatnya adalah riwayat Al-Kalbi, bahwa Abu Lubabah bin Abdul Mundzir diutus oleh Nabi Shallallahu’ Alaihi wa Sallam ke Bani Quraidzah (sebuah suku Yahudi Madinah yang telah melanggar perjanjian waktu perang Khandak), sebab selama ini Abu Lubabah memiliki hubungan yang baik dengan suku tersebut. Abu Lubabah juga bahkan menitipkan harta dan anak-anaknya pada Bani Quraidzah. Setelah bertemu dengan para pemuka Yahudi itu, disampaikanlah usulan Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam agar mereka (Yahudi Bani Quraidzah) menyerah pada Sa’ad bin Mu’adz yang diperintahkan Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam untuk menangani kasus mereka. Lalu pemuka Yahudi bisik-bisik bertanya, “Jika mereka turun (tidak melakukan apa yang diusulkan Rasulullah SAW), apa kira-kira hukuman yang dijatuhkan pada mereka?” Lalu dengan tidak pikir panjang Abu Lubabah memberikan isyarat dengan mengisyaratkan tangan ke lehernya, sebagai isyarat bahwa mereka akan dibunuh semua. Kelancangan Abu Lubabah itulah yang ditegur Allah SWT dengan diturunkannya QS. Al-Anfal 27 – 29 di atas. Karena tidak seharusnya Abu Lubabah “memberitahukan” hal tersebut kepada Bani Quraidzah.
Setelah turun ayat ini, Rasulullah Shalallahu’Alaihi wa Sallam memanggil isteri Abu Lubabah dan bertanya, “ Apakah Abu Lubabah tetap mengerjakan shaum dan sholat. Dan adakah dia mandi junub setelah bersetubuh? “ Isterinya menjawab, “ Dia Shaum, Sholat dan mandi junub, bahkan cinta kepada Allah dan Rosul-Nya “. Nabi bertanya demikian, karena meragukan keimanannya, sehingga isterinya ditanya tentang kehidupannya, apakah dia Islam atau Munafiq. Isterinya menjawab pasti dia shaum, sholat dan setelah bersetubuh dia tetap mandi junub. Ini menunjukkan keimanannya baik. Tapi ia telah berkhianat, yang merupakan perbuatan orang Munafiq. Abu Lubabah memang bukan orang munafiq, tetapi karena kelancangannya dia telah dicap sebagai penghianat. Setelah turun ayat ini, Abu Lubabah merasa sangat menyesal, sebab Allah sendiri telah mencapnya sebagai penghianat, kemudian dia segera bertaubat.
Menurut Riwayat Qatadah dan Az-Zuhri, taubatnya itu lain sekali. Dia bersumpah untuk tidak makan dan minum, sampai diberi ampun oleh Allah. Kemudian dia mengikatkan diri di tonggak masjid sampai sembilan hari, tidak makan dan tidak minum sampai jatuh pingsan. Setelah Allah menerima taubatnya, beberapa orang datang memberitahu bahwa Alloh telah menerima taubatnya dan mereka hendak melepas ikatannya. Tetapi Abu Lubabah bersumpah bahwa dia tidak mau dilepas kecuali oleh Rasulullah SAW. Beliau pun akhirnya melepaskan ikatannya. Setelah bebas Abu Lubabah berkata, “Ya Rasulullah, saya bernadzar untuk mensedekahkan seluruh harta saya “. Beliau menjawab, “Jangan semuanya, cukup sepertiga saja “. Inilah taubat Abu Lubabah, yang sangat luar biasa karena telah merasa berkhianat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Dan kendatipun ayat ini turun mengenai Abu Lubabah, tetapi maksudnya umum, menjadi peringatan keras bagi umat Islam untuk teguh dan setia dalam memegang amnat. Tak ada artinya sholat, shaum, taat beribadah apabila seseorang tidak setia kepada amanah.

