Ketika Keberkahan Hilang

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A’raf : 96)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa “keimanan” dan “ketakwaan” merupakan modal utama untuk mendatangkan keberkahan, baik keberkahan dalam skala individu (personal), maupun keberkahan dalam skala kolektif. Pengertian dan makna iman lebih menitikberatkan pada sisi “sesuatu yang tertanam di dalam diri setiap insan; berupa keyakinan kepada Allah, yakin akan karunia-Nya, yakin akan surga dan neraka-Nya, dsb, lalu kemudian diikrarkan dengan lisan, serta diamalkan oleh seluruh anggota badan”. Sedangkan takwa berasal dari kata “waqa” yang berarti menjaga dan memelihara. Para ulama mendifinisikan takwa dengan “menjauhkan diri dari kemurkaan, azab, teguran dan ancaman Allah SWT dengan melaksanakan segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya serta menjauhi hal-hal yang dapat mengarahkannya pada larangan-larangan Allah SWT.”

2. Iman dan takwa merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Syekh Dr. Abdullah Nasih Ulwan (1996 : 6 – 7) mengemukakan : “taqwa lahir sebagai konsekwensi logis dari keimanan yang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dengan muraqabatullah; merasa takut terhadap murka dan adzab-Nya dan selalu berharap atas limpahan karunia dan maghfirah-Nya.” Dari sini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa tidak mungkin ketaqwaan muncul tanpa adanya keimanan kepada Allah SWT. Pernah suatu ketika Umar bin Khattab ra bertanya kepada Ubai bin Ka’ab ra tentang taqwa. Ubai menjawab, ‘Bukankah anda pernah melewati jalan yang penuh duri?’ Umar menjawab, ‘ya!’. Ubai bertanya lagi, ‘Apa yang anda lakukan saat itu?’ Umar menjawab, ‘ Saya bersiap-siap dan berjalan dengan hati-hati.’ Ubai berkata lagi, ‘Itulah taqwa.” Berpijak dari jawaban Ubai di atas, Sayid Qutub mengemukakan, ‘Itulah taqwa, kepekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus menerus, selalu waspada dan hati-hati jangan sampai kena duri jalanan… Jalan kehidupan yang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan dan angan-angan, kekhawatiran dan keraguan, haparan semu atas segala sesuatu yang tidak bisa diharapkan. Ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak pantas untuk ditakuti… dan masih banyak duri-duri yang lainnya….”

3. Apabila iman dan takwa terangkai menjadi satu kesatuan dalam diri seorang muslim, atau dalam jiwa suatu institusi atau suatu bangsa, maka Allah SWT akan membukakan pintu-pintu keberkahan-Nya terhadap mereka. Bentuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT diantaranya adalah seperti memiliki orientasi dan motivasi hanya untuk mencari ridha Allah SWT, taat dan patuh terhadap syariah dalam arti menjalani kehidupannya benar-benar sesuai dengan aturan dan hukum-hukum Allah SWT, atau dalam menjalankan bisnis (bila perusahaan) sesuai dengan ketetapan syariat dan fatwa para ulama, atau dalam kehidupan berbangsa dan bernegara membuat undang-undang dan peraturan yang mengarahkan manusia untuk semakin dekat dan taat kepada Allah SWT. Apabila telah berjalan seperti itu, maka Allah SWT akan membukakan pintu-pintu keberkahan-Nya dari segala penjuru; dari langit yaitu segala sesuatu yang ada di langit dan Allah turunkan dari langit maupun bumi, yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam perut bumi.

4. Keberkahan memiliki makna yang sangat luas. Namun apabila disimpulkan, makna keberkahan akan bermuara pada dua makna besar, yaitu yang pertama tumbuh dan bertambah, kedua ; kebaikan yang berkesinambungan. Seseorang yang berkah hidupnya, insya Allah akan senantiasa tumbuh dan bertambah segala nikmat dari Allah SWT, baik nikmat lahir maupun nikmat bathin. Di samping itu, ia juga akan mendapatkan kebaikan yang berkesinambungan, seperti kesehatan, keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah, dicintai dan disayangi masyarakatnya, dihargai dan dihormati, didengarkan ucapan dan nasehatnya, dsb. Walaupun yang perlu digarisbawahi juga adalah bahwa kebaikan dan perkembangan tersebut tidak boleh hanya dipahami dalam wujud yang riil, yaitu jumlah harta yang senantiasa bertambah dan berlipat ganda. Kebaikan dan perkembangan harta, dapat saja terwujud dengan berlipat gandannya kegunaan harta tersebut, walaupun jumlahnya tidak bertambah banyak atau tidak berlipat ganda. Misalnya, mungkin saja seseorang yang hanya memiliki sedikit dari harta benda, akan tetapi karena harta itu penuh dengan keberkahan, maka ia terhindar dari berbagai mara bahaya, penyakit, dan tenteram hati dan kehidupannya.