3. Bahwa penyebab terjadinya sifat “khianat” umumnya adalah faktor harta (amwalukum) dan keturunan (auladukum) beserta turunannya. Seperti Abu Lubabah yang memang secara histori memiliki hubungan sangat baik dengan Yahudi Bani Quraidzah, bahkan beliau menitipkan anak-anak dan juga harta (baca ; investasi) di Yahudi Bani Quraidzah. Kedekatan hubungan dengan Yahudi inilah yang kemudian membuat Abu Lubabah tega “mengkhianati” Allah dan Rasulullah SAW. Abu Lubabah memberitahukan kepada Yahudi Bani Quraidzah apa yang akan dilakukan Rasulullah SAW jika mereka tidak mengikuti usulan Rasulullah SAW. Padahal tidak seharusnya beliau memberitahukan itu. Faktor kedekatan hubungan dengan Bani Quraidzah dan faktor harta yang beliau investasikan di Bani Quraidzh telah menjadikan beliau berkhianat kepada Allah & Rasul-Nya. Amwal (jabatan, kedudukan, harta, investasi) dan aulad (kedekatan hubungan, hutang budi, dsb) yang seringkali “membutakan” mata manusia, sehingga ia rela berkhianat.

4. Harta dan anak merupakan cobaan dan ujian dari Allah SWT. Mereka-mereka yang hidupnya dilalaikan dengan harta dan anak-anak, pastilah akan menuai kesengsaraan dan tidak mendapatkan kebahagiaan. Sebaliknya, orang-orang yang hidupnya istiqamah untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tidak dibutakan oleh harta, kedudukan, hubungan baik, hutang budi, keluarga, anak-anak atau kepentingan jangka pendek lainnya, akan mendapatkan kebahagiaan. Kisah seorang gadis anak penjual susu di zamah Kekhilafahan Umar bin Khattab ra, dapat kita ambil hikmahnya. Berikut adalah kisahnya “Bahwa Khalifah Umar bin Khattab pada suatu malam yang gelap gulita di saat beliau berkeliling di antara rumah-rumah rakyatnya, beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin. Kata ibu "Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari. Anaknya menjawab "Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini" Si ibu masih mendesak "Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu". Balas si anak "Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu". Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu. Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu. Kata Umar, “Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam." Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz, seorang Amirul Mu’minin yang namanya tertulis dengan tinta emas sepanjang zaman, karena keadilan dan kearifan beliau dalam memimpin umat Islam. Subhanallah.. betapa sifat amanah akan melahirkan pemimpin yang besar di masa yang akan datang. Sebaliknya, sifat khianah akan menimbulkan kesengsaraan dan kesulitan di masa yang akan datang.

5. Bahwa ayat di atas secara tersirat juga menggambarkan tentang keutamaan orang-orang yang istiqamah melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya (atau di zaman sekarang ini bentuknya dengan mentaati para ulama-ulama dan orang-orang shaleh). Ayat di atas menggambarkannya dengan firman Allah SWT “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal : 28). Di akhir ayat tersebut disebutkan bahwa di sisi Allah lah pahala yang besar. Artinya adalah bahwa orang yang menjaga amanah akan mendapatkan pahala yang besar baik di dunia maupun di akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman :
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ ﴿٨﴾ وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ ﴿٩﴾ أُوْلَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ ﴿١٠﴾ الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿١١﴾
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (ya`ni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Mu’minun 8 : 11)

6. Bahwa cara atau sarana agar kita tidak tertipu dengan “kemilaunya” kehidupan dunia adalah dengan memupuk keimanan kepada Allah SWT, mempertebal keyakinan tentang akhirat serta meyakini bahwa apa yang ada di tangan Allah SWT adalah lebih utama. Dan untuk merealisasikan itu semua, sarana utamanya adalah mendengarkan serta mentaati nasehat ulama dan berkumpul dengan orang-orang shaleh. Orang-orang shaleh memiliki nur (cahaya) yang akan menerangi jalan kita. Sehingga apabila di sekeliling kita adalah orang-orang shaleh, maka insya Allah akan semakin menjadikan jalan kita menjadi semakin terang terhindar dari sifat khianat.

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

0 Comments:

Post a Comment