5. Sebaliknya jika seseorang, suatu komunitas, sebuah organisasi, satu perusahaan atau suatu bangsa “mendustakan” ayat-ayat Allah SWT, maka Allah SWT akan menimpakan “siksa” yang diakibatkan oleh perbuatan mereka sendiri. Siksa, azab atau peringatan dari Allah SWT tersebut dapat berupa dicabutnya keberkahan. Seorang trainer dan konsultan management pernah mengungkapkan perihal adanya sebuah perusahaan besar yang memiliki karyawan besar, aset besar dan keuntungan besar. Namun anehnya apabila “ditotal” antara keuntungan dengan “pengeluaran”, ternyata tidak seimbang. Perusahaan tersebut memang memiliki keuntungan besar, namun mungkin karena “ketidakberkahannya” sehingga akhirnya justru merugi. Gedungnya mendapatkan musibah; terbakar, kendaraan-kendaraan beratnya banyak yang rusak, alat-alatnya ada yang dicuri, karyawannya banyak yang sakit sehingga perlu biaya pengobatan yang besar dsb. Sehingga jika diakumulasikan, ternyata keuntungan yang besar itu tidak seimbang dengan total kerugian yang dideritanya. Inilah buah dari ketidakberkahan, semoga Allah SWT menghindarkan kita semua dari hal tersebut.

6. Dalam kehidupan, terdapat hikmah yang patut kita petik agar menjadi pelajaran bagi kita semua. Utz Jamil Az-Zaini dalam bukunya Menyemai Impian Meraih Sukses Mulia (2008 : 40 – 43) menceritakan sebuah kisah yang perlu kita petik hikmahnya, “Pak Deden adalah direktur perusahaan ternama, hidupnya nyaman dan serba kecukupan. Berputra 3 orang dari seorang istri yang jelita. Namun di hari tuanya, Pak Deden merasa galau dengan masa depan putra-putrinya. Ia juga galau karena kehdupannya terasa hambar. Begitu banyak formalitas yang dihadapinya penuh intrik, basa-basi dan minim ketulusan. Selama lebih satu jam ngobrol dengan beliau, saya cenderung menjadi pendengar saja. Sampai pada satu titik obrolan, Pak Deden bertanya pada saya, “Mas, pernahkan Mas Jamil kenal atau bertemu dengan seseorang yang peduli dengan orang lain, yang hidupnya dipenuhi keberuntungan dan berkah?” Mendengar pertanyaan itu, terlintas di kepala satu sosok yang amat saya kenal. “Ada Pak, namanya Pak Didin,” jawab saya. Maka berceritalah saya tentang sosok Pak Didin kepada Pak Deden. “Pak Didin adalah seorang Ustadz. Dari segi usia, hampir sama dengan Pak Deden. Meski sudah lama mengenalnya tapi kesempatan 26 hari bersamanya saat naik haji, semakin menegaskan sosoknya. Pak Didin adalah figur yang sangat peduli dengan orang lain. Ia amat peduli dengan upaya mengentaskan kemiskinan dengan menggunakan dana zakat, infak dan shadaqah (ZIS). Keingingan terbesar beliau adalah mengangkat orang miskin (mustahik) menjadi pembayar zakat (muzaki). Dan untuk mewujudkan keingingannya tersebut, ia menghabiskan banyak waktu untuk menulis buku, melakukan studi, berkeliling Indonesia dan dunia menyadarkan umat tentang pentingnya pengentasan kemiskinan dengan menggunakan dana ZIS. Semua dilakukan tanpa pamrih. Saya yakin itu, karena ia dulu pernah saya tanya soal “tarif” ketika ia memberi ceramah. Ketika itu ia menjawab, “Untuk urusan menyebarkan kebaikan, menebar maslahat dan membagi ilmu, saya takkan pernah pasang tarif sampai kapanpun.” Hidup Pak Didin dipenuhi berkah. Istrinya pastilah istri yang shalehah. Anak-anak mereka berwajah bagus dan cerdas. Anak pertama mendapat beasiswa S3 di Malaysia. Anak kedua menerima beasiswa memperdalam ekonomi syariah di Inggris. Anak ketiga juga mendapat beasiswa besekolah di Pakistan. Sementara anak keempat tak kalah hebatnya, mendapat panggilan beasiswa dari Singapura. Saya dan orang yang pernah bersama belaiu iri melihat kehidupannya. Ilmu agamanya luas. Bacaan Al-Qur’annya fasih. Urusan dunianya lancar. Setiap tahun menunaikan ibadah hai karena menjadi pembimbing. Kerap mendapat undangan berbicara ke mancanegara untuk berbagi ilmu. Yang lebih menakjubkan walaupun menjadi tokoh nasional, kehidupannya tetap bersahaja, tenang, dan ramah bersahabat kepada siapapun. Belum selesai saya bercerita, Pak Deden sudah memotong, “Andai saya dulu bisa memilih. Saya lebih senang menjadi Pak Didin bukan Deden. Kehidupan dunia, bisa dia taklukkan dan insya Allah kebahagiaan akhirat pun sudah menunggunya.” Sambil berjabat tangan meninggalkan tempat, kami sepakat bahwa untuk menggapai keberuntungan dan berkah hidup kita barus banyak berbagi. Banyak menebar energi positif (epos) dan banyak berempati.”

7. Maka, untuk menghindarkan diri dari ketidakberkahan, kita perlu memupuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Kita perlu membenahi kembali motivasi dan orientasi serta obsesi dalam hidup; jangan semata-mata mengejar materi dan “profit” duniawi semata, yang terkadang untuk mengejarnya hingga “rela” dan “tega” mengabaikan dan melanggar syariah Allah, “mengabaikan” para ulama, menghalalkan segala cara, dsb. Sebab, apabila keberkahan telah hilang, maka tiada kebahagiaan yang akan didapatkan, kendatipun mungkin banyak memiliki harta dan uang. Sebaliknya tanpa keberkahan kehidupan akan menjadi tidak nyaman dan tidak tentram, dibenci dan dihindari semua orang, serta diliputi rasa ketakutan dan kekhawatiran. Na’udzubillah min dzalik..

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

0 Comments:

Post a Comment